29.6.10

PRESTASI DALAM ISLAM

Mengukur seseorang dari prestasi kerjanya adalah standarisasi penilaian yang islami, karena Islam memang mengajarkan bahwa penghargaan tidak berdasarkan keturunan tetapi amal atau kerja. Realita ini yang membedakan antara masa praislam dengan masa Islam itu sendiri. Seperti diketahui, penghargaan kepada manusia di za¬man Jahiliah berdasarkan keturunan, dan di zaman Islam dengen hasil kerja.

Pada zaman Jahiliyah, seorang bayi yang terlahir dari keturunan ningrat, atau kelurga terpandang, secara otomatis ia akan mewarisi ”kehormatan” keluarganya. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dari keluarga ”hina”, orang tuanya berstatus budak belian, tidak bisa dihindari, sang anak pun harus rela menanggung beban sebagai komunitas terhina. Potensi atau prestasi kerja seseorang, samasekali tidak bisa meninggikan statusnya di tengah masyarakat Jahiliyah. Kenyataan inilah yang ditentang oleh Muhammad sebagai pembawa risaah Isam. Karenanya tak heran jika pada awal mula kedatangannya, Islam ditentang oleh tidak sedikit pemuka Arab Quraisy yang terlanjur dimuliakan masyarakat karena faktor keturunan.

Sebagai panduan dasar keberislaman, secara tegas Al-Quran menerangkan hal tersebut, seperti dalam firman Allah Swt.: ”Bahwa yang diperoleh manusia hanya apa yang diusahakannya. Bahwa usahanya akan segera terlihat” (Q., 53: 39-40).

Inilah dasar etos kerja Islam, bahwa umat Islam mendekati Allah Swt. melalui kerja, dan karenanya agama Islam disebut sebagai agama etis (ethical religion), seperti firman Allah Swt., Barang siapa mengharapkan pertemuan dengan Tuhan, kerjakanlah amal kebaikan, dan dalam beribadat kepada Tuhan janganlah persekutukan dengan siapa pun (Q., 18: 110). Jadi dasarnya adalah pertama kerja, dan kedua keikhlasan. Di tempat lain urutannya bisa dibalik, tetapi kedua-duanya harus menyatu, tidak bisa dipisahkan.

Banyak contoh kerja yang ditunjukkan oleh Rasulullah, misalnya beliau aktif sekali dalam memimpin perang, pemerintahan, dan sebagainya, hingga Allah Swt. berfirman kepada beliau, Katakanlah, ‘Wahai kaumku, kerjakanlah menurut kemampuanmu. Dan aku pun mengerjakan sesuai dengan bagianku’ (Q., 39: 39).

Orang-orang kafir Makkah pernah menggugat Nabi yang berjalan-jalan di pasar, berdagang, dan segala macamnya. Bahkan Tuhan juga digugat; kalau mengutus rasul mestinya orang yang lebih mulia, tidak melakukan pekerjaan macam ini. Maka turun firman Allah Swt., Dan rasul-rasul yang Kami utus sebelummu, mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Kami jadikan satu dengan yang lain di antara kamu sebagai cobaan, dapatkah kamu menahan sabar? (Q., 25: 20). Artinya, kalau seandainya penduduk Makkah adalah malaikat sudah pasti yang akan diutus kepada mereka juga malaikat, tetapi karena penduduk Makkah adalah manusia, maka yang menjadi utusan juga manusia.

Kalau umat Islam tidak memulai kalendernya dengan tahun kelahiran Nabi, itu merupakan konsistensi dengan penegasan Al-Quran sendiri, bahwa Muhammad adalah manusia biasa, Katakanlah, ‘Aku hanya seorang manusia seperti kamu, yang diberi wahyu, tetapi Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa’ (Q., 18: 110). Jadi kelebihan manusia Muhammad dari kita adalah bahwa beliau menerima pengajaran tentang prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid).

Ketika Rasulullah Saw. shalat Isya sampai lima rakaat, para sahabat gaduh apakah rakaat shalat Isya telah diubah. Tetapi karena Nabi sendiri pelakunya, mereka tidak berani menegur, dan Rasulullah juga tidak segera menerima laporan. Melihat kegaduhan itu Rasulullah bertanya-tanya, dan salah seorang sahabat menceritakan kejadian yang sebenarnya. Maka dalam sebuah hadis yang terkenal dikatakan, Sesungguhnya aku ini manusia biasa, bisa lupa, bisa salah, dan bisa alpa, maka apabila aku lupa ingatkan! Jadi salat Isya tetap empat rakaat.

Dengan pemikiran di atas, agama Islam menjadi agama yang sangat berhasil memelihara umatnya dari menyembah tokoh pendiri. Semua agama yang lain, kecuali Yahudi, terjeblos ke dalam praktik ini. Agama Kristen menyembah Yesus, agama Buddha menyembah Buddha Gautama, seperti terlihat di Candi Borobudur, di mana unsur yang paling penting adalah arca Buddha di dalam stupa-stupa, yang dijadikan sembahan. Padahal Buddha Gautama tidak pernah berpesan supaya dirinya disembah. Yang lebih lucu adalah Kong Hu Cu, seorang filsuf semata, tetapi falsafahnya berkembang menjadi agama, dan para pengikutnya menyembah dia. Lihat saja di mana ada kelenteng di situ ada patung Kong Hu Cu.