26.1.12

KEPERCAYAAN TENTANG ALLAH

Banyak orang Indaonesia yang mengira bahwa hanya kaum Muslim yang percaya kepada Allah, atau kepercayaan kepada Allah adalah khusus Islam, atau perkataan “Allah” itu sendiri khas Islam. Mereka lupa bahwa Al-Quran sendiri menegaskan, bahwa orang Makkah pun percaya kepada Allah. Bahkan Nabi Saw. diingatkan bahwa kebanyakan manusia, seperti bangsa Mesir Kuno di zaman Nabi Yusuf As. juga percaya kepada Allah, namun mereka musyrik (Q., 12: 106).

Orang Indonesia banyak yang mengira bahwa jika dalam Kitab Suci disebut suatu bangsa percaya pada Allah, maka umat atau bangsa itu benar-benar secara harfiah menggunakan perkataan “Allah” yang berasal dari kata-kata Arab. Banyak orang Indonesia juga tidak tahu bahwa di kalangan bangsa Arab terdapat kelompok-kelompok bukan Islam dari dahulu sampai sekarang, seperti Yahudi dan Kristen. Sebagai orang-orang Arab, mereka juga menggunakan per­kataan “Allah” dan percaya kepada Allah.

Mengenai perkataan “Allah” ini, gejala yang sebaliknya juga terjadi di umat lain. Yaitu adanya orang-orang, terutama di Barat, yang ber­anggapan bahwa kaum Muslim adalah “pagan” (penyembah ber­hala), karena mereka menyembah “Allah”. Sebab “Allah” itu bagi banyak orang Barat bukanlah Tuhan melainkan sejenis dewa mitologis sebanding dengan dewa-dewa Rha, Indra, Zeus, Apollo, Agni, Ganesha dan lain-lain.

Kalau mereka yang tidak mengerti Islam itu mengatakan bahwa orang-orang Islam menyembah Allah, maksud mereka bukanlah mengatakan bahwa kaum Muslim menyembah Tuhan yang sebenarnya, melainkan menyembah dewa mitologis seperti halnya bangsa-bangsa kuno di Yunani, Romawi, Mesir dan lain-lain. Maka ketika orang Prancis, misalnya, mulai menerima pe­ngertian bahwa kaum Muslim juga menyembah Tuhan dan bahwa perkataan “Allah” dalam bahasa Arab berarti Tuhan (dalam bahasa Prancis, Dieu) maka masyarakat Muslim Prancis menjadi sangat lega dan berterimakasih.

Jadi orang Eropa, khususnya Prancis, akhirnya mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang se­benarnya, sama dengan Tuhan yang disembah oleh kaum Kristen dan Yahudi. Ini sejalan dengan pe­negasan yang otentik dari Kitab Suci Al-Quran bahwa Tuhan Islam dan Tuhan Ahl al-Kitâb (Yahudi dan Kristen) adalah sama, setelah didahului dengan pesan, janganlah kaum Muslim berbantah dengan mereka melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali terhadap mereka yang zalim (agresif, ofensif, dan lain-lain) (Q., 29: 46).

24.1.12

KECEMBURUAN

Kecemburuan sebetulnya me­rupa­kan segi kekurangan pada seseorang. Kecemburuan, lebih-lebih yang parah dan disebut iri hati, biasanya diderita oleh kita yang cenderung ingin mencari kambing hitam untuk kekurangan, kelemahan atau kegagalan kita, karena kita sendiri sesungguhnya merasa tidak sanggup mengatasi persoalan kita. Jadi kecemburuan dapat disebut sebagai sikap kita yang kalah sebelum melangkah. Yang mantap kepada diri sendiri biasanya bebas dari iri hati.

Tapi semua itu benar kalau masalah kecemburuan tersebut kita tinjau hanya sebagai masalah pribadi atau kepribadian. Sedang­kan dalam tinjauan sosial, ke­cemburuan yang muncul sebagai gejala umum masyarakat harus dilihat sebagai akibat suatu bentuk tatanan sosial yang tidak wajar, misalnya jika terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin yang amat mencolok. Dalam hal ini ke­cemburuan sosial harus dilihat sebagai gejala dan wujud lain dari dorongan jiwa masyarakat untuk menciptakan kembali keseimbang­an sosial, yang secara politik biasa disebut sebagai tuntunan untuk keadilan.

Jika tidak begitu, maka bagaimana kita menerangkan terjadinya revolusi-revolusi se­panjang sejarah umat manusia, baik yang dipimpin oleh para Nabi dan Rasul maupun yang dipelopori oleh para pemimpin non-agama seperti Washington, Thomas Jefferson, Lenin, Mao, Gandhi, Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur dan seterusnya. Semua revolusi itu melaju karena arus deras kecemburuan sosial yang meningkat menjadi protes sosial. Dan revolusi itu biasanya berhasil menumbangkan tatanan yang mapan (establishment), umumnya secara kejam dan tanpa belas kasihan (dalam berbagai analisa ternyata gejolak di Eropa Timur, sungguh ironis, adalah antara lain akibat kemewahan para pemimpin komunis sendiri di tengah kemelaratan rakyat yang mereka perintah).

Oleh karena itu, seperti menjadi inti pesan Presiden kita, dalam melihat kecemburuan sosial itu kira harus berani dengan jujur men­deteksi sebab-sebabnya, hubungan kausalitasnya, letak “biang keladi­nya”. Dan di mana-mana biang keladi kecemburuan sosial ialah kecenderungan hidup mewah sebagian kecil masyarakat di tengah kemiskinan rakyat. Kemewahan yang “halal” pun sudah cukup menjadi pelatuk untuk meledakkan kecemburuan sosial menjadi ke­kacauan sosial; maka apalagi kemewahan yang tidak halal dan tidak legitimate, baik secara sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain, maka kecemburuan itu akan lebih-lebih lagi mudah mendorong terjadinya kekacauan yang besar karena menumpuknya berbagai faktor itu.

Karena kemewahan selalu mengakibatkan malapetaka masya­rakat, maka Kitab Suci menyebut­nya sebagai perbuatan setan, makhluk kejahatan (Q., 17: 27). Lebih dari itu, coba kita renungkan firman suci yang terjemahannya kurang lebih demikian: Dan jika Kami (Allah) menghendaki untuk menghancurkan suatu negeri (sebagai hukuman atas ke-zhâlim-annya), maka Kami biarkan orang-orang yang hidup mewah dalam negeri itu berkuasa, kemudian di sana merekapun bertindak melewati batas, sehingga pastilah turun keputusan (azab) kepada negeri itu, dan kami hancurkanlah dia sehancur-hancurnya (Q., 17: 16).

RAGAM BUDAYA MENANGGAPI PUJIAN

Jangan katakan kalau Anda risih atau membenci satu pujian. Saya anggap itu keliru. Orang bijak tidak serta merta membenci satu pujian un-sich. Pujian –sebagaimana dikatakan: “Praise is a perfume to smell but not to swallow”- bagaikan parfum yang menebarkan bau harum untuk dihirup, bukan untuk diminum dengan asumsi biar lebih wangi yang justru malah berakibat fatal. Enjoy saja dengan pujian kepada diri kita. Yang penting bisa tetap tahu dan bawa diri, fine aja lagi..!

Kaitannya dengan masalah pujian dan ucapan terimakasih, menarik jika diperhatikan perbedaan antar budaya menanggapi ungkapan terimakasih. Ada nilai filosofi yang bisa difaham dari setiap perbedaan cara membalas satu ungkapan terimakasih. Adat kita, saat ada yang mengucapkan “terimakasih”, etika kesopanan kita mengajarkan untuk membalasnya dengan ungkapan “sama-sama”. Orang inggris lain lagi, mereka akan menjawab “you are welcome” untuk balasan bagi orang yang mengucapkan “thak you”.

Beda budaya Inggris atau Barat, beda juga budaya Arab. Orang Arab –atau mungkin ini setelah bersatunya kultur Islam di tengah budaya Arab- akan mengatakan kata “’afwan” sebagai jawaban dari ucapan "syukran" atau terimakasih. Secara leterleg, etika Arab menanggapi ungkapan terimakasih dari seseorang mungkin tidak mengena. Orang mengucapkan terimakasih, tapi dijawab “maaf”. Orang Indonesia, Inggris, dan banyak lagi kebudayaan masyarakat dunia lainnya hampir serupa makna untuk menjawab ungkapan terimakasih, yakni dengan balasan: “sama-sama”, maksdnya si penerima pujian mengembalikan pujian kepada si pemuji; taken for greated.

Waba’du, kenapa orang Arab menjawab satu ucapan terimakasih atau pujian dengan kata “af’an” yang berarti maaf? Disinilah satu cermin budaya Islam yang mewarnai budaya dan bahasa Arab. Sebagaimana diketahui, dalam ajaran Islam bahwa segala pujian hanya milik Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang pantas mendapatkan pujian. Maka saat ada seseorang yang memuji atau mengucapkan terimakasih pada kita, seyogyanya memang harus menanggapi pujian tadi dengan ucapan “maaf”. Jika diteruskan: “maaf saya tidak berhak menerima pujian dan ucapan terimakasih. Allah lah yang pantas menerimanya. Wallahu a’lam bi alshawab.

22.1.12

SIMBOL DAN BAHASA

Simbol merupakan lambang yang biasa kita gunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang penting dan bermakna. Kita memerlukan simbol, karena kata-kata biasa tidak mampu lagi mengungkapkannya, terutama untuk suatu kenyataan tinggi yang ingin kita sampaikan. Simbol, atau bahasa Indonesia menyebutnya “tamsil-ibarat” diperlukan sebagai alat mengungkapkan “kenyataan tinggi” kehidupan manusia. Secara etimologis, tamsil berarti perumpamaan, sedangkan ibarat adalah sesuatu yang yang harus diseberangi.

Keterangan di atas perlu dikemukakan terlebih dahulu, karena hampir setiap hari kita menyebut kata tamsil-ibarat, tetapi seringkali tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan kata itu. Dengan kata tamsil-ibarat itu, artinya segala sesuatu yang ditamsilkan baru kita ketahui maknanya secara benar apabila kita menyeberang ke apa yang ada di balik kata-kata itu.

Sebagai contoh, sering disebut bahasa merupakan suatu sistem simbol. Oleh karena itu, bahasa adalah suatu lambang yang tidak mempunyai maknanya sendiri. Makna bahasa ada pada benda atau barang yang kita namakan sesuai dengan kesepakatan. Maka banyak teori yang menyebutkan bahwa bahasa itu sebenarnya satu, tetapi kemudian berkembang menjadi berbagai macam, karena terjadinya proses penamaan simbol yang berbeda-beda.

Perbedaan simbol ini seringkali dipertengkarkan, akibat orang lupa akan esensinya (“apa yang hendak dirujuk oleh simbol itu”). Jika orang mengetahui esensi dari simbol itu, dan tidak berhenti pada perbedaan simbolnya, maka pandangan orang dapat menjadi sama. Misalnya agama (yang seperti juga bahasa, pada hakikatnya agama adalah sistem simbol).

Perbedaan memang ada pada agama-agama, karena setiap agama mempunyai perbedaan simbol—dalam agama biasa disebut syir`ah atau syarî`ah yang berarti jalan—tetapi sebenarnya pada tingkat esensinya (“pada tingkat transendennya”) adalah sama, yang dalam bahasa Islam disebut “mengajarkan sikap kepasrahan kepada Tuhan” (makna dari islâm itu sendiri). Dalam bahasa Arab sistem yang mengajarkan kepasrahan itu disebut dîn, yaitu ketundukan.