Hampir dapat dipastikan bahwa sampai saat ini tidak ada satu pun budaya non-Barat yang pernah mencoba menguasai Barat selain Islam. Kenyataan itu telah menimbulkan kerisauan—atau bahkan ketakutan—yang laten pada orang-orang Barat, sehingga dalam peta pergaulan global, kontras antara Barat dan Islam selalu muncul secara niscaya.
Mula-mula penulis merasa terganggu dan risih dengan pengistilahan di atas: “Islam versus Barat”. Hal itu, minimal disebabkan dua faktor mendasar: tidak relefannya perbandingan, dan implikasi dari perbandingan yang nampak “dipaksakan” itu. Faktor pertama, bagaimana mungkin Islam sebagai nama sebuah agama dan merupakan ajaran yang notabeni religius dibenturkan dengan Barat yang mewakili nama sebuah kawasan yang bercorak sekuler, hasil rancangan manusia. Pada titik ini, penulis bukan lantas menolak sekulerisasi. Hal ini pastinya harus dipandang dua hal yang berbeda.
Pengstilah di atas sama dengan “pembenturan” untuk membandingkan antara Tuhan (bagi komunitas muslim) dan makhluknya. Bagi kaum beriman, adalah syirik menyekutukan Tuhan dengan makhluk, apalagi membandingkan keduanya. Kenapa tidak memakai istilah “Timur” untuk mengganti “Islam”, atau memakai istilah “Nasrani”, “Yahudi” sebagai pengganti istilah “Barat” ? Tidakkah lebih relevan mengistilahkan “Islam vs Nasrani”, atau “Timur vs Barat”.
Implikasi dari perbandingan tersebut, masyarakat sepertinya disodori dua alternatif untuk memilih, lantas mencampakkan satu dari keduanya. Jika condong ke “Islam”, berarti menolak “Barat”. Atau sebaliknya: setuju dengan “Barat”, maka dimaknai anti Islam. Bukankah ini pemilihan yang bersifat memojokkan? Konsekuensinya, kalangan muslim yang setuju –untuk tidak menyebutnya mendukung– Barat harus memilah diferensiasi antara nilai-nilai Barat yang lokal dan universal. Westernisasi adalah contoh nilai-nilai lokal Barat; sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi –harus diakui bersama– adalah nilai-nilai universal Barat. Dengan kenyataan ini, penulis mempertanyakan indikasi pengistilahan di atas, kecuali jika Barat memang melihat bahwa kebudayaannya sudahh diamini oleh seluruh umat manusia kecuali Islam.
Hampir dapat dipastikan bahwa sampai saat ini tidak ada satu pun budaya non-Barat yang pernah mencoba menguasai Barat selain Islam. Kenyataan itu telah menimbulkan kerisauan—atau bahkan ketakutan—yang laten pada orang-orang Barat, sehingga dalam peta pergaulan global, kontras antara Barat dan Islam selalu muncul secara niscaya. Dulu, dengan adanya faktor komunisme sekitar tahun 70-an, orang Islam sedikit “terhibur” karena perhatian orang-orang Barat ketika itu tertuju ke sana (komunisme). Tetapi setelah komunisme ambruk di mana-mana, kekhawatiran munculnya kontras Islam dan Barat menguat lagi.
Adalah benar bahwa setiap bangsa yang mengalami kebesaran, atau merasa besar, seperti bangsa Barat sekarang ini, selalu mengidap semacam superiority complex. Sekali lagi, itu sebenarnya gejala umum belaka. Dalam idiom Cina, gejala semacam itu muncul dalam apa yang disebut “Daerah Tengah” (yaitu mereka sendiri) dan “Daerah Pinggiran” (yaitu orang lain). Dalam bahasa Islam disebut "Dâr al-Islâm" dan “Dâr al-Harb". Dalam bahasa Barat modern sekarang ini disebut “The West againts the rest” (Barat lawan semuanya).
Lawan Barat yang agak tersamar ialah yang langsung berkaitan dengan Islam. Orang-orang Barat selalu saja ambivalen terhadap Islam. Dalam hal ini, Turki adalah negeri yang memiliki kedudukan yang paling sulit; mereka pernah disambut oleh Barat sebagai bangsa Islam yang mau menjadi modern, dan dimanfaatkan sebagai "bumper" terhadap Rusia, tetapi tidak pernah diakui sepenuhnya sebagai anggota masyarakat Barat. Keinginan Turki untuk menjadi anggota dari masyarakat Barat atau masyarakat ekonomi Eropa juga masih mengalami kesulitan, jauh lebih mudah bekas negara-negara Balkan, misalnya.