Jika dihitung, terlalu sering
kita mendengarkan kata ‘taqwa’, pada banyak kesempatan, baik formal atau
non-formal. Mulai dari khutbah Jum’at, hingga khutbah nikah; dari tasyakuran
upacara kelahiran, hingga wasiat bagi para pelayat saat ta’ziyah kematian. Dari
acara resmi kenegaraan, hingga acara santai di pinggiran warung. Di acara
majlis ta’lim, mulai dari muballig kelas RT, hingga muballig taraf TV, semuanya
memulai tausiyahnya dengan nasehat taqwa.
Saya tidak akan menyalahkan jika
lantas ada yang (mungkin) bosan dengan nasehat ini. Bisa jadi karena seringnya
nasehat taqwa diperdengarkan pada nuansa acara resmi atau santai. Kesepakatan ulama fiqih, nasehat satu
ini bahkan menjadi syarat sahnya khutbah wajib, seperti khutbah Jum’at dan
Idain. Jika khutbah-khutbah tersebut tidak dimulai dengan nasehat taqwa, maka
dinyatakan batal.
Dengan seringnya nasehat taqwa yang diperdengarkan,
maka wajar jika kita bermuhasabah,
introspeksi: sudah fahamkah kita, apa sebenarnya hakekat taqwa tersebut? Tentu
tidak etis jika wasiat ini hanya sekedar menjadi formalitas khutbah belaka:
sekedar bumbu pelengkap khutbah, tanpa ada upaya serius dari kita untuk terus
berupaya mengerti atau memahami maksud utamanya.
Menurut arti asalnya, taqwa adalah
menempatkan diri dalam sebuah perlindungan. Biasnya, orang yang mencari
perlindungan adalah orang yang mempunyai kekhawatiran atau rasa takut.
Idealnya, kekhawatiran atau rasa takut hanya untuk Allah SWT, karenanya, secara
beruntun akan menyadari: bahwa kepada Allah sajalah tempat berlindung.
Sebagai manusia, wajar jika kita
memiliki kekhawatiran. Rasa takut atau khawatir
merupakan satu dari sekian cobaan yang ditimpakan kepada manusia. Allah
berfirman: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. 2:155)
Sampai disini bisa dimengerti, bahwa
takut merupakan ujian untuk sekalian manusia, tak terkecuali. Tidak satupun
terbebas dari rasa takut. Siapapun dia. Besar atau kecil; laki-laki atau
wanita; kaya atau miskin; kuat atau lemah; pintar atau bodoh; bahkan rakyat
atau presiden sekalipun, semua pasti mempunyai kekhawatiran. Sekali lagi itu
wajar. Karena itulah cobaan hidup. Selama hidup di dunia, tetap saja akan
dicoba dengan rasa takut.
Namun, dari sekian kekhawatiran yang
ditimpakan, rasa takut kepada Allah harus diutamakan. Jika rasa takut kita
kepada Allah kalah dengan rasa takut kepada selain-Nya, maka inilah benih-benih
kemungkaran. Ketika kita berlaku baik karena takut seseorang, maka saat orang
tersebut tidak ada, pasti kita tidak akan berbuat baik lagi. Beda halnya jika
kebaikan yang kita lakukan ikhlas karena rasa takut kepada Allah. Sebab Allah memang
tidak akan pernah tidak ada. Kapan dan dimana saja, Allah pasti melihat apa
yang kita kerjakan. Dari sinilah dituntut sebuah kesabaran. Maka diakhir ayat
tadi ditegaskan: maka berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar.
Akhirnya, sekali lagi saya mengajak
diri pribadi dan segenap pembaca untuk kembali bermuhasabah: apakah nasehat
taqwa yang sering kita dengar, sedah menjadikan pola ketaqwaan kita seperti
tersebut di atas: menjadikan takut kepada Allah di atas takut-takut kepada
selain Allah? Hanya dengan modal rasa takut kepada Allah sajalah, kita bisa
menjadi al-muttaqin. Menjadi sebenar-benarnya bertaqwa; dan beruntung,
baik dunia, terlebih di akhirat nanti.
Semoga
Allah SWT, segera membuka hati kita, agar bisa menjadikan-Nya, pusat dari segala
kekhawatiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar