26.9.12

MERUBAH HIDUP DENGAN PIKIRAN



Banyak kerabat dan sahabat saya lebih memilih kendaraan roda dua daripada  naik mobil saat bepergian, meski tumpangan mobil yang ditawarkan gratis. Alasannya hampir sama: menggunakan roda dua lebih enjoy dan santai. Kebanyakan mereka merasa khawatir mual, lantas muntah kalau harus bepergian dengan mobil.
Karena masih kerabat, tak jarang saya memaksa mereka untuk ikut bersam-sama naik mobil. Tujuannya tak lain, agar bisa berkumpul, sambil bercanda gurau saat dalam perjalanan. Nyatanya, seperti diprediksi, mereka yang berfikir ‘khawatir muntah’, itu juga yang terjadi. Jangankan bercanda gurau di dalam mobil, untuk bisa tersenyum pun sukar. Bawaannya “tegang”; berkecamuk antara pikiran mual dan menahan sedapat mungkin agar tidak muntah. Namun akhirnya muntah juga di mobil. Kasihan, perjalan orang-orang seperti ini tidak bisa heppy mengendarai mobil.

Saya sendiri bukannya tidak pernah mual saat bepergian dengan mobil. Pernah juga, meski tidak sering. Perasaan ini biasanya muncul saat tidak sedang mengemudi sendiri. Saya ber-husnudan: bukan karena supirnya yang kurang lihai mengemudi, atau karena belum minum Obat Anti Mabuk (Antimu). Meski telah minum Antimu, toh tak menjamin juga rasa mual lenyap. Gejala ini biasanya timbul seiring pikiran ‘takut mual’.

Ketika mengemudi sendiri, saya dituntut fokus pada tugas seorang supir: konsentrasi dan penuh waspada. Karena sibuk berfikir sebagai pengemudi, maka pikiran ‘takut mual’ nyaris sirna. Walhasil, saya pun terbebas dari perasaan mual. Dan nyatanya memang hampir tak ada supir yang kedapatan muntah akibat mual saat mengemudi. Itu dia, karena sibuk berfikir dan konsentrasi tugas.

Orang yang tidak mengemudi pun, jika saat berkendaraan tidak terbawa pikiran mual, ia akan rileks dan enjoy di dalam mobil. Biasanya, orang yang sedang “sibuk” berpikir lain yang lebih mendesak atau lebih asyik, ia akan melupakan konsentrasi pikiran ‘takut mual’. Orang seperti ini juga akan terbebas dari rasa mual dan muntah saat menjadi penumpang mobil. 

Meski tak ada penelitian secara ilmiah, saya berkesimpulan: pikiran bisa mempengaruhi akal untuk berkonsentrasi pada apa yang kita pikirkan, lantas direspon tubuh dengan perasaan. Hasilnya, apa yang kita pikirkan, besar kemungkinannya itu yang akan terjadi. 

Demikianlah mata rantai pengaruh pemikiran: pikiran, konsentrasi, perasaan,  dan hasil. Sejalan dengan ini, Dr. Herbert Spencer mengatakan: “Akal dan tubuh saling memengaruhi”. (Ibrahim Elfiqi: 2009). Pantas juga Socrates berkata: “Dengan pikiran, seseorang bisa menjadikan dunianya berbunga-bunga atau berduri-duri.” Senada juga ucapan Plato: Sumber setiap prilaku adalah pikiran. Dengan pikiran kita bisa maju atau mundur. Dengan pikiran kita bia bahagia atau sengsara.”

Sampai tataran ini bisa kita fahami sebuah hadis qudsi: “Saya tergantung bagaimana prasangka hamba kepadaku”. Jika kita berfikir positif tentang satu hal atau pekerjaan, niscaya itu jugalah yang akan nampak sebagai hasil. Sebaliknya, dampak negatif akan menjadi hasil bagi siapa saja yang selalu berfikir pesimis-negatif. Maka, kalau kita ingin mengubah hidup, mulailah semuanya dengan pondasi dasar perubahan: mengendalikan pikiran ke arah yang diinginkan. Wallahu a’lam