26.11.11

TASBIH, TAHMID, DAN ISTIGFAR

Dalam mazhab Hanbali, bacaan sujudnya patut diperhatikan karena berdasarkan sejarah, yaitu setelah Nabi berhasil membebaskan Makkah turun firman Allah berupa surat Al-Nashr, Jika datang pertolongan Allah dan kemenangan (kalau sudah tiba saatnya ke­menangan dari Allah dan pem­bebasan—NM), dan kaulihat manusia masuk agama Allah, maka murnikanlah dalam memuji Tuhan­mu dan berdoalah (ber­tasbihlah kepada Tuhanmu dan pujilah—NM), dan memohon ampun­lah kepada-Nya; sungguh Ia Maha Penerima Tobat (Q., 110:1-3).

Apabila digambarkan secara grafis, seolah-olah Tuhan memperingatkan Nabi bahwa setelah mencapai karier sosial-politik dengan menguasai Makkah kembali, selanjutnya Nabi harus meningkat kepada masalah ruhani yang, dalam surat di atas, diwujudkan dalam bentuk tasbîh, tahmîd, dan istighfâr. Ketiga hal ini penting, karena dalam seluruh proses hidup, kita tidak jarang menghadapi hal-hal yang terasakan seperti tidak pada tempatnya.

Misalnya yang paling gampang, kita sudah berusaha menjadi baik tetapi masih juga menderita. Dalam keadaan seperti ini tentu berbahaya kalau kita mulai curiga atau buruk sangka terhadap Allah. Fungsi tasbih untuk membebaskan diri kita dari pra­sangka kepada Allah, dari persepsi negatif dan pesimis kepada Allah. Hal ini karena kehadiran Allah dalam diri kita menyangkut juga masalah psikologis yang kadang subyektif.

Disebutkan dalam sebuah hadis, “Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku menge­nai Diri-Ku”. Artinya, kalau kita berprasangka baik kepada Allah, maka Allah pun akan baik kepada kita, tetapi kalau kita berprasangka buruk kepada Allah, maka Allah pun buruk pada kita; kalau kita mengatakan Allah tidak adil, maka akan terjadi ketidakadilan pada diri kita, tetapi kalau kita mengatakan Allah Mahakasih, maka kita pun akan dikasihi oleh Allah.

Karena itulah, kita dididik untuk mempersepsi Allah sebagai yang Mahakasih dan Mahasayang (al-rahmân al-rahîm). Oleh karena itu, mengucapkan subhân-a ‘l-Lâh berarti menghapus prasangka buruk kita kepada Allah, wa bihamdih, mengucapkan al-hamdulillâh, berarti mengganti pesimisme yang ada dengan optimisme. Apa pun yang terjadi, kita harus terima dengan penuh opti­mis, dengan pikiran yang positif (positif thinking).

Allah berfirman, Jika kamu bersyukur, Aku akan memberi tambahan (karunia) kepadamu, tetapi jika kamu tidak bersyukur, sungguh azab-Ku dahsyat sekali (Q., 14: 7). Dalam bahasa sekarang, orang yang positif thinking akan melihat dunia sebagai yang menyenangkan, tetapi orang yang negatif think­ing akan melihat dunia sebagai tempat yang menyengsarakan.

Setelah optimis, positif thinking, kita ber-istighfâr, memohon ampun pada Allah karena pernah curiga kepada-Nya, pernah tidak begitu terima, dan ada sedikit ganjalan mengenai pemberian Allah. Keadaan tidak punya persoalan dengan Allah demikian disebut sebagai ridha kepada Allah; kalau kita ridha kepada Allah, maka Allah pun akan ridha kepada kita. Ini merupakan capaian spiritual paling tinggi, yang disebut al-nafs al-mutma’innah.

Di dalam Al-Quran disebutkan, (Kepada jiwa yang beriman akan dikatakan,) ‘Wahai jiwa yang sudah tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu, dengan rasa lega (rela—NM) dan diterima dengan rasa lega (Q., 89: 27-28). Rela kepada Tuhan itulah Islam, pasrah kepada Allah, yang merupakan inti dari agama. Karena itu, disebutkan di dalam Al-Quran bahwa, Barang siapa mererima agama selain islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima (Q., 3:85); dan Sungguh, agama pada Allah ialah islam (tunduk pada kehendak-Nya (Q., 3: 19). Dengan begitu, kita pun menjadi râdliyatan mardlîyah.

Secara berurutan, yang diwujudkan dalam surat al-Nashr, adalah tasbîh, tahmîd, dan istighfâr. Meskipun khithâb surat tersebut kepada Nabi, tetapi itu berlaku umum untuk kita semua. Logikanya, kalau Nabi saja diperintahkan seperti itu oleh Allah, maka lebih-lebih kita. Sejak saat itu, dalam rukuk dan sujud, Nabi membaca, “subhân-aka rabb-anâ fasabbih wa bihamd-ika wa astaghfir-u ‘l-Lâh-umma ...”. Inilah yang dipakai dalam madzhab Hanbali.

Adanya perbedaan bacaan dalam sujud tidak perlu menjadi kerisauan, karena bacaan apa pun, asal diresapi, tentu mempunyai makna juga. Hal ini karena yang terpenting ketika membaca adalah mencoba mengerti apa yang dibaca. Pada taraf ini berarti kita sudah meningkat dari fisik ke psikologis, intelektual. Aspek memahami yang merupakan olah pikir melalui rasio ini, masih berhubungan dengan fisik. Namun, menghayati setelah memahami, meresapi maknanya, berarti sudah menjadi emosional, menjadi nafsani.

Ketika menghayati betul makna membaca subhân-a ‘l-Lâh, wa bihamd-ih, istighfâr, dan menjadi bagian dari nafsani kita, maka kita akan meningkat kepada sesuatu yang lebih tinggi, yang bersifat ruhani, yang tidak lagi bisa dilukiskan, tidak bisa dikomunikasikan. Itu merupakan ciri pengalaman ruhani dan, karena itu. tidak ada pengajarannya melainkan harus dialami sendiri, harus diusahakan sendiri.

Aspek jasmani jelas bisa diajarkan. Begitu juga aspek nafsani terutama dalam segi intelektualnya, masih bisa diajarkan. Namun, masalah menghayati, sudah mulai ada hal-hal yang tidak bisa diajarkan, harus dialami sendiri melalui eksperimenta­si. Ketika sudah ruhani yang disebut dengan istilah kasyf, penyingkapan, atau pengalaman teofanik, pengalaman atas kehadiran manifestasi Tuhan, itu sepenuhnya tidak bisa dikomunikasikan karena sangat pribadi. Karena itu, puncak dari shalat merupakan hal yang sangat pribadi.