Penyebutan nama ayah, kakek dan leluhur lainnya di belakang nama seseorang adalah tradisi warisan jahiliyah. Satu tradisi pra-Islam yang –menurut hemat penulis- harus dirubah. Tapi nyatanya, bahkan mereka yang notabeni non-Arab pun merasa sangat “islami” saat menyebutkan nama leluhur mereka sebagai pelengkap namanya sendiri. Satu kekeliruan yang dibanggakan…
Islam diyakini sebaga ajaran yang datang mula-mula untuk merubah tradisi unhumanity (jahiliyah), di kawasan pertama kali ajaran ini diturunkan kepada sosok Muhammad yang notabeni berketurunan Arab. Tradisi jahiliyah (penulis cenderung mengartikannya dengan “tidak berprikemanusiaan”) pra-Islam sangat marak terjadi di dataran yang sekarang berada di wilayah Saudi Arabiya itu.
Penulis tidak tahu persis kenapa tradisi itu disebut jahiliyah. Perlu ada penelitian khusus untuk bisa menjawabnya. Yang pasti, nama tersebut bukan diberikan langsung oleh mereka yang terlibat di dalamnya: sebagai komunitas jahiliyin (masyarakat yang hidup dan melakukan praktek kejahiliyaan tersebut). Minimal saat mereka masih “aktif” sebagai komunitias tersebut; sebelum memeluk Islam. Karena tidak mungkin seseorang akan bangga dengan julukan negatif dan menyandangkannya pada komunitasnya sendiri. Satu misal sederhana, seorang Indonesia yang waras tidak mungkin akan menjuluki komunitas bangsanya sebagai rakyat bodoh.
Asumsi yang bisa dikemukakan tentang penamaan tradisi jahiliyah tersebut adalah keinsafan para mantan kelompok itu sendiri. Mereka yang sebelumnya bangga dengan tradisi tersebut lantas menginsafi kalau apa yang selama ini mereka yakini dan jalani adalah satu hal yang sangat bodoh (jãhil). Dalam sejarah kebudayaan Islam, kita banyak mendengar kisah “bodoh” para sahabat sebeum menjadi musim. Satu dari sekian banyak sahabat dimaksud adalah Umar bin Khattab.
Sebagaimana diketahui, sebelum memeluk Islam, Umar sangat memegang tradisi jahiliyah. Dia bahkan tega mengubur putrinya karena malu mepunyai anak perempuan. Tradisi waktu itu memang demikian. Kecintaan kepada anak laki-laki kelewat batas, alias keterlaluan. Sedemikian terlalunya, sampai merasa malu, hina, bahkan jijik jika lantas dikaruniai anak perempuan. Maka tidak heran kalau Umar bisa mengubur putrinya yang masih hidup.
Selain kecintaan yang berlebihan pada anak laki-laki, tradisi jahiliayh lainnya yang senyatanya harus dirubah adalah ta’assub dan terlalu membanggakan nasab. Sikap pertama (ta’assub) adalah terlalu mencintai kelompok. Satu kecintaan yang dapat menumpulkan objektifitas penilaian. Hitungan kelompok menjadi skala prioritas di atas realita benar-salah dalam menilai sagalanya. Meski terbukti salah, jika anggota kelompoknya berselisih dengan anggota kelompok lain, maka dukungan pasti kepada satu kelompoknya. Dalam tradisi Arab Jahiliyah, kelompok-kelompoka tersebut dominan terpilah dalam suku-suku atau kabilah-kabilah.
Sikap atau tradisi jahiliyah lainnya adalah terlalu membanggakan nisab. Dalam tradisi Arab, baik pra-Islam, bahkan sampai saat ini, kebanggaan mereka pada leluhur sangat kentara. Dalam arti lain, Islam ternyata belum mampu merubah tradisi satu ini? Celakanya lagi, tradisi Arab yang senyatanya ada sebelum Islam ini cenderung dianggap islami oleh sebagian besar umat Islam di seluruh dunia, tidak perdulu dari bangsa Arab atau non-Arab.
Kecendrungan umat Islam pada tradisi dimaksud tergambar pada penempelan nama-nama leluhurnya setelah nama yang bersangkutan. Contohnya, jika seseorang bernama Muhammad, ia akan menuliskan nama ayahnya, kakek, dan semua nama leluhurnya akan disandang. Maka menjadi: Muhammad bin Anu bin Anu bin Anu dan seterusnya. Lihat saja, bahkan mereka yang kita sebut ulama besar pun cenderung dengan tradisi ini. Di halaman depan kitab yang mereka tulis pasti terpampang nama dan leluhur mereka.
Pada kenyataannya, memang tidak semua prang Arab mengamini tradisi kecintaan berlebihan pada leluhur mereka. Ada juga kelompok yang menolak tradisi ini. Hal ini bisa dilihat dari satu syair yang berbunyi: laisa al fatã man yaqûlu dzaka abi # inna al fatã man yaqûlu ha anazda (bukanlah seorang pemuda yang suka mengandalkan ayahnya. Seorang pemuda adalah dia yang mengatakan: “ini saya”).
Indikasi lain yang menunjukan bahwa penyebutan leluhur merupakan tradisi warisan jahiliyah adalah penyebutan satu sisi dari leluhur, yakni dari pihak ayah. Kenapa nasab dari ibu tidak disebutkan? Bukankah sebagai muslim kita tidak boleh membedakan kedua nasab, baik dari ayah atau ibu? Kalau memang harus dipisah, seharusnya kita mendahulukan nasab ibu, kan?!. Rasul sendiri yang menyebutkan bahwa penghormatan kita pada sosok ibu berbanding tiga dari pada penghormatan kepada ayah.
Pertanyaan yang lantas mengemuka, kenapa kita yang notabeni non-Arab juga ikut-ikutan mempraktekkan tradisi ini? Tidakkah kita tahu bahwa penyebutan nama leluhur di belakang nama seseorang adalah indikasi membanggakan nasab? Satu tradisi yang sudah menggejala sejak masa jahiliyah dulu, dan sampai saat ini masih belum bisa dihapus. Jika itu merupakan tradisi jahiliyah, maka orang yang mempraktekkannya juga disebut sebagai jãhili, alias bodoh. Maukah Anda desebut sebagai orang bodoh? Wallahu a’lam…