27.11.15

KHUTBAH JUM'AT



AKIBAT JIKA JAUH DARI ULAMA

إن الحمد لله، نحمده، ونستعينه، ونستغفرُهُ، ونتُوبُ إليه، ونعُوذُ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمد عبدُهُ ورسُولُهُ ، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليماً كثيراً.
رب اشرح لي صدري ويسر لي أمري واحلل عقدة من لساني يفقهو قولي
أما بعد: فاتقوا الله عباد الله حق التقوى وراقبوه في السر والنجوى.
قال عز من قائل:
﴿وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى الله ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ﴾ {البقرة:281}

Kaum musliminal mu'minin rahimakumullah…
        Pada kesempatan yang mulia ini, saya mengajak diri pribadi beserta seganap hadirin untuk bersama-sama meningkatkan iman serta teqwa kita kepada Allah SWT. Hanya dengan iman dan taqwa sematalah, hidup kita di dunia ini bisa terarah menuju kebahagian haqiqi. Tentu yang dimaksud iman dan taqwa di sini, jika berlandaskan ilmu sebagaimana diajarkan rasulullah SAW. Untuk itu, sembari terus meningkatkan kualitas ketaqwaan dan keimanan, seharusnyalah kita juga terus menambah ilmu seraya mendekatkan diri kepada para ulama yang tak lain merupakan pewaris Nabi.

Jama'ah Jum'at yang berbahagia…
          Tidak bisa dipungkiri, ilmu dan ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam pandangan agama. Allah berfirman:

{شهد الله أنه لا إله إلا هو والملائكة وأولو العلم قائماً بالقسط لا إله إلا هو العزيز الحكيم}

Artinya: "Allah menyatakan bahwa tiada Tuhan selain Dia, dan (demikian pula) para malaikat dan orang yang berilmu yang menegakkan keadilan: tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksan" (QS. Al-Imron: 18)
        Imam Qurtubi RA menjelaskan: ayat tersebut merupakan bukti keutamaan ilmu serta kemuliaan para ulama, dimana Allah mengaitkan keagungan nama-Nya, dengan para Malaikat, kemudian para ulama.
        Kemuliaan  ulama juga dapat dilihat bagaimana Allah mengangkat kedudukan mereka dengan menyebut ulama sebagai golongan hamba-hamba yang takut kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: 
    
﴿إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ العُلَمَاءُ﴾ {فاطر:28}

Bukan itu saja, Allah juga tegaskan: "bahwa ulama (orang yang berilmu) tidaklah sama dengan orang-orang yang tak berilmu" 
 
﴿ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴾ {الزُّمر:9}

Maka Allah pun mengaangkat derajat kaum mu'minin dan derajat para ulama.

﴿ يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴾ [المجادلة: 11]

Kaitannya juga dengan kemulian derajat dan keutamaan ulama, rasulullah menggambarkan:
من سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سَهَّل الله له طريقاً إلى الجنة

(siapa-siapa yang bepergian dengan niat menuntut ilmu, maka niscaya Allah memudahkan perjalanannya menuju Surga…)

وإن الملائكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضاً بما يصنع

(..dan sesungguhnya para Malaikat akan meletakkan kedua sayapnya sebagai wujud hormat atas apa yang dilakukan oleh pencari ilmu..)

وإن العالم ليستغفر له مَنْ في السموات ومن في الأرض حتى الحيتانُ في الماء...
(..dan semua yang ada di langit dan di bumi akan memintakan pengampunan bagi orang yang alim, termasuk juga ikan paus di dalam air…) 

وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب

(.. dan keutamaan orang yang alim atas yang tidak alim bagaikan keutamaan rembulan atas semua bintang-bintang di angkasa..)

وإن العلماء ورثةُ الأنبياء

(..dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi…)

وإن الأنبياء لم يورِّثوا ديناراً ولا درهماً وإنما ورّثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظٍ وافر" رواه أبو داود والترمذي 

(... sesungguhnya para nabi tidaklah mewarisi harta, baik Dinar atau Dirham, namun mereka mewarisi ilmu. Maka barang siapa mengambil warisan tersebut (yang kemudian menjadi alim), maka sungguh dia telah beruntung) HR: Abu Daud dan Turmudzi…
Dalam hadis lain, yang diriwayatkan oleh Abi Umamah RA, Rasul juga bersabda:

" فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ" رواه الترمذي وصححه الألباني في صحيح الترمذي
  
(Keutamaan seorang yang alim atas mereka yang tidak alim bagaikan keutamaanku atas orang-orang setelah kalian. Rasulullah lantas menjelaskan: sesungguhnya Allah, dan para Malaikat, juga penduduk langit dan bumi, bahkan semut-semut di lubang, serta ikan paus di air, semuanya bersolawat untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia) HR: Turmudzi, dibenarkan oleh Imam Albani di Kitab Sohih Turmudzi.

Kaum muslimin yag berbahagia…
Tak perlu kiranya –dalam kesempatan yang sangat singkat ini- diketengahkan lebih banyak lagi paparan dan gambaran seputar kemuliaan ulama bagi kita. Hal yang lantas perlu difaham adalah bahwa kita diperintah untuk ta'at dan mematuhi nasehat para ulama. Allah berfirman:
   
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنكُمْ ﴾ [النساء: 59]

Artinya: "Wahai kaum beriman, ta'atilah (perintah) Allah, patuhilah Rasul, serta patuhi mereka yang pantas memberikan perintah/arahan".
Kalimat "ulil amri", menurut para mufassir bermakna: pemerintah. Ada juga mufassir yang menerangkan bahwa maksudnya adalah para ulama yang telah diakui kepakaran ilmu dan amalan agamanya. 
        Selnjutnya, Rasul juga banyak menasehati kita untuk seantiasa dekat dengan para ulama.  
  
 "
(Diriwayatkan dari Abi Umamah, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Luqman berkata kepada putranya: Hendaklah kamu berkumpul dengan para ulama’ dan mendengarkan perkataan hukama’, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang tandus dengan air hujan)
          Dalam hadis lain disebutkan:

جالس العلماء وصاحب الحكماء وخالط الكبراء

(Hendaklah kamu berkumpul dengan para ulama, bersahabat dengan para hukama’ dan dekat dengan para kubara)
        Untuk diketahui, ada tiga kelompok ulama, pertama: ulama itu sendiri, yaitu orang yang ‘alim (berpengetahuan luas) tentang hukum-hukum Allah. Mereka berkewajiban  memberikan petunjuk (nasihat) ke jalan yang di ridlai Allah. Kedua, Hukama’ adalah orang-orang yang diyakini memiliki kelebihan mengenal Dzat Allah SWT. Dekat dengan para Hukama' dapat membuat watak menjadi terdidik, karena dari hati mereka bersinar cahaya makrifat, dan dari jiwa mereka terpantul sinar keagungan Ilahi. Ketiga, Kubara’, yaitu orang-orang yang dianugerahi makrifat terhadap hukum-hukum Allah dan terhadap Dzat Allah.  

Hadirin Jama'ah sekalian Rahimakumullah…
        Tentu, tujuan utama mendekatkan diri kepada ulama karena kapasitas mereka sebagai pewaris nabi. Maka dekat dengan ulama bisa bermakna dekat dengan Rasulullah. Dan muara akhir dekat kepada rasulullah itu merupakan upaya kita seorang hamba mendekatkan diri kepada kepada Allah SWT. Inilah tujuan utama perintah dekat dengan ulama. Maka sangat keliru jika tujuan dekat dengan ulama hanya berorientasi untuk kepentingan semu, di waktu-waktu tertentu saja.
Allah SWT berfirman: 
    
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan Allah; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan jangan pula kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, yang hanya menuruti hawa nafsunya semata, dan  keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
Sebagai penutup, kita berharap semoga saat kita bukan termasuk zaman seperti digambarkan oleh rasulullah; dimana para ulama dan fuqaha' sudah ditinggalkan oleh umat beiau. Dan sebagai dampaknya, Allah mencabut keberkahan dari hasil hasil usaha umat tersebut; kemudian menjadikan orang yang dalim sebagai penguasa mereka; dan mereka mati tanpa membawa iman. Naudzubillahi min dzalik… Inilah yang harus kita waspadai. Hadis dimaksud adalah:

سيأتي زمان على أمتي يفرّون من العلماء والفقهاء فيبتليهم الله بثلاث بليّات أولاها يرفع الله البركة من كسبهم والثانية يسلّط الله تعالى صلطانا ظالما والثالثة يخرجون من الدنيا بغير إيمان

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم و نفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو البر الرؤوف الرحيم. وقل رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين.


                   OLEH: ZULFAN SYAHANSYAH

                       

4.11.15

SELAMAT NATAL: MENAFIKAN KETUHANAN NABI ISA AS



Memberi ucapan "Selamat Natal" kepada umat Kristiani masih menjadi perdebatan di kalangan umat Islam sampai saat ini. Ada ulama ada yang membolehkan, ada juga yang melarang. Ada yang berpendapat kalau itu hanya upaya kerukunan umat beragama dan tidak ada kaitannya dengan aqidah seorang muslim yang mengucapkannya untuk teman atau kerabatnya yang nasrani. Namun ada juga sebaliknya: itu bisa menjurus pada kemusrikan, dan karenanya harus dihindari oleh setiap orang Islam. 

Macam-macam alasan yang melarang mengucapankan "Selamat Natal". Mulai dari anggapan kalau itu sama artinya dengan menyetujui perayaan Hari Besar kaum Nasrani ini, hingga kekhawatiran terjerumus pada kesyirikan karena sepakat atas ketuhanan Isa putra Maryam. Sementara kalangan yang membolehkan, alasan juga dipakai juga macam-macam. Mulai dari pengamalan nilai toleransi, hingga merelatifkan kata-kata pengucapan tersebut. Kata kelompok ini: apa sih salahnya cuma sekedar mengucapkan!

Buntutnya, antara kelompok yang pro dan kontra pun saling mementahkan argumen lawan. Menurut yang kontra: jangan salah, dengan kalimat talak, hubungan suami istri bisa putus; dengan kalimat syahadat, non muslim bisa masuk Islam. Maka dengan kata-kata "Selamat Natal", bisa saja umat Islam terjerumus dalam kemusrikan. Menanggapi itu, kelompok yang pro bersuara: tidak ada satu pun nas yang melarang pengucapannya. Dan tentunya banyak lagi alasan masing-masing yang tidak mungkin penulis ketengahkan dalam catatan ini.

Waba'du, catatan ini berupaya menemukan titik tengah antara dua kelompok yang berseberangan; setuju alasan yang melarang, sekaligus mengamini hujjah yang membolehkan. Dengan posisi ini, penulis menerima alasan mereka yang kontra, dan pastinya bangga dengan argumen yang pro; sebagai bentuk pengamalan nilai toleransi dalam Islam, khususnya dalam pengucapan "Selamat Natal".

Dari judulnya, catatan ini mungkin terkesan masuk kelompok yang pro pengucapan "Selamat Natal". Anda yang perpendapat sebaliknya, ada baiknya untuk sabar sejenak, da jangan segera menyimpulkan demikian sebelum menyelesaikan bacaan anda. Karena alasan yang penulis kemukakan, pada hakekatnya berpihak dan sesuai dengan argumen mayoritas kelompok yang melarang pengucapan tersebut. Berikut alasan yang penulis pakai untuk menganjurkan pengucapan "Selamat Natal" bagi umat Islam kepada kaum Nasrani:

Pertama, konsep ketuhanan dalam Islam sangat jelas termaktub di QS: Al-Ikhlas. Disana disebutkan bahwa Tuhan itu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Artinya, sesuatu atau siapa saja yang beranak, atau diperanakkan, maka umat Islam harus tegas menolak sesuatu tersebut sebagai Tuhan.

Kedua, dari makna kata "natal" itu sendiri. Secara bahasa, "natal" berarti kelahiran, dan maksud dari kata "Selamat Natal" adalah "Selamat atas kelahiran Isa". Dari sini jelas, ketika kita mengucapkan "selamat Natal" itu artinya kita meyakini bahwa Isa putra Maryam itu dilahirkan. Tentang benarkah Issa dilahirkan pada tanggal 25 desember, itu lain urusan. Yang jelas, orang yang dilahirkan itu pasti bukan Tuhan. Bukankah konsep ketuhanan dalam surah Ikhlas sudah menegaskan hal ini. Dengan logika ini, penulis justru menyayangkan pelarangan pengucapan "Selamat Natal" oleh umat Islam. Pelarangan ini bisa menimbulkan perspektif bahwa Isa itu memang benar-benar Tuhan yang tidak dilahirkan. Maka, bagi kita yg meyakini kebenaran surah Ikhlas, sepatutnya justru memperbanyak pengucapan "Selamat Natal" kepada umat Kristiani, dengan maksud meyakinkan bahwa Isa itu dilahirkan, dan ini mementahkan konsep ketuhanan Isa.

Dan yang ketiga, alasan penulis menyebarkan anjuran pengucapan "Selamat Natal", adalah agar alasan ini juga dibaca oleh kaum Nasrani dan ujung-ujungnya mereka sendiri akan menolak pengucapan "Selamat Natal" dari umat Islam, atau mereka pun bisa menerima secara logis bahwa memang Isa itu tidak lain hanyalah manusia yang diberikan wahyu oleh Tuhan untuk menjadi Rasul bagi kaumnya. Dan Isa Putra Maryam jelas bukan Tuhan, kan??! Maka, dengan mengucapkan "Selamat Natal", itu artinya kita menegaskan bahwa Isa itu juga manusia karena juga dilahirkan. Inilaha yang penulis maksud dengan judul" "Selamat Natal: Menafikan Ketuhanan Isa".
Wallahu a'lam bissawab...

-ZUS-

14.7.15

REFLEKSI MAKNA IDUL FITRI



(Khutbah Idul Fitri 1436 H)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر  ٣× الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا. لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
الله أكبر ماَ أَشْرَقَتْ وُجُوْهُ الصَّائِمِيْنَ بَشَراً .. الله أكبر ماَ تَعاَلَتِ اْلأَصْواَتُ تَكْبِيْراً وَذِكْراً ... الله أكبر ماَ تَوَالَتِ اْلأَعْياَدُ عُمْراً وَدَهْراً .. لك الْمَحاَمِدُ ربَّنا سِراً وَجَهْراً .. لَكَ الْمَحاَمِدُ رَبَّنا دَوْماً وَكَرَّا .. لَكَ الْمَحاَمِدُ ربَّنا شِعْراً وَنَثْراً..
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له العفو الغفور. وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله الحبيب الشكور، وصلى الله عليه وسلّم وعلى آله وصحبه الذين يرجون تجارة لَنْ تَبُوْرَ.
          أما بعد: فيا عباد الله، أوصيكم وإياي نفسي بتقوى الله، واصبروا وصابروا ورابطوا لعلكم تفلحون.
Hadirin wal hadirat, jama’ah solat Id Fitri rahimakumullah….
            Di pagi hari yang mulia ini, dalam suasana nan khidmat  penuh barakah, saya berseru mengajak diri sendiri juga segenap hadirin untuk bersama memperbanyak rasa syukur ke hadirat Allah SWT, seraya terus meningkatkan kualitas ketaqwaan: bermujahadah untuk selalu melaksanakan perintah Allah, dan menjahui segala larangan-Nya. Pada kesempatan ini juga, kita berseru mengagungkan Allah SWT, dengan takbir, tahmid, tahlil dan bertasbih; sebagi ungkapan rasa syukur dan suka cita; menenggelamkan diri dalam suasana kemenangan, setelah sebulan lamanya kita laksanakan ibadah puasa; sebagai manifestasi keimanan dan ketaqwaan; sembari bermunajat dengan penuh harapan; kita termasuk hamba-hamba yang dikaruniai kefitrahan baik dahir serta batin. Amin ya rabbal alamin.

Kaum muslimin dan muslimat Rahimakumullah
Setidaknya ada dua hal yang perlu diketengahkan dalam kesempatan mulia ini; yang pertama, upaya meromadankan seluruh bulan dalam setahun, dan yang kedua, merefleksikan makna Idul Fitri yang saat ini kita rayakan bersama.
Tentang upaya meromadankan seluruh bulan dalan setahun, mula-mula wajib disyukuri bahwa dalam Romadan, ibadah kita bisa dibilang meningkat, baik ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah (hablun minallah), atau antar sesama manusia (hablun minannas), disebut juga: ibadah sosial.
 Untuk ibadah hablun minallah, contohnya adalah Shalat. Kita bahkan semangat melaksanakan berbagai macam shalat sunnah dalam Ramadan, mulai dari Rawatib, Tarawih, Shalat Malam, Witir, dan sebagainya. Jika untuk shalat Sunnah kita bisa lebih termotivasi, insya Allah apalagi yang wajib. Begitulah ibdah Shalat kita dalam bulan Ramadan.
Termasuk hablun minallah, yakni puasa Ramadan. Tentu, seruan disini untuk kaum muslimin yang dengan sadar dan tulus mau melaksanakan kewajiban puasa. Adapun bagi yg masih belum menyadari kewajiban puasa, kita hanya bisa mendo'akan semoga Allah segera memberikan hidayah-Nya kepada mereka. Amin ya Rabbal Alamin. Dan selain shalat dan puasa, yang termasuk hablun minallah disini adalah qira'atul Qur'an (ngaji). Ngaji termasuk ibadah yang banyak dilakukan umat Islam saat Ramadan.
Baik shalat, puasa, dan juga ngaji Qur'an, alhamdulillah, kita memang sengaja memberi jatah lebih saat Ramadan. Sekali lagi, ini patut kita syukuri kalau ibadah kita kepada Allah bisa meningkat. Masih banyak yang bahkan tidak peduli dengan bulan Ramadan. Janagnkan mau menjalankan puasa, sholat wajib saja masih enggan melaksanakannya. Na'udzubillahi min dzalik...  
Begitulah kira-kira ciri peningkatan ibadah kita kepada Allah saat Ramadan. Hal yang juga sama adalah ibadah sosial kita (hablun minnas). Diakui atau tidak, ada semacam "maghnet" yang menarik kita untuk lebih meningkatkan muamalah antar sesama. Saat puasa Ramadan, kita berusaha semaksiamal mungkin bisa mengendalikan, bahkan mengekang diri agar tidak terjerumus pada hal-hal yang bisa mengurangi ganjaran ibadah puasa kita. Kita berusaha untuk bicara jujur, tidak menggunjing, tidak mengadudomba, dan juga berusaha untuk tidak menfitnah. Tentu sesuai kadar kemampuan kita. Di sinilah makna puasa Ramadan sebagai media latihan mengendalikan diri bisa difahami. Termasuk ibadah sosila juga: kita bisa meningkatkan amalan shadaqah, infaq, dan juga zakat. Alhamdulillah...  

Hadirin Jama'ah Shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah...
            Jika ditanya, kenapa kita bisa meningkatkan amalan ibadah saat bulan Ramadan? Jawaban yang mungkin disampaikan disini, Pertama, adanya tradisi turun temurun sejak generasi sebelum kita; bahwa kalau Ramadan, lingkungan kita bisa menjadi semakin "islami". Realita ini menjadi semacam aturan tak tertulis, bahwa ketika Ramadan kita harus menghormati bulan yang penuh barokah ini. Hal itu bisa kita maklumi bersama. Lebih dari itu, mass media pun seolah mengkomersialisasikan program Ramadan. Itu alasan pertama.
Dan alasan kedua, kita semakin faham bahwa bulan Ramadan memang bulan yang penuh barokah. Banyak sekali tuntunan hadis nabi yang membicarakan seputar fadilah dan keutamaan bulan Ramadan. Ya, banyak sekali ajaran, baik yang termuat dalam Al-Qur'an, hadis nabi, termasuk juga aqwalul ulama' yang membicarakan keutamaan bulan Ramadan. Tidak mungkin pada kesempatan ini tersampaikan semuanya.
Kaitannya dengan semangat meningkatkan amalan ibadah saat Ramadan, mungkin bisa disampaikan di sini nasehat dari saayyidina Ali bin Abi Thalib. Beliau mengatakan:
"نَوْمُ الصَّائِمِ عِباَدَةٌ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجاَبٌ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ، إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ إِفْطاَرِهِ دَعْوَةٌ لاَ تُرَدُّ"
"Tidurnya orang yg sdg berpuasa adalah ibadah, diamnya merupakan tasbih, do'anya mustajab, amalannya dilipatgandakan (ganjarannya). Dan sesungguhnya do'a org yang berpuasa -menjelang berbuka- tidak akan tertolak".
            Nasehat ini cukup memotifasi kita untuk beramal sholeh ketika Ramadan, termasuk juga bershadaqoh dan lain sebagainya. Belum lagi ada jaminan surga, dan diampuni segala dosa bagi siapa saja yang menjalankan ibadah puasa karena berlandaskan keimanan dan mengharap ridla Allah semata. Sebagaimana hadis Nabi:
"مَنْ صَامَ رَمَضاَناً إِيْماَناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"    
            Yang juga termasuk keistimewaan Ramadan: ada satu malam dalam bulan ini, yang jika kita beribadah di dalamnya, maka ibadah kita tercatat lebih bagus dari ibadah selama seribu bulan. Subhanallah... malam itu kita kenal dengan Lailatu Qadar.
            Ajaran-ajaran seputar Ramadan cukup memotifasi kita umat Islam dalam meningkatkan ibadah selama sebulan. Untuk manggapai semua fadilah puasa Ramadan, kita pun sangat menjaganya dari segala hal yang dapat mengurangi fadilah puasa kita. Dalam hal ini, rasulullah berwasiat:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "الصِّياَمُ جَنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثُ وَلاَ يَجْهَلُ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ"
"Diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasul bersabda: Puasa itu merupakan perisai, maka janganlah (org yg sedang berpuasa) berkata kotor, dan jangan juga melakukan (hal-hal) yang bodoh. Dan jika ada org yang memerangi, atau mengajaknya berkelahi, maka katakanlah: inni sâim (saya sdg berpuasa)"

Ayyuhal Hadirunal kiram rahimakumullah...
            Selanjutnya, bagaimana upaya kita merefleksikan makna Idul Fitri? Sebagai hamba yang dianugrahi pemikiran, tentu kita harus semakin pandai memaknai perayaan Hari Raya yang kita rayakan usai puasa Ramadan. Dari segi bahasanya: hari raya ini disebut: 'Idul Fitri, yakni: kembali pada kefitrahan diri. Dalam Islam, setiap bayi terlahir dalam keadaan suci tanpa noda, alias tiada dosa. Sabda Rasul: كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. Ini tentu berbeda dg ajaran agama lain yang mengatakan manusia yang lahir sudah terbebani dosa adami. Islma tidak begitu.
            Namun demikian, seiring perjalanan waktu, karena lemahnya diri menahan hawa nafsu, dan juga hebatnya godaan syaitan, harus diakui: bahwa kita sering kali terjerumus dalam perbuatan dosa. Kita sering melakukan kecurangan, baik kepada diri sendiri, kepada sesama manusia, termasuk juga kepada Allah. Ini yang mula-mula harus kita insafi. Tidak ada satupun dari kita yang terbebas dari dosa. Kenyataan ini dipertegas oleh nabi:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
"Setiap manusia itu pasti (pernah) berbuat salah, dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat"
            Jika kita renungkan bersama, hadis ini sebenarnya menginsafi kita akan perbedaan antara Adam dengan Iblis. Sebagaimana diketahui bersama, Adam dan Iblis adalah dua hamba Allah yang pernah melakukan kesalahan saat di Surga. Iblis bersalah karena tidak mau menjalankan perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Sedangkan Adam bersalah karena melanggar perintah Allah untuk tidak makan buah terlarang, namun tetap saja dia makan.
            Bedanya Iblis dengan nabi Adam, saat Allah menegor Iblis, dia tidk merasa bersalah, bahkan justru bersikukuh dengan kesalahannya, dan memohon kepada Allah untu dipanjangkan umurnya dan anak cucu Iblis agar bisa terus berbuat salah, yakni menggoda anak turunan Adam, yakni kita. Sedangkan nabi Adam, setelah dihukum atas kesalahannya itu, beliau -dengan penyesalan yang tulus-  bertaubat kepada Allah, seraya berdo'a:
"ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكوننا من الخاسرين"
"Wahai Tuhan kami, sungguh kami telah mendolimi diri kami, jika tiada ampunan dan kasih sayang dari-Mu, sungguh kami termasuk orang-orang yang merugi"
Begitulah kisah kakek kita Adam dalam menginsafi kesalahan yang diperbuatnya. Menurut riwayat, taubat beliau diterima oleh Allah setelah berselang ratusan tahun sejak diturunkan dari langit, hingga dipertemukan kembali oleh Allah dengan Hawa di Jabal Rahmah.
Hikamah dari kisah tersebut, kita adalah manusia yang penuh kesalahan dan dosa, kita pertanyakan pada diri masing-masing: adakah kita akan meniru jejak kakek kita Adam; mengakui kesalahan dan bertaubat dengan sungguh-sungguh, atau kita meniru jejak Iblis; tidak mau mengakui kesalahan diri, dan justru terlena dengan dosa-dosa yang selama ini kita lakukan. Na'udzubillahi min dzalik....

Jama'ah Sekalian yang berbahagia...
            Hikmah lainnya yang wajib kita renungkan dari kisah Adam tadi adalah bahwa Allah sangat-sangat mencintai kita. Kita bisa bayangkan; jika nabi Adam yang hanya melakukan satu kesalahan saja perlu waktu ratusan tahun untuk bisa kembali kepada kefitrahannya, yakni diampuni dosanya, nah.. kita –sebagaimana hadis nabi sebelumnya- hanya dengan puasa Ramadan yg dikita kerjakan dg berlandaskan keimanan dan mengharap ridla Allah saja, semua dosa-dosa kita sudah diampuni. (mari katakan bersama-sama) Subhanallah... sungguh kasih sayang Allah kpd kita umat Muhammad saaangat luar biasa.
            Selain dengan cara berpuasa seperti dijelaskan tadi, kita juga bisa kembali kepda kefitrahan diri dengan cara melakukan ibadah haji dengan baik dan benar, sebagaimana hadis nabi:
"مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ" (متفق عليه)
"Barang siapa yang melakukan ibdah haji, dan ia tidak berkata kotor, juga tidak melakukan perbuatan fasik, maka (dia akan mendapatkan ganjaran) kembali seperti hari dimana ibunya baru melahirkannya, yakni kembali dalam kefitrahan diri" Muttafaqun alaih

Hadirin sekalian yang berbagia...
            Itulah salah satu makna Idul Fitri yang saat ini sedang kita rayakan bersama. Jika kita sudah melakukan ibadah puasa seperti tuntunan nabi tadi, maka kita wajib yakin kalau saat ini dosa-dosa kita telah diampuni oleh Allah SWT. Adapun peluang kembali pada kefitrahan diri dengan berhaji, kita berdo'a mudah-mudahan Allah memberikan kesempatan bagi kita sekalian untuk melaksanakan ibadah haji. Amin, amin ya Rabbal alamin....  
            Maasalahnya kemudian, bagaimana mempertahankan kefitrahan diri yang saat ini sudah kita raih? Bagaimana bisa terus bertahan untuk meningkatkan kualitas ibadah kita, baik hablun minallah, juga hablun minannas? Jika saat Ramadan bisa meningkat, bagaimana untuk sisa sebelas bulan lainnya? Kalau ketika Ramadan termotifasi meningkatkan ibadah, karena dalam bulan ini, Allah banyak menjanjikan pahala yang dilipat gandakan; ada lailatul qadar yang kita kejar; dan juga, karena puasa itu sendiri adalah perisai yang membentengi kita dari melakukan maksiat, maka jka Ramadannya berlalu, berarti habis juga masa berlakunya prisai sekaligus benteng kita itu?! Lantas apa yang bisa kita jadikan periasai untuk membentengi diri dari berlaku maksiat?

Kaum Muslimin dan Muslimat, Mu'minin dan Mu'minat Rahimakumullah...
            Meskipun secara jelas tidak disampaikan oleh nabi, tapi pada hakekatnya kita masih memiliki identitas diri yang bisa dijadikan perisai sekaligus benteng untuk memperingati diri agar tidak melaukauan kesalahan, sebagaimana prisai puasa. Jika saat Ramadan kita mengatakan "ana shaim" untuk tidak melakukan perbuatan keji, maka setelah Ramadan berlalu, kita bisa mengatakan "ana mu'min" atau "ana muslim" sebagai upaya mengontrol hawa nafsu serta emosi diri. Kita bisa jadikan identitas kita sebagai mukmin dan muslim untuk membentengi diri setiap kali tergoda melakukan maksiat. Bagaimana maksudnya?
            Rasul bersabda:
"الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ"
"Seorang muslim (sejati) adalah dia yang orang-orang muslim lainnya merasa aman dari omongan dan tangan muslim tersebut"
Hadis lainnya:
"مَنْ كاَنَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كاَنَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ" (متفق عليه)
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik lagi benar, atau jika tidak, lebih baik diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya ia memuliakan tamunya"  (HR: Muttafaqun Alaih)
            Disini jelas sudah, bahwa indikasi haqiqi keimanan dan keislaman seseorang adalah kemampuan mengontrol omongan, dan anggota badan lain, terutama tangannya untuk tidak merugikan orang lain. Seorang mukmin juga wajib menghormati tetangga dan tamunya.
Jika ini kita amalkan, insya Allah, meski tidak sedang berpuasa, kita masih punya prisai untuk membentengi diri. Dan pastinya, kita tidak merasa perlu lagi menunggu iming-iming ganjaran melimpah hanya untuk beribadah kepada Allah. Bukankah kita tercipta hanya untuk beribadah kepada Allah..! Maka, mau ada ganjaran melimpah atau tidak, kita harus tetap bribadah lillahi ta'ala. Bukan untuk mengejar lainnya, termasuk bukan untuk mencari lailatul Qadar. Inilah hakekat keikhlasan. Dan dengan cara seperti, kita bisa meromadonkan sebelas bulan lainnya. Wallahu a'lam bissawab...
Akhirnya, semoga hati kita dibukakan oleh Allah SWT, dan bisa menjadikan keimanan dan keislaman sebagai periasi dalam menjalankan sisa hidup ini Semoga, kefitrahan diri yang saat ini kita raih bisa terus dipertahankan sampai akhir hayat nanti. Amin ya Rabbal alamin...
Dalam kesempatan ini, saya pribadi mengucapkan "Selamat Idul Fitri" kepada segenap jama'ah, dan dengan kerendahan hati memohon maaf lahir batin atas segala kekhilafan dan kesalahan, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja.

عيدٌ سعيد، أعاد الله عليكم وإياي نفسي بالسعادة والخير والرفاهية وكل عام وأنتم بخير
جعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين المقبولين، وبارك لنا فى القرآن العظيم. ونفعنا بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، إنه هو البر الرؤوف الرحيم،
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم: "قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى، وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى"
وقل رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين

    Oleh:
           Zulfan Syahansyah