11.11.10

Satu Tamparan, Jawaban Tiga Pertanyaan

Ada seorang pemuda yang baru pulang ke kampung halamannya, setelah sekian lama menuntut ilmu agama di negeri Timur Tengah. Dengan tujuan menjajaki pengetahuan agama para ulama di kampungnya, kepada orang tuanya, pemuda itu meminta untuk didatangkan seorang ulama yang mampu menjawab tiga pertanyaannya. “Pak, usahakan ulama yang akan diundang adalah sosok ulama yang paling pintar di kampung ini” pinta si pemuda pada bapaknya.

Beberapa saat kemudian, sang bapak datang bersama seorang ulama kampung yang bahkan belum pernah mengenyam bangku kuliah. Agak sedikit ragu dengan kemampuan sang ulama yang datang, si pemudapun menyapanya seraya berkata: “Andakah ulama yang akan menjawab tiga pertanyaan saya?” Tanya si pemuda. “Ia benar. Bapakmu mengundang saya ke sini untuk menjawab beberapa pertanyaan. Mudah-mudahan dengan seizin Allah saya akan mampu menjawabnya.” Jawab sang ulama “Anda yakin bisa menjawab? Padahal, beberapa Profesor dan cendikiawan muslim saja belum mampu menjawab pertanyaan ini.” Tegas pemuda tadi. “Saya akan mencoba sebisanya” Balas ulama dengan sopan dan tawadu’.

Sang pemuda berkata: “Ada tiga pertanyaan yang sampai saat ini belum ketemu jawabannya; Pertama, jika memang Tuhan itu ada, bagaimana dan di mana wujudnya? Kedua, Apakah yang dimaksud dengan taqdir? Dan ketiga, Sebagaimana yang kita yakini bahwa syaitan tercipta dari dzat api, tapi kenapa hukumannya di akhirat kelak dimasukkan ke neraka yang juga terbuat dari api? Jika keduanya tercipta dari dzat yang sejenis, maka boleh jadi syaitan tidak akan merasakan panasnya api neraka! Pernahkah Tuhan berfikir sejauh ini?

“Taarrr” Tanpa di sadari oleh si pemuda, tiba-tiba sang ulama menamparnya dengan keras. Sembari menahan rasa sakit, si pemuda berkata “Kenapa anda marah wahai ulama?” Dengan santai, ulama itupun menjawab: “Saya tidak marah! Tamparan tadi adalah jawapan atas tiga pertanyaanmu sekaligus.

“Saya sungguh-sungguh tidak faham” tegas pemuda itu keheranan. Sang ulama melanjutkan pembicaraannya dengan bertanya: “Bagaimana rasanya tamparan tadi?”. “Tentu saja saya merasakan sakit” jawab pemuda. ”Ooo, Jadi kamu percaya bahawa rasa sakit itu ada?” tanya ulama lagi. Pemuda itupun mengangguk, tanda setuju. Si ulama kemudian melanjutkan pertanyaan, “Tunjukan pada saya wujud sakit yang kamu katakan!” “Jelas tidak ada, karena sakit hanya bisa dirasa saja” jawab pemuda. Sang ulama berkata lagi: “Itulah jawaban untuk pertanyaan pertama: kita semua merasakan adanya Tuhan, tapi tidak mampu melihat wujud-Nya.

Meneruskan pembicaraannya kepada pemuda tadi, ulama itu bertanya lagi: “Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?”. “Tidak” jawab pemuda itu. “Apakah pernah terfikir olehmu akan menerima sebuah tamparan hari ini?” “Tidak” jawabnya lagi. “Itulah yang dinamakan Takdir” Terang si ulama.

Selanjutnya, pemuda itupun ditanya lagi: “Tangan yang saya gunakan untuk menamparmu tadi, terbuat dari apa? “kulit”. Jawab pemuda. “Pipimu yang saya tampar tadi, terbuat dari apa? “Kulit“ Jawab pemuda itu lagi. “Bagaimana rasanya tamparan saya?”. “Sakit!” tegas si pemuda “Itu artinya, walaupun Syaitan tercipta dari api seperti halnya neraka, namun jika Tuhan berkehendak maka nerakapun akan terasa panas bagi syaitan” Terang sang ulama yang membuat si pemuda mengangguk-angguk kagum.

10.11.10

Wanita Indonesia dan Tradisi Kaum Budak

Anda para wanita, boleh saja mengercitkan dahi usai membaca judul di atas, lantas tidak setuju. Itu sah-sah saja. Saya sekedar ingin mengungkap realita, melukiskan kisah adat-tredisi hamba sahaya perempuan tempo dulu. Kisah ini terjadi pada masa Abraham, atau umat Islam menyebutnya Nabi Ibrahim as, konon juga dia disebut Brahmana. Wallahu a’lam. Pada masa itu, status sosial masyarakat masih terbagi menjadi dua bagian besar: merdeka, dan budak. Untuk membedakannya, ada semacam tanda atau “kode etik” penjelas; mana yang merdeka, atau sebaliknya.

Alkisah, suatu ketika Nabi Ibrahim bersama istrinya Sarah pergi dari Babilonia menuju Mesir. Singkat cerita, kabar kedatangan Abraham p.b.h, terdengar raja. Apalagi, penguasa kerajaan tempat sungai Nil mengalir itu juga tahu kalau wanita yang menemani Ibrahim as, kesohor elok rupa. Tertariklah sang raja dan berniat menjadikannya sebagai satu dari sekian puluh selir raja lainnya. Waktu itu, raja adalah ‘tuhan’ yang harus mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Termasuk memperistri wanita yang sudah bersuami. Sang suami tidak ada pilihan kecuali merelakan titah raja.


Sebagai seorang Nabi yang dikenal cerdik-berakal, Ibrahim lantas mencari cara agar Sarah tidak jadi diperistri sang raja. Terbersit dalam benak Ibrahim, raja tidak mungkin memperistri budak atau bekas budak. Dengan terpaksa, Ibrahimpun melobangi kuping Sarah. Waktu itu, tradisi melukai kuping atau hidung adalah indikasi pembeda antara wanita merdeka dan budak. Wanita budak harus dilobangi kuping atau hidungnya. Cara itulah yang dipakai Ibrahim mengelabui sang raja.


Setelah nampak seperti budak, Sarah diajak Ibrahim menghadap raja. Mengetahui ada lobang di kupingnya, raja pun lantas membatalkan niatnya memperistri Sarah. Dan menyuruh Ibrahim dan Sarah kembali ke tempat mereka. Setelah peristiwa itu, tinggalah rasa iba Ibrahim terhadap istrinya yang sudah terlanjur dipandang masyarakat sekitar sebagai hamba sahaya, atau budak belian. Ibrahim lantas memutar akal, berfikir mengembalikan citra Sarah.


Dalam waktu yang tidak begitu lama, Ibarahim kembali menunjukkan kecerdikannya. Ia hiasi lubang di kuping istrinya dengan hiasan besi mulia atau mas untuk menutupi kulit kuing yang sebelumnya dilobangi. Kita namai benda yang menutup kuping wanita dengan anting. Sejak saat itu, masyarakat memakaikan anting untuk para hamba sahanya. Toh demikian, masyarakat tetap bisa membedakan antara wanita merdeka, budak dan budak wanita yang sudah dimerdekakan. Tandanya itu tadi, nampak ada antng di kupingnya. Jadi, hakekat seorang wanita yang memakai anting di kupingnya adalah wanita yang (titik, titik, titik).


Beda halnya dengan wnita budak, lelaki budak ditandai dengan diplontosnya rambut. Pria budak tidak boleh ada rambutnya. Mereka yang malu arena tak berambut, biasanya menggunaan topi penutup kepala. Namun, untuk menunjukkan rasa hormat kepada kelomok masyarakat merdeka, mereka para budak wajib membuka topinya dan menundukkan kepala untuk memperlihatkan kegundulannya.

Saat ini, baik di Barat atau di daerah Timur, tradisi menghormati seseorang dengan membuka topi sudah sangat jarang sekali. Sepenuhnya kaum pria sudah menyadari bahwa tradisi itu tidak perlu dipakai lagi. Bukankah tidak ada lagi perbedaan kelompok masyarakat antara yang merdeka dan budak?! Jadi, tidak ada lagi tradisi budak pria yang membuka topi untuk menghormati seseorang.

Beda halnya dengan kaum Adam, kaum Hawa masih belum mampu menghapus trdisi yang menjadi identitas budak wanita atau budak belia. Bahkan, tradisi itu kini berubah 360 derajat: cendrung menjadi penilaian strata sosial kaum Hawa saat ini. Semakin besar dan tebal emas yang dipakai, semakin nampak parlente lah ia. Demikian sebaliknya. Kenapa bisa begitu? Asal tahu saja, itulah sebabnya kenapa wanita Barat saat ini enggan menggunakan anting. Tidak seperti wanita Timur, termasuk Indonesia.

9.11.10

Guru Menurut Pemikir Muslim

A. Guru Menurut Ibn Miskawaih
Pendidik dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi. Selain itu karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak didik dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada mereka kehidupan abadi dan dalam kenikmatan yang abadi pula. Menurutnya, tidak semua mampu menduduki derajat seperti itu.
Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibn Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat jelas karena ia mensejajarkan posisi mereka sama dengan posisi nabi, terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati urutan kedua setelah cinta kasih kepada Allah.


Dari pandangan demikian itu, dapat diambil suatu pemahaman bahwa guru yang tidak mencapai derajat seperti yang dimaksudkan di atas dinilai sama oleh Ibn Miskawaih dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
Guru biasa menurut Ibn Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru memiliki persyaratan antara lain : bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.

B. Guru Menurut al-Qabisi
Al-Qabisi menyarankan agar guru dalam mengajar anak-anak kaum muslimin tanpa terpengaruh oleh pandangan dari lingkungan masyarakat dan oleh perbedaan stratifikasi sosial-ekonomi. Atas dasar pandangan ini, guru harus mengajar semua anak secara bersama-sama berdasarkan atas rasa persamaan dan penyediaan kesempatan belajar bagi semua secara sama.
Pemberian gaji kepada guru yang mengajar itu didasarkan pada tuntutan zamannya, yaitu bahwa pembayaran gaji itu sebagai imbalan dari pekerjaan lain yang ia tinggalkan, karena harus mengajar. Lebih dari itu al-Qabisi juga memperkenankan guru menerima hadiah pada hari-hari besar, atau semacam penghargaan lainnya.
Guru harus dapat berperan sebagai panutan atau teladan (qudwah hasanah) di tengah-tengah komunitas muridnya, disamping perannya sebagai pengajar yang mentransfer pengetahuan dan keterampilan. Proses internalisasi nilai dalam pendidikan memang sangat banyak yang dapat dilakukan melalu keteladanan para guru, dan masalah ini justru sekarang yang menjadi salah satu titik lemah dalam pendidikan modern.

C. Guru Menurut Al-Mawardi
Al-Mawardi memandang penting seorang guru yang memiliki sikap tawadlu (rendah hati) serta menjauhi sikap ujub. Menurut al-Mawardi sikap tawadlu akan menimbulkan simpatik dari para anak didik, sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru kurang disenangi.
Pada perkembangan selanjutnya sikap tawadlu tersebut akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Dalam arti guru akan mengembangkan potensi individu seoptimal mungkin. Guru tersebut menempatkan peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar mengajar yang berlangsung dengan utuh dan luwes, di mana seluruh siswa terlibat didalamnya.


Selanjutnya al-Mawardi mengatakan bahwa seorang guru selain harus bersikap tawadlu, juga harus bersikap ikhlas. Secara harfiah berarti menghindari riya. Sedangkan dari segi istilah ikhlas berarti pembersihan hati dari segala dorongan yang dapat mengeruhkannya.
Konsep tawadlu yang diajukan oleh al-Mawardi bisa disepadankan dengan konsep kesetaraan. Guru dalam proses pendidikan harus memposisikan sebagai partner belajar bagi murid. Posisinya sebagai guru tidak boleh menghalanginya untuk dijadikan partner bagi siswa. Yang lumrah terjadi adalah terdapat jarak antara guru dan murid. Prinsip kesetaraan ini akan menciptakan atmosfer bahwa murid tengah didampingi dalam proses belajarnya, bukan diawasi.
Diatas motif-motif tersebut seorang guru harus mencintai tugasnya. Kecintaan ini akan tumbuh dan berkembang apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas itu sendiri benar-benar dapat dihayati. Namun demikian motif yang paling utama menurut al-Mawardi adalah karena panggilan jiwanya untuk berbakti kepada Allah Swt. dengan tulus ikhlas. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa diantara akhlak yang harus dimiliki para guru adalah menjadikan keridlaan dan pahala dari Allah Swt. sebagai tujuan dalam melaksanakan tugas mengajar dan mendidik muridnya, bukan mengharapkan balasan berupa materi.


Al-Mawardi melarang mengajar atas motif ekonomi. Hal ini juga dapat dipahami bahwa al-Mawardi menghendaki hendaknya mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, yakni keridlaan dan pahala Allah. Konsekuensinya harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Keikhlasan ini akan berbuah :
1. Selalu mempersiapkan segala sesuatu yang berguna dan mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar seperti bahan ajar, metode, sumber belajar dan lain sebagainya.
2. Disiplin terhadap aturan dan waktu dalam seluruh hubungan sosial dan profesionalnya.
3. Penggunaan waktu luangnya hanya diarahkan untuk kepentingan profesionalnya. Guru yang ikhlas dalam keseluruhan waktunya akan digunakan secara efisien, baik dalam kaitannya dengan tugas keguruan maupun dalam pengembangan kariernya sehingga akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan.
4. Ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Keuletan dan ketekunan guru sebagai pribadi yang utuh, akan terbiasa melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang ulet, tekun, penuh kesungguhan dan ketelitian.
5. Memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi. Hal ini lahir dari kesadaran akan semakin banyaknya tuntutan dan tantangan pendidikan masa mendatang, sejalan dengan kemajuan IPTEK.
Al-Mawardi juga berpendapat bahwa guru adalah figur strategis. Menurutnya guru harus merupakan figur yang dapat dicontoh oleh murid dan masyarakat. Oleh karena itu segala tingkah laku guru harus sesuai dan sejalan dengan norma dan nilai ajaran yang berasal dari wahyu.


Sejalan dengan uraian tersebut diatas, maka seorang guru harus tampil sebagai teladan yang baik. Usaha penanaman nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru tidak hanya sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus sebagai pelaku nilai yang menuntut adanya rasa tanggung jawab dan kemampuan dalam meningkatkan sumber daya manusia yang utuh. Dalam kaitan ini al-Mawardi mengatakan hendaknya seorang guru menjadikan amal atas ilmu yang dimilikinya serta memotivasi diri untuk selalu berusaha memenuhi segala tuntutan ilmu. Janganlah ia termasuk golongan yang dinilai Tuhan sebagai orang Yahudi yang diberi Taurat tetapi mereka tidak mengamalkannya, tak ubahnya dengan seekor keledai yang membawa kitab di pungunggungnya.


Selain sebagai teladan guru juga harus memberikan kasih sayang. Dengan posisinya sebagai orang tua kedua guru juga harus memberikan kasih sayang dan bersikap lemah lembut.
Sikap lemah lembut ini ternyata tidak sepenuhnya berhasil dalam dunia pendidikan. Sa’di mengungkapkan hal ini dalam sebuah kisah. Seorang kepala sekolah yang amat keras, dimana di hadapannya para murid tidak berani mengucapkan sepatah kata pun, digantikan oleh seorang guru yang lemah lembut dan baik hati. Murid-murid segera melupakan rasa takut yang perah mereka alami terhadap kepala sekolah yang terdahulu. Karena kemurahan hati hati kepala sekolah yang baru tersebut, mereka menjadi nakal, melalaikan belajar mereka dan menghabiskan waktunya untuk bermain-main. Kemudian penduduk kota itu pun memberhentikan guru yang lemah tersebut dan menarik kembali guru yang lama keada jabatannya semula. Saya heran mengapa penduduk kota menjadikan guru yang jahat itu sebagai malaikat, hingga guru yang bijaksana tersebut berkesimpulan : “Guru yang keras lebih berharga bagi anak-anak dariada cinta orang tua yang buta”


Peran selanjutnya bagi guru adalah sebagai motivator. Hal ini penting dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Peran terakhir guru menurut al-Mawardi adalah sebagai pembimbing. Bimbingan dapat diartikan sebagai kegiatan memantau murid dalam perkembangannya dengan jalan menciptakan lingkungan dan arahan sesuai dengan tujuan pendidikan.

D. Guru Menurut Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina Guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni.


Selain lebih mengutamakan guru pria daripada guru wanita, ia juga mensyaratkan guru yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. Selain itu guru juga harus mengutamakan kepentingan ummat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.


Dalam pendapatnya itu, Ibnu Sina selain menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkperibadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya.dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia akan dapat membina mental dan akhlak anak.
Guru seperti itu, tampaknya diangkat dari sifat dan kepribadian yang terdapat pada diri Ibnu Sina sendiri, yang selain memiliki kompetensi akhlak yag baik, juga memiliki kecerdasan dan keluasan ilmu.

E. Guru Menurut al-Ghazali
Sedang menurut al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak murid-muridnya.


Selain sifat-sifat umum tersebut diatas, juga terdapat beberapa sifat khusus :
1. Rasa kasih sayang yang akan berujung menciptakan situasi yang kondusif.
2. Mengajar harus dipamahi sebagai akifitas mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini akan berujung pada keikhlasan, tidak mengharap apapun dari manusia.
3. Selain mengajar juga berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan muridnya serta tidak melibatkan diri dalam persoalan yang bisa mengalihkan konsentrasinya sebagai guru.
4. Dalam mengajar hendaknya digunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Semua sikap ini akan mempunyai dampak bagi psikis siswa.
5. Tampil sebagai teladan bagi muridnya, bersikap toleran, menghargai kemampuan orang lain, tidak mencela ilmu lain.
6. Mengakui adanya perbedaan potensi yang dimilki murid-muridnya secara individu dan memperlakukan murid sesuai dengan potensi masing-masing.
Tentang potensi individu ini Sa’di mengungkapkan bahwa Bilamana kemampuan bawaan sejak lahir baik, maka pendidikan akan memberikan suatu pengaruh. Tetapi tidak ada penggosok yang mampu mengkilakan terhadap sifat (watak) buruk yang keras. Jika Anda memandikan anjing ke dalam tujuh lautan, maka Anda tidak dapat merubah sifat alamiahnya, dan jika Anda membawa keledai Yesus (Isa al-Masih) ke Mekkah, maka sekembalinya dari Mekkah ia tetap seekor keledai.


Dikisahkan pula, seorang raja menyerahkan anak laki-lakinya kepada seorang guru dan berkata kepadanya, “Didiklah ia sebagaimana engkau mendidik anakmu sendiri.” Setelah beberapa tahun menjalani pendidikan, sang pangeran tidak mengalami kemajuan sementara anak sang guru, prestasi dan pengetahuannya mengungguli anak raja. Sang raja menyalahkan guru dan menuduhnya tidak berbuat adil dalam mengajar, kemudian sang guru menjawab: “Yang mulia, saya telah mengajar dengan adil dalam semua hal, tetapi setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Meskipun perak dan emas berasal dari saripati batuan, tetapi tidak semua batu mengandung emas dan perak.


7. Juga memahami bakat, tabi’at dan kejiwan muridnya sesuai dengan tingkat usia.
8. Bepegang teguh pada apa yang diucapkannya, serta berusaha untuk merealisasikannya.
Dari delapan sifat guru diatas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan dan kemampuan intelektual para siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan masa sekarang.

F. Guru Menurut Ibnu Jama’ah
Menurut Ibnu Jamaah Guru sebagai mikrokosmos manusia dan secara umum dapat dijadikan sebagai tipologi makhluk terbaik. Maka derajat seorang alim (guru) berada setingkat di bawah derajat Nabi. Ini juga berarti bahwa guru harus benar-benar mewarisi sifat-sifat para Nabi, tidak hanya dalam rangka penyampaian risalah tapi juga dalam keseharian.
Ibnu Jamaah memberikan kriteria seorang guru adalah :
1. Menjaga Akhlak selama melaksanakan tugas pendidikan
2. Tidak menjadikan profesi guru sebagai kegiatan untuk menutupi kebutuhan ekonomis
3. Mengetahui situasi sosial kemasyarakatan.
4. Kasih sayang dan sabar.
5. Adil dalam memperlakukan peserta didik.
6. Menolong dengan kemampuan yang dimiliknya.
Secara umum criteria-kriteria tersebut di atas menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan keadaan pendidik dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga layak menjadi pendidik sebagaimana mestinya.

G. Guru Menurut Ibnu Taimiyah
Menurut Ibnu Taimiyah hendaknya seorang pendidik mencirikan kepribadian seorang sebagai berikut :
Pertama, Guru adalah khulafa’, yaitu orang–orang yang menggatikan misi perjuangan nabi dalam bidang pengajaran. Kedudukan ini hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang mengikuti rasul dalam hal perjalanan hidup dan akhlaknya. Demikian tingginya posisi guru ini hingga dikatakan oleh Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, mufti Madinah saat ini, bahwa bakti seorang anak kepada guru bisa melebihi baktinya kepada kedua orang tuanya. Karena, kedua orang tua telah memenuhi kebutuhan fisik sedangkan guru telah mendidik hati nurani.
Kedua, Hendaknya senantiasa menjadi panutan bagi muridnya dalam hal kejujuran, berpegang teguh pada akhlak yang mulia dan menegakkan syari’at Islam. Berdusta pada murid tentang suatu ilmu adalah kezaliman yang besar.
Ketiga, Hendaknya dalam menyebarkan ilmunya tidak main-main atau sembrono. Guru yang saleh adalah mereka yang mengetahui kemampuan yang dimiliknya serta kewajiban yang ada pada dirinya.
Keempat, Membiasakan diri untuk menambah dan menghafal ilmunya terutama al-Qur’an dan al-Sunnah.


Daftar Pustaka

Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2003)
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din ; Kitab al-Ilm.
Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta, Srigunting, 1995).
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, (Beirut, Dar al-Fikr, tt.)
Badr al-Din Ibn Jama’ah al-Kinani, Tadzkirat al-Sami wa al-Mutakallimin fi Ada al-‘Alim wa al-Muta’alim, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt.)
Hasan Ibrahim Abd al-‘Al, Fann at-Ta’lim ‘ind Badr ad-Din bin Jama’ah, (Riyadl, Maktabah at-Tarbiyah al-‘Arabi li Duwal al-Khalij, 1985)
Ibn Sina, Al-Siyasah fi al-Tarbiyah, (Mesir, Majalah al-Masyrik, 1906)
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, terj. (Surabaya, Risalah Gusti, 1996)
Muhammad Athiyah al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1978)
Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, )Jakarta, Lantabora Press, 2006)

Diposting dari: http://riuisme.wordpress.com/2010/03/06/guru-dalam-pemikiran-pendidikan-islam-klasik

7.11.10

KUALITAS EMAS 24 KARAT

Aktif sebagai ta’mir atau remaja masjid kemudian dijuluki orang yang shaleh, itu wajar. Sibuk mengurusi dunia pendidikan dan pengajaran, lantas dipanggil Kiai, ustadz, guru, atau dosen, lalu memberi tauladan yang baik, meski sebatas pandangan orang, hal itu sudah mentradisi dan memang menjadi kelayakan. Orang yang menyibukkan diri dengan “kesibukan shaleh”, secara tidak langsung ia juga akan terimbas aura keshalehan aktifitas sehari-harinya itu. Demikian sebaliknya. Jika seseorang berada di tengah lingkungan atau komunitas yang kurang atau tidak tercitra shaleh, maka pandangan negatif –sedikit atau banyak – akan terendus mengiringi pekerjaannya di mata publik. Demikianlah opini yang berkembang di tengah masyarakat.

Karena demikian realitanya, maka tidak salah kalau Mak Atun, wanita paruh baya pemilik warung nasi rawon langganan penulis berkeluh-kesah dan meminta dukungan do’a untuk kedua putranya yang sudah sekian lamanya menjadi pegawai di instansi kepemerintahan yang jauh dari “aura” kesalehan; menjadi abdi negara pada birokrasi yang belakangan ini banyak disoroti publik atas kasus-kasus yang terjadi. Dua putra pemilik warung di pinggiran jalan raya Malang ini aktif sebagai pegawai Kejaksaan dan Perpajakan.

Sebagaimana diketahui, belakangan ini dua instansi pemerintahan tersebut menyita perhatian publik dengan beberapa skandal hukum yang menunjukkan kebobrokan. Walhasil, anggapan miring masyarakat kepada dua instansi itu sukar dihindari. Hal inilah yang membuat resah Mak Atun, lantas dengan keseriusannya memohonkan do’a untuk kedua putranya.

Maka saya katakan: “Mak, wacana publik itu bersifat relatif. Semuanya bisa diatur oleh Massmedia.” Akhir-akhir ini memang pemberitaan seputar Kejaksaan dan perpajakan sedang laris-manis. Skandal korupsi yang dilakoni para petinggi dua istansi itu kian mencederai instansi pemerintahan yang memang “kurang saleh” itu. Makelar kasus di Kejaksaan dan penggelapan hasil pajak oleh pegawai perpajakan adalah contoh skandal yang penulis maksud.

Toh, demikian, tidak fair jika lantas disamaratakan semua pegawai dua kantor tersebut dengan oknum yang bermasalah, bagaimana pun keberadaannya. Termasuk kekhawatiran si Mak ini. Yakinah, kualitas pribadi seseorang tidak akan luntur akibat lingkungannya. Pribadi yang emas, akan tetap berkualitas emas, di manapun ia berada. Meski pun berada di tengah kotoran sekalipun, kemilau emas tetap memberi harga pada eksistensinya.

Jadi, tidak perlu khawatir cibiran negatif karena berada di lingkungan yang sedang dianggap “kurang saleh”. Disinilah kualitas pribadi dan niatan hati seseorang dipertaruhkan: akankah ia terhanyut suasana lingkungan yang negatif

IBADAH HAJI DAN HARKAT INDONESIA

Kagum dan terharu. Itulah yang penulis rasakan saat pertamakali ditaqdirkan mampu melaksanakan ibadah haji beberapa tahun lalu. Terkagum pada banyak hal tentang pelaksanaan haji: kesigapan para jamaah dari seantero alam yang berjubel dan tumpek-bleg di tanah Haram; pengaturan pelaksanaannya, dan utamanya, kuantitas jamaah haji (JH) Indonesia yang setiap tahun menduduki peringka terbesar. Adalah sedikit kebanggaan menjadi rakyat Indonesia, sebagai negara pengirim JH terbesar.

Selain bangga, menyadari realitas perkembangan JH yang terus meningkat setiap tahunnya, penulis juga terharu. Meski dalam dasawarsa terakhir Indonesia tertimpa multi krisis, termasuk bidang ekonomi, namun jumlah calon jamaah haji terus meningkat. Bahkan, kuota haji Indonesia yang disediakan oleh kerajaan Saudi Arabia (KSA) berada pada titik minus. Calon jamaah yang telah melunasi ONH tahun ini, jangan lantas bermimpi bisa berhaji pada tahun yang sama. Minimal tiga bahkan lima tahun ke depan, ia baru bisa menjadi ’tamu Allah’.

Realita ini menunjukan betapa panjang antrean kaum muslimim Indonesia untuk bisa melaksanakan ibadah haji. Tidak sedikit juga JH yang siap membayar “biaya tambahan”, asal bisa segera berangkat, mendahului jadwal yang sudah ditetapkan pemerintah. Seperti halnya jamaah lainnya, penulis juga harus sabar menunggu ’antrean’ panjang. Setelah melunasi biaya haji pada tahun 1998, baru pada tahun 2001 penulis ditakdirkan bersua ke Baitul Haram. Tak apalah, yang penting, rukun Islam kelima telah terlaksana. alhamdulillah. Kira-kira, demikian juga yang dirasakan oleh hampir semua JH Indonesia yang tak mau ketinggalan untuk, setidaknya memiliki embel-embel sosial: ’Pak atau Bu haji’. Berapapun besarnya nominal ONH, keinginan untuk berhaji, tidak akan kendor.

Selain cara berhaji seperti di atas, tidak sedikit juga jamaah kita, karena minimnya dana atau tak sabar menunggu panjangnya antrean pemberangkatan, lantas menggunakan ”jalan pintas”. Berangkat umrah pada bulan-bulan sebelum waktu haji, lalu mukim (tinggal) sebagai imigran gelap, hingga masa haji tiba. Ada juga yang berangkat haji dengan menggunakan paspor hijau. Beberapa waktu lalu, kasus pemberangkatan haji model terakhir ini mencuat: karena berpaspor hijau, lima orang calon jamaah haji telantar di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah.

Berhaji dengan alternatif kedua ini, memang penuh resiko. Resiko sebagai penduduk gelap, karena over stay, selama masa penantian musim haji; juga resiko saat ingin pulang ke tanah air. Harus siap masuk tarhil (penjara imigrasi) Saudia Arabia. Setiap tahun, menjelang dan setelah pelaksanaan haji, ribuan penduduk Indonesia yang dideportase oleh bagian imigrasi KSA. Realita ini tentu menodai martabat bangsa. Sebagai negara pengirim JH terbesar, ternyata tidak sedikit yang menggunakan cara ilegal. Ironisnya, kenyataan tersebut, hingga kini masih belum bisa ditangani.

Selain kasus over-stay, adalagi masalah yang tidak bisa dianggap enteng, maka sebisa mungkin segera diantisipasi guna menjaga harkat dan martabat bangsa Indonesia yang berdaulat. Undicipliner JH Indonesia saat kedatangan, dan terutama pada waktu pemulangan dari Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, atau King al-Su’ud, Madinah. Untuk kasus terakhir ini, kedisiplinan JH Indonesia, akan sangat nampak ketika dibandingkan –maaf, sekedar contoh– dengan JH Malaysia.

Pada tahun 2006, penulis menjadi salah satu staf Saudia Ground Handling: petugas haji untuk penerbangan Saudia Airline yang membidangi keimigrasian JH Indoneisia. Selama musim haji, sepanjang hari penulis bertugas di bandara King Abdul Aziz. Sebagai warga Indonesia, ada perasaan malu jika pada waktu yang bersamaan terjadi antrean untuk proses imigrasi antara JH Indonesia dan JH Malaysia. Kenapa? Dengan hitungan jumlah jamaah yang sama antara dua negara bertetangga ini, waktu dan personil dari petugas imigrasi Saudia, mesti lebih banyak dipersiapkan untuk JH kita. Bagaimana tidak?! JH Malaysia, selain nampak lebih berdedikasi, mereka rapi, patuh pada aturan setempat. Sikap disiplin dan penuh “wibawa” tercermin dari penempilan JH Malaysia. Maka tak heran, ’waktu’ dan petugas yang dibutuhkan untuk proses keimigrasian tak perlu banyak. Tidak demikian dengan JH Indonesia. Susah diatur dan kurang disiplin. Kesan sebagai uneducated-people sangat kentara. Maaf, kontradiksi berdisiplin antara bebek dan ayam pun, tidak terlalu jauh dijadikan perumpamaan disiplin kedua bangsa tersebut.

Hakekat Istita’ah Dalam Haji

Betul, tidak semua JH Indonesia seperti gambaran di atas. Para JH plus Indonesia bisa menjadi jawaban untuk menyanggah anggapan tersebut. Beberapa tahun lalu, penulis juga berkesempatan melaksanakan haji dengan ONH plus. Berbeda dengan JH biasa, pelaksanaan JH plus serupa dengan gambaran JH Malaysia. Hanya saja, persentase JH plus tak lebih, atau nyaris kurang dari sepersepuluh JH biasa. Yang nampak kemudian, JH Indonesia seperti paparan negatif di atas.

Menyadari kenyataan ini, adalah keniscayaan semua lapisan terutama pemerintah, dalam hal ini, Departemen Agama Urusan Haji untuk terus mengantisipasi. Langkah yang mungkin bisa diupayakan adalah: mewajibkan kepada semua lembaga penyelenggara haji, baik negeri maupun swasta untuk tidak hanya menekankan pembelajaran dan pelatihan manasik haji bagi para calon JH, tapi perlu kiranya mengagendakan pembelajaran dan pelatihan proses perjalanan, terutama kaitannya denga imigrasi. Karena pada hakekatnya, urusan keimigrasian adalah paket dari perjalanan haji bagi JH yang menggunakan jalur udara seperti Indonesia.

Seperti kita maklumi bersama, dalam kajian fiqih, salah satu syarat wajib haji adalah istita’ah, kemampuan. Baik mampu (memiliki) biaya, mampu (kuat) badan, serta mampu (mengerti) perjalanan. Untuk pengertian ”mampu” ketiga, bagi JH yang menggunakan transportasi udara, penulis cendrung menterjemahkannya pada kecakapan proses perjalanan. Perjalanan melalui udara tak bisa lepas dari keimigrasian. Karenanya, memberikan kecakapan dan pelatihan kepada calon JH masuk dalam tataran sama pentingnya dengan memberikan pelatihan manasik haji lainnya. Dengan pemahaman ini, bagi penyelenggara ibadah haji atau KBIH yang tidak memberikan pembekalan kecakapan tentang keimigrasian, sama halnya menafikan urgensi kecakapan seputar haji, semisal pemahaman tentang tawaf, sa’i, melempar jamarat, dan sebagainya.

Untuk kecakapan seputar keimigrasian, selain sebagai pelatihan salah satu syarat wajib haji, ia juga berfungsi meminimalisir persepsi negatif terhadap para JH Indonesia. Maka anggapan sebagian besar petugas haji di KSA: Indonesi muskilah: orang Indonesia payah; lambat laun akan berubah menjadi: Indonesi kois: orang Indonesia bagus. Wallahu a’lam bi al-shawab.