25.2.12

KESULITAN AGAMA ISLAM

Agama Islam ialah agama yang paling sulit, karena kita harus tahu kapan menegakkan hukum, memaafkan manusia, kapan meniru Nabi Musa dan kapan harus meniru Nabi Isa. Itulah sebabnya kita harus selalu berdoa, “ihdinâ al-shirâth al-mustaqîm (tunjukkanlah kami jalan yang lurus). Yang positif ialah, “shirâth al-ladzîna ‘an`amta `alayhim; sedang negatifnya adalah “ghayri al-maghdlûbi `alayhim wa lâ al-dlâllîn. Umumnya tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-maghdlûbi `alayhim ialah orang Yahudi dan al-dlâllîn adalah orang Nasrani. Maksudnya ialah, al-maghdlûbi `alayhim, karena orang Yahudi dalam menerapkan agama terlalu kaku, kehilangan kelembutan manusia. Sedangkan orang Nasrani terlalu longgar sehingga “habis”.

Ini penting sekali untuk dihayati karena perspektif ini telah hilang dari umat Islam. Ciri-ciri kaum beriman itu, dalam Al-Quran surat Al-Syûrâ (Q., 42) 39-43, ialah: “Walladzîna idzâ ashâbahum al-bagyu hum yantashirûn (Mereka yang apabila diperlakukan secara tidak adil, melawan). Itulah ciri orang beriman. Jadi tidak diam begitu saja; “Wa jadzâ’u sayyi’atin sayyi’atun mitsluhâ (Setiap kejahatan harus dibalas secara setimpal). Tidak ada ajaran jika pipi kiri ditampar, kasihkanlah pipi kanan. Namun kalau kita berhenti di situ, maka berarti kita sama dengan orang Yahudi.

Orang Yahudi itu sebaliknya, “al-anfu bi al-anfi wa al-`aynu bi al-`ayni wa al-udzunu bi al-udzuni (hidung dengan hidung, mata dengan mata, telinga denga telinga [Q., 5: 45] ). Karena itu masih ada lanjutan ayat, “fa man `afâ wa ‘ashlaha fa `ajruhu `alallâh (Tapi barangsiapa bisa memberi maaf dan berdamai, Allah yang menanggung pahalanya). Jadi seolah-olah begini: “kalau kamu diperlakukan secara zalim, balas, tapi sebetulnya lebih baik kalau kamu bisa memaafkan, sebab kalau kamu membalas itu sering berlebihan, padahal dalam ayat itu dinyatakan, “innahû lâ yuhibbu al-zhâlimîn (Dan Allah tidak suka pada orang yang berlebihan). Sebagai contoh, kasus kerusuhan di Kupang; ada mushalla satu pecah jendelanya, namun balasannya tiga belas gereja hancur.

Jadi ada konsesi kepada kenasranian di sini, yaitu kasih. Tapi untuk menggambarkan sulitnya menjadi orang Islam, masih ada kelanjutannya. “wa laman intashara ba`da zulmihî fa ‘ulâ’ika mâ `alayhim min sabîl. Inna mâ al-sabîlu `alâ al-ladzîna yazhlimûna al-nâsa wa yabghûna fî al-‘ardl bi ghayri al-haqq (Tapi barang siapa melawan karena diperlakukan tidak adil mereka tidak boleh disalahkan; yang harus disalahkan ialah mereka yang berbuat zalim kepada sesama manusia dan bikin kerusakan di bumi tanpa alasan yang benar); “‘ulâ’ika lahum `adzâbun ‘alîmun (Mereka akan mendapat siksa yang pedih sekali di akhirat). Itu merupakan dukungan kepada orang yang membela diri, bahkan membalas.

Tapi lagi-lagi tidak berhenti di situ. Seterusnya ialah kembali lagi kepada Nasrani “wa la man shabara wa ghafara innâ dzâlika la min `azmi al-‘umûr (Tapi barang siapa sabar dan sanggup memberi maaf, itulah kualitas yang lebih tinggi). Karena itu, sulit menjadi orang Islam. Sebab suatu saat kita harus tegas menegakkan hukum, namun di saat lain kita harus berani memaafkan. Itu masalahnya. Kalau hanya menghukum saja maka cukup menjadi orang Yahudi; namun kalau hanya memaafkan saja maka cukup menjadi orang Nasrani.

Pertanyaan kita adalah apakah sekarang umat Islam lebih mirip orang Yahudi atau orang Nasrani? Ada yang mengatakan seperti Yahudi sebab hukumnya begitu. Kalau berani menjawab begitu berarti kita harus menerima jika dimurkai oleh Tuhan, sebab terlalu banyak hukum, halal-haram, surga-neraka, dan sebagainya. Isu kembali kepada Al-Quran dan Hadis sampai sekarang masih sebatas pada hukum semata, belum ada masalah-masalah lainnya. Kalau sudah hukum, pasti kecenderungannya hitam-putih, dan dengan sendirinya tidak ada nuansa. Ini memang persoalan yang sangat besar. Seperti jargon mengatakan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, tidak ada jalan keluar. Namun ketika mengatakan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah pun, harus mengetahui betul apa artinya, jangan berhenti pada fiqih.


21.2.12

Antara Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia

Kita tentu mafhum kalau bahasa Arab dan bahasa Indonesia adalah dua bahasa yang sangat berbeda. Hal yang paling mendasar adalah perbedaan ras bangsa dan rumpun kedua bahasa ini. Bahasa Arab berasal dari rumpun bahasa Semith (Assamiyah), sedangkan bahasa Indonesia dari rumpun bahasa Austronesia. Meski demikian, tidak sedikit kosa kata bahasa Indonesia yangg terambil dari bahasa Arab.

Bagaimana itu terjadi? Selain karena faktor persinggungan antara orang-orang Indonesia dan Arab, faktor intrinsik bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bersifat terbuka terhadap kosa kata asing adalah sebab mendasar bahasa Indonesia menerima unsur bahasa lain yang diperlukan, termasuk bahasa Arab. Ada beberapa unsur serapan bahasa Indonesia dari bahasa-bahasa lainya. Selain unsur leksikal, unsur fonem, morfon, dan gramatikal Arab, juga ditengarai turut mempengaruhi serapan dalam bahasa Indonesia.

Jika ditelaah, dalam Kamus Besar bahasa Indonesia cukup banyak kosa kata yang diserap dari bahasa Arab. Kosa kata itu adalah yang dapat diidentifikasikan sebagai kosa kata yang berasal dari bahasa Arab, bahkan terdapat pula kosa kata yang tidak terlihat lagi ciri kearabannya. Hal ini disebabkan oleh keakraban pemakainya dengan kosa kata itu disamping karena kosa kata itu sudah menyatu dengan lidah pemakai bahasa Indonesia.Misalnya banyak orang menduga kata walau, rela, saham dan mungkin bukan berasal dari bahasa Arab.

Dalam kaitan itulah, saya akan mengemukakan unsur-unsur serapan bahasa Arab dan proses penyerapannya dalam bahasa Indonesia, dengan membandingkannya dengan bahasa sumber yaitu bahasa Arab, sehingga kita dapat melihat perubahan-perubahan yang terjadi setelah bahasa Arab itu diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Pengertian Unsur Serapan

Dalarn Kamus Urnurn bahasa Indonesia, unsur serapan di defenisikan sebagai berikut:

Unsur adalah bahan asal, zat asal, bagian yang terpenting dalarn suatu hal, sedangkan serapan adalah pemasukan kedalam, penyerapan masuk ke dalam lubang-Iubang kecil (Poerwadarminta, 1985 : 130 dan 425).

Menurut Samsuri (1987 : 50) serapan adalah “pungutan”, sedangkan Kridalaksana (1985 : 8) memahami kata serapan adalah “pinjaman” yaitu bunyi, fonem, unsur gramatikal atau unsur leksikal yang diambil dari bahasa lain.

Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa unsur serapan adalah : unsur dari suatu bahasa ( asal bahasa ) yang masuk dan menjadi bagian dalarn bahasa lain ( bahasa penerima ) yang kemudian oleh penuturnya dipakai sebagaimana Iayaknya bahasa sendiri.

Bahasa Sumber

Sekalipun jumlah bahasa di dunia banyak, pengambilan kosa kata tidak selalu berlangsung dari banyak arah. Artinya, banyak bahasa yang hanya sedikit saja memberi, atau bahkan sama sekali tidak

Tahun ke 2, Nomor 2 ,Nopember 2004 66

Zuhriah نادي الأدب

memberi, tetapi banyak sekali mengambil kata. Sebaliknya, banyak bahasa yang sedikii saja mengambil, tetapi banyak memberi. Bahasa yang memberi kepada bahasa lain atau bahasa yang kosa katanya diambil oleh bahasa lain disebut bahasa sumber pengambilan, disingkat bahasa sumber (Sudarno, 1990: 15)

Proses penyerapan bahasa lain termasuk bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan cara pengintegrasiannya, dapat dibagi menjadi dua bagian :

Melalui pemakaian bahasa sehari-hari

Cara pengintegrasian seperti ini disebabkan adanya hubungan atau kontak langsung antara penuturtur asli ( penutur sumber ) dengan penutur bahasa Indonesia da!arn pergaulan hidup sehari-hari.

Melalui pengajaran dan tulisan

MeIalui pengajaran yang dilakukan lewat penyebaran agama Islam di Indonesia disamping pengajaran bahasa Arab itu sendiri baik dibangku sekolah maupun di luar sekolah. Melalui tulisan berupa buku-buku ilrnu pengetahuan, seni, kebudayaan dan sarana tertulis lainnya, seperti surat kabar dan majalah.

Jika kita menelaah penyerapan kosa kata Arab ke dalam bahasa Indonesia akan terlihat bahwa kosa kata Arab yang memperkaya kosa kata Indonesia itu tidak semuanya diterima secara utuh, tetapi ada juga yang diserap melalui penyesuaian huruf dan lafal atau pengucapannya.

Hal ini terjadi karena kedua bahasa itu mempunyai perbedaan sistem bunyi dan lambang bunyi. Perbedaan bunyi antara kedua bahasa itu disebabkan oleh adanya bunyi bahasa dalam bahasa Arab yang tidak dimiliki oleh bahasa lndonesia. Demikian pula lambang bunyi antara kedua bahasa tersebut tidak sarna. Bahasa Arab mempunyai lambang bunvi yang disebut huruf hijaiah, sedangkan bahasa Indonesia menggunkan lambang bunyi yang disebut abjad.

Karena perbedaan-perbedaan tersebut di atas, maka pada tahun l987, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang berisi tentang Pedornan Transliterasi Arab — Latin.

Pola Penyerapan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia

Pada garis besarnya ada tiga macam pola penyerapan kosa kata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia yaitu:

Tahun ke 2, Nomor 2 ,Nopember 2004 67

Zuhriah نادي الأدب

Pola penyerapan penuh

Penyerapan penuh adalah penyerapan fonem secara utuh tanpa ada perubahan karena fonem bahasa Arab setelah ditransIiterasi mempunyai kesamaan dengan fonem bahasa Indonesia.

Contoh : kata “bab”, ”muslim”, “masjid” setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia tidak mengalami perubahan, tetap menjadi kata bab, muslim dan masjid (mesjid).

Pola penyerapan sebagian

Penyerapan sebagian adalah sebagian fonem yang terdapat dalarn sebuah kata disesuaikan ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu dilakukan karena dalam bahasa Indonesia fonem itu tidak ada. Penyesuaian ini bisa berupa penghilangan fonem atau pergantian fonem.

Contoh :

“Qira”ah” setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kiraat”. Transliterasi fonem hamzah ( ‘ ) dihilangkan, sedangkan “mu’tamar” setelah diserap menjadi “muktamar”. Transliterasi fonem harnzah ( ‘ ) diganti dengan /k/.

Pola penyesuaian lafal

Penyesuaian lafal yang dimaksud terdapat dalam kata-kata Arab yang mengandung vokal panjang, serta gugusan konsonan yang tcrdapat diakhir kata. Penyesuaian ini bisa berupa penambahan fonern, penghilangan fonern, pergantian fonem, bahkan penghilangan suku kata.

Contoh :

“Sabr” setelah diserap menjadi “sabar” ( penambahan vokal /a/ )

“Jild” seteIah diserap menjadi “Jilid” ( penambahan vokal /i/ )

“Hukm” setelah diserap menjadi ”hukum” ( penambahan voka /u/ )

“Nafakah” setelah diserap menjadi “nafkah” ( penghilangan vokal /a/ )

“Kafir” setelah diserap menjadi “kafir” ( penghilangan vokal panjang /a/ )

“Dalil” seteIah diserap menjadi “dalil” ( penghilangan vokal panjang /i/ )

“Masyhur” setelah diserap menjadi “masyhur” ( penghilangan vokal panjang /u/ )

“Hayran” setelah diserap menjadi “heran” ( pergantian fonem /ay/ menjadi /e/ )

Tahun ke 2, Nomor 2 ,Nopember 2004 68

Zuhriah نادي الأدب

“Sadaqah” setelah diserap rnenjadi “sedekah” ( pergantian voka /a/ menjadi /e/ )

“Tarikat” setelah diserap menjadi “tarekat” ( pergantian vokal /i/ menjadi /e/ ) “Ruh” setelah diserap menjadi “roh” ( pergantian vokal /u/ menjadi /o/ )

“Istirahat” setelah diserap menjadi “rehat” ( penghilangan suku kata )

“Isnayn” setelah diserap rnenjadi “senin” (penghilangan suku kata)

Penyimpangan Penyerapan

Dalam proses penyerapan dari suatu bahasa sumber ke dalam bahasa lain, termasuk penyerapan dari bahasa Arab ke dalarn bahasa Indonesia, sering kita menemukan adanya penyimpanga-penyimpangan baik dari segi pola penyerapan maupun dari segi makna. Hal ini rnenjadi sesuatu yang terabaikan dan kurang dipertimbangkan oleh ahli-alili bahasa dalam menyerap kosa kata-kosa kata dari bahasa sumber.

Penyimpangan-penyimpangan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Penyimpangan Pola Penyerapan

- Fonem /kh/, sesuai dengan pola penyerapannya tetap menjadi /kh/. Namun pada kenyataannya dalam beberapa kata, fonem /kh/ berubah menjadi fonem /k/.

Contoh : “khabr” rnenjadi “kabar” semestinya “khabar”

“naskhah” menjadi “naskah” semestinya “naskah”

- Fonem /d/ sesuai dengan pola penyerapannya tetap menjdi /d/, namun dalarn kenyataanya ditemukan ada fonem /d/ berubah menjadi /l/.

Contoh : “rida” menjadi “rela” semestinya “rida”

“fard” menjadi “perlu” semestinya “fardu”

- Fonem /z/ sesuai dengan pola penyerapannya tetap menjadi /z/, namun pada kenyataannya dalam beberapa kata ditemukan fonem /z/ berubah menjadi /s/ ).

Contoh : “rnajàz” menjadi “majas” semestinya “majaz”

“markaz” menjadi “markas” semestinya “markaz”

Dan masih banyak lagi contoh penyimpangan dari segi pola penyerapan yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini karena keterbatasan waktu.

Tahun ke 2, Nomor 2 ,Nopember 2004 69

Zuhriah نادي الأدب

Penyimpangan Makna

Makna kata adalah sesuatu yang sangat urgen dalarn suatu bahasa sehingga salah satu cabang dari ilmu bahasa yaitu semantik, membahas khusus rnasalah ini. Narnun dalam proses penyerapan suatu bahasa ke bahasa yang lain, hal ini seringkali terabaikan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh tentang fenomena tersebut :

- “Kalimah” dalam bahasa Arab berarti kata, dan setelah kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia makna itu berubah menjadi “kalimat” yaitu susunan dari beberapa kosa kata.

- “Kulliah” dalam bahasa Arab berarti Fakultas, setelah kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia, makna “kuIiah” berubah menjadi “pelajaran”.

- “Ulama” daiarn bahasa Arab mempumyai makna jamak yaitu banyak orang berilmu, namun setelah kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia, makna itu berubah menjadi tunggal yaitu seorang yang berilmu.

Penutup

Bahasa Arab dan bahasa Indonesia mempunyai perbedaan sistem aksara, struktur fonologis dan morfologis, sehingga penyerapan kosa kata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia mengalami beberapa proses yaitu pengintegrasian yaitu melalui pemakaian sehari-hari, pengajaran dan tulisan, Selain itu, penyerapan kosaa kata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia harus berdasarkan pola-pola yang ada, yaitu proses penyesuain fonem, proses penyesuaian lafal dan terdapat pula proses penyerapan penuh jika fonem yang ada diantara kedua bahasa tersebut setelah ditransliterasi adalah sama. Meskipun pola-pola penyerapan te!ah ada, ternyata penyimpangan-penyimpangan tetap saja ada baik dari segi pola itu sendiri maupun dari segi makna.

Untuk itu diharapkan pada masa yang akan datang, para ahli bahasa tetap memperhatikan makna dari kosa kata bahasa sumber sebelum mengadakan atau melakukan proses penyerapan agar bisa terhindar dari penyimpangan-penyimpangan. Untuk para peneliti diharapkan mengkhususkan penelitiannya tentang serapan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia pada aspek maknanya.

Tahun ke 2, Nomor 2 ,Nopember 2004 70

Zuhriah نادي الأدب

DAFTAR PUSTAKA

Akkase Teng, Bahar. 1995. “Alih Aksara Bahasa Arab ke Bahasa lndonesia.” Makalah Bulan Bahasa. Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Aswad. 1988. “‘Bentuk Serapan Bahasa Arab dalarn Bahasa Indonesia.” Ujung Pandang: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Burhanuddin, Erwina, dkk. 1993. Penelitian Kosa Kata Bahasa Arab dalarn Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kridalaksana, Harimurti. 1985. Kamus Linguistik. Jakarta Gramedia Pustaka Utama.

Madjid, Nasruddin. 1984. “Unsur Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia.” Ujung Pandang. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Samsuri. 1987. Analisa Bahasa. Jakarta: Airlangga

Soedjito. 1988. Kosa Kata Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia

Sudarno. 1990. Kata Serapan dari Bahasa Arab. Jakarta : Afrika Media Utama.

Suhaib, Muhammad Sujuthi. 1993. “Peran Bahasa Arab dalam Kebudayaan Nasional.” MakaIah dalam Seminar Sehari Himpunan Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

________________. 1995. Glosarium Kosa Kata Bahasa Arab yang Diserap dari Bahasa Arab. Ujung Pandang: IKIP

Taha, Zainuddin. 1985. “Suatu Wacana Dua Bahasa Factor-faktor Sosiolinguistik Alih Kode Bahasa Bugis - Bahasa Indonesia.” Disertasi FakuItas Sastra Universitas Hasanuddin.