14.1.09

Demokrasi ya..Islam

ISLAM DAN DEMOKRASI
Oleh: Zulfan Syahansyah*


Saya ada saudara perempuan (mbak) yang saat ini menjadi caleg DPRD di Kabupaten Buleleng. Ada partai politik yang melamarnya. Selain keaktifannya di masyarakat, alasan utama partai tersebut melamar, tentu karena mbakku menjadi ketua Muslimat NU di daerah bagian utara pulau Bali itu. Sebab jabatannya di Badan Otonom (Banom) NU ini juga, beberapa hari lalu ia diundang Muslimah Hizbu Tahrir Indonesia (MHTI) Bali dalam acara seminar bertema: Kiprah Muslimah Dalam Politik Islam

Kepada semua peserta seminar, panitia membagikan sebuah buku gratis berjudul: Khilafah Islamiyah, Menjamin Kesejahteraan Setiap Perempuan. Dari fareabel judul buku, mudah ditebak arah penjelasan pemakalah, berkisar seputar sistem sebuah negara. Dus, acara tersebut menjadi ajang mengampanyekan Khilafah Islamiyah (KI) sebagai asas sebuah negara yang Islami. Selain KI, jelas tidak Islami. Termasuk sistem demokrasi seperti yang saat ini dijalankan di Indonesia.
Parahnya lagi, keluh mbakku, pemakalah dengan tegas menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem negara buatan orang kafir dan hanya layak untuk negara mereka. Tidak untuk kalangan muslim. Pemaparan lebih dipertegas lagi dengan menyertakan ayat-ayat al-Qur’an yang –bagi kelompok pendukung– sesuai dengan masalah dimaksud.
Usai menceritakan semuanya, akhirnya mbakku bertanya: Benarkah demokrasi tidak Islami? Kenapa akhir-akhir ini banyak kita saksikan kelompok penentang demokrasi yang menjadi sistem negara kita, semakin lantang menyuarakan penolakan? Bagaimana nasib integritas bangsa jika hal ini tidak segera ditangani?
Setelah mbakku terdiam, saya mulai bicara: pertma, saya ingin menaggapi keresahan terakhir mbak. Bahwa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa adalah tugas kita bersama. Bukan hanya pemerintah, tapi seluruh komponen bangsa. Tentunya, segala upaya yang mengarah pada retaknya integritas bangsa, menjadi prioritas yang wajib ditangani oleh pemerintah.
Hanya saja, Indonesia adalah negara demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk bersuara. Karenanya, pemerintah tak berhak membungkam para penentang sistem negara yang dijalankan oelh Indobesia. Itulah sebabnya mereka berani bersuara lantang. Intinya, sistem negara yang dibenci justru memberikan mereka keamanan. Bisakah hal serupa didapat dari sistem negara yang mereka dambakan?!
Selanjutnya, tentang demokrasi, saya tegaskan bahwa esensi makna yang terkandung sejalan dengan cakupan diturunkannya Islam ke muka bumi. Gampangnya, kandungan nilai demokrasi termuat dalam ”paketan” Islam. Bahwa esensi makna demokrasi adalah upaya memberantas otoritatif dan kedoliman.
Dalam negara yang demokrasi, tak ada pemimpin yang menjadi ”tuhan”. Seorang Presiden tak lain manusia biasa yang dipilih untuk menjalankan aturan dan kesepahaman yang disepakati bersama. Anak presiden tak ubahnya anak pedagang koran. Hukum di negara demokrasi berlaku sama bagi semua rakyatnya. Tak ada yang kebal. Tak ada satupun yang boleh merasa memiliki otoritas melebihi lainnya. Inilah idealita demokrasi.
Tentang Islam, sekilas bisa kita pahami bagaimana pola kehidupan kaum Arab pra-Islam. Masa itu disebut jahiliya. Kenapa? Karena mereka menerapkan hukum rimba dalam kehidupan sehari-hari waktu itu. Yang kuat, menang. Kehormatan dan kejayaan dapat diraih dengan otoriter. Antara pria dan wanita, jelas lebih kuat pria. Karenya, anak wanita waktu itu menjadi perlambang ”aib” keluarga. Tak heran, sebelum menjadi muslim, Umar bin Khattab tega mengubur hidup-hidup putrinya.
Bagi Arab Jahiliyah, martabat manusia menjadi taqdir saat kelahirannya. Anak keluarga terhormat, otomatis menjadi golongan terhormat juga. Sebaliknya, bayi seorang budak, secara estafeta akan menyandang gelar budak pula. Realita inilah yang saya maksud dengan pola kehidupan sosial yang otoriter dan dlalim. Maka, datanglah Nabi Muhammad membawa Islam untuk membenahi sistem ini.
Membawa ajaran agama yang tak membedakan status sosial.Tak ada dikotomi antara pria dan wanita. Semua manusia dipandang sama di hadapan Allah. Satu yang menjadi penilaian, yaitu taqwa. Tidak kurang dalil-dalil al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut. Mungkin secara harfiah kita tak mendapatkan arti demokrasi tersurat dalam al-Qur’an. Namun jika ditilik dari idealitanya, siapa yang hendak menafikan bahwa demokrasi dan Islam memang sejalan. Wallahu a’lam bi alshawab.

*Muslim yang demokrat







12.1.09

HAKEKAT 'WAKTU'


KERUGIAN MENYEPELEKAN WAKTU
Oleh: Zulfan Syahansyah
Wujud waktu di dunia ini, bagaikan cermin yang memantulkan “wajah” prilaku kita. Hanya memberikan dua pilihan; kebaikan, atau keburukan. Tidak lebih. Karena, hakekatnya manusia di kehidupan ini, hanya menjadi cerita bagi manusia-manusia setelahnya. Kebaikan dan keburukannya, lambat-laun akan tersingkap dalam tahapan seleksi waktu, alias sejarah. Waktu termasuk modal utama manusia dalam berusaha: apa yang luput dari usaha, masih mungkin untuk diraih di lain waktu, selagi yang luput bukan waktu.

Muqaddimah
Pada hakekatnya, segala sesuatu yang berwujud selalu memiliki konsep ruang dan waktu. Konsep ruang untuk menyatakan kisaran tempat, dan konsep waktu menjadi penegasan masa keberadaan sesuatu. Ini menjadi titik tolak keimanan kita, bahwa selain Allah SWT; segala yang ada di alam semesta adalah makhluq, dan karenanya bersifat hawadits. (saat ini menjadi “ada”, setelah sebelumnya melalui tahapan masa “tidak ada”). Sebagai contoh, dunia: dari bahasa Arab, dunyâ, yang berarti tempat yang terdekat.
Kata ‘dunia’, mencakup dua pengertian; dunyâ dan ûlâ. Pengertian pertama mengandung konsep ruang, sedangkan konsep waktunya ialah ûlâ, seperti dalam firman Allah: “wa lal âkhiratu khayrun laka minal ûlâ”. Jika meruntun sebatas pemahaman simpel, waktu menjadi per­soalan yang sangat abstrak, sehingga terefleksi dalam sebuah hadis yang mungkin agak aneh, “Janganlah kamu menyalahkan waktu, karena waktu itu adalah milik Tuhan.”
Serupa dengan konsep ruang dan waktu, Nur Khalis Madjid menjelaskan: “Dalam bahasa Latin, ada konsep waktu yang disebut saeculum, maka ada istilah secular yang artinya masa kini. Konsep ruangnya adalah mundus, maka ada istilah mondial, yang artinya dunia. Saeculum itu padanannya ‘ûlâ, yaitu waktu yang pertama, lawan dari al-âkhirah. Ungkapan “dunia-akhirat” sebenarnya sedikit tidak simetris, sebab dunia merupakan konsep spasial, sedangkan akhirat merupakan konsep temporal”.
Jadi, kenyataan itu bisa dikenali sebagai konsep ruang (special concept) ataupun konsep waktu (temporal concept), bahasa Arabnya, dunyâ dan ‘ûlâ. Perkataan al-dunyâ yang berarti ‘yang terdekat’ itu sebetulnya betuk feminin dari al-‘adnâ. Al-‘adnâ adalah bentuk maskulinnya. Mengapa gendernya feminin? Ada kecenderungan dalam bahasa Arab bahwa hal-hal yang besar selalu diasosiasikan pada perempuan (muannas): matahari, surga-neraka, langit, dunia, dan lain-lain. Ini gejala bahasa, tetapi penting diperhatikan karena kemungkinan ada motif kultural di dalamnya.
Alasan lain mengapa perkataan al-dunyâ itu mengambil bentuk gender feminin adalah sebagai berikut: al-hayât-u ‘l-dunyâ (hidup yang terdekat) adalah lawan dari al-hayât-u ‘l-‘âkhirah (hidup yang kemudian). Ini konsep spasial atau konsep ruangnya, sedangkan konsep temporalnya adalah al-‘ûlâ. Al-‘ûlâ inilah yang persis merupakan lawan dari al-‘âkhirah. Al-‘ûlâ adalah bentuk feminin dari al-awwal. Maka kalau mau simetris dari segi bahasa, istilahnya bukan dunia-akhirat, tetapi ‘ûlâ-‘âkhirat; keduanya sama-sama konsep tem­poral. Hanya perlu digaris­bawahi bahwa manusia hidup di dunia ini jauh lebih dari segi ruang. Sedangkan waktu yang akan datang, setelah mati, karena tidak tahu ruangnya, kesadarannya lebih tampak pada konsep waktu.
Dalam bahasa Latin, saeculum, yang dari situ diambil perkataan secular, memiliki arti persoalan-persoalan sekarang. Tetapi kalau sudah menjadi paham sekularisme, itu artinya suatu paham yang tidak mengakui adanya hal yang akan datang. Kemudian konsep ruangnya adalah mundus. Jadi alam raya ini disebut saeculum atau mundus. Demikian cendikiawan yang akrab dipanggil Cak Nun ini menjelaskan tentang konsep ruang dan waktu.

Makna Waktu
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, waktu adalah: “seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun yang akan datang.” Sedangkan dalam Al-Qur’an, seperti penjelasan M. Quraish Shihab, kata waqt (waktu) ditemukan tiga kali, hanya saja konteks penggunaan dan makna yang terkandung kurang sepadan dengan penjelasan di atas. Kata tersebut digunakan dalam konteks pembicaraan tentang masa akhir hidup di dunia ini. (baca QS 7: 187; 15: 38, dan 38: 81). Dari sini, dan setelah menelusuri seluruh bentuk kata lain yang berakar pada kata waqt, para pakar akhirnya menyimpulkan bahwa waqt adalah batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk berusaha sebaik mungkin.
Senada dengan pepatah Arab yang berbunyi: ”kod faata ma faata”: yang lalu, telah berlalu. Sebuah penegasan bahwa waktu yang telah lampau, sekali-kali tidak akan pernah datang lagi. Ia hanya akan tersisa sebagai kenangan; menjadi cerita apik, kisah indah, jika dilakoni dengan kebenaran dan keindahan. Sebaliknya, tak jarang masa lalu kelabu menjelma sebagai bayangan yang terus menghantui, memperpanjang deretan memori hitam, karena ia tercatat sebagai hasil tipu daya syaitan, dan menjadi lembaran kelam masa silam.
Demikianlah keberadaan waktu bagi kita di dunia ini, bagaikan cermin yang memantulkan “paras” prilaku kita. Hanya memberikan dua pilihan; kebaikan, atau keburukan. Tidak lebih. Karena, pada dasarnya manusia di kehidupan ini, tak lain hanya menjadi cerita bagi manusia-manusia setelahnya. Kebaikan dan keburukannya, lambat-laun akan tersingkap dalam tahapan seleksi sejarah. Akan selalu segar dalam kenangan, kisah Nabi Yusuf dan saudara-saudara tirinya, Nabi Musa dan Fir’aun, Nabi Muhammad saw. dan para kaum kafir Quraish perongrong dakwah Islam. Semuanya menjadi kisah yang tak akan pernah usang dimakan waktu.

Waktu dan Kerja Keras
Selanjutnya Quraish shihab menjelaskan, kata lain yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk menunjuk kepada ‘masa’ adalah ‘ashr. Kata ini, walaupun hanya ada satu (pada surat Al-‘Ashr), kaitannya dengan “kerja keras” justru sangat jelas. Apalagi ia digunakan dalam konteks pembicaraan kehidupan duniawi.
Dari makna katanya, ‘ashr berarti memeras atau menekan sekuat tenaga, untuk menghasilkan saripati sesuatu. Maka kata “’ashir” bermakna jus (hasil perasan). Al-Qur’an menamainya ‘ashr, karena manusia dituntut untuk menggunakannya sekuat tenaga, memeras keringat, agar bisa menghasilkan sari kehidupan.
Sepadan dengan pengertian tersebut, ‘ashr adalah masa menjelang terbenamnya matahari; masa seseorang telah selesai memeras tenaganya. Karena, pada hakekatnya, sejak pagi hingga siang hari, adalah saat untuk bekerja dan malam hari untuk istirahat. (QS 27: 86). Jadi, waktu termasuk modal utama manusia dalam berusaha: Apa yang luput dari usaha, masih mungkin untuk diraih esok hari, selama yang luput tersebut bukan waktu.
Sedemikian pentingnya arti waktu dalam kehidupan, hingga Allah SWT, menjadikannya bergandengan dengan kewajiban ibadah utama seorang muslim, yakni shalat lima waktu. Al-Qur’an menjelaskan bahwa shalat merupakan kewajiban “berwaktu” atas kaum beriman (lihat QS, 4:103). Yaitu, diwajibkan pada waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (shubh), diteruskan ke siang hari (zhuhr), kemudian sore hari (‘ashr), lalu sesaat setelah terbenam matahari (maghrib), dan akhirnya di malam hari (‘isyâ’).
Hikmah di balik penentuan waktu itu ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi, kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (zhuhr) dan, lebih-lebih lagi, saat kita santai sesudah bekerja (dari ‘ashr sampai ‘isyâ’). Sebab, justru saat santai itulah biasanya dorongan untuk mencari kebenaran menjadi lemah, dan tak jarang kita malah tergelincir dalam gelimang kesenangan dan kealpaan. Karenanya, menjadi kewajiban saat melaksanakan sholat, mentaati alias disiplin waktu. Dan tentu, agar mengisi waktu luang dengan kegiatan bermanfaat dan mendekatkan diri kepada Tuhan (QS 94: 7-8).

Kerugian Menyepelekan Waktu
Salah satu realita perbedaan yang nampak antara Negara miskin, berkembang dan Negara maju adalah cara atau kebiasaan memanaj waktu. Semakin maju sebuah Negara, maka akan semakin berharga wujud waktu. Tak heran, jika mereka bersemboyan: “time is money”, waktu adalah uang. Peluang waktu sama artinya peluang emas untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Maka tolak ukur penghitungan waktu, tidak lagi menggunakan hari, tapi jam, bahkan menit.
Beda halnya dengan kebiasaan kita, yang katanya masih berada dalam tahap Negara berkembang. Efisiensi waktu masih jauh dari target harapan. Realita terlambat, jam karet, waktu molor, masih sangat akrab dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Sebuah kenyataan yang sangat tragis, karena justru dianggap hal wajar oleh bukan saja dari kalangan awam, tapi justru diteladani para elit masyarakat; pemerintah, tokoh agama. Padahal, mayoritas penduduk negeri ini adalah umat Islam.
Kebiasaan hidup santai bangsa yang terus mengakar, seakan membingkai bahaya kerugian menyepelekan waktu, sehingga nampak remang-remang dan nyaris tertutupi. Hanya ketegasan Allah SWT. dalam Al-Qur’an surat Al-‘ashr, yang bersumpah dengan wujud waktu, menyatakan:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menjelaskan: “kerugiannya adalah karena tidak menggunakan ‘ashr, dan kerugian tersebut seringkali disadari pada waktu asar (menjelang terbenamnya matahari).” Hanya ada empat kelompok yang terhindar dari kerugian ini: pertama, yang mengenal kebenaran (ậmanủ); kedua, yang mengamalkan kebenaran (‘amilủ al-shalihật); ketiga, yang ajar-mengajar menyangkut kebenaran (tawậshauw bi al-haq); dan keempat, yang sabar dan tabah dalam mengamalkan serta mengajarkan kebenaran (tawậsauw bi al-sabr).
Ternyata, sekedar mengetahui dan mengamalkan kebenaran saja masih belum cukup untuk menghindari kerugian. Kita masih dituntut untuk saling menjaga, memelihara serta meningkatkan kualitas, kemudian berjuang bersama untuk meraih anugrah-anugrah Allah, dan tentunya, harus sabar.
Sejak kecil, minimal sehabis sekolah, kita terbiasa membaca surat Al-‘Ashr, sebagai do’a perpisahan. Namun kebiasaan tersebut tak lebih menjadi “koor” bersama, tanpa ada upaya menjalankan maksud tersirat. Perlu juga kiranya, prinsip surah ini kita tancapkan dalam hati, setiap akan memulai kegiatan, agar waktu kita tidak terisi dengan aktivitas yang merugikan. Wallahu a’lam bi al-shawab.