Mungkin ini salah satu pelajaran penting yang bisa anda petik dari sejarah kepemimpinan, yakni berhati-hatilah pada orang-orang culun.
Hosni Mubarak tampak lugu seperti pegawai magang ketika Anwar Sadat tewas oleh pembunuhan. Banyak suara yang waktu itu meragukan apakah ia mampu memimpin Mesir. Tetapi wakil presiden yang tampak lugu itu mematahkan keraguan dan membuktikan bahwa dirinya sanggup memimpin Mesir sampai 30 tahun. Sampai-sampai ia harus dipaksa turun karena tidak tahu kapan harus turun.
Moammar Qaddafi juga begitu. Ia memimpin kudeta militer terhadap Raja Idriss yang didukung A.S. pada waktu raja tua itu masuk rumah sakit di Turki, tahun 1969. Pada waktu itu ia baru 27 tahun, berpangkat kolonel, dan belum bisa membedakan udang dari lintah. “Astaga! Orang Mesir makan lintah?” tanyanya pada sebuah acara makan di sela-sela pertemuan para pemimpin negara Arab yang diadakan di Mesir.
Adegan itu bisa anda jumpai di buku Road to Ramadhan karya Hussein Heikal, yang diterjemahkan secara bagus oleh Mahbub Junaidi dengan judul Di Kaki Langit Gurun Sinai. Hampir saja ia membuang ketakjubannya pada Gamal Abdul Nasser, presiden Mesir sebelum Sadat, karena urusan udang di meja makan ini.
Sekarang, Qaddafi tampaknya tidak mengagumi siapa pun kecuali dirinya sendiri. Ia suka mengenakan jubah longgar warna-warni dan jika keluar kandang selalu dijaga oleh para pengawal perempuan. Ia juga suka mendengar suaranya sendri. Anda ingat, Qaddafi pernah berpidato sepanjang 4 jam di depan sidang PBB. Itu pidaro spektakuler yang sanggup membuat penerjemahnya pingsan, sehingga pekerjaannya harus diteruskan oleh penerjemah cadangan. Para pemimpin yang lucu memang biasanya lebih suka bicara ketimbang mendengar, meskipun ia memiliki dua telinga dan hanya satu mulut.
Dari masa Perang Dunia II, kita mendapati hal yang sangat jenaka pada sosok Hitler. Terutama tentu saja kumisnya. Mungkin ia ingin selalu tampak rapi, mungkin ingin kelihatan manis dan menggemaskan. Tapi coba anda tanyakan kepada der Furher kenapa sampai terpikir olehnya untuk menampilkan kumis seperti itu, langsung dilempar ke kamar gas sampean.
Satu orang lain yang amat lucu adalah Saparmurat Niyazov, pemimpin Turkmenistan yang menjuluki dirinya sendiri Turkmenbashi—bapak bangsa Turkmen. Ingatan saya melayang ke orang ini karena kesebelasan nasional U-23 kita dikalahkan oleh Turkmenistan.
Negeri pecahan Uni Soviet ini terletak di daratan Asia Tengah. Bagian terbesar wilayahnya adalah gurun, dan jumlah penduduknya hanya sekitar 5 juta, rata-rata sangat miskin kendati negeri itu memiliki kekayaan gas alam yang luar biasa. Ini fakta yang tidak aneh. Di negara kita, banyak juga tempat-tempat yang menyimpan kekayaan alam sangat besar, namun penduduk di atasnya sempoyongan miskin papa.
Saparmurat memimpin negerinya sejak ditunjuk oleh Mikhail Gorbachev, tahun 1985, dan kemudian menjadi presiden pada tahun 1991 ketika Uni Soviet bubar dan Turkmenistan berdiri sendiri menjadi negara merdeka.
Ia lahir tahun 1940, ayahnya tewas pada perang dunia kedua, ibu dan seluruh keluarganya tewas oleh gempa di tahun 1948. Tumbuh tanpa sanak famili, ia dibesarkan di panti asuhan dan selanjutnya dipungut oleh kerabat jauh. Latar belakang semacam ini tentu juga akan sangat memukau bagi kita, sekumpulan orang yang mudah jatuh hati pada tokoh yang menderita.
Sebelum menggelari dirinya Turkmenbashi, Pak Sapar ini sebenarnya lebih dulu minta izin kepada Turki untuk ikut menggunakan gelar “Ataturk” yang dimiliki oleh Mustafa Kemal. Mengingat warga Turkmenistan juga adalah bangsa Turki, ia pikir ia layak juga menyandang sebutan bapak bangsa Turki. Tentu tidak mungkin Turki menyetujui permintaan itu. Karena itulah si Murat menggunakan gelar Turkmenbashi.
Kebijakan pertamanya setelah Turkmenistan lepas dari Uni Soviet adalah menegaskan jatidiri dan budaya bangsa. Maka, ia lantas mengganti nama Januari dalam kalender dengan namanya sendiri. Dan Januari mendapatkan nama barunya: Turkmenbashi. Adapun bulan April ia ganti dengan nama ibunya, Gorbansoltan. Seluruh nama bulan ia ganti dengan nama-nama yang mengingatkan kepada “kejayaan” bangsa. Begitu juga nama hari dalam seminggu.
Selain untuk menggantikan nama bulan April, nama ibunya juga ia umumkan sebagai pengganti kosakata “roti” dalam kamus bahasa Turkmenistan. Kebijakannya yang lain demi menegakkan budaya bangsa adalah melarang sirkus, balet, opera—juga melarang pemeliharaan jenggot dan pemasangan gigi emas. Alasan serupa juga ia gunakan untuk menetapkan satu hari libur nasional untuk memperingati buah melon.
Tahun 1996 ia berhenti merokok karena gangguan kesehatan dan sejak itu ia melarang orang merokok di tempat umum. Ia juga menyarankan orang memamah tulang, agar gigi mereka kuat. “Pada waktu kecil saya melihat anjing memamah tulang, dan gigi binatang itu kuat,” katanya.
Ada satu hobinya yang sama dengan presiden kita, Pak Sapar juga suka menulis puisi. Ia membacakan puisinya di televisi dan menerbitkan buku kumpulan puisi. Namun, agak berbeda dengan para penyair remaja dan para politisi kita yang kebanyakan memuja desa dan para petani, ia tidak peduli pada orang desa. Alih-alih memuja desa, Saparmurat malahan menutup semua perpustakaan di desa-desa. “Tak ada gunanya dibuka,” katanya. “Toh orang-orang desa tidak bisa membaca.”
Meski demikian ia menulis buku panduan berperilaku dan mewajibkan semua warganya membaca buku tersebut. Tentang buku, tentu saja ia bukan kasus unik. Qaddafi juga menulis buku, disebut Buku Hijau, yang dijadikan panduan hidup bagi warga Libya. Pemimpin kita juga suka membikin buku putih. Buku Saparmurat berjudul Ruhnama atau Buku Jiwa, sebuah panduan berperilaku bagi warga Turkmenistan. Ini adalah buku wajib bagi para siswa sekolah.
Hobinya yang lain adalah mencetak fotonya di semua mata uang, baik kertas maupun koin, juga mendirikan patung dirinya di mana-mana. Salah satu patungnya bisa diputar dan selalu harus diputar dalam posisi menghadapi matahari.
Oh, ia bisa membuat aturan apa saja dengan alasan apa saja.
Bagaimana pemimpin semacam ini bisa bertahan 21 tahun? Alasannya klise belaka, ia didukung Barat yang berkepentingan dengan gas alam Turkmenistan. Sekarang, Turkmenistan sudah terbebas dari Turkmenbashi mereka. Pada 21 Desember 2006, Pak Murat tewas oleh serangan jantung.
Pertanyaan bagi kita, kok kita bisa kalah oleh Turkmenistan, sebuah negeri yang lebih dari dua dekade dikuasai oleh pemimpin seperti itu? Tentu saja bisa. Kesebelasan nasional kita bisa kalah oleh siapa saja. Ia bisa kalah oleh Brasil, bisa keok oleh Argentina, bisa pingsan dihajar Spanyol, Jerman, Malaysia, Thailand, Vietnam, Cina, Jepang, Korea, Timor Leste, dan sebagainya.
Hanya Nurdin Halid yang susah ditaklukkan. Ia bahkan tak bisa tumbang oleh statuta FIFA yang menetapkan bahwa organisasi sepakbola tidak boleh dipimpin oleh orang yang terlibat tindak pidana. Saya tidak tahu apakah Nurdin Halid memiliki penampilan seculun para pemimpin itu. Yang jelas, ia suka mencium tangan Presiden, seperti santri kepada kiainya. Dan, sama seperti para pemimpin culun di atas, ia juga tak tahu kapan harus turun.
Negara-negara Arab kini sedang melangsungkan karnaval penurunan para pemimpin yang tak tahu kapan harus turun. Mesir mengawalinya dengan menurunkan Hosni Mubarak. Rakyat Libya tengah berkeras untuk menurunkan Moammar Qaddafi yang sudah berkuasa 42 tahun.
Tampaknya para suporter PSSI tak mau kalah. Mereka kini sedang berpawai untuk memaksa turun Nurdin Halid. Saya kira, jika mereka berhasil, itu akan menjadi keberhasilan terbesar dalam sejarah PSSI, yang bahkan FIFA pun tidak sanggup melakukannya.
* A.S. Laksana