24.6.15

LIMA PETUNJUK UNTUK MANUSIA



Sebagaimana insting, panca indra, akal, maka Al-Qur'an pun Allah berikan kepada manusia untuk kebahagiaan hidup manusia itu sendiri. Dan pastinya, keempat petunjuk tersebut diberikan oleh Allah kepada manusia secara percuma tanpa diminta.  Keempat petunjuk itu sudah ada dan tinggal maksimalisasi penggunaannya saja oleh masing-masing individu. Tersisa satu petunjuk yang Allah berikan, dan itu tidak "gratis".

Pada ayat kedua surat Al-Baqarah Allah menjelaskan tetang Al-Qur’an: Itulah kitab yang tiada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa (QS. 2.2). Kata kunci ayat ini adalah “kitab” dan “petunjuk”. Disebut “kitab”, karena ada juga wahyu Allah yang disampaikan tidak berupa kitab. Ada suhuf (lembaran), ada juga lempengan, seperti yang diterima nabi Musa as, Ten Commendement.

Sebelum masuk pada kata kunci berikutnya, Al-Qur’an disifati sebagai kitab yang tiada keraguan di dalamnya. Berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi mereka yang bertaqwa. Maka fahamlah kita bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang benar. Salah jalan atau tersesatlah bagi siapa saja yang menjadikan selain Al-Qur’an sebagai petunjuk.
***
Sebagaimana dimengerti, kehidupan ini bagaikan sebuah perjalanan. Orang-orang yang saat ini hidup adalah para musafir: sedang dalam perjalanan menuju tempat yang belum pernah dikunjungi. Itulah Akhirat. Agar tidak tersesat dalam perjalanan menuju Akhirat, musafir membutuhkan petunjuk atau guidance. Dijelaskan tadi, Al-Qur’an adalah petunjuk.

Selain AL-Qur’an, ada beberapa petunjuk lain sebagai panduan hidup manusia. Ada ilham fitri (insting), panca indra, akal pikiran, dan agama.  Keempat model petunjuk ini telah dipersiapkan secara cuma-cuma, tanpa perlu diminta. Meski serupa fungsi, namun ada karakteristik yang membedakan antara keempat jenis petunjuk di atas.

Sejak terlahir ke muka bumi, mula-mula manusia diberikan petunjuk berupa ilham fitri atau insting. Dengannya, bayi yang baru lahir sudah dapat merasakan lapar, kenyang, haus, puas, panas, dingin dan sebagainya; dapat menyatakan apa yang dirasa dengan bahasa yang sama di seluruh dunia, yaitu menangis dan tertawa; memiliki kemampuan untuk menetek serta menelan makanan yang disuapkan. Dengan petunjuk ini pula, bayi bisa melangsungkan hidupnya di dunia ini. Bayangkan jika petunjuk ini tidak  ada, dipastikan sang bayi tidak akan berumur panjang. Jadi petunjuk pertama yang diberikan dengan gratis oleh Sang Pencipta ini jelas untuk kepentingan manusia itu sendiri, dan sama sekali bukan untuk kepentingan Allah SWT.

Seiring dengan perkembangan tubuhnya, manusia tidak cukup hanya dengan petunujuk pertama saja. Untuk terus bertahan hidup, akan nampak lucu jika terus-terusan harus menetek. Maka, diberilah petunjuk kedua, yakni panca indra. Sebagai ilustrasi, dengan panca indra manusai bisa merasakan perbedaan minum ASI dan makanan lainnya, lantas memilih mana yang dirasa lebih enak untuk dikonsumsi. Maka, berusahalah ia mencari sendiri kebutuhan dasar untuk bertahan hidup.

Cukupkah manusia bertahan hidup dengan dua petunjuk tersebut? Ternyata tidak. Dibandingkan makhluk lainnya, seprti binatang, panca indra manusia sangat terbatas. Penciuman seekor anjing, jauh lebih sensitif dibandingkan penciuman manusia. Begitu juga halnya penglihatan, pendengaran, dan perabaan manusia, jauh di bawah kemampuan banyak binatang. Dengan kenyataan ini, bagaimana mungkin manusia bisa bersaing mencari makanannya!

Maka Allah menganugrahkan satu kelebihan bagi manusia untuk bisa bersaing dengan makhluk lainnya, termasuk binatang, yaitu akal pikiran. Dengan petunjuk ketiga ini, manusia bisa mengungguli binatang; sanggup menghasilkan energi sinar untuk menyaingi binatang yang mampu melihat dalam kegelapan; menciptakan senjata untuk menandingi keganasan binatang buas; menciptakan peradaban manusia untuk menjaga eksistensinya di muka bumi ini. Dengan kemampuan akalnya, manusia lantas menunjukkan perbedaannya dengan binatang.

Akan tetapi, betapapun cerdasnya akal, tetap saja ada kelemahannya. Akal tidak mampu mengarahkan manusia pada esensi kebenaran dan kebahagiaan. Sepintar apapun pikiran manusia, tetap saja tidak bisa mengantarkannya menuju distinasi kehidupan hakiki; tidak mampu menjangkau alam setelah kehidupan dunia ini. Meskipun cerdas, manusia tidak mampu menjawab pertanyaan: darimana ia berasal? Kenapa ia hidup? Siapa yang menghendaki kehidupan ini? Dan sebagainya, dan seterusnya.

Pertanyaan-pertanyaan asasi seputar kehidupan di atas lantas terjawab dengan petunjuk selanjutnya, yakni agama, atau wahyu Tuhan yang diberikan kepada utusan-Nya (rasul). Agama menuntun manusia pada kebenaran. Agama juga yang menjelaskan hakekat kebahagian hidup. Tanpa agama, niscaya manusia akan selalu terkungkung dalam kegelapan.
Bagi umat Islam, petunjuk agama ini telah lengkap tersampaika melalui nabi besar Muhammad SAW, yang terangkum dalam kitab suci Al-Qur’an. Al-Qur’an lah yang menjelaskan kenapa manusia hidup; Al-Qur'an juga yang menerangkan kemana dan apa yang harus dikerjakan dalam hidup ini agar sampai dan selamat menuju kehidupan abadi di kemudian hari. 

Sebagaimana insting, panca indra, akal, maka Al-Qur'an pun Allah berikan kepada manusia untuk kebahagiaan hidup manusia itu sendiri. Dan pastinya, keempat petunjuk tersebut diberikan oleh Allah kepada manusia secara percuma tanpa diminta.  Keempat petunjuk itu sudah ada dan tinggal maksimalisasi penggunaannya saja oleh masing-masing individu. Tersisa satu petunjuk yang Allah berikan, dan itu tidak "gratis".

Petunjuk kelima yang tidak bisa didapat tanpa berusaha sendiri adalah inkisaful/futuh qalbi (terbukanya hati). Dengan petunjuk ini, manusia tidak hanya bisa membedakan antara yang hak dan yang batil saja, tapi bisa merasakan nikmatnya menjalankan “aturan” menuju kebahagiaan hidup hakiki. Hanya dengan petunjuk kelima ini lah, manusia juga bisa merasakan nikmatnya keimanan kepada Allah SWT. Dengan terbukanya hati, seseorang bisa semakin yakin dan pastinya bisa semakin ikhlas dalam menjalankan kehidupan ini. Petunjuk kelima inilah yangkemudian menjadi incaran para pengamal tariqah, kaum filosofi, dan kelompok-kelompok sejenisnya.