Mereka yang kecewa ini keluar dari barisan Ali dan menamakan dirinya al-Syûrâ. Tetapi karena mereka keluar (khurûj) dari jamaah, maka kelompok ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Khawarij. Khawarij inilah yang mengangkat isu bahwa orang Islam yang melakukan kejahatan (dosa besar) menjadi kafir dan harus dibunuh. Menurut mereka, Utsman memang harus dibunuh karena telah melakukan dosa besar dengan berbuat zalim dalam menjalankan kekhalifahan.
Selama 12 tahun menjadi khalifah, enam tahun pertama dijalani Utsman dengan bagus. Menurut Ibn Taymiyah, yang menjadi masalah enam tahun berikutnya adalah ketika Utsman mulai menunjukan gejala nepotisme. Selain Utsman, yang dituduh zalim dan harus dibunuh adalah Ali; hal ini dikarenakan ia telah membuat kesepakatan dengan Mu’awiyah yang dipandang sudah kafir. Kaum Khawarij berhasil membunuh Ali, tetapi gagal membunuh Mu’awiyah yang telah menjadi raja.
Yang menarik, kenapa kaum Khawarij menyatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar itu harus dibunuh. Menurut mereka, manusia diberi kemampuan untuk memilih pekerjaannya sendiri. Kalau ternyata dia memilih berbuat jahat, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi. Inilah yang disebut Qadariah, paham bahwa manusia itu mampu memilih pekerjaannya sendiri.
Pendapat ini ditentang oleh Bani Umayah dengan mengatakan tidak begitu. Menurut mereka, Utsman tidak boleh dibunuh dan dia tetap Islam karena semua kejahatan yang dilakukannya sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Ini yang disebut Jabariah. Qadariah-Jabariah ini menjadi anticode dan merupakan dua faham yang mendominasi Islam waktu itu. Ketika Khawarij sebagai gerakan politik mati, teolo-ginya yang sangat antroposentris, berpusat kepada manusia, menjelma kembali ke dalam Mu’tazilah. Mereka menetapkan segala sesuatu berdasarkan rasio.
Baik Jabariyah maupan Qadariah sebagai teologi mempunyai kelemahan masing-masing. Kalau seluruh pekerjaan itu hasil karya manusia, seperti kata Jabariah, maka itu bisa menjadi ancaman bagi tauhid karena seolah-olah manusia menuhankan kemampuannya sendiri. Tetapi kalau seluruh pekerjaan kita ditentukan oleh Tuhan, seperti kata Qadariah, maka konsep pahala dan dosa menjadi tidak masuk akal; kalau pahala dan dosa merupakan balasan dari perbuatan, maka yang mendapat pahala dan dosa adalah Allah sendiri, bukan manusia.
Di tengah tarik-menarik inilah muncul Asy’ari. Ia sukses menengahi antara ke-duanya. Menurutnya, memang betul bahwa seluruh perbuatan manusia itu buatan Tuhan, tetapi tidak berarti bahwa manusia tidak bertanggungjawab atas perbuatan-nya; perbuatan baik akan mendapat pahala, perbuatan jahat akan mendapat dosa. Dia memperke¬nalkan istilah yang bernama kasb, keputusan pertama ketika melaku-kan sesuatu. Kasb inilah yang menjadi milik manusia, dan karena itu menjadi tempat tanggung jawab manusia. Memang kasb itu rumit, dan karena terlalu menekankan pada ide bahwa seluruh perbutan manusia ditentukan oleh Allah, maka akhirnya kasb tergelincir kepada Jabariah.
Oleh: Nurchalis Majdid