4.7.11

DESAIN PENELITIAN DISERTASI

-->
AL-QUR’AN BAGI NON-ARAB: ANALISIS NAHWU IMAM SIBAWAIH
BAB I : PENDAHALUAN
1.1.KONTEKS PENELITIAN
Sebagai muslim non-Arab yang berkonsentrasi pada kuliah Pembelajaran Bahasa Arab (PBA), tema penelitian di atas senyatanya merupakan kesatuan rangkuman aspek-aspek mendasar berupa kewajiban, keinginan, juga mungkin kelayakan bagi peneliti. Dipandang sebagai kewajiban, karena penelitian ini berusaha memaparkan kembali tujuan utama pembelajaran bahasa Arab bagi kalangan non-Arab: yakni upaya memahami al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. 

Satu asumsi megemuka: Islam sebagai agama identik dengan bahasa Arab. Sebab keseluruhan ajaran Islam terangkum dalam al-Qur’an dan hadis nabawi yang berbahasa Arab. Bukankah setiap muslim diwajibkan memahami ajaran agamanya secara benar? Maka kewajiban memahami ajaran Islam berdampak pada kewajiban memahami bahasa Arab, sebagai mediasinya, meski hanya bersifat reseptif. Sebuah kaidah fiqih menjelaskan: “ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib” (sesuatu yang tanpanya tidak terlaksana satu kewajiban, maka sesuatu itu pun juga wajib).

Selain kewajiban, tugas penelitian ini juga pada senyatanya sebagai ajang pencapaian hasrat yang sekian lama mengendap. Sejujurnya, sejak usia dini, tepatnya saat peneliti mulai mengenal bahasa Arab sebagai satu materi pembelajaran, khususnya sub materi PBA yang berkaitan dengan gramatika, peneliti sudah “akrab” dengan nama-nama ulama yang identik dengan kajian bahasa Arab. Di antara sekian nama tersebut, yang paling masyhur bagi umat Islam di Indonesia pada umumnya adalah Ibnu Malik dengan kitabnya Alfiyah, dan tentunya ‘Amru bin ‘Usman al-Qunbar, atau yang terkenal dengan sebutan Imam Sibawaih. Pada penelitian kali ini, peneliti secara khusus ingin mendalami siapa dan apa karakteristik Imam Sibawaih, khususnya seputar pemikirannya tentang Nahwu (gramatika bahasa Arab).

Sebagaimana diketahui, Imam Sibawaih adalah sosok ulama non-Arab (‘ajam) yang telah berjasa besar bagi perkembangan ilmu bahasa Arab. Bahkan bisa dibilang kalau Sibawaih termasuk yang paling berjasa dalam meletakkan istilah-istilah dasar ilmu Nahwu, khususnya di Bashrah. Pastinya, terlalu banyak alasan untuk peneliti ungkapkan sebagai alasan kenapa menjadikan Sibawaih dengan kajian-kajiannya seputar ilmu Nahwu sebagai objek penelitian. Di antara sekian banyak alasan, seperti pemaparan di atas, kenyataan bahwa Sibawaih adalah sosok non-Arab yang menguasai ilmu bahasa Arab adalah hujjah dominan bagi peneliti. 

Anggapan sementara: tidak mungkin Sibawaih melakukan semua itu tanpa adanya motifasi yang kuat. Khotijah al-Hadisi dalam bukunya Dirãsãt fi Kitab Sibawaih (1980: 11) menulis:
"وكان سيبويه من أكثر النحاة تمسكا بالشاهد القرآني، وأعظمهم إجلالا له، وكان يضعه في المرتبة الأولى لأنه أبلغ كلام نزل وأوثق نص وصل، ولأنه يمثل العربية الأصلية، والأساليب الرفيعة، ويخاطب العرب بلغتهم وعلى ما يعنون"
Dari sini jelas, bahwa Sibawai menjadikan al-Qur’an sebagai dasar awal kajiannya tentang kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini cukup menjaadi pijakan bahwa kepakaran Sibawaih dalam ilmu Nahwu adalah upaya seorang muslim non-Arab dalam memahami al-Qur’an sebagai kitab suci.

Untuk memperkuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, peneliti berusaha mencari benang merah antar materi ilmu Nahwu Sibawaih dengan pemahaman al-Qur’an. Untuk kajian ini, peneliti telah menyesun tahapan-tahapan kajian secara sistimatis. Tentu saja, peneliti berusaha agar tidak apologiz dalam mengkaji serta menelaah pemikiran ulama asal Persia itu, sebagai landasan dan syarat pengungkapan fakta secara objektif dari data-data yang semaksimal mungkin peneliti usahakan pengumpulannya.

Dengan pengungkapan data-data seperti dimaksud, peneliti melihat perlunya merekonstruksi ulang posisi PBA bagi kalangan non-Arab, semisal di Indonesia. Artinya, perlu ada ketegasan memposisikan bahasa Arab sebagai bahasa Asing bagi rakyat Indonesia. Karena tidak etis jika mensejajarkannya dengan basaha Indonesia sebagai bahasa nasional. Dengan posisinya ini, bahasa Arab masuk pada ranah kognitif yang memerlukan pembelajaran intensif sebagai pengetahuan baru, seperti halnya teori bahasa menurut Leonard Bloomfield. Untuk tujuan ini, peneliti melihat kelayakan kajian ini sebagai body of knowledge peneliti: masuk pada area Pembelajaran bahasa Arab.

Dengan kajian yang mendalam, serta telaah atas teks-teks karya Imam sibawaih, baik berupa karangannya langsung, atau pandangan para pengikutnya, juga mereka yang mengkritisinya secara tertulis, penelitian berupaya menguak fakta dan realita dimana posisi Nahwu Imam sibawaih dalam korelasinya antara PBA sebagai ilmu terapan sebagaimana kajian bahasa pada umumnya, dan PBA dalam upaya pemahaman al-Qur’an bagi kalangan non-Arab.

Demikian sekilas paparan seputar pentingnya tema penelitian ini diangkat. Sebagai tema penelitian kualitatif, tentunya tema ini masih bersifat sementara: mungkin saja saat penelitian nanti terjadi perubahan, baik sebagai perbaikan, sebagai pengembangan, atau mungkin karena ketidakmungkinan penelitian ini diteruskan. Semua itu sangat tergantung dari hasil pencarian data yang terus peneliti upayakan.

Hanya do’a, dukungan serta motifasi dari semua pihak, agar apa yang peneliti harapkan dari penelitian ini dimudahkan oleh Allah SWT. Besar harapan, hasil penelitian ini bisa bermanfaat bagi perkembangan Pembelajaran Bahasa Arab di Indonesia. Amien.. 

1.2.FOKUS PENELITIAN
Sebagai fokus penelitian, berikut ini beberapa pertanyaan yang harus peneliti temukan jawabannya:
1. Apa yang melandasi kepakaran Imam Sibawaih dalam hal pngetahuan bahasa Arab, khususnya mengenai ilmu nahwu?
2. Banyak pakar yang menyatakan bahwa Imam Sibawaih menjadikan al-Qur’an sebagai landasan utamanya dalam merumuskan kaidah bahasa Arab. Maka, bagaimana kriteria pelandasan tersebut di susun oleh Sibawaih?
3. Dimana implikasi dari kajian Sibawaih seputar ilmu nahwu dalam memahami al-Qur’an, khususnya bagi kalangan non-Arab? 

1.3.TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui landasan sebagai motifasi Imam Sibawaih mendalami bahasa Ara sebagai bahasa asing baginya. Hal ini kiranya bisa dijadikan kaca perbandingan umat Islam non-Arab lainnya untuk mempelajari bahasa Arab.
2. Mengetahui secara cermat bagaimana kreteria Sibawaih melandasi kajian nahwunya dari al-Qur’an.
3. Mengungkap realita dibalik kajian Sibawaih untuk pemahaman al-Qur’an, khususnya bagi kalangan muslim non-Arab.


1.4.LINGKUP DAN BATASAN PENELITIAN
Dari data sementara, selain al-Qur’an, Imam Sibawaih juga banyak melandasi kajian nahwunya dari syair-syair Arab Jahili. Dalam kitabnya, Sibawaih mencantumkan tidak kurang dari seribu lima puluh syair Arab Jahili. Karenanya, untuk menfokuskan kajian, peneliti membatasi penelitian ini pada kajian nahwu Sibawaih yang berlandaskan dari al-Qur’an saja.
Sebagai kajian pustaka, penelitian ini mencukupkan tela’ah Kitab Sibawah sebagai data kunci untuk dikaji. Tentu saja, kitab-kitab pendukung yang telah ditulis para pakar ilmu nahwu, khususnya kitab yang menerangkan seputar Kitab Sibawaih tetap peneliti jadikan rujukan, selain kajian yang mengkritisi pemeikiran nahwu Sibawaih.

1.5.MANFAAT PENELITAIN
Sebagaimana penelitian lainnya, penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat. Baik secara praktis, teoritis, juga institusional. Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi masukan sekaligus gambaran bagaimana selayaknya kalangan muslim non-Arab memposisikan bahasa Arab sebagai materi pembelajaran. Meskipun diyakini Islam sebagai satu ajaran identik dengan bahasa Arab, namun sebagai non-Arab, tetap saja bahasa ini harus dipandangg sebagai bahasa asing. Maka, mencermati sisi urgensitas kecakapan berbahasa Arab, danmemilahnya dari sisi-sisi lainnya menjadi satu keniscayaan.
Dengan manfaat praktis seperti di atas, penelitian ini selanjutnya bisa menjadi landasan teoritis bagaimana selayaknya kajian bahasa Arab untuk memahami al-Qur’an; aspek-aspek teoritis pembelajaran bahasa Arab bisa tersusun dalam kerangka yang dihasilkan dari penelitian ini.
Sementara pada aspek institusional, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perguruan tinggi di Indonesia, khususnya di UIN Maulana malik Ibrahim yang secara paralel telah tersedia jurusan Pembelajaran Bahasa Arab (PBA), dari program S1, S2, dan S3. 

1.6.UNIT ANALISIS
Penelitian ini merupakan kajian pustaka, maka sumber data utama yang digunakan adalah kajian-kajian pustaka berupa khazanah kitab-kitab karya Imam Sibawaih seputar Ilmu Nahwu, terutama Kitab Sibawaih, dan beberapa buku yang menelaah seputar kajian Nahwu Imam Sibawaih yang ditulis oleh para pakar. Sampai saat ini, peneliti masih bisa mendapatkan dua buku yang relefan untuk penelitian. Keduanya adalah: Dirasaat fi Kitab Sibawaih yang ditulis oleh Khadijah al;Hadisi dan Syawahidu Sibawaih, oleh Abdul Ali Salim Mukarram. Dan pastinya, tidak menutup kemungkinan bagi peneliti menjadikan sumber-sumber data lainnya yang dianggap relefan. Ebook, Jurnal Ilmiah, dan makalah adalah contoh sumber-sumber data lain yang dimaksud.
1.7. DEFINISI OPERASIONAL ISTILAH KUNCI
Untuk lebih memperjelas kajian, perlu kiranya pemaparan secara jelas seputar difinisi operasional yang menjadi istilah kunci dalam penelitian ini. Ada beberapa kata kunci yang harus peneliti jelaskan, yakni: telaah pembelajaran, pemahaman al-Qur’an, muslim non-Arab, dan kajian nahwu Sibawaih. Untuk sementara, peneliti masih bisa menjelaskan satu sisi dari sekian kata kunci penelitian ini, yaitu telaah pembelajaran bahasa Arab.
Pembelajaran Bahasa Arab merupakan suatu pembelajaran yang diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan, dan membina kemampuan serta menumbuhkan sikap positif terhadap Bahasa Arab baik reseptif maupun produktif. Kemampuan reseptif yaitu kemampuan untuk memahami pembicaraan orang lain dan memahami bacaan. Kemampuan produktif yaitu kemampuan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun secara tertulis.
Kemampuan berbahasa Arab serta sikap positif terhadap bahasa Arab tersebut sangat penting dalam membantu memahami sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits, serta kitab-kitab berbahasa Arab yang berkenaan dengan Islam bagi peserta didik.
Berdasarkan peraturan menteri Agama RI nomor 2 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab, dikatakan bahwa tujuan pembelajaran Bahasa Arab adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Arab, baik lisan maupun tulisan, yang mencakup empat kecakapan berbahasa, yakni menyimak (istima’), berbicara (kalam), membaca (qira’ah), dan menulis (kitabah).
2. Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya Bahasa Arab sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya dalam mengkaji sumber-sumber ajaran Islam.
3. Mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antara bahasa dan budaya serta memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian peserta didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya.
BAB II: PERSPEKTIF TEORETIK DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1. PERSPEKTIF TEORETIK
Dalam kajian ini, peneliti berupaya menjelaskan secara teoritik seputar Pembelajaran Bahasa Arab, Pemahaman Al-Qur’an, dan Kajian Nahwu Sibawaih. Sebagaimana fungsinya, Muhbib (2009:31) menjelaskan bahwa teori adalah sistem yang bertujuan untuk menjelaskan suatu fenomena dengan merinci konstruk-konstruk (yang membentuk fenomena itu), beserta hukum dan aturan yang mengatur keterkaitan antara satu konstruk dengan lainnya. Karena itu, menurut F.M. Kenlinger, seperti ditulis Muhbib: teori didefinisikan sebagai “seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang saling berhubungan yang mengemukakan pandangan sistematis tentang fenomena dengan menjabarkan relasi di antara variabel dengan tujuan menjelaskan dan meramalkan fenomena tersebut.”
Teori-teori tentang pembelajaran bahasa Arab, pemahaman al-Qur’an, dan kajian nahwu dalam bab ini dimaksudkan sebagai perspektif atau kerangka konseptual (conceptual fremework) dalam menjelaskan teori kajian nahwu Imam Sibawaih untuk pemahaman al-Qur’an bagi kalangan non-Arab, dan sekaligus sebagai panduan dalam pengembangan analisis pembelajaran bahasa Arab bagi non-Arab.
2.1.1. Pembelajaran Bahasa Arab
Seperti halnya bahasa asing lainnya, dalam pembelajaran bahasa Arab bagi non Arab juga dikenal beberapa istilah yang perlu kiranya dipertegas untuk menghindari kerancuan pembahasan mengenai pembelajaran dimaksud. Menurut Acep Hermawan (2011:167), setidaknya ada tiga istilah yang teratagori secara bertingkat dalam melakukan proses pembelajaran bahasa. Ketiganya adalah: pendekatan (madkhal al-tadris/ teaching approach), metode (tharîqah al-tadris/ teaching method), dan teknik (uslûb al-tadris/ teaching technique).
Yang dimaksud dengan pendekatan menurut al-Naqah, seperti dikutip Acep, sekumpulan asumsi tentang proses belajar mengajar dalam bentuk pemikiran aksiomatis yang tidak perlu diperdebatkan. Sementara metode, maksudnya adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 1995). Metode lebih bersifat rosedural dan sistemik karena tujuannya untuk mempermudah satu pekerjaan.
Lebih lanjut Acep menjelaskan, bahwa pendekatan merupakan pendirian filosofis yang selanutnya menjadi acuan dalam kegiatan pembelajaran bahasa. Sebagai contoh, ada teori yang mengatakan bahwa bahasa lahir dari segala sesuatu yang didengar dan diucapkan, sedangkan menulis merupakan kecakapan yang timbul setelahnya. Dari teori ini, lantas lahirlh asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa tahapan mempelajari bahasa didahului oleh peningkatan kemampuan mendengar, bicara, membaca, lalu menulis.
Thaimah dan Naqah (2006,45) juga secara tegas membedakan antara pendekatan dan metode. Jika pendekatan dimaksud dengan serangkaian bangunan yang menjadi sandaran metode, seperti gambaran tentang pemahaman bahasa, dan filsafat pembelajarannya; maka metode dimaksudkan dengan sekumpulan cara sebagai perantara yang bersifat eksternal untuk pencapaian sebuah tujuan tertentu dalam pembelajaran.
Untuk itu, seorang pengajar bahasa yang menganut pendekatan tertentu, dia tetap memiliki kebebasan menciptakan beragam metode sesuai dengan situasi dan kondisi terjadinya kegiatan belajar mengajar. Yang harus diingat, metode yang dilahirkan dan digunakan tidak bertentangan dengan pendekatan yang dianut.
Adapun teknik pembelajaran atau uslûb al-tadris/ teaching technique, lebih bersifat aplikatif. Teknik juga biasa dengan gaya pembelajaran. Dikatakan demikian, karena aspek ini bersentuhan langsung dengan kondisi nyata seorang guru dalam menjabarkan metode ke dalam langkah-langkah aplikatif. Abd al-Râziq (2007) menyebut teknik sebagai cara-cara guru dalam menggunakan metode. Dari segi penjabaran, teknik lebih khusus dibandingkan dengan metode, sebab teknik merupakan penjabaran praktis atas metode yang digunakan. Maka pertanyaan yang berkaitan dengan teknik adalah bagaimana caranya, dan langkah apa saja dalam menggunakan metode tertentu.
Jika disimpulkan, seperti dijelaskan Acep, ketiga unsur tersebut dipandang sebagai sebuah sistem yang saling berkaitan secara hirarkis. Lebih sederhana lagi dapat dikatakan bahwa pendekatan akan melahirkan metode-metode, dan metode akan melahirkan teknik-teknik. Perbedaannya, pendekatan bersifat aksomatis, metode bersifat prosedural, dan teknik bersifat aplikatif.
Selanjutnya, sebagai satu kajian dalam pembelajaran bahasa, ada beberapa macam pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing yang secara singkat akan penulis ketengahkan. Abdul Aziz Ibrahim al-Usaili (2002) menulis enam macam metode pembelajaran bahasa Arab bagi non Arab: Metode Kaidah dan Terjemah, Metode Alamiah, Metode Langsung, Metode Audiolingual, Metode Membaca, dan Metode Diam. Berikut sekilas pemaparan keenam metode tersebut.
A. Metode Kaidah dan Terjemah
Metode ini melihat bahasa secara preskriptif: bahwa kebenaran bahasa berpedoman pada petunjuk tertulis. Yaitu aturan-aturan gramatikal yang ditulis oleh ahli bahasa, bukan menurut ukuran guru. Menurut Ba’labaki (1990: 216), dasar pokok metode Kaidah dan Terjemah adalah hapalan kaidah, analisa gramatika terhadap wacana, lalu terjemahnya ke dalam bahasa yang digunakan sebagai pengantar pelajaran. Sedangkan perhatian pada kemampuan berbicara sangat kecil.
B. Metode Alamiah
Menjelang abad ke-19, para ahli bahasa di Eropa merasa perlu melihat sisi alamiyah pada diri manusia, termasuk juga pada aspek bahasanya. Hal ini karena ketidakpuasan dengan hasil metode kaidah dan terjemah dalam pembelajaran bahasa. Maka mulailah pembelajaran bahasa kedua dilandasi pada pemahaman: melihat sesuatu secara alami lebih utama dari pada melihatnya secara tidak alami. Lantas muncullah teori untuk pembelajaran bahasa asing diperlukan teknik sebagaimana seorang bayi belajar bahasa Ibu; secara alamiah. Dalam penerapannya, jenjang pembelajaran bahasa kedua juga serupa dengan jenjang seorang bayi dalam belajar bahasa Ibu.
C. Metode Langsung
Metode Langsung dikembangkan oleh Carles Berlitz, seorang ahli dalam pengajaran bahasa dari Jerman menjelang abad ke-19 (Langkawati, dalam Revitalisasi Pendidikan Bahasa, 2003: 72). Faktor kemunculannya dilatarbelakangi oleh penolakan atau ketidakpuasan terhadap metode kaidah dan terjemah. Pada saat itu, metode kaidah dan terjemah merupakan metode pengajaran bahasa kedua yang populer. Akan tetapi, di tengah kepopulerannya muncul banyak ketidakpuasan, sehingga muncullah kritik dan penolakan terhadap metode ini.
Metode langsung berasumsi bahwa belajar bahasa asing sama dengan belajar bahasa ibu, yakni menggunakan bahasa secara langsung dan intensif dalam komunikasi. Para pelajar, menurut metode ini, belajar bahasa asing dengan cara menyimak dan berbicara, sedangkan membaca dan menulis dapat dikembangkan kemudian. Sebab inti bahasa adalah menyimak dan berbicara (Nababan, 1993: 15).
D. Metode Audiolingual
Metode audiolingual (al-thariqah al-sam’iyyah al-syafawiyyah/ audiolingual method) mula-mula muncul di Amerika Serikat (AS). Kelahirannya tidak lepas dari konteks sosial politik negara itu, yaitu ketika terjadinya pergolakan perang dunia II. Saat itu AS mengalami kekalahan dalam peperangan, maka untuk penggalangan kekuatan baru membutuhkan personalia yang lancar berbahasa asing (yang nantinya bisa ditempatkan di negara-negara seperti Prancis, Belanda, Cina, dan negara-negara jajahannya) yang mampu bekerja seperti penerjemah, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang memerlukan komuinikasi langsung dengan penduduk setempat.
Untuk kepentingan itu dibutuhkan program pengembangan kemampuan berbahasa asing dengan cepat. Maka pemerintah AS menugaskan beberapa universitas untuk merencanakan program pengajaran bahasa asing untuk para personalia miiter yang mempunyai kemampuan bahasa yang diperlukan. Maka didirikanlah badan yang diberi nama Army Specialized Training Program (ASTP) pada tahun 1942. Tujuan program ini adalah agar peserta memiliki keterampilan berbicara dalam beberapa bahasa asing.
Semula, metode yang digunakan dalam program ini disebut “army method”, karena memang dikhususkan untuk kecakapan berbahasa asing bagi kalangan militer. Metode ini pada dasarnya mengintensifkan prinsip-prinsip pada direct method yang dikembangkan oleh Carles Berlitzdi Jerman menjelang abad ke-19. Metode ini mencoba menstimulasikan cara pelajar belajar bahasa asing secara langsung dan intensif dalam komunikasi. Pelajar bahasa asing dalam hal ini dibiasakan untuk berfikir dengan bahasa asing. Oleh karena itu, penggunaan bahasa ibu dan bahasa kedua dielakkan sama sekali. Karena efektifitas metode ini, para pengajar bahasa asing waktu itu menjadikan army method sebagai metode tepat guna untuk pengajaran bahasa asing secara umum. Maka pada tahun 1950-an muncullah metode audiolingual.
Metode audiolingual adalah metode yang mendasarkan diri pada pada pendekatan struktural dalam pengajaran bahasa. Sebagai implikasinya, metode ini menekankan penelaahan dan pendeskripsian suatu bahasa yang akan dipelajari dengan memulainya dari system bunyi (fonologi), lalu pembentukan kata (morfologi), pembentukan kalimat (sintaksis). Karena menyangkut struktur bahasa secara keseluruhan, maka dalam hal ini juga ditekankan system tekanan, nada dan lain-lain. Maka pembelajaran bahasa tujuan diadakan dengan mencurahkan perhatian pada lafal kata, ann latiahn berkali-kali (drill) secara intensif.
E. Metode Membaca
Pada awal abad ke-20, penggunaan metode langsung di sekolah-sekolah menengah di Eropa mulai berkurang. Yang muncul pada waktu itu penggunaan metode langsung yang telah menyatukan teknik-teknik metode langsung dengan aktivitas-aktivitas terpimpin berdasarkan ketatabahasaan. Hal ini karena banyak penelitian yang menyimpulkan tidak ada satu metode pengajaran bahasa asing yang berhasil secara gemilang.
Penekanan kemampuan berbicara yang menjadi tujuan utama metode langsung, hsilnya kurang memuaskan. Dalam laporan hasil penelitian Coleman dan kawan-kawan tahun 1929, seperti dituturkan Nababan (1993: 19) dianjurkan bahwa tujuan pengajaran bahasa asing yang realistis adalah tercapainya keterampilan membaca, maka perlu digunakan metode membaca (thariqah al-qira’ah/ reading method). Hasil laporan ini adalah bahwa tujuan utama program-program bahasa sebagai bahasa asing adalah diganti menjadi keterampilan membaca. Kondisi ini terus berlaku hingga tahun 1940-an.
Di luar AS, pada tahun 1929-an, metode membaca mulai digunakan. Tujuannya antara lain untuk memberi pelajar/ mahasiswa kemampuan memahami teks ilmiah yang mereka perlukan dalam studi mereka.
Metode membaca, selain menekankan kemampuan membaca diam untuk pemahaman, juga memandang penting kemampuan pengucapan yang benar, sehingga membaca secara nyaring merupakan kegiatan yang banyak dilatihkan.
Sasaranmetode di atas, sebagaimana diketahui, salah satu tugas utama pelajar adalah memperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya dari teks-teks ilmiah. Salah satu kegiatan penting untuk memperoleh informasi itu adalah membaca, baik secara diam atau membaca dengan nyaring.
F. Metode Diam
Metode diam (al-thariqah al-shamitah/ silent way), seperti ditulis Acep (2011: 201) dicetuskan oleh Caleb Gategno, seorang ahli pengajaran bahasa yang menerapkan prinsip-prinsip kognitivisme dan ilmu filsafat dalam pengajarannya. Ia mencrmati konsep filsafat Stevick (1979) yang dijadikannya sebagai ide dasar untuk memunculkan metode ini antara lain: diri da diri orang lain.
Dinamakan metode gur diam karena guru lebih banyak diamnya daripada berbicara saat proses belajar mengajar berlagsung. Namun sebenarnya tidak hanya guru yang diam, pelajar pun memiliki saat-saat untuk tujuan-tujuan tertentu. Menurut Arsyad (2004:28) guru diminta diam dalam metode ini sekitar 90% dari alokasi waktu yang terpakai, tetapi ada juga saat-saat tertentu bagi para pelajar untuk diam tidak membaca, tidak menghayal, tidak juga menonton video, melainkan berkonsentrasi pada bahasa asing yang baru saja didengar.
2.1.2. Pemahaman Al-Qur’an
“Kitab (Al-Qur’an) ini, tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” Demikian terjemahan Al-Qur’an (QS. 2:2), sebagai penegas bagi orang-orang yang bertaqwa; bahwa tidak akan pernah ada kesalahan dalam al-Qur’an, baik secara harfiah atau kandungan ajarannya untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan di dunia. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad, Al-Qur’an terbukti, dan harus kita yakini akan selalu otentik sepanjang zaman.
Secara bahasa, Al-Qur’an berarti “bacaan sempurna”. Kesempurnaannya dapat kita tinjau dari beberapa aspek, yang sekiranya dibandingkan dengan bacaan-bacaan lainnya, tidak akan ada alasan untuk menafikan kesempurnaanya. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an, menuturkan beberapa aspek yang menjadi sebagian dari mukjizat Al-Qur’an:
Pertama, Al-Quran adalah bacaan ratusan juta orang bahkan milyaran sejak awal pembukuannya; bukan saja bagi yang mengerti, tapi juga “enak” dibaca oleh mereka yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Kedua, Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya. Adakah buku bacaan atau kitab suci yang menyerupai Al-Qur’an dari aspek-aspek tersebut?
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang tertulis dengan bahasa Arab. Maka untuk memahami ayat-ayat yang terkandung didalamnya, kita perlu memahami bahasa Arab, baik dari unsur intrinsik atau ekstrinsik bahasa Arab. Pada titik ini, seseorang non-Arab yang ingin memahami al-Qur’an minimal dituntut memahami five in one: lexical meaning, grammatical meaning, textual meaning, contextual meaning, dan socio-cultural meaning.
Penelitian kali ini menfokuskan kajian pada upaya memahami al-Qur’an dari ranah kedua dalam teori five in one di atas, yakni: gramaticcal meaning. Banyak pakar yang telah mnghasilkan karya-karya spektakuler seputar kaidah bahasa Arab. Salah satunya, tentu Imam Sibawaih dengan karya monumentalnya yang telah dibukukan menjadi Kitab Sibawaih.
2.1.3. Kajian Nahwu
Salah satu cara untuk mengenal dengan baik sebuah ilmu ialah dengan meninjau sejarahnya, perkembangannya, metode-metode para pakarnya dalam merumuskan prinsip-prinsipnya, membentuk hukum-hukumnya, dan menggali kaidah-kaidahnya.
Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain dari sisi bahwa ia mempunyai sejarah yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar ketinggian tujuannya yaitu menjaga otentisitas lisan (bahasa) orang Arab secara umum dan Al-Qur’an secara khusus. Hal ini terutama ketika didapati banyak penyimpangan bahasa yang kemudian menggugah kesadaran setiap orang Arab yang takut kepada Allah bahwasanya mereka harus menjaga Al-Qur’an yang tentangnya Allah berfirman,”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (Al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami pulalah yang akan menjaganya”.
Sungguh, ilmu nahwu telah mendapatkan perhatian yang luar biasa dalam perkembangannya, sampai-sampai dikatakan,”Ilmu nahwu telah dipelajari dengan giat sampai “terbakar”’. Yang demkian ini tentu saja menunjukkan adanya gerakan-gerakan ilmiah yang cemerlang sepanjang perkembangannya, terutama pada saat orang-orang Kufah memasuki dunia studi ilmu nahwu sebagai rival bagi orang-orang Bashrah yang selama beberapa saat telah terlebih dahulu memegang panji ilmu nahwu. Persaingan positif tersebut telah mengakibatkan berbagai perbaikan dan pengkajian yang mendalam, sehingga ilmu nahwu pun berkembang dengan cepat dan akhirnya mengalami formasi pada periode yang sangat dini,yang hal itu belum terjadi pada ilmu-ilmu yang lain.
Dan sungguh sejarah kemanusiaan telah mencatat hal tersebut melalui mereka yang telah mengungkap hal yang menakjubkan ini. Sementara, apa yamg sejauh ini dipahami oleh orang-orang Arab tidaklah sebagaimana yang digambarkan diatas, dimana orang-orang Arab telah berusaha keras menyusun ilmu yang paling mula-mula dari ilmu-ilmu bahasa, yakni ilmu nahwu.
Penyusunan ilmu nahwu tidaklah sebagaimana gambaran-gambaran negatif yang telah disebutkan diatas. Penyusunan tersebut mencakup definisi istilah-istilahnya, pembentukan kaidah-kaidahnya, dan penjagaan terhadap hukum-hukumnya. Semua ini merupakan hal yang sungguh-sungguh menakjubkan, yang dilakukan oleh para ahlinya dengan pola pikir Arab. Mereka telah melakukannya dengan tekun dan sungguh-sungguh, meskipun ada sementara kalangan yang karena pretensi buruk meragukan prestasi dan kemampuan intelektual mereka dengan mengatakan,”Sesungguhnya orang-orang Arab telah berhasil melakukan pekerjaan besar ini dengan bersandar pada orang lain yakni para ahli tata bahasa lain seperti India dan sebagainya. Mereka berargumentasi bahwa kebudayaan Yunani – yang merupakan warisan kebudayaan India – telah beralih ke Arab melalui orang-orang Suryani.
Ada pula sekelompok orang yang ingin bersikap tengah-tengah diantara dua pendapat yang ada dengan mengatakan,”Sesungguhnya dasar-dasar metodologi yang dengan itu orang-orang Arab menyusun Ilmu Nahwu mereka bukanlah milik orang Arab, namun implementasi pengembangannya merupakan pekerjaan orang Arab. Namun, agaknya pendapat yang pertama lebih tepat tanpa ada keinginan untuk melebih-lebihkan dan membuat-buat.
Dari sini, dan karena hal ini serta yang lainnya, studi tentang sejarah tata bahasa Arab harus dilakukan dengan teliti, tekun, dan bebas tanpa sikap ekstrim, agar menghasilkan sebuah disiplin ilmu yang bebas dari bias dan manipulasi, yang dipelajari di ma’had-ma’had dan kampus-kampus kita, yang banyak mempelajari bahasa dan tata bahasa Arab. Dengan demikian pada akhirnya para mahasiswa kita akan mengenal khazanah klasik mereka, meyakini orisinalitasnya, dan tsiqah terhadap pemikiran para pendahulu kita yang mana Al-Qur’an telah membukakan mata mereka terhadap kebaikan yang banyak dan ilmu yang beragam. Sebaliknya, mereka pun menjaga Al-Qur’an dari manipulasi orang-orang yang sesat, penakwilan orang-orang yang berpretensi negatif, dan syubhat yang ditiupkan oleh orang-orang yang durjana.
2.2. KAJIAN STUDI TERDAHULU
Sebagai dasar rujukan, selain data primer dan sekunder, penelitian ini tentunya berangkat dari beberapa penelitian sebelumnya. Sampai catatan ini ditulis, peneliti masih belum menemukan hasil penelitian yang berkesesuaian langsung dengan rencana penelitian ini. Namun demikian, ada beberapa penelitian yang turut menginspirasi kajian ini. Di antaranya:
1. Metafora Dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya Dalam Bahasa Indonesia
(Kajian Atas Metafora Cahaya, Kegelapan, dan Beberapa Sifat Allah), oleh Nurul Murtado di Universitas Malang. Setidaknya ada dua temuan dari penelitian ini, yaitu: 1) Penerjemahan metafora dalam Al-Qur’an dengan metafora dalam bahasa Indonesia dapat dilakukan apabila makna metaforis dalam BSu sama dengan yang terdapat dalam BSa, dan 2) Makna perlu ditambahkan pada metafora apabila makna yang terkandung dalam BSu dan BSa tidak sama.
2. Pengembangan Kemahiran Berbicara Arab Oleh Mahasiswa Penutur Bahasa Indonesia Dalam Perspektif Strategi Belajar Bahasa Asing, oleh Imam Asrori, di Universitas malang, dengan temuan penelitian: 1) Menambah wawasan teoritis seputar strategi belajar bahasa asing, utamanya strategi kecakapan berbicara, dan 2) Tambahan strategi pembelajaran bahasa asing di Indonesia, atau untuk referensi bagi penelitian selanjutnya.
3. Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammam Hassan”, yang dipertahankan oleh Muhbib Abdul Wahab pada siding senat terbuka di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 2008. Dari penelitian ini, terangkat beberapa temuan, di antaranya: 1) Penelitian Nahwu perlu direvitalisasi, 2) Pengembangan materi nahwu perlu dilandasi epistemology nahwu (usul an-nahwu), 3) Metode penelitian nahwu adalah basis keilmuan yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran nahwu, 4) Nahwu yang dikonstruksi secara ilmiah, berbasis epistemologi yang kokoh dan verifikatif dapat menentukan rancang bangun (blue print/ haikal bunyawi) sistematika materi nahwu, 5) Pemikiran linguistik Tamam, terutama pemikiran nahwunya merupakan hasil ijtihad pribadinya yang memadukan antara warisan khazanah pemikiran klasik, terutama pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani, Ibn Jinni, dan pemikiran modern, baik strukturalisme (de Sausure dan Bloomfield), maupun aliran London (JR. Frirth), dan gramatika generatif-transformatif (Noam Chomsky). Muara kajian penelitian nahwu Tamam pada akhirnya sangat signifikan sebagai pendekatan dalam memahami, memaknai, dan menafsirkan al-Qur’an.
4. Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hermeneotis”, oleh Aksin Wijaya, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2008. Penelitian ini menyimpulkan bahwaTeori interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd merupakan pijakan utama dalam melihat persoalan relasi syari’at dan filsafat. Relasi ini mengandung sisi ideologis dan epistemologis.
Hal itu karena: 1) Syariat dan filsafat bagaikan saudara kandung yang menyusu pada ibu yang sama, dan 2) secara hermeneutis, teori interpretasi al-Qur’an yang ditawarkan Ibnu Rusyd bercorak teoritis-objektif, 3) Corak interpretasi al-Qur’an seperti ini memungkinkan masuknya unsur ideologis.
Kesimpulan particular penelitian: 1) Menurut Ibnu Rusyd, hukum mempelajari logika dan filsafat adalah wajib karena keduanya mempunyai kesamaan, baik dari segi objek bahasan, metode, maupun tujuannya, 2) Dalam membahas persoalan-persoalan tertentu, yang menjadi objek bahasan keduanya, Ibnu Ruysd memandang keduanya saling mendukung.
BAB III : METODE PENELITIAN
3.1. DISAIN PENELITIAN
Penelitian ini terdisain dari paradigma interpretatif, dengan metode kualitatif berjenis kajian pustaka. Dengan klasifikasi metode dan jenisnya, penelitian ini masuk pada kajian Analisi Isi (Content Analysis). Yakni satu metode -seprti ditulis Mujia Raharjo- paling awal untuk menganalisis teks dan bahasa; fokus pada penggalian makna dan apa yang tampak; apa yang ditulis orang, namun tidak untuk memberikan penjelasan atau alasan bagaimana sesuatu itu disampaikan.
3.2. PEROLEHAN DATA
Sebagaimana dipaparkan bahwapenelitian ini merupakan kajian pustaka, maka data-data yang menjadi rujukannya pun berupa khazanah kitab-kitab seputar kajian nahwu Imam Sibawaih, baik berupa karyanya sendiri, atau pun kitab-kita karya ulama nahwu lainnya yang membahas kajian Nahwu Sibawaih. Pada titik ini, baik yang mendukung kajian nahwu Sibawaih atau yeng mengkritisnya, sama-sama peneliti jadika rujukan data. Hal ini sebagai upaya objektifitas kajian, serta menghidari bias apologis.
Selain itu, peneliti juga tidak menutup kemungkinan bagi peneliti menjadikan sumber-sumber data lainnya yang dianggap relefan. Ebook, Jurnal Ilmiah, dan makalah adalah contoh sumber-sumber data lain yang dimaksud.
3.3. KEABSAHAN DATA
Tentang keabsahan data, penelitian pustaka relatif bisa menghindari kekhawatiran bahwa data yang diperoleh tidak absah. Sejak awal pencarian data, peneiti dituntut selektif dalam memilah data. Penentuan kitab yang relefan untuk penelitian merupakan langkah analisis data yang memang perlu diperhatikan sejak awal.
Pastinya, untuk meykinkan keabsahan data, peneiti menggunakan teknik trianggulasi data. Seperti dimaklumi bersama, salah satu pembeda antara penelitian kuantitatif dan kualitatif adalah instrumen penelitian. Jika dalam penelitian kuantitatif tidak meniscayakan peneliti sebagai instrumen utama, maka sebaliknya dalam penelitian kualitatif: peneliti merupakan sumber utama penelitian. Karenanya, kualitas penelitian kualitatif sangat bergantung pada kualitas dan kepakaran peneliti. Itulah realita yang harus peneliti sadari sebagai instrumen utama penelitian ini: kajian pustaka, yang masuk katagori penelitian kualitatif.
Sebagai instrumen utama, selayaknyalah peneliti menghindari sebisa mungkin bias dan subjektifitas penelitian, untuk memperoleh sebuah kebenaran yang utuh. Pada titik ini, peneliti menganggap perlu menggunakan teknik trianggulasi. Satu tekni yang pada hakekatnya untuk memahami fenomena yang diteliti agar diperoleh kebenaran tingkat tinggi. Menurut Norman K. Denkin sebagaimana ditulis Mujia, triangulasi merupakan gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Dijelaskan, triangulasi meliputi empat hal, yaitu: triangulasi metode, triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok), triangulasi sumber data, dan triangulasi teori.
1. Trianggulasi Metode
Teknik ini dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan cara yang berdeda. Telah diketahui,, dalam penelitian kualitatif, peneliti menggunakan metode wawancara, obervasi, dan survei. Hasil dari metode-metode itulah yang nantinya perlu dibandingkan. Karena penelitian ini merupakan kajian pustaka, dan sumber data yang digunakan berupa naskah kitab yang relefan dan otentik, maka teknik trianggulasi masih dirasa belum dibutuhkan.
2. Trianggulasi Sumber Data

3. Trianggulasi Teori
Mujia menambahkan, Hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement. Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang televan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh. Diakui tahap ini paling sulit sebab peneliti dituntut memiliki expert judgement ketika membandingkan temuannya dengan perspektif tertentu, lebih-lebih jika perbandingannya menunjukkan hasil yang jauh berbeda.
3.4. ANALISIS DATA
Pekerjaan paling berat yang dilakukan peneliti setelah data terkumpul adalah analisis data. Demikian tulis Mujia Raharjo dalam web-nya. Sepintas, pernyataan ini cukup menghawatirkan bagi kalangan peneliti pemula. Bagi peneliti sendiri, pernyataan tersebut berimplikasi ganda. Selain karena peneliti masih pemula, catatan tersebut sekaligus pernyataan yang menjadi warning, dan karenanya tidak bisa disepelekan. Apalgi jika mengingat penulis catatan adalah notabeni dosen mata kuliah metodologi penelitian peneliti.
Lebih lanjut Mujia menjelaskan: analisis data merupakan bagian sangat penting dalam penelitian, karena dari analisis ini akan diperoleh temuan, baik temuan substantif maupun formal. Selain itu, analisis data kualitatif sangat sulit karena tidak ada pedoman baku, tidak berproses secara linier, dan tidak ada aturan-aturan yang sistematis.
Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran penting dan tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya menjawab fokus penelitian. Berbeda dengan penelitian lapangan (field research) yang fokus penelitian bisa saja berubah sesuai dengan temuan di lapangan saat proses penelitian, penelitian pustaka, seperti kajian ini mungkin cenderung lebih bisa “bertahan”.
Analisis data pada penelitian pustaka lebih bersifat memilah mana data yang menunjang pada fokus kajian. Toh demikian, peneliti tetap harus melandaskan objektifitas kajian dalam menelaah kajian teks sebagai khazanah peninggalan para pakar yang mendukung, sekaligus mengkritisi, atau bahkan menolak fokus penelitian dimaksud. Sebagai contoh, penelitian ini berasumsi bahwa Sibawaih menjadikan al-Qur’an sebagai landasan utama dalam kajian nahwunya. Maka analisis data diarahkan pada referensi yang mendukung, serta membantah anggapan tersebut. Demikian juga pada fokus-fokus penelitian lainnya.
Tentunya, pada disain proposal kali ini, peneliti tidak bisa mengulas secara lengkap data-data yang akan dianalisis. Karena, sebagaimana dijelaskan di atas, analisis data kualitatif dimulai sejak pengumpulan data, dan ia akan terus berlanjut sampai penelitian dianggap final. Pada disain penelitian ini, peneliti hanya memastikan akan melakukan analisis data secara akurat, objektif agar data atau informasi yang diperlukan bisa mendalam konseptual, dan expertise bagi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amru bin Usman, Kitab Sibawaih, jilid 1-5, cet.I, Dãr al-Jail, Bairut, 1991
2. Abdul Ali Salim Mukarram, Syawahid Sibawaih min al-Mu’allaqat fi Mîzâni an-Naqd, cet.I, Muassas ar-Risalah, Kuwait, 1987
3. Khadijah al-Hadisi, Dirâsât fi Kitâb Sibawaih, tth
4. Al-Hadi al-Zubairi, Al-A’rab wa risâlatu al-Qur’an as-Samawiyyah, cet.I, at-Ta’adiyyah al-ma’maliyyah littab’i wa an-nasyr, Tunisia, tth
5. Syauqi ad-Daif, Tajdid an-Nahwi, cet.III, Dar al-ma’arif, Mesir, 1982
6. Philip K. Hitti, History of the Arabs, Edisi revisi ke-10, New York, 2002
7. Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, cet.I, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011
8. Iskandarwassid dan Dadang Sunandar, Strategi Pembelajaran Bahasa, cet.II, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009
9. Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metodologi Pengajarannya, cet.I, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2003
10. ‘Abd al-Raziq, Shalah, ‘Abd al-Sami’, Thuruq al-Tadris wa ahmiyatuha fi Tadris al-Tarikh, Rabath: ‘Ali Rabith, 2007
11. Ba’labaki, Ramzi Munir, Mu’jam almushtalahat al-Lughawiyyah, Dar al-Ilm lil malayin, Bairut, 1990
12. Nababan, Sri Utami Subyakto, Metodologi Pengajaran Bahasa, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 1993
13. Arsyad Azhar, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya: Beberapa Pokok Pemikirannya, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004