6.6.11

TIGA KEUTAMAAN UMAT MUHAMMAD

Dalam al-Qur’an ditegaskan: Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikit pun) tidak dianiaya.(QS. 10:47). Satu point penting dari ayat tersebut dapat dipaham bahwa seluruh umat manusia di muka bumi ini diberikan seorang atau lebih utusan (rasul) dari Tuhan. Setiap rasul membawa ajaran dari Tuhan yang sesuai dengan situasi dan kondisi umatnya. Perbedaan situasi dan kondisi sebuah umat sekaligus menjadi karakter serta ciri khas yang membedakannya dengan umat-umat lainnya.

Jika peradaban manusia di muka bumi ini diprediksi berusia puluhan ribu tahun, bisa dipastikan sudah sekian banyak rasul yang diutus Tuhan untuk umat manusia sejak zaman nabi Adam, sebagai cikal-bakal kehidupan manusia. Sebagian kisah-kisah rasul dan umatnya diceritakan dalam al-Qur’an, namun ditegaskan pula banyak kisah-kisah mereka yang tidak diceritakan. Tidak penting mengetahui semua kisah-kisah rasul bersama umatnya yang pernah ada sejak dahulu kala. Yang perlu dicatat, bahwa perbedaan satu umat berimplikasi pada perbedaan ajaran serta ciri khas ajaran bagi umat tersebut.

Sekedar contoh, nabi Musa as, diutas kepada Bani Israil. Satu umat yang sebelumnya menjadi bangsa jajahan dan diperbudak oleh penguasa Firaun di Mesir, selama ratusan tahun. Dengan bekal kelebihan yang dimilikinya, alias mukjizat dari Tuhan, nabi Musa berhasil membawa kabur kaumnya: lari dari kenyataan hidup yang sekian lamanya tertindas sebagai bangsa budak. Pada kenyataannya, perjuangan Musa tidak cukup sampai di situ. Realita sebagai rasul yang diutus untuk kalangan budak tentu menjadi sebuah tugas yang tidak mudah. Karakter, kebiasaan serta watak budak tidak serta merta bisa dihilangkan pascakabur dari penguasa Mesir yang dalim.

Karakter, watak serta kebiasaan para budak berbeda dengan orang-orang yang merdeka. Dalam hal kedisiplinan, orang-orang yang merdeka bisa menjalankan peraturan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Mereka tidak begitu membutuhkan kekerasan sebagai punishmant untuk menjalankan aturan yang sudah disepkati bersama. Tidak demikian halnya dengan para budak. Kenyataan sebagai komunitas yang tak mempunyai hak-hak hidup secara wajar, selalu ditindas dan dianiaya, menyebabkan kaum budak sangat bergantung pada hukuman yang cenderung keras, saklek, tidak ada ada kompromi, sebagai media untuk ketaatan menjalankan peraturan. Termasuk juga peraturan hidup dari Tuhan. Sebuah pepatah Arab melukiskan: al-‘abdu bi al-‘asha wa al-hurru yakfihi al-isyãrah (seorang hamba dibutuhkan tongkat, sedangkan orang yang merdeka cukup dengan isyarat untuk sebuah peringatan).

Karenanya, bisa dipaham kenapa ajaran Tuhan bagi umat nabi Musa sedemikian kerasnya. Untuk menerapkan ajaran dalam Ten Commendemant (sepuluh perintah Tuhan), dan ajaran dalam kitab Taurat diberlakukan konsekuensi cukup keras bagi para pelanggar aturan. Dalam hal kerukunan hidup misalnya, seorang yang bersalah melukai orang lain, maka dia juga dikenai hukuman dilukai sesuai bagian mana ia melukai. Jika melakukan pembunuhan, sipelaku dikenakan sanksi qisyas, atau dibunuh juga. Demikian juga kalau umpamanya melakukan perzinahan, hukumannya adalah rajam, atau dilempar menggunakan batu sampai mati. Na’udzubillah, sedemikian sadis hukuman bagi umat nabi Musa as. Bagi kita yang hidup saat ini, hukuman tersebut bisa saja dinilai sangat tidak manusiawi. Tapi, begitulah realita nabi Musa menghadapi umatnya yang masih berjiwa budak.

Jika ada yang usil bertanya, sampai kapan aturan tersebut diberlakukan? Jawabannya –wallu a’lam– sampai bani Israil sudah tidak lagi berjiwa budak. Menurut pakar ilmu jiwa, merubah watak, kebiasaan serta karakter satu komunitas dibutuhkan waktu yang tidak singkat. Bisa sampai beberapa generasi. Perlu latihan dan pendidikan yang kontinue untuk merubah genitas seseorang, agar menjadi pribadi yang berjiwa dan mempunyai mentalitas merdeka.

Untuk alasan di atas, wajar jika bangsa Indonesia sampai saat ini masih sangat rentan dalam menjalankan aturan. Kedisiplinan kita mengikuti aturan cenderung bergantung pada kekhawatiran sanksi yang ada, bukan karena kesadaran dan rasa tanggung jawab. Hal ini bisa jadi karena genitas bangsa Indonesia masih berkepribadian bangsa yang terjajah sebagaimana dialami nenek-moyang kita pada masa penjajahan dulu. Toh demikian, tetap menjadi kewajiban kita berupaya semaksimal mungkin merubah watak bangsa agar berkepribadian dan berjiwa merdeka: bisa menjalankan aturan dan kedisiplinan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Setelah melewati beberapa generasi, pastinya setelah bani Israil tidak lagi berjiwa budak, Tuhan kembali mengutus rasul-Nya, yakni nabi Isa as: membawa ajaran yang secara kasat mata berbeda “warna” dengan ajaran sebelumnya. Jika ajaran nabi Musa lebih menampakkan kekerasan, ajaran nabi Isa sebaliknya: lebih bercorak kasih sayang, luwes dan kelembutan. Satu ajaran yang sangat terkenal dari kitab Injil menegaskan: jika seseorang memukul pipi kananmu, maka berikanlah pipi kirimu juga. Masya Allah, sedemikian bedanya ajaran yang dibawa oleh kedua rasul Tuhan kepada satu umat yang sudah berbeda karakter.

Enam abad kemudian, Tuhan kembali mengutus rasulnya Muhammad SAW, dengan ajaran penyempurna kedua ajaran sebelumnya. Sebagai ajaran penyempurna, Islam ditampikan dengan menggabung warna-warni ajaran sebelumnya; dipadukan sesuai situasi dan kondisi kehidupan manusia selanjutnya. Tidak melulu mengedepankan wajah keras seperti ajaran nabi Musa, tapi juga tidak bisa sebalinya: menampakkan corak yang over-tolerant, dengan memberi peluang kembali secara suka rela kepada pelanggar hukum, sebagaimana ajaran nabi Isa, sehingga cenderung menampakkan kelemahan hukum dimata masyarakat.

Ajaran yang dibawa nabi Muhammad menjadi ajaran penutup bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini tanpa terskat oleh tempat dan waktu. Dengan posisinya sebagai ajaran penutup, maka diyakini tidak ada lagi rasul yang datang pasca-kerasulan Muhammad; tidak ada rasul sebanding dengan nabi Musa atau nabi Isa setelah kedatangan nabi Muhamamd. Karenanya, tidak ada umat lain selain umat nabi Muhammad. Semua manusia yang saat ini hidup adalah umat Muhammad.

Sebagai umat Muhammad, pastinya kita memiliki karakteristik khusus yang sekaligus menjadi pembeda kita dengan umat-umat lainnya. Sebagai umat, selayaknya kita mengetahui apa karekteristik kita? Untuk pertanyaan ini, penulis melihat setidaknya ada tiga karakteristik yang sekaligus menjadi keistimewaan kita dibandingkan umat-umat terdahulu. Ketiganya adalah: diwahyukannya al-Qur’an, diutusnya sosok Muhammad sebagai rasul, dan berusia jauh lebih pendek dari pada umat-umat sebelum kita. Bagaimana menjelaskan ketiga karakteristik tersebut sebagai sebuah keutamaan, insya Allah akan penulis paparkan dalam kesempatan berikutnya.