Jika anda seorang penda’i, pastikan bahwa anda betul-betul mengetahui siapa yang menjadi audiens anda setiap kali berdaceramah. Itu bisa membantu anda menentukan teori menyampaikan ceramah; sekedar retorik, atau dialektis, atau bahkan membutuhkan padanan argomentatif? Semua tergantung siapa objek penyampaian mteri khutbah. Rasul bersabda: khẚtibi annas ‘ala qadri ‘uqûlihim, aw kama qẚla: berbicara (berda’wahlah) kepada manusia sesuai tingkatan mereka. Tujuannya bukan membedakan yang terkesan “elitis”, atau argan. Tapi memang ini keniscayaan yang tidak usah dipertentangkan. Berikut ini penulis ketengahkan contoh yang mungkin bisa memperkuat argumentasi tadi.
Ada firman Allah, “Serulah (wahai Muhammad) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan kata nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan sesuatu yang lebih baik” (Q., 16: 25), cukup menarik memperhatikan tafsiran Ibn Rusyd (Averroes) tentang “hikmah” dalam firman Allah itu. Menurut filsuf Muslim yang sekaligus sangat ahli dalam hukum Islam itu, menyampaikan seruan kebenaran dengan hikmah adalah berarti dengan “burhân” atau bukti demonstratif yang tak terbantah (apodiktik). Tetapi karena hikmah dalam pengertian ini adalah sulit untuk orang kebanyakan (kaum awam, ‘awâm—”orang umum”) maka ia merupakan bidang yang menjadi wewenang para spesialis (kaum khawas, khawâshsh—”orang khusus”) yang terdiri dari para filsuf (yang juga disebut al- hukamâ’—”ahli hikmah” dan “ahl al-burhân”—ahli pembuktian apodiktik”).
Pengertian Ibn Rusyd ini mungkin mencocoki pembicaraan tentang peran kaum cendekiawan dalam menumbuhkan religiusitas dalam masyarakat, yaitu peran memberi kejelasan yang rasional. Tetapi tafsiran serupa itu mungkin akan terasa elitis dan esoterik (terbatas pada kalangan tertentu yang mengerti hikmah saja). Dan memang Ibn Rusyd memiliki pikiran itu dalam benaknya. Mereka yang tidak termasuk kaum spesialis atau khawas harus merasa cukup dengan pendekatan dialektis (jadalî), melalui adu argumentasi, jika tergolong “menengah”. Sedangkan golongan yang lebih bawah, yaitu golongan awam (orang umum) cukup dengan pendekatan retorik (khathâbi) dalam bentuk tutur kata dan nasehat yang baik, tanpa mesti paham betul mengenai hakikat kebenaran itu sendiri.
Bagi ketiga golongan itu—khawas, menengah dan awam—cara pendekatan yang cocok untuk masing-masing akan sama-sama mengantarkan pada penghayatan kebenaran, meskipun dengan tingkat-tingkat kualitas yang tinggi-rendah. Dan dengan cara pendekatan yang berbeda-beda itu masing-masing juga akan sampai kepada tingkat-tingkat kebahagiaan tertentu. Jadi masing-masing mempunyai “idiom”-nya sendiri yang bersesuaian, dan tidak perlu ada intervensi dari yang satu kepada yang lain.
Jika berada di masjid Aqsha di Madinah, kita akan menyaksikan banayak security yang siap sedia menghardik, atau jika perlu memukul kaum muslim yang nampak sedang "memuja" makam Nabi. Pandangan ini sering kali terlihat di banyak tempat yang bernilai sejarah keagamaan. Ada Maulidirrasul, Hajar aswad, Jabal Rahmah, dan sebaginya. Kesigapan aparat di Saudi melarang pemujaan pada situs-situs tersebut karena hal tersebut memang dilarang agama Islam. Mengapa? Inilah salah satu kesuksesan agama Islam.
Agama Islam itu begitu besar, dan begitu besar, dan begitu sukses untuk mencegah pemeluknya menyembah tokoh yang mendirikan. Semua agama yang lain “terperangkap” dalam praktek menyembah tokoh yang mendirikan. Agama Buddha, misalnya, malahan berbicara mengenai Tuhan saja tidak berani. Sebetulnya ada konsep Ketuhanan yang luar biasa tingginya pada ajaran Buddha Gautama. Oleh karena itu ada yang mengira bahwa Buddhisme adalah agama yang ateis. Itu nggak betul. Hanya memang para penganut agama Buddha itu nggak mau membicarakan tentang Tuhan, karena Tuhan itu tidak bisa dibicarakan. Tapi akibatnya kemudian banyak orang Buddha sekarang ini menyembah patungnya Buddha Gautama, pendiri agama Buddha.
Yang agak lucu, Konghucu itu tidak pernah mengaku dirinya sebagai pemimpin Agama. Dia hanya seorang failasuf saja. Tetapi orang Cina sekarang malahan menyembah patung Konghucu. Coba kalau kita lihat ke Klenteng. Pada Kristen juga terjadi semacam ini. Umat Kristen menyembah ‘Îsâ al-Masîh yang kemudian mereka sebut sebagai Tuhan Yesus.
Jadi hampir semua agama terjatuh menyembah tokoh pendirinya. Hanya ada dua agama yang tidak menyembah tokoh yang mendirikannya, yaitu agama Yahudi yang didirikan oleh Nabi Mûsâ As. dan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Pelarangan menyembah kepada tokoh ini dalam Islam sangatlah keras. Tidak saja pelarangan itu datang dari Nabi sendiri, tapi juga dari Al-Qurân yang banyak sekali menegaskan bahwa Muhammad itu tidak lain adalah manusia biasa. Jadi kita tidak boleh memitoskan Muhammad lebih dari semestinya. Jelas dia adalah seorang manusia yang sangat agung. Tuhan sendiri juga memuji Muhammad sebagai berakhlaq agung. Tetapi sekaligus juga diingatkan “Innamâ anta Basyar-un” (sesungguhnya kamu itu hanya manusia biasa). Malahan Nabi sendiri diperintahkan oleh Allah untuk menegaskan kepada kita semuanya, para pengikutnya, bahwa beliau itu adalah manusia biasa : Katakan Hai Muhammad, “Aku ini manusia seperti kamu juga, hanya saja diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa” (Q., 18:110).
Karena itu ketika beliau wafat banyak orang terguncang. Rupanya orang Arab dulu meskipun sudah menyaksikan Nabi mengajarkan sedemikian rupa mengenai Islam, masih banyak yang salah mempersepsi tentang siapa itu seorang Nabi. Banyak yang mengira Nabi itu nggak bisa mati, sehingga begitu ketika mendapat berita wafatnya Nabi, banyak dari mereka yang tidak bisa menerimanya dan tidak percaya. Termasuk ‘Umar sendiri, ketika mendengar wafatnya Nabi, ‘Umar marah dan mengancam membunuh kepada siapa-siapa yang bilang bahwa Muhammad meninggal. Waktu itu ‘Umar ada di pinggiran kota, lalu dia pergi ke pusat kota (ke Madînah), lalu ketemu Abû Bakr yang kemudian membacakan firman Allah:Muhammad itu hanyalah seorang rasul Allah, sebelum dia sudah lewat rasul-rasul yang lain, apakah kalau dia mati atau terbunuh kamu akan kembali menjadi kafir ? (Q., 3 : 144).
Ini pelajaran yang sangat penting bagi kita, yaitu bahwa “kebenaran tidak boleh diukur dengan nasib orang yang membawanya.” Ada saja kemungkinan seseorang membawa kebenaran tapi nasibnya nggak baik, terbunuh misalnya. Atau tabrakan di jalan raya ketika mengendarai mobil. Para Nabi pun banyak yang terbunuh. Dalam Perang Uhud, kalau tidak karena para Sahabatnya yang begitu setia rela menjadikan diri mereka menjadi tameng, Nabi mungkin akan terbunuh. Pada saat itu Nabi terperosok dalam sebuah lobang yang sudah disediakan oleh orang kafir dan Nabi tidak bisa keluar. Orang-orang kafir Makkah pun bersorak-sorai, meneriakkan keberhasilan membunuh Nabi. Mereka mengira bahwa Nabi sudah betul-betul mati. Bahkan pada saat itu gigi depan Nabi pecah terkena lemparan batu.
Semua peristiwa itu memberitahukan kepada kita, para pengikutnya, bahwa Nabi Muhammad itu bukan seorang yang sakti mandragna. Tapi beliau adalah manusia biasa. Karena itu Tuhan memperingatkan pada umat Islam:Apakah kalau Nabi itu meninggal atau terbunuh, lalu kamu sekalian akan menjadi kafir (Q., 3 : 144).
Agama kita mengajarkan bahwa kebenaran tetap kebenaran, siapa pun yang membawakannya. Kebenaran janganlah diukur dengan orang yang membawanya. Kalau dibalik boleh, yakni ukurlah orang itu dengan kebenaran. Sayidina ‘Âli ibn Abî Thâlib, misalnya, terkenal sekali dengan perkataannya, “Perhatikan yang dikatakan orang, jangan memperhatikan siapa yang mengatakan.” Jadi, kalau kita memperhatikan siapa yang mengatakan, kita bisa terpengaruh. Artinya kalau secara kebetulan kita tidak suka pada orang yang membawa kebenaran itu, maka kebenaran yang dia ucapkan atau bawa itu jelas akan kita tolak. Sebaliknya, karena kita suka sekali dengan orang itu, apa pun yang diucapkan meskipun bâthil akan tetap kita terima saja. Nah hal semacam ini tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.
Kita kembali pada pandangan bahwa Nabi adalah manusia biasa, dan Al-Qurân penuh denan peringatan tentang hal itu. Keyakinan Nabi sebagai manusia biasa inilah yang dihidupkan kembali dengan sangat fanatik oleh madzhab di Madînah, yaitu Madzhab Wahhâbî. Oleh karena itu, semua bangunan kuburan yang menunjukkan gejala akan disembah oleh masyarakat Muslim saat itu dihancurkan menjadi rata dengan tanah oleh orang-orang Wahhâbî. Gerakan Wahhâbî itu dulu menghancurkan semua kuburan yang cenderung disembah orang Islam. Kalau sekarang kita melihat makam Nabi Muhammad itu masih elaborated sekali, hal itu sebetulnya berkat ancaman keras dari Turki di Istanbul kepada mereka (orang-orang Wahhâbî) hendak menghancurkannya. Tapi sebagai solusinya sekarang ini makam Nabi dikamuflase, artinya kita tidak tahu persis di mana kuburan Nabi. Selain dikamuflase, bangunan makam Nabi juga dijaga keras oleh hansip, yang selalu siap mencegah dan bahkan memukul siapa-siapa yang mencoba untuk menyembah.
Namun demikian masih saja ada banyak orang menganut agama Islam sebagai agama kuburan. Yang paling mencolok adalah pada waktu menjelang puasa dan pada saat Lebaran, sehingga kita menyaksikan, misalnya, Pemakaman di Tanah Kusir sangat ramai. Coba kita lihat sekarang ini, makamnya Imâm al-Syâfi’î selalu menerima ribuan surat. Apalagi makam Syaykh ‘Abd al-Qâdir al-Jaylânî di Baghdâd. Malahan yang saya kaget sekali, saya menyaksikan langsung adanya tempat bersembahyang di kuburan Imâm Khumaynî. Sangat ironis sekali. Orang-orang Wahhâbî dulu dengan keras sekali meratakan semua bangunan kuburan dengan tanah sehingga di Arabia tidak ada bangunan kuburan yang lebih tinggi daripada sekadar tanah, kecuali kuburan Nabi Muhammad, karena orang-orang Wahhâbî tidak sanggup menolak ultimatum dari Turki.