Karen Armstrong, dalam bukunya yang sangat terkenal, A History of God (1993), mengungkapkan sebuah kenyataan bahwa dari antara banyak agama, Islam adalah yang secara nisbi paling “aman” terhadap serangan kritisisme sains. Hal ini disebabkan Al-Quran sendiri menyebut penuturan tentang penciptaan alam raya oleh Tuhan sebagai âyât—yakni, simbolisme atau perlambang—yang tidak perlu, bahkan kadang-kadang tidak boleh, diartikan secara harfiah. Al-Quran menyebut setiap keterangan di dalamnya sebagai âyât, sebagaimana seluruh alam raya dan bagian-bagiannya serta kejadian-kejadian yang ada di dalamnya adalah âyât dari Tuhan.
Kutipan yang menarik dari Karen Amstrong menjelaskan persoalan ini. “Al-Quran senantiasa menekankan perlunya akal untuk memahami ‘pertanda’ atau ‘pesan’ Tuhan. Kaum Muslim tidak boleh meninggalkan akal mereka tetapi harus memperhatikan alam secara penuh perhatian dan dengan penuh minat. Sikap inilah yang kelak membuat kaum Muslim mampu membangun tradisi ilmu alam yang baik, yang tidak pernah dipandang begitu berbahaya kepada agama [...]. Penelitian tentang bekerjanya lingkungan alam menunjukkan bahwa ia punya dimensi dan sumber transenden, yang dapat kita bicarakan hanya dalam perlambang simbol. Bahkan kisah tentang para Nabi, gambaran tentang Hari Kemudian dan Kesenangan surga tidak boleh ditafsirkan secara harfiah melainkan sebagai tamsil ibarat tentang kenyataan yang lebih tinggi, yang tak tergambarkan” .
Berkaitan dengan pengertian “âyât” atau “perlambang” ini, Ian Richard Netton, seorang ahli semiotika (ilmu tentang lambang-lambang), mengatakan, “Al-Quran itu penuh dengan rujukan kepada âyât-âyât (yakni, perlambang-perlambang) Tuhan; dalam pengertian ini, Al-Quran dapat digambarkan sebagai surga sebenarnya bagi para ahli semiotika. Dan jelas.... bahwa semiosis Islam mempunyai segi lahiri dan batini yang luas”.
Sekarang, permasalahannya adalah: bagaimana memahami “âyât- âyât” atau “perlambang-perlambang” Tuhan ini, baik yang ada dalam Kitab Suci maupun yang ada dalam alam semesta. Mengenai apa yang dikatakan Netton tentang adanya segi-segi lahiri dan batini yang luas dalam âyât- âyât, para sarjana Muslim sendiri telah menjadikannya sebagai bahan polemik sejak masa-masa dini sejarah pemikiran Islam. Di kalangan mereka ada yang dikenal sebagai kaum zhâhirî (mereka yang memahami teks-teks suci secara lahiriah, harfiah), dan ada yang dikenal sebagai kaum bâthinî (mereka yang memahami teks-teks suci menurut tafsiran esoteris, yakni, makna-makna batin).
Dari sudut pandangan kaum sufi, para ahli fiqh (hukum Islam) adalah kaum zhâhirî atau ahl al-zhawâhir (orang-orang “kezahiran”), sedangkan mereka sendiri adalah kaum bâthinî atau ahl-u ‘l-bawâthin (orang-orang “kebatinan”). Dari kalangan Islam yang paling terkenal sebagai kaum batin ialah golongan Syi`ah aliran Isma`ili (kini dipimpin oleh Aga Khan yang berkedudukan di Jenewa, Swiss), dan disebut al-Bâthinîyûn. Mereka ini pernah menjadi sasaran kritik al-Ghazali, sebagaimana juga pandangan kefalsafatan mereka yang diwakili oleh falsafah Ibn Sina (seorang Isma`ili) yang menjadi sasaran karya polemisnya yang abadi, Tahâfut-u ‘l-Falâsifah (Kerancuan para Failasuf, The Incoherence of Philosophers).
Tentang pendekatan semiotika ini, Al-Quran sebenarnya mengukuhkannya, berkaitan dengan keterangan tentang surga dan neraka. Sebuah gambaran tentang kesenangan di surga, juga kesengsaraan di neraka, dengan tegas disebutkan sebagai perumpamaan (matsal), sehingga tidak benar jika dipahami secara harfiah. Terjemah ayatnya berbunyi: Perumpamaan surga yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa ialah, di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah, sungai-sungai dari susu yang tidak berganti rasanya, sungai-sungai dari madu yang suci murni. Dan tersedia untuk mereka di sana segala jenis buah-buahan, serta ampunan (maghfirah) dari Tuhan mereka. Sebagaimana juga (perumpamaan) orang yang kekal di dalam api (neraka), kemudian diberi minum dari air yang mendidih sehingga memotong-motong usus mereka (Q., 47:15).