7.1.11

~ METODE ALAMIAH BELAJAR AGAMA ~

Oleh: Agus Mustofa

Metode yang paling manjur dalam sebuah pembelajaran sebenarnya sangatlah sederhana: ‘tirulah cara belajar anak kecil’. Tentu saja yang alamiah. Jangan yang sudah direkayasa oleh para orang dewasa yang ada di sekitarnya. Apalagi yang sudah dimanipulasi untuk kepentingan tertentu, sehingga menjurus kepada doktrin, yang menyebabkan anak-anak tidak tumbuh berkembang secara sehat dalam pemikirannya. Menurut Anda anak-anak itu belajar secara paedagogi ataukah Andragogi?

Cobalah lihat bagaimana proses belajar anak-anak untuk menjadi pintar.

  1. Keingintahuannya sangat besar. Kecuali punya kelainan bawaan. Segala macam dia eksplore untuk memenuhi rasa keingintahuannya. Dimulai dari dirinya, dia sering memainkan-mainkan anggota badannya. Misalnya menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Mengulum-ngulum jari-jarinya. Memegang apa saja yang bisa dipegang dan seterusnya. Dia sedang mencoba mengenal, mempersepsi, merasakan sensasi, dan kemudian menyimpannya di dalam memori. Suatu saat, itu berguna untuk memutuskan sesuatu terkait kejadian yang sedang dia hadapi.
  2. Dia tidak mengenal rasa takut dan malu, karena dia belum punya persepsi terhadap sebuah sistem nilai. Kecuali sudah ditakut-takuti terlebih dahulu atau ditanamkan sikap terhadap suatu nilai moral tertentu. Yang ada di benaknya adalah keingintahuan, dan ia ingin melampiaskan sepuas-puasnya. Nah, pengalaman yang menakutkan, memalukan, menyedihkan, membahagiakan, membuat tertawa dan menangis, dan sebagainya itulah yang akan menjadi sistem nilai baginya setelah beranjak dewasa. Jika pengalaman masa kecilnya kurang lengkap terhadap sistem nilai ini maka biasanya saat dewasa ‘bermasalah’.
  3. Tidak mengenal kata ‘sulit’. Karena memang dia tidak tahu. Yang ada hanyalah, ingin memperoleh sesuatu. Jika dia tidak bisa memperoleh, dia akan berusaha terus untuk memperolehnya. Sekarang gagal, ya nanti. Nanti gagal, ya besok. Besok gagal, ya lusa. Dan seterusnya. Orang-orang di sekitarnyalah yang menyugesti dia untuk menganggapnya sulit. Padahal, sebenarnya bagi dia ‘mudah’ dan ‘sulit’ itu sama saja.
  4. Melihat dan meniru apa yang ada di sekitarnya. Sejak kecil anak-anak tidak tahu apa-apa. Dia menjadi tahu segala sesuatu karena melihat dan meniru yang ada di sekitarnya. Mulai dari cara tertawa, cara menangis, cara makam, cara mandi, tidur, bekerja, berpakaian, bergaul, berbahasa, sampai beragama. Karena itu, kita bisa mengenal asal usul suatu suku bangsa dari cara dia menyikapi dan melakukan sesuatu. Suku Jawa, suku Madura, Batak, Sunda, atau Cina, Arab, Eropa, Amerika, dan seterusnya, mereka memiliki kekhasan yang sama karena belajar dari lingkungan yang sama sejak kecil. Bagi orang Indonesia, bahasa Inggris dan Arab adalah sulit misalnya, tetapi bagi anak-anak yang terlahir di Inggris dan Arab tidak ada kata sulit. Demikian pula sebaliknya.

Maka, kalau kita meniru proses pembelajaran pada seorang anak, kita akan memperoleh analoginya untuk proses pembelajaran dan pendidikan agama bagi umat Islam. Bahwa cara belajar yang paling efektif itu adalah:

1. Dimulai dari keingintahuan yang besar. Kalau sang pembelajar sendiri sudah tidak ingin tahu tentang hal tersebut, maka proses pembelajaran dengan metode apa pun tidak akan efektif. Untuk menjadi efektif, kita harus membangkitkan dulu rasa keingintahuan mereka. Ini bagi saya syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pembelajar. Bagaimana caranya membangkitkan keingin tahuan itu? Tentu saja sangat beragam tergantung situasi dan kondisi yang menyertainya. Tetapi yang paling efektif, menurut saya, adalah harus melibatkan kepentingan sang pembelajar sendiri. Kalau dia saja sudah menganggap tidak berkepentingan dengan topik yang sedang dibicarakan, tentu saja dia tidak akan tertarik. Dan kalau sudah tidak tertarik, tentu tidak efektif.

Karena itu, untuk bisa mengenal Allah misalnya, kita harus mengenal diri sendiri. Supaya apa? Supaya kita tahu bahwa diri kita memiliki berbagai keterbatasan. Kalau sudah tahu dirinya serba terbatas, maka ia akan merasa membutuhkan ’sesuatu’ di luar dirinya yang bisa membuat dia memperoleh kepentingannya. Awalnya mungkin dia meminta tolong kepada sesama. Tetapi setelah dia tahu bahwa sesamanya juga memiliki serba keterbatasan, dia akan mencari yang lebih tinggi lagi. ’Sesuatu’ yang memiliki kriteria ’serba hebat’ dalam segala hal. Sehingga ketika dia memperoleh masalah dia bisa curhat dan minta tolong kepada-Nya. Menjadi tempat bergantung dan berlindung. Dari sinilah kemudian proses bertuhan itu bergulir secara alamiah. Tentu saja, melewati tingkatan-tingkatan yang akan menggiringnya sampai ke pertemuan dengan Sang Penguasa alam semesta secara hakiki.

2. Jangan merasa takut dan malu dalam beragama. Perasaan takut dan malu ini seringkali dimunculkan oleh pihak-pihak diluar diri kita. Misalnya oleh guru atau orang tua yang doktrinal. Misalnya, ditanamkan kepadanya, kalau dia belajar sendiri pasti akan gagal. Akan tersesat. Ditemani setan, dan sebagainya. Kenapa tidak dikatakan sebaliknya saja. Kalau dia rajin belajar sendiri dia akan sukses, punya wawasan yang luas yang mengantarkannya pada kesuksesan, dan ditemani oleh Allah Sang Maha Berilmu. Yang demikian tentu sangat positip buat sang pembelajar.

Kalau belum apa-apa sudah takut dan malu, maka proses pembelajarannya akan terhenti. Allah pun di dalam al Qur’an selalu memotivasi kita untuk bangkit dengan semangat yang kuat. Misalnya, dikatakan-Nya bahwa Dia tidak membebankan apa-apa yang lebih dari kekuatan kita. Dia juga mengajarkan, bahwa Dia mengampuni dosa-dosa yang dilakukan karena ketidaksengajaan. Dan sebagainya.

QS. Al Baqarah (2): 286

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari) yang dikerjakannya...

QS. Al Baqarah (2): 225

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

Maka bebaskanlah perasaan dan pikiran kita dalam proses belajar. Mirip anak kecil yang pingin tahu segala. Yang penting niatnya diluruskan dulu. Karena, kata Nabi, hasil usaha kita itu akan berbanding lurus dengan niat yang kita tanamkan sejak awal. Kalau niatnya sudah buruk, hasilnya pasti buruk. Tetapi, kalau niatnya ingin menjadi lebih baik, Insya Allah hasilnya akan lebih baik ke masa depan. Yakinlah, jangan ragu sedikitpun.

QS. Faathir (35): 43

...Rencana jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri...

Sebagian besar kegagalan sebenarnya disebabkan oleh faktor internal daripada eksternal. Ada yang disebabkan oleh keragu-raguan dan ketidakyakinan. Ada yang disebabkan oleh kurang kerasnya usaha. Ada yang disebabkan oleh ketidak konsistenan dalam mencapainya.

Perbedaan antara orang sukses dan tidak sukses itu sebenarnya hanya satu saja. Yakni, orang yang tidak sukses: ketika gagal dia tidak bisa bangkit lagi. Sedangkan orang yang sukses: ketika gagal, dia bangkit lagi. Gagal, bangkit lagi. Gagal bangkit lagi, dan seterusnya. Sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Jika pun dia tidak memperoleh persis seperti apa yang dia harapkan, dia tetap berpuas diri menerima apa yang telah dicapai dengan usaha kerasnya itu. Dan, dia bisa mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut untuk upaya berikutnya. Pada hakekatnya, dia tetap sukses memperoleh manfaat dari seluruh upaya yang telah dia lakukan.

3. Perasaan ’sulit’ akan sesuatu sebenarnya ditanamkan dari luar diri kita. Misalnya, ada yang mengatakan: memahami al Qur’an itu sulit lho..! Syaratnya banyak, ada belasan. Harus ini dulu, harus itu dulu, dan seterusnya, barulah boleh mempelajari al Qur’an. Ada pula yang mengatakan shalat khusyuk itu juga sulit lho..! Harus begini, harus begitu, dan seterusnya baru bisa khusyuk. Dengan cara begini, sang pembelajar sudah memperoleh ’beban’ dulu. Dan akhirnya, benar-benar menemui kesulitan. Padahal itu adalah sugesti yang telanjur tertanam di alam bawah sadarnya.

Kenapa tidak dikatakan saja bahwa belajar agama ini mudah. Persis seperti yang diajarkan Allah. Bahwa al Qur’an ini mudah untuk dipelajari, maka pelajarilah. Bahwa beragama ini mudah, dan Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-hamba-Nya, bukan hendak menyulitkannya. Dan seterusnya.

QS. Al Qamar (54): 17

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?

QS. Al Baqarah (2): 185

... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...

Sehingga Allah memotivasi kita dengan firmannya, bahwa bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Dalam istilah lain, sebenarnyalah ’kesulitan’ itu diciptakan satu paket dengan ’kemudahan’. ’Masalah’ diciptakan satu paket dengan ’solusi’. Penyakit diciptakan satu paket dengan obatnya. Dan seterusnya. Tinggal bagaimana kita bisa menemukan pasangan paket tersebut. Agama adalah sesuatu yang mudah dan menyenangkan, serta memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan.

QS. Alam Nasyrah (94): 5-6

Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.

4. Proses pembelajaran tidak terlepas dari melihat contoh dan menirunya. Itulah teknik yang sangat efektif. Belajar bahasa misalnya, lihat dan amati saja orang-orang yang menggunakan bahasa itu dalam kesehariannya, dan kemudian tirulah. Maka Anda akan bisa berbicara seperti pengguna aslinya. Demikian pula belajar ilmu-ilmu lainnya. Amati, pahami, tirukan, biasakan, dan Anda pun menjadi BISA. Tentu saja ada yang sekedar bisa, tapi ada juga yang ahli, bergantung pada banyak hal yang menyertai proses pembelajarannya.

Proses beragama juga demikian. Mendidik anak, keluarga, dan umat harus dengan keteladanan. Tidak bisa hanya dengan omongan. Yang demikian dikritik keras oleh Allah di dalam al Qur’an. ’Jangan hanya ngomong, sesuatu yang tidak kita kerjakan’. Karena yang demikian ini tidak memberikan pendidikan secara efektif. Dan sebaliknya mendidik umat menjadi orang-orang yang munafik.

QS. Ash Shaff (61): 3

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.

Maka, tanamkanlah proses beragama itu lewat keteladanan. Cara shalat kita akan ditiru anak-anak kita. Cara berpuasa kita juga ditiru mereka. Cara berdoa, cara bersedekah, cara bersikap terhadap orang lain, cara bebicara, cara berpikir, cara menganalisa masalah, cara memutuskan persoalan, cara membuat perencanaan kemasa depan, sampai pada cara kita ’besikap’ tehadap Tuhan dengan segala dinamika ujian yang diberikan kepada kita, atau pun mensyukurinya. Kuncinya adalah: keteladanan, keteladanan dan keteladanan...!

QS. Mumtahanah (60): 4

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia...

QS. An Nahl (16): 120

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),

QS. Al Ahzab (33): 21

Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...

Tentu saja yang dimaksud berteladan tidak harus sama persis secara fisikal. Melainkan ’sejiwa’ secara substantif. Karena, sepersis apa pun kita meniru orang lain, tidak akan pernah menjadi orang lain itu. Kita tetap akan menjadi diri kita sendiri. Cuma ’ketularan’ polanya saja.

Maka, bagaimanakah kesimpulan proses pembelajaran yang efektif bagi umat Islam dalam beragama? Menurut saya sebagai berikut:

1. Jika yang kita didik adalah ANAK-ANAK, maka sebenarnya itu lebih mudah. Berikan saja keteladanan agar dia meniru apa saja yang sedang kita ajarkan. Kalau kita mau dia menjadi anak yang ahli ibadah, ajaklah dia bersama-sama untuk beribadah secara istiqomah. Kalau kita mau anak kita menjadi orang yang santun dan berakhlak mulia, maka contohilah dia dalam bertutur kata dan bergaul dengan siapa saja dengan akhlak yang mulia. Jika kita ingin dia menjadi dermawan, maka ajaklah dia sering-sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kepedulian kepada kaum dhu’afa. Kalau kita ingin dia menjadi seorang pemikir hebat, maka ajaklah dia untuk berdiskusi setiap saat tentang segala macam permasalahan sehingga dia menjadi terbiasa menganalisa, menyimpulkan, memutuskan, dan mengekspresikan. Dan seterusnya.

Dalam konteks ini, orang tua dan guru harus menjadi pemicu, pemancing, fasilitator dan TELADAN. Karena sang anak tidak akan meniru apa yang diomongkan, kalau ternyata dia melihat kontradiksi antara omongan dan perbuatan guru atau orang tuanya. Atau, setidak-tidaknya dia akan meniru cara melakukan ’kontradiksi’ itu. Misalnya, dia akan menjadi pembohong. Di mulut mengatakan A, di hati B, di perbuatan C.

Sebagai seorang panutan, tentu guru atau orang tua harus tampil seutuhnya. Kepandaiannya akan ditiru. Cara menyampaikan gagasan akan ditiru. Cara menjawab juga ditiru. Cara menghindar dan menyelamatkan diri juga ditiru. Termasuk cara marah atau sabarnya ketika dikritik juga akan ditiru. Bahkan sampai kualitas keikhlasan yang terpancar dari sikapnya pun akan ditiru.

Jangan segan untuk menunjukkan ketidaktahuan di hadapan anak-anak kita. Justru, itu harus dijadikan sebagai momentum untuk mengajarkan kejujuran, sekaligus motivasi untuk pantang menyerah dalam mencari jawaban atas ketidaktahuan tersebut. Keteladanan untuk terus belajar, dan tidak malu dengan ketidak tahuan, asalkan terus berusaha mencari solusinya. Karena sesungguhnya sikap tidak bisa dibentuk dengan omongan, melainkan dengan keteladanan. Dan kemudian dibiasakan.

2. Jika yang kita hadapi adalah orang dewasa, yang sudah PUNYA sistem nilai yang terbentuk sebelumnya. Dan sudah menjalankan keyakinannya. Ini lebih sulit. Karena mereka sudah memiliki barrier alias dinding penghalang di benaknya, dalam bentuk yang beragam. Sangat bergantung pada masa lalunya. Apakah dia orang yang terbuka terhadap segala hal yang baru, ataukah dia orang yang tertutup dan ’keukeuh’ dengan pendapat lamanya. Yang paling sulit, adalah mereka yang sebelumnya sudah masuk dalam lingkaran doktrinal.

Ada beberapa teknik untuk mengajak mereka belajar agama. Tetapi pada dasarnya semuanya sama, yakni: melibatkan sang pembelajar untuk mengalami dan menjiwai sendiri apa yang sedang dipelajari. Kalau tidak, hasilnya dijamin tidak akan efektif. Biasanya akan muncul sikap acuh tak acuh, merasa tidak butuh, menganggap remeh, tidak berkepentingan, bahkan buang-buang waktu saja.

Yang ’paling mudah’, dalam kelompok ini, adalah jika mereka bertanya duluan. Yang demikian ini sudah terpenuhi syarat utamanya, yakni dia ’ingin tahu’ dan merasa ’membutuhkan’. Kecuali, kalau pertanyaannya hanya untuk ngetes.. :( Pada kelompok pertama ini, halangan psikologisnya relatif lebih rendah. Kita tinggal memberikan jawaban yang logis dan bisa diterima oleh akal sehatnya saja, sambil tentu saja tetap menunjukkan keteladanan. Bahwa kita juga melakukan apa yang menjadi jawaban kita itu.

Yang ’kurang mudah’ adalah mereka yang tidak bertanya tetapi memiliki pemikiran yang terbuka. Keingin-tahuannya terhadap masalah tersebut agak kurang, sehingga kita harus pandai-pandai ’menarik perhatiannya’. Supaya dia menganggap topik pembicaraan kali ini adalah bagian dari kepentingan dan kebutuhannya.

Yang ’agak tidak mudah’, adalah mereka yang membantah dengan konsep yang berseberangan. Sebenarnya mereka sudah tertarik dengan topik tersebut, tetapi berbeda pendapat. Kita harus bisa ’menunjukkan’ titik lemah dari pendapat dia terlebih dahulu, baru kemudian mengajukan konsep kita kepadanya. Jika dia orang yang terbuka, biasanya bisa menerima dengan lapang dada.

Dan yang ’tidak mudah’ adalah mereka yang ’menyerang’ dengan konsep yang berbeda, tetapi sambil menutup hati dan pikirannya untuk menerima apa pun yang berbeda dengan pendapat dia. Yang ini ’sama tidak mudahnya’ dengan mereka yang tidak bertanya, tapi sambil menutup hati dan pikirannya dari pendapat apa pun yang berbeda dengannya. Istilahnya cuek bebek... :(

QS. Al Baqarah (2): 88

Dan mereka berkata: "Hati kami tertutup". Sungguh Allah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali diantara mereka yang ( bisa) beriman.

Wallahu a’lam bishshawab

~ salam ~

HARGA SEBUAH WAKTU DALAM KEHIDUPAN

قيمة الزمن في الحياة

أ‌) المقدمة
إذا لاحظنا، نجد أن كل شيء من حولنا يذكرنا بقيمة الوقت والزمن الذي نعيشه؛ طلوع الشمس وغروبها، والقمر الذي قدره الله منازل، كل يوم نراه أصغر أو أكبر من اليوم الذي قبله، حركة الكون والكواكب، السماوات والأرض، كل هذه الأشياء تذكرنا بقيمة الزمن الذي هو رأس المال عندنا.

فالزمن هو مادة هذه الحياة، والروح التي تجري في عروقها، فما الحياة في حقيقتها إلا زمنٌ يمرّ ويمضي ، ومن أدركَ الزمن على حقيقته فقد أدرك هذه الحياة على حقيقتها، وبانتَ لـه معالم الطريق الذي ينبغي سلوكه. وما الزمن إلا حياة الأمم، إذا حافظت عليه دبّت الحيوية في شرايينها، وإذا أهملته أمْسَت هامدة خامدة لا روح فيها ولا حياة.

والناظر في أحوال المسلمين اليوم يتملّكه الحزن الشديد لما يرى من تضييع الأوقات في سفاسف الأمور ومُحقِّراتها بما لا يؤدي إلى نفعٍ عام أو خاص، ولو اتبَعَ المسلمون هديَ قرآنهم وهديَ نبيهم لاحتلّوا موقع القيادة والرّيادة الذي كانت أمتنا تتبوأه في عصورها الزاهية، ولو فعلوا ذلك لما وصلت إليه حالهم إلى ما آلت إليه الآن من التراجع والذل والخضوع، حتى صاروا في ذيل القافلة، وقد كانوا منها في مأخذ الزِمام، وهانت عليهم نفوسُهم، فاحتُلت أوطانهم، واستمرءوا العيش في الحضيض. وما وصل الغربيون إلى القمة في العلوم التقنية والإنسانية إلا بمحافظتهم على الزمن والإفادة من ساعاته ودقائقه اليسيرة في كلّ أحوالهم.

ومن هنا يأتي هذا البحث لبيان قيمة الزمن، والتنبيه إلى مكانته، انطلاقاً من النصوص القرآنية الغنيّة بالتوجيهات التي تبين قيمة الزمن وتنوِّه بشرفه وفضله. وذلك في محاولة للخروج من حالة الركود والتثاقل إلى حالة الحركة والفاعلية، وهذا لا يتأتَّى إلا من خلال الوعي التام بقيمة الزمن في الحياة الإنسانية.

ب‌) اهتمام الدين بالزمن
أعني بالدين، كما قال الرسول: "الدين نصيحة" أي إرشادات والتوجيهات منه تعالى رب العالمين لحياة الإنسان، حتى تكون حنيفة سالمة ولا يغرن الإنسان الغرار، فلا يضل في حياته فيصير سعيدا طيبا. فكل الأوجه الحيوية شاملة لهدف إرشاد الدين، من صح النوم إلى أن ننام. ومن أشد إرشاد الدين نحو الإنسان هو الحث على اهتمام الزمن فينظمه ويرتبه ليكون مرتبا ومنظما. فقد أعطى القرآن والسنة الإهتمام كمرجعي الأساسيي الدين. ويليه بيان الإهتمام القرآن والسنة للزمن.

1. اهتمام القرآن بالزمن
عرفنا مما ورد في القرآن الكريم أنه أعطى أهمية بالغة للزمن، فقد ارتبطت معظم العبادات في التشريع الإسلامي بمواعيد زمنية محددة وثابتة كالصلاة والصيام والحج، بحيث أن أداءها لا يتحقق إلاّ عن طريق الإلتزام بأوقاتها حسب اليوم والشهر والسنة.
قال الله تعالى: "أقم الصلاة لدلوك الشمس الى غسق الليل وقرآن الفجر انَّ قرآن الفجر كان مشهودا" ؛ وقال أيضا: "شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان، فمن شهد منكم الشهر فليصمه، ومن كان منكم مريضاً أو على سفر فعدة من أيام أخر، يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون" ؛ وقال: "يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج"

وكذلك هناك عديد من الأحكام الشرعية التي ارتبطت بالمدة الزمنية، كعدة المرأة في حالة الطلاق أو وفاة الزوج والكفارات في حالة ترك الصيام، أو الاخلال في بعض مناسك الحج وبعض مسائل الجهاد وقتال المشركين وإعداء الإسلام وغير ذلك من الأحكام الشرعية التي فرض فيها الله سبحانه وتعالى التقيد بالحساب الزمني كشرط في العبادة وصحة إنجاز العمل.

وإذا تحولنا عن المضامين العبادية للوقت وارتباط عناصر الزمن بالتشريعات الإسلامية فإننا نلتقي مع تأكيدات كثيرة على أهمية الوقت، وذلك من خلال ما أبرزه القرآن الكريم في العديد من الآيات. حيث جعل الوقت يأخذ دلالات متعددة كالقداسة والموعظة والنعمة والتجربة وغيرها من الأفكار والدلالات. وهي تشكل في محصلتها مفاهيم حركية رائعة للزمن. فالقرآن الكريم لم يتعامل مع الزمن من الزاوية الحسابية بل جعله قيمة حركية حية تتفاعل مع الإنسان في حياته الشخصية والعامة وحفزّه لأن يتفاعل بدوره مع هذه القيمة بشكل دائم لا انقطاع له.

ولقد وردت في القرآن الكريم عدة آيات يقسم فيها الله تعالى بالزمن ومكوناته: أقسم الله تعالى بالعصر وهو الدهر الذي هو زمن تحصيل الأعمال والأرباح للمؤمنين، وزمن الشقاء للمعرضين، ولما فيه من العبر والعجائب للناظرين، فقال الله تعالى: "والعصر إن الإنسان لفي خسر" وأقسم سبحانه وتعالى بالليل والنهار لكي يبين لنا أهمية الوقت في كل زمان ومكان فقال تعالى: "والليل إذا يغشى والنهار إذا تجلى". وأقسم بالفجر ولا يوجد شيئ أنفس من العمر وعمر الإنسان قصير إذ لا يتجاوز عشرات من السنين فسيسأل عن كل لحظة فهو عن كل وقت نام فيه عن عبادة الله وعن كل عمله فيه، فقال تعالى: "والفجر وليال عشر"، وغيرها من الآيات التي تبين أهمية الوقت وضرورة اغتنامه في طاعة الله.
الامر الذي يشير الى الاهمية الكبيرة التي أولاها الله سبحانه للزمن ولأجزائه وأنه من القضايا المحترمة والمقدسة في الحياة والتي يجب النظر إليها نظرة واعية متفهمة. باعتبار أن الله تعالى اتخذها عنواناً يقسم به في بداية الكلام الذي يقرر فيه تعالى الحقائق التي يريدها. وفي معظم هذه الآيات الكريمة، لا يأتي القسم مفرداً إنما متعدداً بذكر عدة أجزاء من الوقت في سياق الآية الواحدة او الآيات المتتالية.
إن في هذه الآيات الكريمة إشارات واضحة تبين قدرة الله تعالى وفضله على عباده في خلقه الزمن على النحو الذي تتعدد فيه اجزاؤه حسب حركة الكواكب حول الشمس، وقد حثت هذه الآيات الكريمة الإنسان على التدبر في حكمة الله وقدرته ونعمه، وفي ذلك إشارة واضحة الى أهمية الوقت وأهمية أجزائه المتعاقبة في حركتها من ليل ونهار والتقسيمات الزمنية لكل منهما.
مما تقدم نكتشف بوضوح أن القرآن الكريم، أعطى للوقت اهمية كبيرة، وعالج حقيقة الزمن من ابعاد مختلفة تلتقي كلها في قاسم مشترك واحد، هو دور وأثرُ الزمن في حياة الإنسان. وقد حاولت الآيات القرآنية أن تحرك عند الإنسان إحساسه الواعي من أجل أن يهتم بعمره وأن يتعامل مع وحدات الزمن بحرص وموضوعية لئلا يمر عليه يوم دون أن يستثمره في نشاط إيجابي يقدم فيه الخير لنفسه ومجتمعه.

2. اهتمام السنة بالزمن
كما اهتم القرآن بقيمة الزمن، فإن السنة كمرجع الدين الثاني، كذلك أعطى له أهمية بالغة. فهناك أحاديث كثيرة توضح ذلك، منها عن معاذ بن جبل رضي الله عنه قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "لن تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن أربع: عن عمره فيما أفناه وعن شبابه فيما أبلاه وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه وعن علمه ماذا عمل به؟"؛

وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس "الصحة والفراغ"؛ وعن أنس رضي الله عنه قال، قال رسول الله صلى الله عليهوسلم: "إن قامت الساعة وبيد أحدكم فسيلة فإن استطاع أن لا يقوم حتى يغرسها فليفعل"؛ وقال صلى الله عليه وسلم: "اغتنم خمسا قبل خمس: شبابك قبل هرمك ، وصحتك قبل سقمك، وغناك قبل فقرك ، وفراغك قبل شغلك ، وحياتك قبل موتك"

كفانا تلك الأخبار منه صلى الله عليه وسلم عن أهمية المحافظة على الزمن في الحياة، وكل فرد له مسؤولية أمام الله؛ كيف يتصرف نحو فرصه في الحياة الدنياوية، هل يستفيده للأعمال الصالحة، أم عكسه يرتكب فيها للأعمال السيئات، فالعياذ بالله من ذلك. فقد ورد فى الحديث: "ما من يوم ينشق فجرهُ إلاّ وينادي يا ابن آدم أنا خلقٌ جديد، وعلى عملك شهيد فاغتنم مني فإني لا أعود إلى يوم القيامة"
وقال عليه الصلاة والسلام: "من تساوى يوماه فهو مغبون. ومن كان أمسه أفضل من يومه فهو ملعون". وفي حديث، أكثر حركية وتسابقاً مع حركة الزمن: "لو قامت قيامة احدكم وكان بيده فسيلة فليغرسها"

ج) وجوب تنظيم الزمن وآفات إهماله
مما تقدم شرحه عن أهمية الزمن من القرآن الكريم والسنة الشريفة، نفهم أن الخطابات القرآنية تنحصر دلالاتها في الجانب العقائدي فحسب، بل إنها تمتلك دلالات أخرى بلا شك. فالتأكيد القرآني على تعاقب الليل والنهار، مثلا، بما جعل الله الليل لباساً النهار معاشا، يفهم منها ضرورة احترام تقسيم الوقت، وهو ما يرتبط بالجانب الحياتي اليومي للإنسان، حيث جعل الله سبحانه الليل راحة للعباد ومحطة قصيرة للاستراحة، حتى ينطلقوا في نهارهم في ساحات العمل وشؤون الحياة وهي الدائرة الواسعة التي تستوعب طاقاتهم وقدراتهم ونشاطاتهم. ان في التعاقب الثابت لليل والنهار رتابة زمنية لأنها تتكرر كل يوم.

لكن هذه الرتابة تتحول الى حالة إيجابية كبيرة من خلال تقسيم الوقت تبعاً للأعمال التي يقوم بها الإنسان. فهو في سعيه لتلبية احتياجاته الحياتية، وفي توجهه نحو أهدافه الكبيرة التي رسمها الله تعالى له. لا يجد في تعاقب الليل والنهار حركة مملة، بل يجد فيها حركة ضرورية تخدم سعيه ومشاريعه ونشاطاته. لانها توفر له امكانية تقسيم الاعمال بين ما هو شخصي او عام.

وبين ما هو لشؤون المعيشة او لشؤون الرسالة فيجد في هذا التعاقب فرصة الراحة وفرصة العمل، ويستطيع من خلاله ايضاً ان يقدر الفترة الزمنية لمشاريعه. فيخطط وينفذ وفق تصور واضح لما يستغرقه نشاطه ومشروعه، وهذا ما يمكن تبيينه في الآيات الكريمة التي تصرح بان الله تعالى سخّر لعباده الشمس والقمر والليل والنهار. فهذه المفردات التي تحدد الوقت هي نِعمٌ الهية كبيرة جعلها الله سبحانه لخدمة عباده وترك لهم حرية اختيار الاسلوب والعمل ما دام منسجماً مع نهجه القويم وهادفاً الى كسب مرضاته، غير أن التعاقب الثابت لاجزاء الوقت، قد يتسبب في غفلة الإنسان عن بعض شؤونه، فيهمل بعضها ويؤجل الآخر وتمر عليه الليالي والأيام دون أن يلتفت إلى مقدار الزمن الذي يمر عليه. وهذه من الحالات السائدة في حياة البشر، بل إن مشكلة الكثير من الناس هي عدم الاحساس بمرور عجلة الزمن لانهم الفوا التعاقب اليومي للعتمة والضوء

فمن واجباتنا إذن، أن ننتهز كل ما عندنا من الزمن أو الوقت أو الفرصة: نستفيذ فراغنا للأعمال النافعة ولا نؤخرها حتى يأتي شغلنا؛ نستفيذ وقت شبابنا ما نقدر على أن نؤديه بما فيه من القوة، ما ليس في وقت شيخوخة، وكل ذلك لابد من تنظيم الوقت الجيد.
ومن تنظيم الوقت أن يكون فيه جزء للراحة والترويح لأن النفس تسأم بطول القراءة والبحث والعمل ، والقلوب تمل كما تمل الأبدان ، فلابد من قدر من الترويح المباح يعيد للنفس نشاطها وللقلب حيويت، وقد أثر عن علي رضي الله عنه أنه قال : روحوا القلوب ساعة بعد ساعة ، فإن القلب إذا أكره عمي

وأحسب أن أحوج الناس إلى تقسيم الوقت وتنظيمه واستغلاله استغلالا دقيقا هو الطالب المسلم . وأن حفظ الطالب لوقته في أثناء دراسته أمر سهل وميسور فقد كان للمدرسة دور كبير في حفظ وقت طلابها الشباب .أما في العطل المدرسية ، فتكون المسئولية على أولياء أمورهم من الآباء والأمهات ومن يقوم مقامهم ، فينبغي لهؤلاء بل يجب عليهم مراعاة فلذات أكبادهم ومن وضعهم الله أمانة في أعناقهم وحمايتهم من ضياع الوقت وانحراف السلوك .

ويجب عليهم أن يتفقدوهم في كل وقت وأن يمنعوهم من معاشرة من يخشى منه الشر والفساد على أخلاقهم واستقامتهم فإنهم عنهم مسئولون وعلى إهمال رعايتهم وتأديبهم معاقبون، ويؤثر به آفات كثيرة تضيع على الإنسان وقته، وتأكل عمره، إذا لم ينتبه لخطرها. وهنا نقتصر على ذلك آفتين وذلك لعظم خطرهم

الآفة الأولى :الغفلة
وهي مرض يصيب عقل الإنسان وقلبه ، بحيث يفقد الحس الواعي بالأحداث واختلاف الليل والنهار، يفقد الإنتباه واليقظة إلى معاني الأشياء وعواقب الأمور .
والقرآن الكريم يحذر من الغفلة أشد التحذير فى قوله تعالى : "وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِنَ الجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الغَافِلُونَ "

الآفة الثانية: التسويف
وهو من أشد الآفات خطرا على انتفاع الإنسان بيومه وحاضره، وهي التسويف والتأجيل، حتى تكاد تصبح كلمة سوف شعارا له وطابعا لسلوكه، فمن حق يومك عليك أن تعمره بالنافع من العلم والصالح من العمل، ولله در الشاعر الذي قال:
"إذا أنت لم تزرع وأبصرت حاصدا ندمت على التفريط في زمن البذر"

وفي التسويف وتأخير واجب اليوم إلى الغد آفات أيضا :
أولا :إنك لا تضمن أن تعيش إلى الغد ، وليت شعري من يضمن لأحد أن يعيش إلى غده والموت يأتي بغتة
ثانيا : إنك إن ضمنت حياتك إلى الغد فلا تأمن المعوقات من مرض طارئ ، أو شغل عارض، أو بلاء نازل .
ثالثا :إن لكل يوم عمله ، ولكل وقت واجباته ولما قيل لعمر بن عبد العزيز وقد بدأ عليه الإرهاق من كثرة العمل : آخر هذا إلى الغد . فقال : لقد أعياني عمل يوم واحد فكيف إذا اجتمع على عمل يومين ؟
رابعا :تأخير الطاعات والتسويف في فعل الخيرات يجعل النفس تعتاد تركها ، حتى أن المرء يقتنع عقليا بوجوب المبادرة إلى الطاعة وعمل الصالحات ، ولكنه لا يجد من إرادته ما يعنيه على ذلك ، بل يجد تثاقلا عن العمل وإذا خطا يوما إليه خطوة كان كأنما يحمل على ظهره جبلا .
ومثل ذلك نجده أيضا عند التسويف في التوبة من المعاصي والمخالفات
أخواني في الله، هل لدى المؤمن وقت فراغ؟ الآيات والأحاديث تشير إلى أهمية الوقت في حياة المسلم، لذلك فلابد من الحفاظ عليه وعدم تضييعه في أعمال قد تجلب علينا الشر وتبعدنا عن طريق الخير، فالوقت يمضي ولا يعود مرة أخرى.
على أنه لا يمكن القول

د) الإختتام
وخير ختام للموضوع هو ذكر نماذج رائعة من المحافظة على الوقت عند السلف فقد كان جماعة السلف يحفظون اللحظات. منهم ابن الجوزي رحمه الله والذي سمع يقول على المنبر في آخر عمره : كتبت بإصبعي هاتين ألفي مجلد؛ وكذلك داود الطائي الذي كان يستف الفتيت ويقول: بين سف الفتيت وأكل الخبز قراءة خمسين آية؛ وأيضا ما روى عن الصاحب بن عباد، فقد كان وزيرا لمؤيد دولة أبي منصور بن بويه ولم تقعده أعمال الوزارة أو مصاحبة مؤيد الدولة عن تأليف كتاب المحيط في سبعة مجلدات والكافي وجملة كتب غزيرة الفائدة تدل على تقديره لوقته وعدم إضاعة شيء منه في غير منفعة .

ومما لا مرية فيه أن العمر أقصر وأنفس من أن يفرط فيه أو أن يضاع في اللهو والعبث .
نسأل الله عز وجل أن يعرفنا شرف أوقات العمر ، وأن يوفقنا لاغتنام ساعاته ودقائقه ، وكفى بالعقل مرشدا إلى الصواب.
ونختم هذه المقالة بالإستنباط: إن للوقت مميزات يتميز بها، يجب علينا أن ندكرها حق إدراكها فهو سريع الانقضاء، يمر مر السحاب، ويجري جري الريح، ونتنبه أن ما مضى من الوقت لن يعود، وهذه ميزة أخرى من ميزات الوقت ، فكل وقت يمضي ، وكل ساعة تنقضي ، وكل لحظة تمر ، ليس في الإمكان استعادتها ، ولا يمكن تعويضها .


المراجع
محمد شحرور، الكتاب والقرآن: قرآة معاصرة، ط.1، سينا للنشر، دمشق، 1992
شوقي ضيف، معجزات القرآن، دار المعارف، القاهرة، 1998

http://www.alsada.org/ar/index.php?option=com_content&task=view&id=2110&Itemid=436

http://www.suwaidan.com/vb1/showthread.php?t=22613

6.1.11

KAJIAN ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA ARAB SEBAGAI BAHASA ASING

A. Pendahuluan

Bagi kalangan non-Arab (‘ajam) secara umum, bahasa Arab masih terkesan sulit dan rumit. Padahal, secara linguistik, setiap bahasa di dunia ini memiliki dua sisi berbeda: kesulitan dan sisi kemudahannya sekaligus. Hal ini tergantung pada karakteristik (khashais) sistem bahasa itu, baik dari segi fonologi, morfologi, maupun sintaksis dan simantiknya. Demikian kata Leonard Bloomfield, sebagaimana dikutip Muhbib Abdul Wahab dalam pendahuluan bukunya: Pemikiran Linguistik Tammam Hasan Dalam Pembelajaran Bahasa Arab. Lebih lanjut Muhbib menegaskan, bagi kalangan pelajar asing, pelafalan setiap kata dalam bahasa Inggris dan Perancis masuk pada contoh sisi “kesulitan” linguistik. Hal ini karena tidak konsistennya pengejaan kata-katanya. Bentuk kata yang sama dalam kosakata yang berbeda tidak jarang dibaca berbeda. Misalnya, kata good dibaca god, tapi kata blood tidak dibaca blud, melainkan blẚd.[1] Kenyataan ini tentu berbeda dengan bahasa Arab yang pelafalan kata-katanya selalu konsisten, karena sistematis.

Toh demikian, bagi kalangan pelajar Indonesia, kesan “sulit” masih melekat dalam pembelajaran bahasa Arab. Hal ini bisa jadi karena perbedaan sistem kebahasaan antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Pada tataran teoritis, ranah pendalaman bahasa Arab sebagai sebuah sistem, setidak-tidaknya meliputi enam aspek, yatu: bunyi bahasa (fonetik) artikulasi bunyi (fonologi), sharraf (morfologi), nahwu (sintaksis), al-dalalah (semantik), dan al-mu’jam (leksikologi). Dalam perspektif linguistik modern, semua aspek tersebut dikaji sebagai sebuah sistem, dalam bingkai dan gradasi yang sistematis, lantas menjadi sebuah disiplin ilmu yang terpisah antara satu dengan lainnya.[2]

Tentunya kita mafhum, kalau bahasa Arab dan bahasa Indonesia adalah dua bahasa yang sangat berbeda. Hal yang paling mendasar adalah perbedaan ras bangsa dan rumpun kedua bahasa ini. Bahasa Arab berasal dari rumpun bahasa Semith (Assamiyah), sedangkan bahasa Indonesia dari rumpun bahasa Austronesia. Meski demikian, tidak sedikit kosa kata bahasa Indonesia yang terambil dari bahasa Arab. Bagaimana itu terjadi? Selain karena faktor persinggungan antara orang-orang Indonesia dan Arab, faktor intrinsik bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bersifat terbuka terhadap kosa kata asing adalah sebab mendasar bahasa Indonesia menerima unsur bahasa lain yang diperlukan, termasuk bahasa Arab. Ada beberapa unsur serapan bahasa Indonesia dari bahasa-bahasa lainya. Selain unsur leksikal, unsur fonem, morfon, dan gramatikal Arab, juga ditengarai turut mempengaruhi serapan dalam bahasa Indonesia.

Dalam makalah ini, penulis mencoba menyajikan beberapa kesalahan berbahasa Arab yang kerap kali dijumpai di kalangan pelajar Indonesia baik dari pelajar tingkat pemula sampai menengah atas; baik dari aspek fonologi, morfologi, sintaksis, juga diskursus/wajana berbahasa. Berikut contoh kesalahan yang berhasil penulis kumpulkan sebagai data, berikut klasifikasi kesalahan dimaksud.

B. Penyajian Data

1. Fonologi

No

Kesalahan

Yang benar

1.1.

Al-fãtikah

Al-fãtihah

1.2.

Allãhu akbãr

Allãhu akbar

1.3.

Asshalãtu khairun minannûm

Asshalatu khairun minnaum

1.4.

Mad, mad, Muhammad..!

Ya Muhammad..!

1.5.

Allahumma shalli....wa sallîm

Allahumma shalli....wa sallim

2. Morfologi/sintaksis (tata bahasa)

No

Kesalahan

Yang benar / lebih benar

2.1.

Mã aharru asy-syahr !

Mã aharra asy-syahr !

2.2.

Nabhats maudû’al jadîd

Nabhats maudû’an jadîdan

2.3.

Urîdu ata’allamu ...

Urîdu an ata’allama ...

2.4.

Ana khãlas ãkulu ...

Ana akaltu ...

2.5.

Man yadribu anta ?

Man darabaka ?

2.6.

Ana tãlib faslun wahîd

Ana tãlibu al-fasli al-awwal

2.7.

Anta tanjahu idza tata’allam

In tata’allam tanjah

3. Diskursus/wacana

No

Kesalahan

Yang benar / lebih benar

3.1.

Ista’mil waktaka ...!

Inthiz waktaka ...!

3.2.

Asta’milu libãsan

Albasu libãsan

3.3.

La madza-madza

La ba’sa bih../ la musykilata lah..

3.4.

Ba’din, ana ajî’ ilaika

Ajîuka ba’din

3.5.

Ali qãla ilayya ...

Qãla li, Ali ...

3.6.

Syukran ! – Sawa’-sawa’

Sukran ! – ‘Afwan ?

3.7.

Man alldzi yu’allim ?

Man al-mu’allim ?

3.8.

Lã tatadakhkhal !

laka shalãh lihãdza !

3.9.

Ya Allah, mãuhu..!

Ya lilma’i !

3.10.

Limãdza hãdza yaqa’u ?

Kaifa yakûnu hãdza ?


C. Analisis Data

1. Fonologi.

Sebelum menganalisis data kesalahan berbahasa sesuai klasifikasinya, ada baiknya jika disajikan terlebih dahulu istilah dan pengertian dari klasifikasi dalam kajian linguistik tersebut. Pada penyajian data pertama, penulis mengklasifikasi contoh kesalahan berbahasa dalam tinjauan fonologi. Secara etimologi, kata fonologi terambil dari fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu. Maksudnya, fonologi adalah salah satu bidang kajian linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa.[3].

a) Pada contoh 1.1., itu berkaitan dengan fenomena masyarakat Jawa yang kesulitan dalam pengucapan al-fatikah (الفاتكة). Meski mereka tahu penulisan kata tersebut, namun memang ternyata orang Jawa, terutama kalangan usia lanjut, sulit melafatkan huruf (ح) yang berada di tengah kata. Maka terbacalah kata (الفاتحة) menjadi (الفاتكة). Ada sebagian yang berhujjah, bahwa kesalahan pengejaan itu dipengaruhi ejaan lama bahasa Indonesia. Namun ada juga yang beralasan lain. Semua itu memang perlu adanya penelitian khusus.

b) Kata Allãhu akbar (الله أكبر), pada contoh 1.2., sering terdengar Allãhu akbãr (الله أكبار). Kesalahan ini biasa terdengar saat pengumandanan adzan. Muadzin memanjangkan harakat pada huruf (ب) yang semestinya dibaca pendek. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh lagu adzan. Kesalahan serupa juga sering dijumpai saat imam sholat berjema’ah ber-takbiratul ihram. Sebagai bahasa yang sistematis, bahasa Arab mempunyai aturan atau kaidah bahasa yang seyogyanya ditaati bersama oleh siapa saja yang meu mempelajarinya.

c) Pada contoh kesalahan ketiga, berkaitan juga dengan kebiasaan muadzin di waktu subuh. Kalimat ash-shalãtu khairun minannaum (الصلاة خير من النوم), sering terbaca ash-shalãtu khairun minannm: memanjangkan harakat dammah pada huruf (و), di (النوم). Lagi-lagi, alasan untuk kesalahan tersebut karena faktor kebiasaan.

d) Pada contohh kesalahan selanjutnya, berkaitan dengan kebiasaan masyarakat kita saat memanggil (al-nida) rekannya. Penulis contohkan nama “Muhammad”, biasanya terpanggil dengan kata “mad”. Dalam bahasa Arab, untuk pemanggilan atau an-nida, biasanya didahuli dengan kata ya atau aya atau ayyuha (panggilan untuk komunitas), tapi tetap harus menyempurnakan –minimal– nama inti.

e) Untuk data contoh kesalahan dalam tinjauan fonologi terakhir, kalimat Allahumma shalli ‘ala sayyida Muhammdin wa ‘alã ãlihi wa sallim (اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم), karena penyesuaian lagu, kata wasallim sering terbaca wasallîm; memanjangkan harakat huruf lam (ل). Sebagaimana contoh-contoh kesalahan lainnya, pada kesalahan ini juga disebabkan karena kebiasaan.

2. Morfologi/sistaksis.

Pada bagian ini, penulis sengaja menggabung data kesalahan berbahasa dalam tinjauan morfologi dan sintaksis. Selain alasan efisiensi, kedua kajian linguistik ini memang mengarah pada gramatikal bahasa. Morfologi atau ilmu sharraf membahasa klasifikasi morfom, macam-macamnya, makna dan fungsinya. Sedangkan sintaksis atau ilmu nahwu membahas seputar hukum dan kedudukan kata yang terdapat dalam kalimat atau teks, pembagian kalimat dan sebaganya.[4]

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan kesalahan-kesalahan pelajar kita dalam perspektif gramatikal bahasa Arab, baik dari tinjauan morfonnya, juga dari kedudukan kata dalam kalimat atau teks bahasa Arab.

a) Pertama, kata Mã aharru asy-syahr (ما أحرُّ الشهرُ), dengan men-dammah-kan huruf (ر) adalah sebuah kesalahan. Yang benar harus di-fathah-kan. Sengaja penulis mengarsipkan contoh tersebut. Karena kesalahan ini merupakan fenomena cikal-bakal perintisan ilmu bahasa Arab; menjadi salah satu indikator munculnya ilmu Nahwu. Sebagaimana dilakoni oleh Abu Aswad Adduali dan putrinya.[5]

b) Contoh kesalahan selanjutnya, pada kalimat Nabhats maudû’al jadîd (نَبْحَثُ مَوْضُوْعَ اْلجَدِيْدَ ). Dalam kaidah ilmu nahwu, kalimat tersebut disebut na’at man’ut, atau penyifatan. Na’at adalah sifat, sedangkan man’ut adalah yang disifati. Kata (اْلجَدِيْد ) menjadi sifat, sedangkan (مَوْضُوْعَ ) adalah yang disifati. Dalam kaidahnya, kata sifat harus mengikuti kata yang disifati, pada semua aspeknya. Jika kata yang disifati mudzakkar, maka sifatnya juga harus mudzakar; jika yang disifati nakirah, demikian juga sifatnya harus dari nomina nakirat. Dalam kalimat di atas, kata (مَوْضُوْعَ) adalah nomina mudzakkar yang nakirah, maka seharusnya kata (اْلجَدِيْد) sebagai sifat harus juga nomina yang mudzakar-nakirah. Maka yang benar susunan kalimat tersebut adalah Nabhats maudû’an jadîdan (نَبْحَثُ مَوْضُوْعاً جَدِيْداً )

c) Pada contoh selanjutnya, kalimat Urîdu ata’allamu ( أُرِيْدُ أَتَعَلَّمُ) adalah kesalahan yang kerap kali dijumpai pelajar dalam penyusunan kalimat Arab. Kalimat tersebut terdiri dari dua kata kerja: urîdu (mau/ menginginkan), dan ata’allamu (saya belajar). Dalam kaidah bahasa Arab, dua kata kerja seperti itu harus dipisahkan dengan harf nasb (أَنْ). Maka kalimat tersebut seharusnya Urîdu an ata’allama ( أُرِيْدُ أَنْ أَتَعَلَّمَ).

d) Pada dasarnya, bahasa Arab adalah bahasa yang simpel. Perubahan kata-katanya sangat sistimatis. Dalam kata kerja, umpamanya, perhitungan waktu sangat sistematis. Tanpa harus ditambah kata penegasan waktu lampai, saat ini atau yang akan datang, dengan kaidah yang berlaku, seseorang sudah mafhum dengan waktu yang dimaksud penutur. Jika ingin mengatakan sudah melakukan sesuatu, penutur bahasa Arab tidak usah penambahkan kata sudah, sebagaimana bahasa Indonesia. Maka pada contoh kalimat Ana khãlas ãkulu ( أَناَ خَلاَصْ آكُلُ), yang maksudnya saya sudah makan, penutur cukup menggunakan fi’il madi dari kata ( آكل ), menjadi ( ... أَكَلْتُ )

e) Pada kalimat man yadribu anta ( مَنْ يَضْرِبُ أَنْتَ ), itu juga salah. Yang benar adalah man yadribuka ( مَنْ يَضْرِبُكَ ). Dalam kaidah nahwu dibedakan antara kata ganti yang menjadi subjek dan objek. Jika anta adalah kata ganti orang kedua mudzakkar untuk subjek, maka ka adalah kata ganti oarng kedua mudzakkar untuk keduduan objek.

f) Pada contoh kesalahan selanjutnya, berkaitan dengan kaidah bilangan (‘adad). Dalam kaidah bahasa arab, dibedakan antara bilangan nominal dan bertingkat. Bilangan nominal satu, misalnya, berbeda dengan kata kesatu. Jika yang pertama wãhidun, untuk mudzakkar, dan wãhidatun untuk muannas; maka bilangan bertingkatnya menjadi al-awwal dan al-ûla. Maka kalimat di atas yang semuala Ana tãlibul faslil wahîd (أَناَ طَاِلبُ الْفَصْلِ الْواَحِدِ ), yang benar adalah Ana tãlibul faslil awwali ( أَناَ طَالِبُ الْفَصْلِ اْلأَوَّلِ )

g) Pada contohh 2.7., adalah contoh kesalahan penutur karena tidak mencermati kaidah bahasa Arab berkaitan syart dan jawabu al-syart. Selain itu, penutur kurang mencermati cara penggunaan antara fi’il madi dan mudari’. Untuk kalimat Anta tanjahu idza tata’allam ( أَنْتَ تَنْجَهُ إِذاَ تَتَعَلَّمُ ), seharusnya menjadi tanjahu idza ta’allamta ( تَنْجَحُ إِذاَ تَعَلَّمْتَ ), atau in tata’allam tanjah ( إِنْ تَتَعَلَّمْ تَنْجَحْ )[6]

3. Dirkusus/ Wacana

Pada bagian ini, penulis mencoba memaparkan beberapa kesalahan berbahsa Arab di kalangan pelajar Indonesia menurut tinjauan diskursus atau wacana. Dalam perspektif psikolinguistik, pemahaman seseorang terhadap suatu bahasa harus melalui empat tingkatan: fonologis (al-mustawa al-shawti), leksikologis (al-mustawa al-mu’jami), struktural (almustawa al-tarkibi), dan diskursus /wacana (al-mustawa al-khitabbi). Keempat tingkatan tersebt tidak jarang dihadapkan pada perbedaan-perbedaan antara kedua bahasa (ibu dan asing), meskipun kedua bahasa itu juga memiliki kesamaan. Berangkat dari kesamaan sistem bahasa itulah pembelajaran bahasa asing diasumsikan jadi lebih mudah difahami.[7]

a) Pada contoh 1.3. penutur masih kurang mencermati leksikologi bahasa Arab yang membedakan penggunaan kosakata antara ista’mala, labisa, intahaza. Dalam bahasa Indonesia, ketiga kosakata tersebut sama-sama bermakna memakai. Namun fungsinya berbeda-beda. Kata ista’mala digunakan untuk pemakaian sesuatu yang dahir, sedangkan intahaza digunakan untuk sesuatu yang abstrak. Ada juga kosakata Arab yang digunakan khusus untuk pemakaian baju, yakni, labisa-yalbasu. Kata waktu termasuk sesuatu yang abstrak. Jadi, salah kalauu menggunakan ist’mala. Harusnya memakai kata intahaza. Maka kalimat yang benar adalah intahiz waktaka.[8] Jadi kalimat ista’mil waktaka ( اِسْتَعْمِلْ وَقْتَكَ ) seharusnya menjadi intahiz waktaka ( اِنْتَهِزْ وَقْتَكَ )

b) Pada contoh 3.2., argomentasi pembenaran untuk kesalahannya sama dengan alasan sebelumnya. Maka kalimat asta’milu libãsan ( أَسْتَعْمِلُ لِباَساً ), yang benar adalah albasu libãsan ( أَلْبَسُ لِباَساً )

c) Pada contoh 3.3., penutur mengindonesiakan bahasa Arab: menterjemahkan bahsa Indonesia untuk kalimat tidak apa-apa, dengan mentransfer langsung kata perkata menjadi la madza-madza. Hal ini tentu salah, karena siyaq Arabi untuk kalimat tersebut adalah la ba’sa bih ( لاَ بَأْسَ بِهِ ), atau la musykilata lah (لاَ مُشْكِلَةَ لَهُ ).

d) Kalimat ba’din ana ajiu ilaika ( بَعْدٍ أَناَ أَجِيْئُ إِلَيْكَ) pada nomer 3.4., adalah contoh penggunaan ta’liqat atau konjungsi kata yang keliru. Yang benar setelah kata jãa, tanpa diimbuhi kata ila. Maka kalimat tersebut seharusnya ajîuka ba’din (أَجِيْئُكَ بَعْدٍ).

e) Setelah kata qãla, ta’lîqãt yang di pakai adalah li. Maka contoh pada nomer 3.5., seharusnya menjadi qãla li Ali ( قال لي علي ).

f) Berbeda dengan kebiasaan kita yang mengatakan sama-sama, saat menjawab ungkapan terimakasih dari seseorang, maka orang Arab menyatakan ‘afwan ( عفوا ). Lagi pula, kalimat sawa’-sawa’, adalah kalimat Indonesia yang di-Arabkan saja. Penggunaannya jelas keiru.

g) Kata yang dalam bahasa Arab memang bisa digunakan bentuk isim mausul. Tinggal menyesuakan nomina yang akan dipakai: mudzakkar, atau muannats; tunggal, duel, atau jamak. Akan tetapi, jika yang dimaksud penutur dalam contoh 3.7., jelas tidak sesuai dengan siyaq Arabi. Maka kalimat man alladzi yu’allim… ( من الذي يعلم ... ), cukup menggunakan isim fa’il, maka yang benar adalah man al-mu’allim ( من المعلم ).

h) Arti kata tadakhkhala adalah memasukkan. Untuk pengungkapan kata jangan ikut campur, pelajar Indonesia sering menterjemahkannya dengan kalimat la tatadakhal (لاَ تَتَدَخَّلْ), padahal orang Arab, selama penulis di arab, menggunakan ungkapan tersebut dengan istilah ma laka li hãdzã

( ما لك لهذا ).

i) Untuk ungkapan kekaguman, bahasa Arab menggunakan istilah ya li + sesuatu yang dikagumi. Maka untuk contoh kesalahan 3.9., ungkapan yang benar adalah ya lilmãi ( يَا لِلْماَءِ ).

j) Pada contoh 3.10., ungkapan limãdza hãdza yaqa’u ( لماذا هذا يقع ), adalah kalimat Indonesia yang di-Arabkan. Dalam siyãq Arabi, ungkapan tersebut seharusnya kaifa yaqa’u hãdza ( كيف يقع هذا ).[9]

D. Saran-saran

Meski terkesan mengulang-ulang, penulis ingin mengingatkan segenap masyarakat Indonesia, baik yang beragam Islam, ataupun non-muslim, betapa bahasa Arab berpengaruh besar bagi perkembangan bahasa nasional kita. Realita ini bukan saja karena bahasa Arab adalah bahasa agama mayoritas rakyat Indonesia (Islam)[10], akan tetapi karena memang bahasa Indonesia un sich “terpengaruh” langsung oleh bahasa masyarakat Jazirah Arabiya ini.

Bayangkan saja, betapa banyak kosakata bahasa Indonesia yang terambil dari bahasa Arab. Sebagai contoh, dari satu huruf saja, misalnya “a”, kita akan banyak menjumpai kosakata Arab yang sudah ter-Indonesiakan. Ada kata abad, abah, abdi, akhir, akhlak, akil, aib, ajaib, ajal, alamat, almarhum, asa, asal, asas, asin, asli, asyik, ahli, aman, adil, awal, awam, dan masih banyak lagi lainnya. Itu baru dari kata yang brawalan “a” saja. Lembaga Tinggi dan tertinggi kitapun menggunakan nama-nama yang berasal dari bahasa Arab. Lihatlah: Dewan (dari Diwaan); Perwakilan (dari wakiil); Daerah (dari daairah); Rakyat (dari ra’yah).

Dengan demikian, adalah keniscayaan seluruh pelajar Indonesia untuk dapat mengapresiasikan realita kebahasaan kita secara positif. Karenanya, wajar jika sejak awal ghirah pengajaran bahasa Arab di Indonesia sangat intens. Ghirah ini

Mencermati penyebab kesalahan berbahasa Arab, sebagaimana dipaparkan dalam Analisis Data tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicermati, baik oleh pengajar, juga pembelajar bahasa Arab sebagai bahasa asing, yakni pebiasaan kesalahan yang tidak segera dilakukan pembenaran (islãhu al-mubãsyir). Hal ini perlu diperhatikan oleh semua pihak. Bagaimanapun, mempelajari bahasa asing adalah upaya mengulang kembali masa-masa awal pembelajaran bahasa ibu. Diperlukan adanya pembenaran langsung setiap kali terjadi kesalahan. Pada titik ini, pernyataan language is practice siance menjadi realita yang perlu difahami bersama; semakin sering mempraktekkan sebuah bahasa, akan semakin Nampak hasil yang ingin dicapai.

E. Kesimpulan/Penutup

Berdasarkan tela’ah dan analisis dari beberapa contoh kesalahan, sebagaimana tertera dalam Analisis Data, penulis menyimpulkan sebagai berikut.

Setiap bahasa di dunia ini memiliki karakteristik yang menjadi pembeda antara satu dengan lainnya.

1. Sasaran kajian lingusitik mencakup beberapa aspek, minimal: fonologi, morfologi, sintaksis, simantik, dirkursus atau wacana.

2. Dengan fenomena perbedaan karakteristik antar bahasa, maka dibutuhkan kecakapan komunikasi yang memadai dalam menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Setidaknya ada empat kecakapan yang perlu diperhatikan oleh komunikan. Yakni, kecakapan gramatikal, diskursus pragmatik, sosiolinguistik, dan kecakapan strategi (Dell Hymes: 1972)

3. Sebagaimana pemaparan hasil analisis data, pembiasaan dan keterikatan intonasi dan lagu seringg kali menjadi indikator kesalahan masyarakat Indonesia dalam pengucapan bahasa Arab.


Daftar Pustaka



[1] Muhbin Abdul Wahab, Pemikiran Linguistik Tamam Hasan Dalam Pembelajaran Bahasa Arab, hal.1, cet.I, UIN Syarif Hidayatullah Press, Jakarta, 2009

[2] Ahmad Muhammad Qaddur, Buhuts fi al-Isytisyrãq wa al-Lughah, hal.273, cet.I, Muassasah al-Risalah, Bairut, 1996

[3] Abdul Chaer, Linguistik Umum, hal. 102, cet. III, Rineka Cipta, Jakarta, 2007

[5] Abdullah Jãd al-Karîm, al-Dars al-Nahwu fi al-Qarn al-‘Isyrîn, hal. 43, cet.I, maktabah al-Adab, Kairo, 2004

[6] Musthafa al-Galayiyaini, Jãmi’u al-Durus al-Arabiyyah, hal.3-8, cet.VI, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 2006

[7] Abdul Fattah, Musykilã al-lughah wa al-Takhãtub fi daw’ ;Ilm al-Lughah al-Nafsi, hal.83, Cet.I, Dar al-Quba, Kairo, 2002

[8] Kamus Arab Munjid, wal m’ajim al-Arabiyah ukhra.

[9] Nasir Ahmad Siya’ah, Mutala’at al-Jumal al-Arabiyyah fi al-Muqãranah baina al-Lughat al-ukra, Dar al-Nasr li al-Kutub al-Ilmiyah, Kairo, 1997

[10] Ismail Ahmad Amariyah, Buhuts fi Ilm Lughta wa al-Nafs, 32, cet.I, Muassasah al-Risalah, Bairut, 1996