13.10.08


NAFSU PROGRESIF VS KATROK “TERBUI” RUU APP
Oleh: Zulfan Syahansyah



Belakangan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI), memang telah melemparkan wacana pengharaman merokok, tapi contoh tulisan tentang merokok berikut ini, sama-sekali tak terpaut dengan rencana fatwa tersebut.
Dulu, saat penulis masih tinggal di sebuah pesantren yang melarang seluruh santrinya untuk merokok, akan merasakan sebuah kenikmatan saat bisa dengan sembunyi-sembunyi merokok. Jauh lebih nikmat dibanding ketika keluar pondok; sedang liburan atau sekedar jalan-jalan ke luar pesantren. Saat ini, ketika uang sudah bisa cari sendiri, mau apa saja yang penting tidak merugikan orang lain, termasuk merokok, tak ada peraturan pondok yang melarang, dengan santai bisa dilakukan. Pertanyaannya: dapatkah kita nikmati rokok seperti saat ”curi-curi” dari pantauan pengurus pondok dulu?! Seperti saya, Anda pasti akan menjawab: ”Tidak”.
Dari catatan sebuah milis, akan penulis ketengahkan pengalaman seorang teman milis saat tinggal di Malbourne Australia, sebagai contoh nyata. Teman penulis menegaskan, meski busana keseharian di sana relatif ”porno” menurut bahasa MUI, tapi ia tak menemukan kasus seksual seperti yang ”marak” terjadi di Indonesia. Intinya, meskipun aurat wanita dengan mudahnya bisa disaksiakan, namun birahi kaum pria lumayan ”terkontrol”. (Sengaja, saya kutipkan kata ’terkontrol’, sebagaimana teman dimaksud mengutip kata ’porno’. Ya..adalah makna konotasi yang menjadi simbol penulisan kata-kata tersebut. Tentunya bagi si penulis)
Untuk contoh kedua ini, mari kita sederhanakan dengan pengandaian dua lokasi pantai yang sangat bertolak belakang adat-istiadatnya, dan keduanya berada di wilayah Indonesia. Jadi, tak perlulah mengambil lokasi yang jauh; pantai Kuta dan Ompen. Pantai pertama berlokasi di Bali, sedangkan lainnya berada di Madura (Sampang?). Di Kuta, bukanlah hal yang aneh saat kita mengitari tepian pantai dan menyaksikan, maaf, payu dara; ada yang montok, kerok, putih, celleng (maaf, sengaja saya transparan. Bukan berarti saya menafikan etika. Tapi, memang masalah ini sudah bukan hal etika lagi bagi mereka yang berada di Kuta. Lain halnya saat saya sudah berbicara tentang kondisi pantai Ompen) sedang ”berjajal” di sepanjang pantai, sepanjang hari. Anehnya, mereka yang memamerkan badan semlohai tidak merasa risih.
Dalam kasus ini, akan tampak jelas perbedaan antara cowok Bali dan luar Bali. Biasanya, cowok Bali sudah terbiasa ”menghadapi” godaan nafsu tersebut. Mereka sudah ”bernafsu progresif”, menurut bahasa kaum Liberal. Lain halnya dengan cowok pendatang yang baru menyaksikan kebebasan ”surga” dunia. Mata jelalatan, caper, dan biasanya, agar lirikan tak ketahuan, mereka menggunakan kaca mata hitam. Sebenarnya, ada lokasi yang lebih fulgar dibanding lokasi pantai Kuta. Yang penasaran, kontak saya.
Nah, itu suasana di pantai Kuta. Kalau di pantai Ompen, jangan pernah bermimpi akan mendapatkan pemandangan ”surga” bebas sebagaimana di Kuta. Mungkin ada juga yang ketahuan sedang cipoan, tapi itukan cuma oknum, dan akan menjadi kasus jika kepergok pengawas. Di Kuta, hal seperti itu bukan kasus. Sekali lagi, itu hal wajar-wajar saja. KENAPA ITU BISA TERJADI? Ini dia yang saya coba paparkan di sini.
Dari dua contoh di atas: merokok dan kebebasan sex, betapa peranan UU sangat dominan. Artinya, UU lah kemudian yang menjadikan komunitas di dalamnya merasa terbuih, ”tersiksa” dan bahkan seperti orang katrok. Di dalam pondok, dengan adanya aturan pelarangan merokok, para pecandu rokok merasakan pondok tak ubahnya buih yang mengekang ”kebebasan”. Tapi, saat liburan menjelang, bagaikan ”kuda-kuda liar” mereka pada mblesutan.
Tentang ”toleransi” sex di lokasi patai Kuta atau di Malbourn seperti gambaran teman penulis, atau di daerah-daerah yang konon menjunjung tinggi HAM, jarang dijumpai kasus-kasus pelecehan seksual. Tidak seperti di daerah yang telah menerapkan UU yang ketat. Logikanya mudah saja, di Ompen (mudah-mudahan sampai sekarang), adalah hal yang sangat naif jika ada sepasang kekasih bukan muhrim sedang berduaan di tempat sepi. Apalagi sampai ketahuan berbuat mesum. Ini akan menjadi kasus besar. Karena, memang UU (setidaknya UU adat) yang mengecam hal tersebut. Lain halnya di Bali, seperti paparan di atas, kejadian itu bukan kasus. Jadi, ya... jelas saja tidak ada kasus pornografi yang terjadi di daerah liberal-pornografi. Begitu juga kejadiannya di Malbourn. Bebasnya pergaulan antara pria dan wanita merupakan hal wajar. Jadi wajar jugalah kalau cuman hamil sebelum menikah. Bukan kasus yang perlu diributkan.
Menyadari relita di atas, kunci semua itu adalah UNDANG-UNDANG. Selanjutnya, terserah Anda semua, masihkah kita menginginkan sebuah ”kebebasan”, termasuk dalam pornografi? Agar tidak katrok? Atau kita mau menyerahkan diri di”buih” RUU APP untuk menyelamatkan diri kita yang masih labil, juga generasi mendatang. Terserah Anda......