Sebagai suatu temuan kultural, Maulid pernah membuktikan efektivitasnya pada saat Perang Salib. Oleh karena itu, kita tidak perlu ikut-ikutan mengharamkan Maulid. Justru karena Maulid ini satu-satunya perayaan keagamaan yang diadakan di Istana, maka bagi kita bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, Maulid mempunyai nilai simbolik yang sangat penting. Tradisi warisan Bung Karno itu pada mulanya adalah saran dari Haji Agus Salim, satu-satunya tokoh Islam yang “didengar” oleh Bung Karno. Setelah Haji Agus Salim meninggal, maka ada yang membawa dan memasukkan unsur-unsur lain dalam peringatan Maulid di Istana. Oleh karena itu, tugas umat Islam sekarang adalah membersihkannya dari unsur-unsur yang tidak bisa dibenarkan oleh agama seperti pemujaan yang berlebihan kepada Nabi.
Kalau dulu Salahuddin al-Ayyubi memperingati Maulid untuk mengantisipasi suatu masalah yang konkret, yaitu menghadapi tentara Salib, maka sekarang pun spirit Maulid harus dibuatkan polanya yang kontekstual. Misalnya, masalah paling aktual saat ini adalah kemelaratan, maka dalam peringatan Maulid itu mestinya yang dibacakan bukan syair-syair pemujaan ala Barzanji dan sebagainya, melainkan perjuangan Nabi dalam memberantas kemelaratan, membela orang miskin, dan sebagainya. Pembacaan syair-syair Dibba’i, Barzanji, dan sebagainya, dalam peringatan Maulid Nabi pada dasarnya berkaitan dengan kecintaan kepada Nabi. Hal ini sama halnya ketika seorang anak yang baru lahir dibacakan Barzanji, yang juga menjadi semacam doa kepada Allah melalui pernyataan kecintaan kepada Nabi. Ide shalawat sebenarnya ialah mendoakan Nabi. Ustaz-ustaz di pesantren biasanya menerangkan bahwa Nabi itu diibaratkan sebuah gelas yang sudah penuh. Dengan membaca shalawat berarti kita mengisi lagi gelas yang sudah penuh itu sehingga airnya meluber dan tumpah. Tumpahannya itulah konon yang dianggap sebagai berkah atau syafaat Nabi.
Maulid Nabi juga menjadi medium untuk mengembangkan rasa keindahan yang suci. Tetapi perlu dicatat bahwa dalam Islam sebenarnya tidak ada seni yang suci; semua seni adalah dekoratif ornamental. Namun, melalui perkembangan sejarah Maulid itu sendiri, diciptakanlah literatur yang serba-indah, termasuk yang paling terkenal yaitu Dibba’i dan Barzanji, dan itu menjadi ekspresi seni dengan nilai estetika yang sangat tinggi.
Tentu saja, terlepas dari motif-motif luhur semacam itu, ada di antara kalangan Islam di Indonesia yang dengan tegas menolak perayaan Maulid Nabi, seperti Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam). Kerugian orang-orang Muhammadiyah ialah karena mereka terlalu puritanistik, sehingga cenderung membuang hal-hal semacam itu. Dengan begitu, Islam dalam Muhammadiyah menjadi Islam yang “kering”, tidak berseni, seperti tidak adanya lagu-lagu. Hal ini berbeda dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang shalawat pun dinyanyikan dengan iringan musik-musik yang pas, sehingga menjadi ekspresi yang luar biasa bagusnya. Seni-seni Islam dari sejak rebana sampai gambus berkembang di kalangan orang NU. Maka persoalannya ialah bagaimana menampilkan seni yang menggugah atau menimbulkan keharuan tetapi bebas dari syirik.
Hampir menyerupai Muhammadiyah yang merupakan gerakan pembaharuan Islam, Persis lebih tepat dikategorikan sebagai gerakan pemurnian Islam. Mereka ingin memurnikan agama Islam dari unsur-unsur yang mereka sebut sebagai bid’ah yang datang dari luar. Dari kerangka pikiran seperti itu, jelas mereka pun akan menolak Maulid, apa pun bentuknya. Namun, betapapun kerasnya upaya untuk memurnikan Islam dari unsur-unsur yang dianggap sebagai “unsur luar”, dalam batas-batas tertentu tetap ada kompromi untuk tidak mencap semua produk budaya sebagai bid’ah. Salah satu contohnya yang sering mengemuka dalam kontroversi di zaman dulu ialah produk pakaian, seperti celana. Dulu, celana pernah diharamkan oleh para ulama karena merupakan pakaian Belanda. Tetapi sekarang kita menggunakannya tanpa ada masalah. Dus, tergantung cara kita memandangnya. Hal ini sama halnya ketika dulu Hadi Supeno mengejek orang Islam sebagai kaum sarungan”.
Padahal sarung adalah pakaian orang Islam yang paling umum dipakai. Bahkan menurut Schumaker, pengarang buku terkenal The Small is Beautiful, dari semua pakaian umat manusia yang paling bagus dan ideal ialah sarung, karena sederhana dan tidak perlu jahitan macam-macam, selain juga bisa dipakai untuk segala macam keperluan. Sekali lagi, itu adalah produk budaya yang penilaian terhadapnya ditentukan oleh cara memandangnya. Karena itu, orang Islam semestinya tidak perlu keberatan dikatakan sebagai “kaum sarungan”.