15.8.12

WASIAT TAQWA: FORMALITAS KHUTBAH



Jika dihitung, terlalu sering kita mendengarkan kata ‘taqwa’, pada banyak kesempatan, baik formal atau non-formal. Mulai dari khutbah Jum’at, hingga khutbah nikah; dari tasyakuran upacara kelahiran, hingga wasiat bagi para pelayat saat ta’ziyah kematian. Dari acara resmi kenegaraan, hingga acara santai di pinggiran warung. Di acara majlis ta’lim, mulai dari muballig kelas RT, hingga muballig taraf TV, semuanya memulai tausiyahnya dengan nasehat taqwa. 

Saya tidak akan menyalahkan jika lantas ada yang (mungkin) bosan dengan nasehat ini. Bisa jadi karena seringnya nasehat taqwa diperdengarkan pada nuansa acara resmi atau  santai. Kesepakatan ulama fiqih, nasehat satu ini bahkan menjadi syarat sahnya khutbah wajib, seperti khutbah Jum’at dan Idain. Jika khutbah-khutbah tersebut tidak dimulai dengan nasehat taqwa, maka dinyatakan batal. 

Dengan seringnya nasehat taqwa yang diperdengarkan, maka wajar jika kita  bermuhasabah, introspeksi: sudah fahamkah kita, apa sebenarnya hakekat taqwa tersebut? Tentu tidak etis jika wasiat ini hanya sekedar menjadi formalitas khutbah belaka: sekedar bumbu pelengkap khutbah, tanpa ada upaya serius dari kita untuk terus berupaya mengerti atau memahami maksud utamanya.

Menurut arti asalnya, taqwa adalah menempatkan diri dalam sebuah perlindungan. Biasnya, orang yang mencari perlindungan adalah orang yang mempunyai kekhawatiran atau rasa takut. Idealnya, kekhawatiran atau rasa takut hanya untuk Allah SWT, karenanya, secara beruntun akan menyadari: bahwa kepada Allah sajalah tempat berlindung. 

Sebagai manusia, wajar jika kita memiliki kekhawatiran. Rasa takut atau khawatir  merupakan satu dari sekian cobaan yang ditimpakan kepada manusia. Allah berfirman: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. 2:155)

Sampai disini bisa dimengerti, bahwa takut merupakan ujian untuk sekalian manusia, tak terkecuali. Tidak satupun terbebas dari rasa takut. Siapapun dia. Besar atau kecil; laki-laki atau wanita; kaya atau miskin; kuat atau lemah; pintar atau bodoh; bahkan rakyat atau presiden sekalipun, semua pasti mempunyai kekhawatiran. Sekali lagi itu wajar. Karena itulah cobaan hidup. Selama hidup di dunia, tetap saja akan dicoba dengan rasa takut.

Namun, dari sekian kekhawatiran yang ditimpakan, rasa takut kepada Allah harus diutamakan. Jika rasa takut kita kepada Allah kalah dengan rasa takut kepada selain-Nya, maka inilah benih-benih kemungkaran. Ketika kita berlaku baik karena takut seseorang, maka saat orang tersebut tidak ada, pasti kita tidak akan berbuat baik lagi. Beda halnya jika kebaikan yang kita lakukan ikhlas karena rasa takut kepada Allah. Sebab Allah memang tidak akan pernah tidak ada. Kapan dan dimana saja, Allah pasti melihat apa yang kita kerjakan. Dari sinilah dituntut sebuah kesabaran. Maka diakhir ayat tadi ditegaskan: maka berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar.

Akhirnya, sekali lagi saya mengajak diri pribadi dan segenap pembaca untuk kembali bermuhasabah: apakah nasehat taqwa yang sering kita dengar, sedah menjadikan pola ketaqwaan kita seperti tersebut di atas: menjadikan takut kepada Allah di atas takut-takut kepada selain Allah? Hanya dengan modal rasa takut kepada Allah sajalah, kita bisa menjadi al-muttaqin. Menjadi sebenar-benarnya bertaqwa; dan beruntung, baik dunia, terlebih di akhirat nanti.

Semoga Allah SWT, segera membuka hati kita, agar bisa menjadikan-Nya, pusat dari segala kekhawatiran

Tidak ada komentar: