16.2.12

Makna dan Hakikat Tasauf

Meskipun masalah kesufian sudah banyak dibahas, namun untuk kelengkapan pembahasan ada baiknya kita sedikit mengungkap lagi makna dan hakikat tasauf. Sebab tarekat tidak lain adalah bentuk kelembagaan praktek dan gerakan kesufian. Sebagai suatu bentuk wawasan keagamaan esoterik atau batini, tasauf atau sufisme sangat menekankan segi keruhanian dalam penghayatan agama Islam. Ini berarti bahwa tasauf merupakan “faktor pengimbang” bagi fiqih yang banyak menekankan segi hukum yang lahiri, bagi kalam yang lebih berorientasi kepada pem­bahasan rasional-dialektis, dan bagi falsafah yang banyak mengandalkan kemampuan rasio atau akal lebih daripada kalam.

Dari sudut panda­ngan lain, tasauf juga nampak sebagai reaksi terhadap gejala kehidupan lahiriah atau material yang mewah dan menyimpang dari ukuran kewajaran. Ini dapat dilihat dengan cukup jelas dari latar belakang sosial-ekonomi dan politik serta budaya bagi lahirnya orientasi kesufian yang sangat kuat justru di zaman keemasan Islam pada masa kekhalifahan Hârûn al-Rasyîd. Agaknya gejala ini juga dapat ditelusuri sejak masa Umayyah (di Damaskus) yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan oposisi suci (pious opposition) di kalangan tertentu, khususnya di Basrah, Irak.

Di zaman Harun Al-Rasyid kota Basrah menjadi saingan kota Kufah dalam tradisi intelektual Islam (kira-kira mirip dengan persaingan antara tradisi intelektual Oxford dan Cambridge di Inggris). Jika Kufah banyak melahirkan ahli-ahli hukum (al-fuqahâ’—para ahli fiqih) yang terkenal, Basrah banyak menampilkan “orang-orang suci” (al-nussâk—para ahli nusk atau ibadat; atau al-zuhhâd - para ahli zuhd atau asketik). Ada indikasi bahwa persaingan itu cukup tajam, dengan masing-masing pihak mengaku lebih benar atau malah paling benar daripada lainnya.

Seorang tokoh gerakan oposisi suci di zaman lahirnya gerakan asketis itu ialah al-Hasan al-Bashri (Hasan dari Basrah) yang terkenal. Para sufi atau kaum zuhhâd dan nussâk tersebut, menurut Ibn Taimiah, adalah kelompok kaum Muslim yang mengikuti teladan al-Hasan al-Bashri dalam ijtihad mencapai kesucian batin dengan menekankan zuhud (asketisme) dan nusuk (darmabakti).