29.5.12

MEREDUKSI WACANA KEKERASAN DALAM MATERI BAHASA ARAB


Anda yang pernan belajar bahsaa Arab tentunya tidak asing dengan contoh-contoh kata atau kalimat yang akrab dalam pembelajaran bahasa Al-Qur’an ini. Kalau mau jujur, contoh-contoh tersebut selalu kata yang itu-itu saja. Sekali lagi, jika memang Anda pernah belajar bahasa Arab, tentu mafhum apa yang penulis maksud. 

Apakah ada kesalahan dari contoh-contoh kata seperti: qâma Zaidun, qatala Ali Umaran, atau: daraba Ahmad Ghulâman? Contoh-contoh kalimat tersebut tentu tidak salah dalam aturan tata bahasa. Semua contoh dalam kebanyakan buku kaidah bahasa Arab tetap benar adanya, sebagaimana benarnya contoh-contoh kalimat dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas-kelas awal siswa belajar membaca dan menulis. Di kelas ini, pelajar bahasa Indonesia diberikan contoh-contoh kalimat yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Anda mungkin masih mengingat contoh-contoh kalimat dalam materi bahasa Indonesia untuk pemula. Saat dikemukakan contoh kalimat: “Ibu memasak di dapur, bapak ........”. Bayangan  kita untuk kalimat seterusnya adalah: “minum kopi”, “duduk di kursi”, atau “membaca koran”.

Dalam aturan tata bahasa, kalimat tersebut benar adanya. Namun ada aspek yang mungkin perlu dipertimbangkan; satu aspek pembentukan wacana di kalangan pelajar pemula dari penyajian contoh kalimat. Pada kenyataannya, masyarakat kita akhirnya menganggap satu hal yang wajar jika pekerjaan rumah tangga: menyapu, mencuci, memasak, dan lain sebagainya adalah monopoli pekerjaan ibu rumah tangga. Sementara bapak, sebagai kepala rumah tangga, cukuplah pekerjaannya di luar rumah. Saat di rumah, wajar-wajar saja bapak duduk manis di atas kursi, minum kopi sambil baca koran, sementara ibu repot dengan “tugas wajib”nya.

Oke lah, kita tidak perlu membahas panjang masalah kebiasaan bapak dan ibu dalam rumah tangga. Sekarang mari kita gunakan logika yang sama untuk mencermati contoh-contoh umum dalam pembelajaran bahasa Arab. Penulis sempat berfikir bahwa contoh-contoh dalam materi bahasa Arab sebagaimana yang kita tahu justru menciptakan wacana seputar agama Islam; Islam identik dengan agama kekerasan, suka berperang dan mudah membunuh. Para ulama pengarang kitab-kitab salafi mungkin sengaja menggunakan kata-kata bernuansa kekerasan sebagai contoh kalimat. Karena mungkin kondisinya waktu itu sesuai, bahkan memang menuntut demikian. Kita tahu, pada masa-masa awal penyebarannya, Islam dengan bala tentaranya dikenal “suka perang”. Istilahnya waktu itu: Futuhat Islamiyyah, yakni: upaya pembebasan masyarakat dari banyak penjajahan.

Lain dulu, lain sekarang. Jika pada awal penulisan kitab-kitab seputar kaidahh bahasa Arab menggunakan kata-kata kekerasan sebagai contoh, maka tidak untuk saat ini. Sekarang kita tidak lagi membutuhkan penciptaan wacana seputar kekerasan dan semacamnya. Zaman kita saat ini sudah berbeda. Tugas kita adalah mereduksi wacana kekerasan yang tersisa dalam banyak kitab-kitab klasik. Gambaran kekerasan pada masa-masa penyebaran Islam cukuplah menjadi kajian dalam lembaran sejarah. Jangan biarkan realita ini terus tersaji dalam banyak materi pembelajaran seputar keislaman, termasuk juga dalam pembelajaran bahasa Arab sebagaimana dimaksud.     

*****