11.11.13

MENENTUKAN METODE PEMBELAJARAN






A.     Muqadimah
Toh demikian, motifasi tersebut tidak cukup kuat menjadi tameng arus globalisasi yang menuntut kehidupan materialistik. Maka gempuran faham pragmatisme pun tidak bisa dihindari. Satu ajaran yang intinya, seperti ditulis Kuntowijoyo (2006: 4), bahwa kepercayaan itu akan menjadi benar adanya jika ada unsur guna. Ukuran dari kebenaran ialah, apakahh kepercayaan dapat mengantar orang pada tujuan. Asas menguntungkan menjadi standar kebenaran untuk segala hal, termasuk juga dalam dunia pendidikan. Komersialisasi pembelajaran menjadi sebuah keniscayaan. Maka semua komponen pembelajaran didesain mampu menjawab kebutuhan hidup. Dari sisi ini lantas realita pembelajaran bahasa Arab semakin jauh dari posisi edealitanya. Bahasa ini semakin tertinggal dari bahasa asing lainnya di Indonesia. Ia lantas dipandang sebagai materi yang kurang "menjanjikan".
Kondisi PBA seperti di atas semakin diperparah dengan perhatian pemerintah yang hanya melihat keberadaannya dengan "sebelah mata". Asumsi itu nampak terutama jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang juga merupakan bahasa asing di Indonesia. Dengan kekhawatiran tidak lulus UAN karena minimnya nilai bahasa Inggris, setiap siswa otomatis dituntut mempelajari bahasa Inggris. Siswa dihadapkan pada dua pilihan, tidak belajar bahasa Inggris, atau siap tidak lulus UAN jika nilai bahasa Inggrisnya tidak memenuhi syarat. Maka, masuknya bahasa Inggris dalam materi Ujian Nasional tak pelak kian memperburuk perbandingannya dengan bahasa Arab yang tidak diujikan dalam UAN.
Gambaran tersebut cukup mewakili bagaimana kemudian citra PBA di kalangan masyarakat Indonesia. Posisi PBA di Indonesia dalam tataran praktis menjadi semakin jauh dari idealitanya. Kasat mata kita juga melihat, seperti ditulis Mujib (2010:60), anggapan sebagian besar masyarakat terhadap bahasa Arab tidak lebih sebatas sarana memahami agama dalam motivasi ibadah. Buntutnya, para siswa yang memiliki pengetahuan di atas rata-rata temannya akan dipersepsikan sosok yang cita-citanya ingin jadi ustadz, atau muballig saja.

B.      Memulihkan Realita dan Citra PBA di Indonesia
Menyadari kondisi PBA seperti gambaran di atas, tanpa niatan menepis –untuk tidak mengatakan menolak- anggapan masyarakat terhadap PBA, sebagai pengajar bahasa Arab di kalangan non-Arab, kita para guru lah yang mula-mula harus bertekat dan berupaya memulihkan realita serta citra PBA di kalangan anak didik kita sendiri. Pada aspek ini, fungsi guru sebagai motivator sekaligus fasilitator sejatinya harus terus kita tingkatkan. Meyakinkan bahwa bahasa Arab merupakan materi yang mudah dipelajari, memberikan gambaran secara kontineu kegunaan bahasa Arab, serta mengaktualisasikan idealita bahasa Arab bagi pelajar yang muslim merupakan beberapa contoh motivasi yang sejatinya ditularkan kepada peserta didik kita.
Selain motivasi sebagaimana gambaran di atas, hal yang tidak kalah pentingnya sebagai langkah kongkrit mengangkat kondisi realita juga citra bahasa Arab di kalangan pelajar non-Arab adalah kualitas serta kapabilitas guru pengajar bahasa arab itu sendiri. Seperti halnya pengajar materi lainnya, kita sebagai guru bahasa Arab hakekatnya dituntut untuk terus mengembangkan kecakapan diri, baik seputar bahasa Arab, juga bagaimana cara mengajarkannya kepada peserta didik dengan cakupan jenjang pendidikan yang ada: ula/ mubtadi-in, wustha, serta ulya.
Terlepas dari keniscayaan indifidu dalam mengembangkan pengetahuan seputar  bahasa arab, baik klasik, serta kontemporer, pada sisi bagaimana cara mengajarkan bahasa Arab sebagai bahasa asing, sebenarnya kita sudah bisa cukup dengan mengadopsi pelbagai metode pengajaran yang sudah ada. Sejak abad pertengahan, para pakar pendidikan bahasa telah banyak melahirkan metode-metode pengajaran bahasa asing yang siap pakai. Tinggal bagaimana kita bisa memaksimalkannya dalam proses pembelajaran dan pengajaran, sesuai kebutuhan materi.

C.      Antara Metode dan Pendekatan
Ada baiknya jika penulis pertegas maksud kata “pendekatan”, agar bisa dibedakan dengan “metode”, sebagaimana yang terjadi, ada kerancuan dalam memahami istilah keduanya. Karena ternyata, dalam hal komunikatif pun, ada metode komunikatif (Iskandar dan Dadang, 2009), juga ada pendekatan komunikatif. Tanpa mengetahui perbedaan kedua istilah ini, kita akan semakin sulit memilah antara satu dari yang lainnya.
Maka, yang dimaksud dengan pendekatan menurut al-Naqah, seperti dikutip Acep Hermawan (2011, 167), sekumpulan asumsi tentang proses belajar mengajar dalam bentuk pemikiran aksiomatis yang tidak perlu diperdebatkan. Sementara metode, maksudnya adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 1995). Metode lebih bersifat prosedural dan sistemik karena tujuannya untuk mempermudah satu pekerjaan.
Lebih lanjut Acep menjelaskan, bahwa pendekatan merupakan pendirian filosofis yang selanjutnya menjadi acuan dalam kegiatan pembelajaran bahasa. Sebagai contoh, ada teori yang mengatakan bahwa "bahasa lahir dari segala sesuatu yang didengar dan diucapkan, sedangkan menulis merupakan kecakapan yang timbul setelahnya". Dari teori ini, lantas lahirlah asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa tahapan mempelajari bahasa didahului oleh peningkatan kemampuan mendengar, bicara, membaca, lalu menulis.
Thaimah dan Naqah (2006: 45) juga secara tegas membedakan antara pendekatan dan metode. Jika pendekatan dimaksud dengan serangkaian bangunan yang menjadi sandaran metode, seperti gambaran tentang pemahaman bahasa, dan filsafat pembelajarannya; maka metode dimaksudkan dengan sekumpulan cara sebagai perantara yang bersifat eksternal untuk pencapaian sebuah tujuan tertentu dalam pembelajaran.
Untuk itu, seorang pengajar bahasa yang menganut pendekatan tertentu, dia tetap memiliki kebebasan menciptakan beragam metode sesuai dengan situasi dan kondisi terjadinya kegiatan belajar mengajar. Yang harus diingat, metode yang dilahirkan dan digunakan tidak bertentangan dengan pendekatan yang dianut.

D.     Ragam Pilihan Metode Pengajaran Bahasa Arab 
Secara historis, pergulatan pemikiran menyangkut metode pengajaran bahasa telah meninggalkan jejak yang panjang. Sejarah pengajaran bahasa telah banyak diwarnai oleh berbagai gagasan mengenai hakekat satu bahasa dan bagaimana ia diajarkan. Hal tersebut lantas berdampak pada munculnya beraneka ragam metode pengajaran bahasa secara silih berganti. Keanekaragaman metode pengajaran bahasa tidak lain merupakan refleksi dari keragaman cara pandang filosofis bahasa dan proses belajar bahasa (Aziz Fachrurrazi dan Erta Mahyuddin, 2011: 171).
Pada kesempatan ini, ada baiknya diketengahkan berbagai macam metode pengajaran bahasa asing, diantaranya:
1.      Metode Tata bahasa-Terjemah (طريقة القواعد والترجمة)
2.      Metode Langsung (الطريقة المباشرة)
3.      Metode Membaca (طريقة القراءة)
4.      Metode Dengar Ucap (الطريقة السمعية الشفوية)
5.      Metode Komunikatif (الطريقة الإتصالية)
6.      Metode Respon Fisik Total (طريقة الإستجابة الجسمنية الكاملة)
7.      Metode Diam (الطريقة الصمتية)
8.      Metode Belajar Kelompok (طريقة تعلم اللغة من خلال المجتمع)
9.      Metode Alamiah (الطريقة الطبيعية)
10.  Metode Suggestopedia (الطريقة الإلهائية)
11.  Metode Elektik (الطريقة الإنطقائية)
Dengan menggabungkan pendapat William Francis Hackey (1978), Danny D. Steinberg (1986), Omagio (1986), Stern (1987), dan Rodgers, seperti ditulis Aziz (2011: 172-173), ragam metode pengajaran bahasa dengan urutan alpabetis dapat disebutkan sebagai berikut:
Audiolingual Method, Audiovisual Method, Cognate Method, Cognitive Method, Communicative Method, Community Language Learning Method, Eclectic Method, Grammer-Translation Method, Language-Control Method, Mimircy-Memorization Method, Natural Method, Phonetic Method, Practice Theory Method, Psychological Method, Reading Method, Silent Way Method, Suggestopedia Method, Total Physical Response Method, dan Unit Method. Dan tidak menutup kemungkinan masih ada metode lainnya.

E.      Pemilihan Metode Pembelajaran
Dengan banyaknya ragam metode pembelajaran bahasa asing, termasuk didalamnya bahasa Arab, tidak keliru jika lantas ada pertanyaan: Metode apakah yang cocok untuk mengajarkan bahasa Arab sebagai bahasa asing di kalangan pelajar non-Arab? Diakui atau tidak, kita pun kerap dituntut mencari strategi macam apakah yang dapat mewujudkan pembelajaran yang aktif.
Kenyataan ini merupakan imbas bahwa seluruh metode yang diperkenalkan belum mampu menjawab semua tantangan yang terjadi di lapangan, yang dihadapi oleh para guru bahasa asing. Ini juga menunjukkan realita bahwa semua metode tersebut secara keseluruhan mengandung keterbatasan dan kekurangannya masing-masing.
Para ahli metodologi pengajaran bahasa asing menyebutkan beberapa alasan yang menyebabkan kondisi tersebut. Di antaranya:
1.      Setiap metode yangg ditawarkan merupakan konsep "siap pakai" yang terlalu bersifat prescriptif. Para guru diminta menerapkannya secara utuh, bahkan harus meninggalkan metode yang ada sebelumnya, tanpa memperhitungkan karakteristik (fisik, geografis dan SDM) lembaga pendidikan seperti madrasah yang beragam.
2.      Sejalan dengan hal tersebut, setiap metode terpisah dari metode sebelum atau sesudahnya, bukan merupakan mata rantai yang saling berhubungan sebagaimana lazimnya didalam perkembangan bidang-bidang pengetahuan yang lain.
3.      Kondisi tersebut menyebabkan sulitnya menerapkan suatu metode secara utuh dalam situasi dan kondisi pembelajaran yang sangat beragam. Ini terbukti masih cendrungnya para guru menggunakan metode dann teknik penagajaran 'lama', meski sudah dilakukan berbagai upaya, semisal penataran, pelatihan, studi banding, untuk meyakinkan perlunya menggunakan metode 'baru' yang ditawarkan.
4.      Satu metode terlalu berlebihan dalam membeberkan kelemahan metode sebelumnya. Sebagai contoh, Metode Langsung melarang penggunaan terjemah yang menjadi pangkal utama Metode Tata Bahasa-Terjemah yang lahir dan digunakan sebelumnya. Metode Komunikatif melarang mengajarkan qawâ'id (struktur kalimat) secara langsung dan sistematis, padahal itu merupakan poros utama Metode Audiolingual yang sudah banyak dugunakan sebelumnya.
5.      Kelemahan metode yang dikenal dengan Metode Elektik, khususnya setelah kemudian muncul Meode Komunikatif, dalam pemilihan materi (silabus). Kedua metode tersebut berbeda, lalu bagaimana kita bisa memadukan antara keduanya? Yang pertama mensyaratkan pengurutan materi qawa'id/grammar dan mufradat/vocabulary secara scala prioritas (dari yang mudah ke yang sulit, dari yang sederhana ke yang kompleks, dst), sementara metode kedua justru meninggalkan skala prioritas, karena menekankan pada 'penggunaan ujaran-ujaran bahasa' sesuai dengan tuntutan situasi dann kondisi sosial budaya yang beragam sejak awal. (Hidayat, 2008: 1)
Dengan melihat kenyataan di atas, untuk kepentingan praktis di lapangan, tidak akan ada satu bentuk baku pemilihan atau penggabungan metode yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan pengajaran bahasa yang dihadapi guru di lapangan. Jadi, keputusan tentang metode apa yang akan dipilih dan digabungkan sangat tergantung kepada pertimbangan rasional kita sendiri sebagai guru bahasa Arab.
Untuk keputusan ini, harus juga diperhatikan bahwa penerapan sebuah metode atau penggabungan beberapa metode bisa menampilkan metode pembelajaran yang ideal apabila didukung oleh penguasaan guru secara memadai terhadap berbagai macam metode (termasuk kekuatan dan kelemahan masing-masing), sehingga dapat mengambil secara tepat segi-segi kekuatan dari setiap metode dan menyesuakannya dengan kebutuhan program pengajaran yang ditanganinya, kemudia dengan kebutuhan program pengajaran yang ditanganinya, kemudian menerapkannya secara proporsional dengan melakukan "modifikasi dan improvisasi" yang diperlukan.
Karena itu, perhatian para guru bahasa Arab hendaknya sudah harus lebih mengarah kepada strategi atau teknik pembelajaran yang ditawarkan oleh berbagai pendekatan dan metode pengajaran bahasa asing, darp pada berkutat pada metode yang harus dipilih.

F.       Faktor-Faktor Pemilihan Metode Pembelajaran Bahasa asing
Selain penguasaan terhadap berbagai metode pembelajaran bahasa asing, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan seorang guru dalam memilih metode pengajaran bahasa asing. Faktor-faktor tersebut, di antaranya:
1.      Faktor Tujuan Pembelajaran
2.      Faktor Materi/ Bahan Ajar
3.      Faktor Guru
4.      Faktor Siswa
5.      Faktor Sarana Prasarana dan Media Pembelajaran
6.      Faktor Situasi dan Kondisi Kelas

G.     Penutup
Sebagai satu kegiatan yang direncanakan, setiap upaya pembelajaran diharapkan bisa membuahkan hasil seperti yang direncanakan bersama. Hal ini bisa terujud jika pembelajaran berjalan efektif. Dengan kata lain, satu pembelajaran bisa dikatakan efektif jika membawa hasil atau pengaruh bagi peserta didik. Hasil atau pengaruh dimaksud bisa dilihat setidaknya dari dua sisi: proses dan hasil. Dari segi proses, artinya seluruh peserta didik terlibat secara aktif dalam pembelajaran, dan guru mampu menunjukkan profesionalitasnya dalam mengajarkan bahasa asing. Sedangkan dari segi hasil, sebagaian besar siswa dapat mencapai kompetensi yang telah ditentukan dan hasil pembelajaran bahasa Arab dirasakan bermanfaat bagi pengembangan kepribadian siswa, bisa membantu penguasaan ilmu sesuai kebutuhan siswa, dan sebagainya.
Untuk mencapai efektifitas pembelajaran bahasa Arab, perhatian para guru hendaknya sudah harus lebih mengarah kepada strategi atau teknik pembelajaran yang ditawarkan oleh berbagai pendekatan dan metode pengajaran bahasa asing. Artinya, dari pada berkutat pada metode apa yang harus dipilih dan diunggulkan, maka lebih baik guru bahasa Arab mengambil jalan tengah dengan memilih dan meramu berbagai metode menjadi sebuah ramuan strategi dan Teknik Pembelajaran Bahasa Arab.   

Daftar Pustaka:

1.      Fathul Mujib, 2010: Rekonstruksi Pendidikan Bahasa Arab, cet. I, Pedagogia, Jogjakarta
2.      Kuntowijoyo, 2006: Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi Metodologi dan Etika, Edisi II, Tiara Wacana, Jogjakarta
3.      Aziz Fachrurrozi dan Erta Mahyuddin, 2011: Pembelajaran Bahasa Asing Metode Tradisional dan Kontemporer, cet. I, Bania Publishing, Jakarta
4.      D. Hidayat, 2008: Ta'lim al-Lughah al-Arabiyyah, Toha Putra, Semarang
5.      Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi Metodologi dan Etika, Edisi II, Tiara Wacana, Jogjakarta, 2006
6.      Acep Hermawan, 2011: Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Cet.I, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
7.      Muhammad Ali al-Khauli, 1998: Ta’liimu al-Lughah Hãlãt wa Ta’lîqat, Dar falh li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Urdun
8.      Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departeen Pendidikan dan Kebudayaan, balai Pustaka, Jakarta, 1995
9.      Iskandarwassid dkk, 2009: Strategi Pembelajaran Bahasa, cet. II, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung





  


14.10.13

Berkurban Instrumen Ujian Iman



 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر  X٩  كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
الحَمْدُ للهِ الذى تَنَزَّهَ عَنِ الشَّبِيهِ والنَّظِيرِ وَتَعَالى عَنِ المَثِيلِ ‏فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَئٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ} ‏أَحْمَدُهُ عَلَى أَنْ أَلْهَمَنَا العَمَلَ بِالسُّنَّةِ والكِتَابِ وَرَفَعَ في ‏أيَّامِنَا أَسْبابَ الشَّكِ والارْتِيَابِ، وَأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلاّ اللهُ ‏وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ يَرْجُو بِإخْلاصِهِ حُسْنَ ‏العُقْبَى وَالمَصِيرِ، وَيُنَزِّهُ خَالِقَهُ عَنِ التَّحَيُّزِ في جِهَةٍ، وَأَشْهَدُ ‏أنَّ سَيِدَنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الذي نَهَجَ سَبِيلَ النَّجاةِ لِمَنْ سَلَكَ سَبِيلَ ‏مَرْضَاتِهِ، وَأَمَرَ بِالتَّفَكُرِ في آلاءِ اللهِ وَنَهَى عَنِ التَّفَكُّرِ في ‏ذَاتِهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى ءالِهِ وَأَصْحَابِهِ الذينَ عَلا بِهِمْ ‏مَنَارُ الإيمانِ وارتَفَعْ، وَشَيَّدَ اللهُ بِهِمْ مِنْ قَواعِدِ الدّينِ ‏الحَنِيفِ مَا شَرَعْ، وَأَخْمَدَ بِهِمْ كَلِمَةَ مَنْ حَادَ عَنِ الحقِ ‏وَمَالَ إلى البِدَعْ.
أمَّا بَعْدُ أَحبَابَ الرّسُولِ الأعْظَمِ، فإنَّ ‏خَيْرَ ما أوصيكُمْ بِهِ في هذِهِ الصّبيحَةِ المُبَارَكَةِ تَقْوَى اللهِ والمُسارَعَةُ إلى الطّاعاتِ. 
                                       الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.
 Jama’ah shalat ‘idul adha rahimakumullah…
Di pagi hari yang penuh berkah ini, kita berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha. Baru saja kita ruku’ dan sujud sebagai pernyataan taat kepada Allah SWT. Kita agungkan nama-Nya, kita gemakan takbir dan tahmid sebagai pernyataan dan pengakuan atas keagungan Allah. Takbir yang kita ucapkan bukanlah sekedar gerak bibir tanpa arti. Bukan juga retorika musiman. Tetapi sebagai wujud pengakuan nan-tulus, yang menyentuh hingga menggetarkan relung-relung jiwa manusia yang beriman. Allah Maha Besar. Allah Maha Agung. Tiada yang patut di sembah kecuali Allah.

Karena itu, melalui mimbar ini saya mengajak kepada diri saya sendiri dan juga kepada hadirin sekalian: untuk bersama-sama meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, bukan sekedar pada sisi formalitasnya, namun mencakup nilai ketulusan kita dalam penghambaan diri kepada Rabbul Izzah, sebagai upaya menjadikan diri pribadi-pribadi yang benar-benar beriman dan bertaqwa....

Jama'ah Shalat Idul Adha yang berbahagia,
Kaitannya dengan upaya peningkatan iman dan ketaqwaan, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Angkabut, ayat: 2 dan 3:
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم.....
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَيُفْتَنُونَ # وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ.
Artinya: "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka itu dibiarkan (saja) mengatakan: 'kami telah beriman', sedang mereka tidak akan diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah maha tahu siapa-siapa yang benar-benar beriman, dan siapa-siapa yang hanya berdusta, (alias hanya mulutnya saja yang mengaku beriman)".

Jika dicermati, ayat di atas mengisyaratkan keniscayaan ujian Allah bagi kita semua yang mengaku beriman. Dan karena keimanan adalah satu hal yang abstrak, maka diperlukan adanya bukti kongkrit sebagai wujud nyata atas pernyataan tersebut. Hal ini tidak hanya bagi kita ummat nabi Muhammad SAW, tapi ia berlaku bagi ummat manusia dimana dan kapan saja. Bahkan sejak awal penciptaan manusia, ujian keimanan kepada Rabbul Izzah Allah SWT, memang telah menjadi satu keniscayaan. Inilah yang dimaksud keterangan ayat: وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ: kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Inilah realita sejarah keimanan yang perlu kita sadari bersama.

Kaum muslimin rahimakumullah....
Salah satu instrumen atau media pokok ujian keimanan tersebut adalah wujud pengorbanan yang tulus dari hamba untuk Allah jalla jalaaluhu. Tidak kurang Al-Qur'an menceritakan kepada kita kisah-kisah historis umat manusia yang diuji keimanannya oleh Allah SWT. Mulai dari bapak Adam as, kedua putranya Habil dan Qabil, serta kisah pengorbanan para Nabi.
Sebagai kisah teladan, kita dituntut dapat terus mengenangnya, dan menjadikannya pelajaran hidup. Inilah kiranya kenapa Allah memerintahkan nabi Muhammad untuk menceritakan kisah dua putra nabi Adam. Seperti firman Allah:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَىْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ اْلأَخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ* قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
"Ceritakanlah (hai Muhammad) kepada mereka kisah dua putra Adam (Habil dan Qabil) dengan sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan Korban, maka diterima (kurban) salah satu dari keduanya (yakni Habil), dan ditolak dari lainnya (yakni Qabil). Ia (Qabil) berkata: 'Aku pasti akan membunuhmu!' (Habil) berkata: Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa". (Al-Ma'idah: 27)

Serupa dengan kisah pengorbanan di atas, Al-Qur'an juga mengisahkan pengorbanan dua hamba-Nya yang sangat fenomenal, hingga dijadikan sebagai satu dari sekian rukun keberislaman umat Islam, yakni kisah nabiyullah Ibrahim, dan putranya Isma'il 'alaihimassalam. Allah berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى* قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَاتُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: "Maka tatkala anak itu sampai (pada usia cakap) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Hai anakku sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelehmu. Maka fikirkanlah, apa pendapatmu?'. Isma'il menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Hadirin Jama'ah sekalian yang berbahagia...
Dari dua kisah ini kita bisa menyimpulkan bahwa hakekat pengorbanan adalah keikhlasan mempersembahkan kebanggaan dari keinginan atau cita-cita kita dalam hidup. Kita tahu, dua putra nabi Adam berprofesi beda. Habil sebagai pengembala, sedangkan Qabil adalah seorang petani. Dari dua profesi mereka, Allah memerintahkan untuk mempersembahkan hasil usaha mereka. Dan karena keimanan dan ketaqwaannya, Habil lantas mempersembahkan hasil terbaiknya berupa ternak. Sedangkan Qabil, persembahannya kepada Allah hanya alakadarnya saja. Tidak setulus hati ia memenuhi perintah Allah.

Serupa dengan kesungguhan Habil, nabi Ibrahim pun telah membuktikan kecintaannya kepada Allah melebihi kecintaannya pada segalanya, termasuk kecintaannya kepada anak semata wayangnya yang dikaruniai Allah pada masa senjanya. Bisa kita bayangkan pengorbanan sosok ayah yang selama ini mendambakan seorangg anak, lantas siap mempersembahkan si anak untuk Tuhannya. Masya Allah, la haula wala quwwata illa billahil 'aliyyil 'adzim... 

Maka bukan lah satu hal yang berlebihan jika kisah ini diabadikan dalam Al-Qur'an, sebagai refleksi serta barometer: adakah kesiapan bagi kita untuk menjadikan cinta kepada Allah SWT, di atas kecintaan kita kepada segalanya?! Mampukah kita melakoni peran dalam sejarah kehidupan kita masing-masing bahwa tujuan akhir setiap usaha kita bermuara pada pembuktian keimanan serta ketaqwaan kita yang tulus kepada Allah?!
Pertanyaan-pertanyaan serupa kiranya perlu selalu kita pertegas dalam setiap langkah kita, kapan, dimana, dan untuk apapun. Masuk kelompok Habil kah kita?! Atau masih sebatas Qabil yang kecintaannya kepada Allah sekedar formalitas belaka?! Dengan penampilan dan suara lantang kita sebut diri sebagai muslim, mukmin dan muttaqin. Namun godaan-godaan kecintaan dunia acapkali membelenggu diri, hingga mengaburkan makna ketulusan iman dan taqwa kita.

Ingatlah, tanpa ketulusan iman, manusia acapkali tergoda hingga membenarkan upaya penyimpangan dari amanah yang dibebaninya. Penguasa, akan mudah memonopoli kekuasaan; pejabat, mudah sekali berbuat curang atas kekuasaannya; seorang hakim, sangat mungkin sekali menggadaikan kehormatan jabatannya untuk kepentingan sesaatnya. Maka, hanya dengan ketulusan iman, kita bisa menjalankan amanah dengan sebenar-benarnya.

Hadirin kaum muslimin dan muslimat sekalian...
Marilah, di tempat dan kesempatan yang penuh barokah ini kita bersama-sama bermunajat kepada Allah, agar tergolong hamba-hamba yang bisa menghambakan diri dengan setulus hati, menjadikan kecintaan kepada Allah sebagai dasar atas kecintaan kepada segalanya. Semoga kita mampu menjadi orang tua seperti yang dicontohkan Ibrahim, dan siap menjadi anak seperti ditauladani Isma'il. Amin wastajib lana ya mujibassailin...
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
  بسم الله الرحمن الرحيم: (إنا أعطيناك الكوثر * فصل لربك وانحر* إن شانئك هو الأتبر)
تَقَبّلَ اللهُ ‏منّا صالحَ الطّاعاتِ، وَجَمَعَنَا وإياكُمُ العامَ القَادِمَ على ‏عَرَفَات، وَرَزَقَنَا زِيارَةَ قَبْرِ حَبيبِهِ مُحمّدٍ صلّى اللهُ عليهِ ‏وَسلّمَ، وَثَبّتَنَا على كامِلِ الإيمانِ؛
أقولُ قولي هذا، وأسْتَغْفِرُ ‏اللهَ العظيمَ لي ولَكُمْ، فَياَ فَوْزَ المُسْتَغْفِرِينَ، استغْفِرُوا اللهَ