I. Mukadimah
Pada dasarnya, semua orang menginginkan kemudahan dalam menjalankan urusannya. Tidak satu pun yang mau bersusah-payah untuk mendapatkan sebuah hasil atau tujuan dari apa yang diusahakannya. Artinya, jika ada cara untuk mendapatkan hasil yang dimaksud secaran mudah, kenapa harus mempersulit. Tentu, yang dimaksud kemudahan di sini tidak keluar dari aturan-aturan normatif; tidak menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan.
Dalam realitanya sebagai makhluk sosial, kita sering kali dihadapkan pada benturan-benturan dari pihak lain dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Masing-masing individu tentunya memiliki interest yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Tidak jarang tujuan yang akan dicapai bertolakbelakang dengan tujuan yang orang lain ingin raih.
Berdasarkan realita tersebut, untuk mencapai tujuan, diperlukan sebuah tindakan yang disengaja, dengan metode-metode khusus yang efisien dan efektif. Oemar Hamalik mengistilahkan cara pencapaian tujuan tersebut dengan istilah manajemen. Lebih spesifik Hamalik mengatakan bahwa manajemen merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Terkait dengan dunia pendidikan, salah satu faktor penting dalam mencapai tujuan pendidikan adalah kurikulum. Dalam definisi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 disjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Untuk memaksimalkan penerapan kurikulum, dibutuhkan manajemen yang baik. Terlebih saat mengingat prinsip dasar manajemen kurikulum adalah berusaha agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, dengan tolok ukur pencapaian tujuan oleh peserta didik dan mendorong guru untuk menyusun dan terus menerus menyempurnakan strategi pembelajarannya.
Kaitannya dengan Pembelajaran Bahasa Arab (PBA), Berikut akan diulas seputar perkembangan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, serta konsep dan karakteristik manajemen kurikulumnya.
II. Pembelajaran Bahasa Arab
Secara historis, bahasa Arab diasumsikan masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam. Hal ini karena keterikatan bahasa Arab dengan berbagai bentuk peribadatan dalam Islam. Bacaan dalam sholat, do’a-do’a, dan kitab suci umat Islam yang tertulis dengan bahasa Arab menjadi alasan utama keniscayaan bahasa Arab dikenal oleh umat Islam. Maka taka ayal, tujuan pembelajaran bahasa Arab yang pertama adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Jika pembelajaran bentuk pertama ini ditinjau dari pendekatan filosofis, tentunya belum ada tujuan eksplisit yang tertulis bisa dijumpai. Orang belajar bahasa Arab semata-mata karena motif agama. Meski demikian, secara tersirat sudah ada tujuan yang jelas, yakni bahasa Arab sebagai sarana penunjang beribadatan
Pengajaran bahasa Arab yang verbalistik ini dirasa tidak cukup, karena al-Qur’an tidak cukup dibaca sebagai sarana peribadatan, melainkan pedoman hidup yang perlu difahami maknanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Maka muncullah pembelajaran bahasa Arab bentuk kedua dengan tujuan pendalaman ajaran agama Islam, yang mula-mula tumbuh berkembang di pondok pesantren. Materi pelajaran di pesantren ini meliputi fiqih, aqidah, hadis, tafsir, dan ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharraf, dan balaghah dengan buku teks berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama dari masa lalu. Pengajaran bahasa Arab bentuk kedua –yang dapat digolongkan ke dalam bentuk pengajaran bahasa Arab untuk tujuan khusus– adalah yang paling dominan di Tanah Air dan diakui konstribusinya dalam memahamkan umat Islam Indonesia terhadap ajaran agamanya.
Jika dipandang dari segi penguasaan bahasa, pembelajaran bentuk kedua ini hampir serupa dengan model pembelajaran bentuk pertama: terbatas pada kemahiran reseptif. Hanya tujuannya saja yang diperdalam dengan muatan materi yang lebih luas. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, kebanyakan lembaga pendidikan jarang membuat falsafah lembaganya secara tertulis. Falsafah yang dimaksudkan di sini mencakup: 1) alasan rasional mengenai sksistensi lembaga pendidikan, 2) prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya, 3) nilai-nilai dan prinsip yag dijunjung tinggi, dan 4) prinsip-prinsip pendidikan mengenai anak, hkekat proses belajar mengajar dan hakekat pengetahuan.
Jika bentuk pembelajaran bahasa Arab pertama dan kedua berada dalam lembaga pendidikan non-formal, maka ada juga pembelajaran bahasa Arab di lembaga pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum). Toh demikian, pembelajaran bahasa Arab masih dibilang “tidak menentu”. Ketidak menentuan ini bisa dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari segi tujuan (menguasai kemahiran berbahasa) atau sebagai alat untuk menguasai pengetahuan lain yang menggunakan wahana bahasa Arab. Kedua, dari segi jenis bahasa yang dipelajari, terdapat ketidakmenentuan apakan bahasa Arab klasik, modern, atau bahasa Arab sehari-hari. Ketiga, dari segi metode, terdapat kegamanagan antara mempertahankan yang lama (gramatika-terjemah) dan metode baru (all in system, direct methode, dan lain-lain).[1]
Melihat fenomena ini, pemerintah memang telah melakukan perbaikan, di antaranya penyusunan silabus pengajaran bahasa Arab untuk tingkat dasar, menengah, dan lanjut (1972) sampai disosialisasikannya Kurikulum berbasis Kompetensi (KBK th 2004) dalam jajaran pendidikan Indonesia, dan pelatihan bagi guru mengenai berbagai pendekatan atau strategi pembelajaran mutakhir, seperti Pembelajaran Quantum, Belajar Mengajar Kontekstual, dan sebagainya.
III. Manajemen Kurikulum
a. Manajemen
Secara bahasa, manajemen berasal dari kata manage, yaitu mengatur. Dengan pengaturan yang baik, segala sesuatu yang njlimet akan terlihat apik dan sistematis. Secara umum, manajemen yang baik akan memudahkan terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Dengan manajemen, daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan meningkat.
Unsur-unsur manajemen dimaksud, yakni: man, money, method, machines, dan market. Keenam unsur itu disingkat: 6 M. Dengan pemaknaan manajemen seperti di atas, maka timbul pertanyaan: apa yang diatur, kenapa diatur, siapa dan bagaimana cara mengaturnya. Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Oemar Hamalik dalam bukunya Manajemen Pengembangan Kurikulum memaparkan: yang diatur adalah semua unsur manajemen, yakni 6 M. Tujuannya agar 6 M lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mewujudkan tujuan secara optimal, terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik. Orang yang mengatur (manager) biasanya sekaligus menjadi pemimpin.
Lebih dalam lagi, dalam studi manajemen terdapat berbagai pandangan yang mencoba merumuskan definisi manajemen dengan penekanan pada aspek yang berbeda-beda. Salah satu rumusan operasional manajemen tersebut adalah, bahwa “manajemen adalah suatu proses sosial yang berkenaan dengan keseluruhan usaha manusia dengan bantuan manusia serta sumber-sumber lainnya, dan menggunakan metode yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.”
Dari rumusan difinisi di atas, maka ada beberapa hal yang perlu ditegaskan seputar hakekat makna manajemen, sebagaimana berikut:
a. Manajemen merupakan proses sosial yang pelaksanaannya dilakukan oleh dua orang atau lebih secara formal.
b. Manajemen dilakukan dengan bantuan sumber-sumber, yakni sumber manusia, material, finansial, dan informasi.
c. Manajemen dilaksanakan dengan metode kerja tertentu yang efisien dan efektif, baik dari segi tenaga, biaya, juga waktu.
d. Manajemen harus selalu mengacu pada pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dengan rumusan-rumusan di atas, manajemen pastinya berlangsung dalam suatu proses yang berkesinambungan secara sistimatik, yang meliputi pelaksanaan, pengorganisasian, staffing, pengarahan, dan control. Masing-masing fungsi manajemen tersebut, mencakup beberapa sub fungsi yang bekerja secara bergiliran.
Menurut R. AlecMackendlie, seperti ditulis Oemar:
“dalam teori proses manajemen ada tiga unsur pokok: ideas atau gagasan, thing atau benda, dan people atau orang. Unsur-unsur tersebut terefleksikan dalam tugas-tugas:
a. Berfikir konseptual, yakni perumusan gagasan-gagasan baru.
b. Administrasi, yakni merinci proses manajemen.
c. Kepemimpinan, yakni memotivasi anggota kelompok agar melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing untuk pencapaian tujuan bersama.”[2]
Adapun fungsi-fungsi yang berurutan dalam proses manajemen meliputi: perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, mengarahkan dan mengontrol. Mengorganisasikan, berarti menata pekerjaan untuk melaksanakan rencana. Menyusun staf, berarti memilih dan mengalokasikan pekerjaan kepada orang-orang yang akan melaksanakannya. Mengarahkan, berarti menuntut tindakan sesuai tujuan.[3]
b. Kurikulum
Istilah kurikulum yang berasal dari bahasa latin curriculum yang semula berarti a running course, or race course, especially a chariot race course dan terdapat pula dalam bahasa Perancis: courier artinya, to run, berlari. Kemudian istilah ini digunakan untuk sejumlah courses atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Dari pemahaman ini bisa dikatakan bahwa pengertian kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang diajar. Untuk pengertian ini disebut dengan pemahaman tradisional.
Sedang dalam pemahaman yang lain, kurikulum adalah proses atau pengalaman belajar. Pengalaman belajar ini terbagi dua, yaitu yang direncanakan dan yang tidak direncanakan. Yang tidak direncanakan disebut hidden curriculum atau kurikulum yang tersembunyi. Para siswa mempunyai aturan sendiri sebagai rekasi terhadap kurikulum yang formal, seperti tentang mencontek, membuat pekerjaan rumah, menjadi juara kelas, sikap terhadap guru, dan sebagainya.[4]
Kurikulum dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan dan ditandai oleh perolehan ijazah tertentu. Beberapa penafsiran lain tentang kurikulum kiranya semakin menjelasnkan pentingnya dilaksanakan dalam pendidikan dan pengajaran. Beberapa penafsiran dimasud, adalah:
Kurikulum memuat isi dan Materi Pelajaran. Maksudnya, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh peserta didik untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Kurikulum sebagai Rencana Pembelajaran. Dengan program ini, para siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran. Itu sebabnya, suatu kurikulum harus diatur sedemikian rupa agar maksud pendidikan dapat tercapai. Kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran saja, melainkan mencakup segala ssesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa, seperti bangunan sekolah, alat pelajaran, perlengkapan, perpustakaan, gambar-gambar, halaman sekolah, dan lain-lain; yang pada gilirannya menyediakan kemungkinan belajar secara aktif.
Kurikulum sebagai Pengalaman Belajar. Selain dua pengertian kurikulum sebagaimana yang lalu, pengertian lainnya adalah merupakan serangkaian pengalaman belajar. Salah satu pendukung dari pandangan ini menyatakan:
Curriculum is interpreted to mean all of the organized coueses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not (Romine, 1945, h.14) [5]
Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja, melainkan mencakup juga kegiatan-kegiatan di luar kelas. Tak ada pemisahan yang tegas antara intra dan ekstra kurikulum.
Asas Sosiologi dan Sosial Budaya
Suatu kurikulum pada dasarnya mencerminkan keinginan, cita-cita, dan kebutuhan masyarakat. Dalam memanaj kurikulum, memperhatikan lingkungan tempat tinggal, merespon berbagai kebutuhan yang diharapkan berragam golongan masyarakat. Sangat banyak kebutuhan masyarakat yang harus dipilah, disaring, untuk menghasilkan konsep kebijakan dalam pengembangan kurikulum.
Kompleksitas kehidupan dalam masyarakat disebabkan oleh: a) tata kehidupan yang beraneka ragam, b) kepentingan yang berbeda antar indifidu, c) kehidupan masyarakat bersifat dinamis. Atas dasar tersebut, sedapat mungkin diharapkan agar kurikulum dibangun dan dikembangkan dengan tetap merujuk pada asas kemasyarakatan berikut kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada zamannya.
Menurut Zais (1976) dalam mendesain kurikulum berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Siapa akan dilibatkan dalam pembuatan kurikulum, guru, administrator, orang tua, atau siswa? Apa prosedur yang akan digunakan dalam pembuatan kurikulum, petunjuk administratif, konlisi fakultas (staf pengajar) atau konsultasi universitas? Jika komisi yang digunakan, bagaimana mereka akan diatur? Sedangkan Bondi dan Wiles (1989) mengemukakan babwa pengembangan kurikulum yang terbaik adalah proses yang meliputi banyak hal yakni : (1) kemudahan-kemudahan suatu analisis tujuan, (2) rancangan suatu program, (3) penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan, dan (4) peralatan dalam evaluasi proses ini. Secara singkat, pengembangan kurikulum adalah suatu perbuatan kompleks yang mencakup berbagai jenis keputusan.[6]
Sedang yang tercakup dalam pembuatan rencana induk (master plan) adalah pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian. Prinsip dasar dari master plan adalah untuk memberikan panduan yang jelas mengenai bagaimana kurikulum harus dibangun sehingga memberikan nilai manfaat atau value kepada organisasi terkait (David, 1995), sehingga perencanaan ini tidak dapat dipisahkan – atau merupakan sebuah kesatuan -dengan perencanaan organisasi itu sendiri.
Secara prinsip, ada 5 (lima) domain tahapan konsep penyusunan master plan yang dimaksud. Kelima tahapan tersebut merupakan langkah-langkah sekuensial yang biasa dipergunakandalam menyusun sebuah master plan. Karena sifatnya yang terstruktur, sering kali kelima domain ini dijadikan sebagai panduan dalam menyusun struktur dan konten dokumen final yang dihasilkan. Kelima domain yang dimaksud adalah: 1. Kajian Lingkungan dan Strategi Organisasi; 2. Analisa Kebutuhan; 3. Penentuan Spesifikasi; 4. Manajemen Portofolio Program dan Proyek; dan 5. Tata Pamong (governance) Pengelolaan Kurikulum.
Setelah master plan selesai disusun, maka tibalah saatnya untuk mengimplementasikannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu ditunjuk satu tim tangguh yang bertanggung jawab untuk mengeksekusi seluruh rencana yang telah dipaparkan dalam master plan tersebut. Idealnya, tim tersebut harus diketuai langsung oleh CIO (Chief Information Officer) atau yang setingkat dengannya yang secara langsung bertanggung jawab kepada pimpinan organisasi (Earl, 1989). Berhasil tidaknya master plan tersebut diterapkan tidak saja ditentukan oleh jumlah realisasi proyek yang dicanangkan, tetapi seberapa besar dampak manfaat pengembangan dan pemanfaatan sistem dan teknologi informasi yang dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh organisasi.[7]
Sebagaimana sub judul di atas, bahwa dalam tahap perencanaan dilakukan pengelolaan atau manajemen yang mengandung paling tidak empat hal yaitu perencanaan, pengorganisasian, koordinasi, dan pengawasan. Jadi dalam merencanakan kurikulum tidak lepas dari fungsi manajemen yang ada.
Adapun hubungan antara manajemen, perencanaan, dan kurikulum bahasa Arab bisa dilihat pada bagan berikut: hubungan antara manajemen dan kurikulum bahasa Arab
IV. Konsep Manajemen Kurikulum PBA
Manajemen kurikulum adalah pengaturan tentang kurikulum perencanaan tertulis yang meliputi kemampuan yang harus dimilki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan pengaturan perencanaan sebagai suatu proses atau sistem pengelolaan. Kegiatan-kegiatan kurikulum, metode penyampaian, sistem evaluasi, sistem bimbingan.
Konsep umum kurikulum dapat dipahami dengan cara merumuskan difinisi pendidikan, rumusan tujuan pembelajaran, penjelasan tentang sasaran pembelajaran, cara dan prosedur yang ditempuh dalam proses pengajaran.
Dari beberapa keterangan yang ada, konsep manajemen kurikulum PBA, sebagai satu materi pembelajaran, menurut penulis terdiri dari empat tahapan :
1) Perencanaan; meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
a.analisis kebutuhan;
b. merumuskan dan menjawab pertanyaan filosofis;
c. menentukan disain kurikulum
d. membuat rencana induk (master plan): pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian.
2) Pengembangan, meliputi langkah-langkah :
a. perumusan rasional atau dasar pemikiran
b. perumusan visi, misi, dan tujuan
c. penentuan struktur dan isi program
d. pemilihan dan pengorganisasian materi
e. pengorganisasian kegiatan pembelajaran
f. pemilihan sumber, alat, dan sarana belajar
g. penentuan cara mengukur hasil belajar.
3) Tahap implementasi atau pelaksanaan, meliputi langkah-langkah:
a. penyusunan rencana dan program pembelajaran (Silabus, RPP)
b. penjabaran materi
c. penentuan strategi dan metode pembelajaran
d. penyediaan sumber, alat, dan sarana pembelajaran
e. penentuan cara dan alat penilaian proses dan hasil belajar
f. setting lingkungan pembelajaran.
4) Tahap penilaian; terutama dilakukan untuk melihat sejauhmana kekuatan dan kelemahan dari kurikulum yang dikembangkan, baik bentuk penilaian formatif maupun sumatif. Penilailain kurikulum dapat mencakup Konteks, input, proses, juga produk.
Sebagaimana banyak teori menjelaskan, bahwa kurikulum dapat dilihat dalam tiga dimensi, yaitu: sebagai ilmu (mengkaji konsep, landasan, asumsi, teori, model, praksis, prinsip-prinsip dasar tentang kurikulum); sebagai sistem (menjelaskan kedudukan kurikulum dalam hubungannya dengan sistem dan bidang-bidang lain, komponen-komponen kurikulum, kurikulum berbagai jalur, jenjang, jenis pendidikan, manajemen kurikulum, dan sebagainya); dan sebagai rencana (mencakup macam-macam rencana dan rancangan atau desain kurikulum). Kurikulum sebagai rencana ada yang bersifat menyeluruh untuk semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dan ada pula yang khusus untuk jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Untuk kurikulum, manajemen memiliki fungsi-fungsi yaitu: mengelola perencanaan kurikulum, mengelola implementasi kurikulum, mengelola pelaksanaan evaluasi kurikulum, mengelola perumusan penetapan kriteria dan pelaksanaan kenaikan kelas/kelulusan, mengelola pengembangan bahan ajar, media pembelajaran, dan sumber belajar, serta mengelola pengembangan ekstrakurikuler dan kokurikuler.[8]
Kurikulum sebagai rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari, dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, serta evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik. Pemerintah sebagai elemen penting dalam mengatur kebijakan dalam pendidikan telah menegaskan delapan standar yang harus tertuang di dalam kurikulum, yaitu PP nomor 19 tahun 2003 tentang Standar Nasional Pendidikan. Delapan standar yang dimaksud adalah 1) standar isi, 2) standar proses, 3) standar kompetensi lulusan, 4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pengelolaan, 7) standar pembiayaan, dan 8) standar penilaian pendidikan.
Dalam peraturan tersebut dikemukakan bahwa KTSP adalah kurikulum operasional yang dikembangkan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan Standar Isi. SKL adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Sedang standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi tersebut mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar ini memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.
IV. Kesimpulan/ Penutup
Usaha peningkatan mutu pendidikan ini nampaknya belum mencapai taraf yang memadai (critical mass). Dengan pendidikan diharapkan mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pada umumnya. Selama ini telah terjadi kecenderungan dalam memaknai mutu pendidikan yang hanya dikaitkan dengan aspek kemampuan akademik dan lebih khusus lagi hanya aspek kognitif, yang pada gilirannya berdampak terabaikannya aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, seni dan olah raga serta life skill. Berdasarkan hal tersebut, maka kurikulum perlu disempurnakan dengan pendekatan berbasis kompetensi.
Berkaitan dengan bahasa Arab yang nota-bene adalah bagian dari rumpun PAI, sebab meski terdapat perubahan paradigma terhadap posisi bahasa Arab dari bahasa agama kepada bahasa asing. Namun perubahan ini tidak serta merta meninggalkan posisi bahasa Arab sebagai bahasa Agama.
Konsep dan Karakter manajemen kurikulum PBA sebagai suatu sistem/ proses mencakup pengelolaan organisasi pembelajaran bahasa Arab sebagai mata pelajaran harus berlandaskan model kemahiran bahasa harus signifikan, tidak bias. Tanpa itu, fungsi manajemen kurikulum semakin sulit terkonsep.
Dalam ruang lingkup kurikulum, manajemen memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: mengelola perencanaan kurikulum, mengelola implementasi kurikulum, mengelola pelaksanaan evaluasi kurikulum, mengelola perumusan penetapan kriteria dan pelaksanaan kenaikan kelas/kelulusan, mengelola pengembangan bahan ajar, media pembelajaran, dan sumber belajar, serta mengelola pengembangan ekstrakurikuler dan kokurikuler.
Pada titik ini, pengajar bahasa Arab yang sekaligus menjadi manajer kurikulum PBA harus bisa menempatkan posisi bahasa Arab sekaligus sebagai bahasa Asing yang diharapkan tidak sekedar bertujuan untuk pemahaman proses peribadatan, akan tetapi perlu perumusan lebih seksama prihal kemungkinan mengaktualisasikan kemahiran peserta didik dalam berbahasa asing secara konseptual.