6.2.08

"Pedagang" Ahmadiyah; Silahkan

Reaksi umat Islam Indonesia akhir-akhir ini kian ramai menyuarakan penolakan terhadap Jema'ah Ahmadiyah. Di Bandung dan beberapa kota lainnya, mengatasnamakan Ormas Islam, ribuan kaum muslim berdemo men-g iyel-iyel-kan kesesatan aliran Ahmadiyah. Upaya ini menyusul aksi Jema'ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) bersama aktifis Jaringan Islam Liberal (JIL) berdemo ke mabes Polri menuntut perlindungan atas hak kebebasan beragama mereka. Pernah juga, Amir JAI, Abdul Basit ditemani Ketua ICRP Djohan Efendi dan anggota Komnas HAM Ahmad Baso, menemuai Ketua PBNU mengadukan semakin berlarutnya persoalan mereka.
Bahkan, dengan didampingi Adnan Buyung Nasution dan YLBHI, Jemaah Ahmadiyah, beberapa bulan lalu mendatangi DPR untuk mengadukan kekerasan yang menimpanya. Mereka juga mengancam akan meminta suaka ke Negara lain jika Indonesia tidak dapat memberikan perlindungan. Sebuah konfrontasi "sengit" antara kelompok pro dan kontra Jemaah Ahmadiyah yang jika terus dibiarkan, akan semakin mengganggu stabilitas kenyamanan hidup berbangsa dan bernegara.

Kiyasan Percekcokan Mereka
Meminjam perumpamaan yang dipakai Ulil Abshar-Abdallah, koordinator JIL dalam memandang maraknya penafsiran Islam dewasa ini dengan istilah pasar raya. Di dalam pasar –jelas Ulil– banyak terdapat toko yang menjajakan barang dagangan. Ada toko yang menjajakan Islam ala Gus Dur. Ada juga toko lain, yang menafsirkan Islam ala Cak Nur. Ada sebuah toko yang dikunjungi banyak orang, terutama anak-anak muda; di sana kita lihat Islam sebagimana ditafsirkan oleh Ustad Ja'far Umar Thalib digelar. Sejumlah toko yang menjajakan Islam ala Hasan Hanafi, Mohammad Arkoun, Abid Al Jabiri, Nasr Hamid Abu Zeid, Abdullahi Ahmed Anna'im, Sayyid Qutb, Yusuf Qardlawi, Ali Syari'ati dan "kemasan-kemasan imporan" yang lain, juga tampak ramai dikerubuti oleh para mahasiswa
Selanjutnya, Ulil memberikan dua tip bagi para calon pembeli di pasar raya untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin agar tidak tersesat ke dalam rimba kios dan toko yang tak karuan jumlahnya. Tip-nya: pertama, kesiapan intelektual; untuk menerima apa yang telah di"beli" merupakan salah satu dari kemungkinan tafsir yang ada. Tip kedua, bermodal sikap kritis dan skeptis sehingga tidak mudah untuk dikecoh oleh para pemilik kios yang selalu mengunggulkan dagangannya.
Sampai di sini penulis sependapat dengan gagasan Ulil untuk para calon pembeli. Tapi nampaknya, prihal pemasaran, Ulil hanya punya pengalaman sebagai pembeli, tidak sebagai pedagang. Begini, sudah menjadi pengetehuan umum, bahwa di pasar selain pembeli pasti ada pedagang; keduanya sama-sama ada aturannya. Ada baiknya jika disampaikan peraturan umum bagi para pedagang. Bahwa, pasti ada penegasan aturan lokasi dagangan, untuk menghindari penyerobotan pihak lain. Terlebih di pasar raya modern, hanya pedagang resmilah yang boleh menjajahkan barang dagangannya. Jangan coba-coba ada pedagang liar yang main serobot menggelar dagangannya di dalam toko orang lain. Bisa berabe. Adalah keliru jika sesama pedagang resmi dalam satu blok pasar Islam, malah menolong si-penyerobot yang bukan termasuk kelompok dalam blok.

Intinya, Islam jika diumpamakan dagangan, dengan para elitnya sebagai pedagang, tetap ada rambu-rambu yang mesti dipatuhi. Okelah, sekarang kita berusaha untuk saling menghormati saudara seiman kita yang mempunyai penafsiran berbeda. Dengan berbekal sikap kritis dan skeptis, seperti yang diharapkan Ulil, memang, selayaknya kita mesti menghormati anekaragam penafsiran Islam yang dijajakan. Hanya saja, mereka –jika mengaku muslim– tetap tidak boleh melanggar kode etik dalam "menjajah"kan Islam. Para penafsir ala Gus Dur tetap mengakui bahwa Allah sebagi Tuhan umat Islam dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya yang terakhir. Begitu juga "Islam" ala Cak Nur, ala Hasan Hanafi, Mohammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zeid, Abdullahi, Sayyid Qutb, Yusuf Qardlawi, Ali Syari'ati dan yang lainnya; baik kelompok Islam Fundamental, moderat, atau sekuler, tetap mengakui ketuhanan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad, tanpa ada Nabi setelahnya. Doktrin ini merupakan dasar utama bagi manusia yang mengaku sebagai muslim. Jika masih meragukan kenyataan ini, sejatinya masih belum masuk atau telah keluar dari Islam. Penulis yakin, pemahaman adanya Nabi setelah Muhammad, sudah keluar dari konteks penafsiran!
Akar permasalahan
Seperti yang kita tahu, bahwa pangkal perselisihan antara umat Islam dan Jemaah Ahmadiyah terletak pada doktrin menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi pasca-Muhammad SAW. Keyakinan inilah yang ditentang dan memancing kemarahan kaum muslim. Sebagai Mentri Agama, Maftuh Basyuni Sebenarnya, telah memberikan solusi jitu meredam amarah umat Islam; agar Ahmadiyah mendeklarasikan ajarannya sebagai agama baru yang terlepas dari Islam. Sebuah sikap yang demokratis dari elit pemerintah mengayomi rakyat. Jika aliran Ahmadiyah meyakini ada Nabi pasca-Muhammad, silahkan!
Untuk diingat, Islam juga hadir sebagai agama setelah adanya agama-agama Ibrahim sebelumnya; Nasrani, Yahudi. Doktrin kita: Nabi Muhammad adalah penyempurna agama sebelumnya. Selain untuk memurnikan ajaran Nabi-nabi terdahulu, kedatangannya juga sebagai tanda berakhirnya risalah kenabian (QS 33:40). Inilah yang termasuk esensi pokok laa mahaalata (tak tertawar) dalam ajaran Islam, setelah meyakini ketuhanan Allah SWT. Masalahnya kemudian, akankah kita korbankan esensi ajaran ini hanya karena ingin "toleransi" pada penafsiran " khaatimu al anbiya'" –umpamanya– dengan memahaminya sebagai cincin para Nabi? Dan mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagi Nabi Allah? Apakah hanya karena pengertian kata "khatmun" yang juga berarti cincin, kemudian merelatifkan doktrin Islam yang jelas meniadakan kenabian setelah Muhammad?
Jika dalam kasusu ini kita tetap wajib bertoleransi; memberikan kebebasan "menafsir" (sengaja diberi tanda kutip, karena bagi penulis, ini bukan konteks penafsiran tapi kasus penghancuran akidah) al-Qur'an, maka tidak menutup kemungkinan setelah ini akan ada kelompok muslim lainnya, akan merasa nyaman menfsirkan dzat Allah sesuka hati. Sebagai conto: akan memahami "kul huwa Allahu ahad" (QS.112:1) dengan artian: "katakanlah, Dialah Allah di hari Minggu". Kata "ahad", selain berarti "satu", juga bermakna "hari Minggu". Dan ditafsirkan: "Allah hanya ada di hari Minggu, atau tidak ada pada hari Minggu". Apakah ini dikatakan penafsiran? Di sinilah fungsi diwajibkannya kaidah dalam menafsirkan al-Qur'an. Ibn. Taymiyyah berkata: "Akar kesesatan orang yang sesat adalah mendahulukan logikanya di atas nash yang diturunkan dari sisi Allah, dan kecendrungannya kepada keinginan nafsu di atas prinsip mengikuti perintah Allah."Rasulullah sampai mengingatkan kepada umatnya yang memaknai al-Qur'an tanpa landasan ilmu, untuk mempersiapkan tempat duduknya di neraka. Na'udzu billahi min dzaalik.
Kepada Komnas HAM: jika umat Islam yang melakukan kekerasan pada Jemaah Ahmadiyah dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam menjalankan keyakinannya, maka akan disebut apa mereka yang telah merusak aqidah esensi Islam? Hanya kepada aktifis JIL dan Ahmad Baso, saya sampaikan keprihatinan atas "keteledoran" usaha kalian semua. Sementara yang lain, penulis tidak concern untuk membicarakan urusan "rumah tangga" kepada orang luar.