8.7.09

Pesantren Bukan Mercusuar

PESANTERN BUKAN LAMPU MERCUSUAR

Oleh: Zulfan Syahansyah*

Bagi rakyat Indonesia, tanggal 8 Juli 2009 menjadi catatan hari bersejarah bangsa. Pada hari itu, pesta demokrasi: pilpres tiga pasangan kandidat akan digelar. Pada tanggal yang sama juga, PP. Al-Munawwariyyah secara resmi membuka hari pertama penerimaan santri/wati baru tahun pelajaran 2009-2010.

Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, penerimaan santri/wati baru di pondok yang berlokasi di dusun Ledoan desa Sudimoro ini selalu kedatanagan calon walisantri/wati baru dari seantero Nusantara. Spontan, momen ini akan menjadikan daerah sekitar pondok menjadi padat. Sedikit banyak, acara penerimaan ini akan mengganggu aktifitas para tetangga pondok.

Sebagai penduduk daerah, masyarakat sekitar dimohon kerelaan dan kesediaanya menjadi tuan rumah yang ikhlas dan nrimo. Demikian pinta KH. Muh. Maftuh Said, pengasuh pesantren kepada warga sekitar pondok saat acara tasyakuran penerimaan santri baru di kediamannya, pada Senin malam, 6 Juli 2009 lalu.

Sudah menjadi tradisi PP. Al-Munawwariyyah, sehari sebelum acara penerimaan santri baru, pengasuh pondok selalu mengundang warga sekitar untuk tasyakkuran bersama, sebagai upaya mempererat silaturrahmi pondok dengan masyarakat tetangga. Upaya ini juga sebagai simbol bahwa PP. Al-Munawwariyyah adalah milik bersama. Kiai Maftuh tidak ingin pondok menjadi bagai lampu mercusuar yang hanya menerangi daerah yang jauh, sementara daerah sekitar tetap gelap.

Sejatinya, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berkewajiban mengayomi dan mendidik masyarakat sekitar, sebelum terlanjur dikenal sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat secara luas. Hal ini menjadi indikasi pengakuan masyarakat yang berdomisili di sekitar pondok. Bagaimanapun, pengakuan masyarakat sekitar menjadi sebuah komponen penting bagi berdirinya pesantren sacara utuh. Betapapun besarnya sebuah pesantrn, jika terjadi mis-komunikasi dengan masyarakat sekitar, maka keberadaannya sebagai lembaga pengayom ummat menjadi rancu.

Banyak kita saksikan pesantren-pesantren besar berlevel nasional yang bahkan tidak tersentuh masyarakat sekitarnya. Para santri dari luar daerah berdatangan, sementara masyarakat sekitar enggan memondokkan putra-putrinya di pesantren tersebut. Realita ini sungguh ironis. Jika diumpamakan penerang, pesantren yang tak mampu “memikat” penduduk sekitar bagaikan lampu mercusuar. Ia hanya dapat menerangi daerah-daerah yang jauh dari tiang penyanggah, sementara lokasi sekitar tetap gelap tak tersinari.

Menyadari kenyataan inilah, Kiai Maftuh selalu menekankan bahwa cakupan keluarga besar PP.Al-MUnawwariyyah bukan hanya para pendidik dan sekalian santri/wati saja, namun seluruh masyarakat sekitar juga menjadi komponen keluarga yang tak boleh diabaikan begitu saja.

Pengajian rutin setiap malam Jum’at, pendirian Pusat Kesehatan Pesantren (Puskestren) dan semakin banyaknya para tetangga yang memondokkan putra-putrinya di pondok Al-Munawwariyyah adalah contoh nyata kepedulian pondok terhadap masyarakat sekitar. Bak tali bersambut, setiap kali pondok punya gawe, antusia masyarakat sekitar pun turut membantu.

Harapan, semoga keharmonisan PP. Al-Munawwariyyah dengan masyarakat sekitar menjadi potret nyata bahwa pondok pesantren sejatinya tidak hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat jauh, namun juga mampu mengayomi penduduk sekitar. Maka misi dan visi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dapat dirasa masyarakat secara luas pada umumnya, dan penduduk sekitar pada khususnya.

*Pengurus PP. Al-Munawwariyyah

21.6.09

Umat dan Perbedaan

Umat dan Perbedaan
Oleh: A. Mustofa Bisri

Mula-mula adalah dua sejoli ”imigran” dari sorga, Adam dan Hawa, yang diserahi Tuhan mengelola bumi ini. Kemudian, mereka menurunkan keturunan yang disebut manusia. Manusia berkembang semakin lama semakin banyak meramaikan planet ini. Ketentuan-ketentuan Tuhan yang dibawa dan diajarkan Adam a.s. sebagai panduan untuk mengelola bumi dan wasilah untuk kembali ke sorga, menuju kepada-Nya, semula dipatuhi dan ditaati oleh semua anak-cucunya. Namun dengan perjalanan waktu, kian lama ketentuan-ketentuan itu dilupakan dan diabaikan oleh cicit-cicit Adam yang datang belakangan.


Atas kemurahan dan kasih sayang-Nya, Allah pun mengutus Nuh a.s. untuk mengingatkan manusia kembali kepada ketentuan-ketentuan-Nya itu. Bertahun-tahun, Nabi Nuh a.s mengajak manusia untuk kembali kepada jalan Allah, ketentuan-ketentuan Allah itu, hingga akhirnya Nabi Nuh a.s kehabisan cara untuk menyadarkan mereka. Hanya beberapa puluh orang yang mengikutinya; yaitu mereka--yang ketika banjir azab menyapu manusia— ikut bersamanya dalam bahtera. Nabi Nuh a.s. dan para pengikut setianya kemudian–setelah banjir surut—membangun kembali peradaban baru sesuai ketentuan-ketentuan Ilahi semula. Namun sejarah berulang. Seiring perjalanan waktu dan berkembangnya jumlah manusia, semakin lama manusia pun kembali banyak yang lupa dan mengabaikan ketentuan-ketentuan Ilahi yang diajarkan nabi Nuh a.s. Dan atas kemurahan dan kasih sayang-Nya, Allah pun kembali mengutus utusan untuk mengingatkan dan menyadarkan manusia. Demikian seterusnya. Setiap kali lupa dan ketidaksadaran sudah menjadi ”peradaban” manusia, Allah mengutus utusan-Nya. Sampai akhirnya, Allah mengutus utusan terakhir, Nabi Muhammad SAW.

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ...( ۲ البقرة: ۲۱۳ ﴾
”Semula manusia itu satu umat, lalu Allah mengutus nabi-nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan...”

مَا كَانَ النَّاسُ إِلَّا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ يَخْتَلِفُون )١٠. يونس:١٩ (

“Tiadalah semula manusia itu melainkan satu umat, lalu mereka berselisih. Seandainya tidak ada ketentuan yang mendahului dari Tuhanmu, pastilah akan diputuskan (di dunia ini) antara mereka mengenai apa yang mereka perselisihkan.”
Ketentuan-ketentuan Ilahi yang dibawa nabi-nabi itulah kiranya yang kita istilahkan sebagai agama. Dari sisi lain; ternyata sesuai kehendak Allah, manusia tidak pernah lagi dapat menjadi umat yang satu dan memang tidak dikehendaki demikian. Seandainya Allah menghendaki niscaya dengan mudah manusia akan menjadi satu umat seperti semula.
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (Q. 5: 48) ”Seandainya Allah menghendaki pasti (dapat dengan mudah) ia menjadikan kamu umat yang satu; tapi Ia hendak menguji kalian tentang apa yang telah Ia berikan kepada kalian, maka berlombalah mencapai kebaikan-kebaikan. Hanya kepada Allahlah tempat kembali kalian semua, lalu Ia menceritakan mengenai apa yang pernah kalian perselisihkan.” (Baca juga misalnya, Q. 11: 118; Q. 16: 93; Q. 42: 8).
Perhatikan redaksi firman Allah di QS. 5: 48. Allah berfirman ”Seandainya Allah menghendaki...”, berarti Allah tidak menghendaki menjadikan kita semua umat yang tunggal.
Maka, meskipun manusia berasal dari satu bapa, Nabi Adam a.s, dan satu ibu, ibu Hawa; atau berasal dari satu bahtera, bahtera Nabi Nuh a.s., selamanya tidak bisa diseragamkan. Maka, upaya penyeragaman oleh siapa pun adalah sia-sia. Di Indonesia, pernah ada upaya gila selama lebih 30 tahun ingin menyeragamkan bangsa ini. Jalan pikirannya boleh jadi: kalau bangsa ini seragam maka akan harmonis hidupnya. Kegilaan menyeragamkan ini tidak hanya sampai soal pakaian, namun sampai ke soal ngecat tembok rumah (termasuk rumah Tuhan: masjid) dan marka jalan.
Akibat dari kegilaan orde baru menyeragamkan itu, bangsa ini menjadi sulit berbeda. Berbeda sedikit, bertikai. Bahkan, ada yang dengan semangat kebencian menolak kemajemukan dengan kekerasan. Padahal, sejak mula bangsa ini mempunyai semboyan Bhinika Tunggal Ika yang menyiratkan kemajemukan dan kesadaran tentang kefitrian perbedaan.
Sebenarnya, Allah sudah berkali-kali “menegur” dan “mengingatkan” kita tentang kefitrian perbedaan itu; misalnya dengan hampir selalu terjadi perbedaan dalam penetapan Idul Fitri, dengan banyaknya partai dan selalu munculnya ormas-ormas baru yang nota bene dari kelompok yang sama secara ideologi. Bahkan, kalau kita “cerdas”, sebenarnya Tuhan sudah pernah “memberi pelajaran” yang dahsyat tentang kefitrian perbedaan ini, yaitu saat menganugerahi bangsa ini dengan imam atau presiden Gus Dur yang begitu kontroversial.

Nah, kini saatnya kita “belajar” kembali tentang kefitrian perbedaan itu dengan adanya momentum pilpres yang menampilkan tiga pasang capres-cawapres yang semuanya tokoh Indonesia yang semuanya mengaku ingin mensejahterakan rakyat Indonesia. Kita lihat, apakah mereka para capres-cawapres, para tim sukses masing-masing, dan kita semua dapat menyikapinya dengan dewasa atau setidaknya menjadikannya latihan kedewasaan. Kedewasaan ditandai terutama oleh kemampuan berbeda. Wallahu a'lam.

20.6.09

SELAMAT SMA AL-MUNAWWARIYYAH


SELAMAT DAN SUKSES ATAS PRESTASI YANG DIRAIH SMA AL-MUNAWWARIYYAH. UNTUK UAN 2009 INI, SEKOLAH YANG DIKETUAI AMIRUDDIN BADRI INI BERHASIL MENGANTARKAN SISWA-SISWI KELAS AKHIRNYA LULUS 100%. SEMOGA KEBERHASILAN INI DAPAT DIPERTAHANKAN SETIAP TAHUNNYA. AMIN...

LALU, BAGAIMANA DENGAN SMP AL-MUNAWWARIYYAHNYA...?

6.6.09

Pers dan Dunia Pendidikan

PERS DAN DUNIA PENDIDIKAN
Oleh: Zulfan Syahansyah*

Dalam sepekan terakhir, berita mengenai Manohara Odelia Pinot menyita perhatian masyarakat luas. Liputan kabar istri pangeran Kerajaan Kelantan, Tengku Muhammad Fakhry ini menyedot perhatian banyak pihak, dan nyaris menenggelamkan pemberitaan lainnya. Spontan, sosok Manohara kian tersohor mengalahkan ketenaran artis ngetop; menyisihkan kecamuk kabar para politisi yang sedang berkompetisi menjelang pilpres; menjadi penawar berita tuntutan banyak pihak mengenai kecurangan pileg lalu; dan masih banyak lagi berita-berita baik politik, ekonomi, serta budaya yang seakan jatuh tertindih berita Manohara yang ditengarai over ekspos.
Terlepas pro-kontra isi pemberitaan, penulis hanya ingin mengurai benang merah antara berita Manohara dengan berita-berita lain yang datang dan pergi menyisakan opini bagi publik, sebagai hasil kreasi pers. Memang, di era tekhnologi dan informasi seperti saat ini, pers semakin menemukan kekuasaaannya yang hampir tanpa batas.
Bagaikan tongkat ajaib, pers dapat memperlihatkan dan sekaligus menyembunyikan sebuah fakta atau aib. Pers juga bisa mencerdaskan dan sekaligus pembodoh bangsa. Bahkan, pers mampu menyihir apa saja menjadi apa saja secara meyakinkan. Bisa menampilkan penjahat sebagai pahlawan; menampilkan artis sebagai ulama; preman sebagai politisi; pengangguran sebagai wakil rakyat; karena pers juga, banyak kalangan guru merasa bagai tahanan luar yang wajib selalu di pantau; dan seterusnya, dan seterusnya.
Bagi mereka yang malas berfikir, opini pers akan dengan mudah memperdaya. Hitam kata pers, meski sebenarnya putih, akan tetap nampak hitam; benar kata hati nurani, akan terlihat salah jika pers mengopinikan sebaliknya.
Di negara-negara maju, pers menjadi senjata ampuh pihak-pihak yang berkepentingan merebut simpati publik. Dengan kehebatan pers merekalah, bangsa kita yang tergolong besar tapi lembek, sering diintervensi. Tak heran, apa yang mereka katakan mulia, dengan percaya diri kita pun mengatakan begitu; apa yang mereka kata hina, kita juga latah menghinakannya. Bahkan telanjang dan pacaran, misalnya, kita anggap budaya trendy; karena pers mereka mempropaganda budaya bangsa agar latah “membebek” tradisi mereka. Suatu ajaran agama tiba-tiba dirasa perlu penafsiran ulang saat nampak usang; adu jotos menjadi kegemaran kita; secara fanatik kita menjagokan klub sepak bola mereka; bahkan kita repot mengurusi gaya pakaian dan cara makan mereka; itu semua terutama berkat jasa pers mereka.
Bisa jadi, karena meyadari hebatnya pers, penguasa Orde Baru sengaja memasang penjaga khusus untuk membina, memantau dan mengawasi gerak pers secara ketat; termasuk menyensor pers luar.
Waktu itu, pers kita sendiri –seperti halnya lembaga-lembaga non-pemerintah lainnya– diarahkan menjadi pendukung kebijakan penguasa. Kran transparansi tersumbat rapat. Aktifitas pers menyuarakan suara kebenaran berjalan terseok-seok. Tidak sedikit mess media yang tumbang dibrendel karena bersuara mengusik ketenangan penguasa.
Sekarang, di mana kemerdekaan dan kebebasan semakin nampak nyata, perslah yang paling merasakan situasi dan kondisi ini. Ditambah lagi penguasanya “mabuk” demokrasi dan transparansi, pers pun semakin hebat dan merajalela.
Mungkin karena pers kita terlalu lama dibelenggu; maka begitu bebas, bagaikan kuda liar lepas dari kandang, pers pun seperti mabuk kepayang. Meminjam istilah Gus Mus, euphoria keterbukaan saat ini membuka peluang dan memamerkan kehidupan pers, yang seakan menjadi lahan pangan instan.
Seorang wartawan kawakan, Aristides Katoppo yang dulu bangga dan kini malu disebut sebagai wartawan mengatakan: dahulu kita punya100 pesawat terbang dan kini 500. Bila semua co-pilotnya pun kita suruh membawa sendiri, masih ada 300 pesawat; lalu siapa yang membawanya? “Terpaksa tukang ojek pun ikut membawa pesawat!” Kata si otong. (Mustofa Bisri: 2008) Penulis mengira, di zaman euphoria ini, perumpamaan di atas bisa diterapkan untuk kalangan lain yang selama ini terbelenggu oleh penguasa, seperti kalangan politikus.
Menganalogikan tamsil di atas, tidak heran jika profesi pers yang sejatinya mulia, kini nampak semraut tak beradab. Kode etik jurnalistik mengalahkan kode etika. Bisa jadi, 300 pesawat pers yang tak terpakai benar-benar dikendalikan para tukang ojek dan becak.
Maka jangan heran, jika kemudian masyarakat menjadi pusing menghadapi pers kita. Keluhan tentang ‘gangguan pers’, sudah sering terjadi. Akal kita sering dikacaukan oleh para insan pers. Sebagai contoh nyata, pers berhasil mengopinikan bahwa dunia pendidikan saat ini perlu diawasi secara ketat. Lihatlah kemudian bagaimana mereka ‘giring’ opini masyarakat untuk mendekte kalangan pendidik yang berujung pada renggangnya jarak antara guru dan walisiswa.
Akibat opini ini, para guru semakin khawatir menghukum murid yang layak dihukum. Sudah sering anak yang mengadukan kepada orang tuanya telah dipukul guru di sekolah, serta-merta akan diwacanakan telah terjadi penindasan atau kekarasan. Solusinya hanya dua: jika tak langsung dilabrak ke sekolah, tindak “kekerasan” pada sang murid akan segera dilaporkan ke pihak aparat. Seolah-olah, masalah dalam kependidikan hanya bisa diselesaikan dengan melabrak sekolah atau melapor ke polisi. Jarang, untuk tak mengatakan tak ada, walimurid yang benar-benar pasrah menyerahkan proses pendidikan anaknya pada sang guru.
Walhasil, karena mengerti kecemasan kalangan guru ini, para siswa semakin berani berulah tanpa khawatir mendapatkan sanksi yang selama ini mereka takutkan. Hasilnya, adab murid pada sang guru turun drastis; harmonisasi antara wali siswa dan pengajar menjadi hal langka; kecuali kewajiban mengajar di kelas, guru pun semakin enggan menerapkan pendidikan sebagaimana mestinya. Jika ini terus berlanjut, tujuan utama pendidikan bangsa semakin jauh api dari panggangnya, menjadi hal yang wajar dan tinggal menunggu waktu. Inilah sisi lain dari manfaat pers di era yang semakin bebas dan merajalela seperti saat ini.
Sepaham dengan kekhawatiran Gus Mus, bila hal ini tidak dicermati oleh kalangan pers dan berbenah diri, kita khawatir peranan mereka pada zaman reformasi ini tidak lebih baik –kalau tidak malah lebih buruk– dari pada saat tiarap di zaman Orde Baru kemarin; seperti kekhawatiran kita pada kalangan politisi. Wallahu a’lam bi al shawab.
*Pendidik di PP. Al-Munawwariyyah Malang


17.3.09

Web AlMunawwariyyah

Alhamdulillah, kini telah tersedia website PP. Al-Munawwariyyah.
untuk mengunjungi, silahkan klik: http//www.almunawwariyyah.org
Daftarkan diri Anda sebagai anggota.

26.2.09

Hikmah Hilangnya HP

Hikmah Hilangnya HP
Beberapa hari lalu, saya menghadiri acara Idul Khatmi Tariqah Tijaniyyah di Pamekasan Madura. Meski sudah masuk hitungan tahun ketiga menjadi ikhwan Tijaniyyah, namun baru pada tahun ini saya berkesempatan menghadiri acara ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, karena satu dan lain hal, saya tak berkesempatan menghadiri acara yang berlokasi di daerah-daerah seluruh Indonesia secara bergiliran. Rencananya, untuk tahun depan, acara ini bertempat di Kab. Malang.
Sebagai ihkwan yang berasal dari Malang, saya penasaran ingin tahu bagaimana rangkaian acara yang konon selalu dinanti-nantikan oleh segenap ikhwan di seantero Indonesia. Ini saya lakukan sebagai upaya persiapan menjadi “tuan rumah” untuk tahun depan. Maklumlah, selain karen mertua saya adalah muqaddam (pimpinan) tariqah, Saya juga tak jarang menjadi guide yang harus menemani setiap muqaddam-muqaddam dari negara Arab yang sengaja diundang menghadiri acara Idul khatmi.
Saking asyiknya ”meleburk” dalam acara, saya justru kurang mawas diri. Konsekuensinyapun fatal. Tanpa terasa, HP di saku baju ludes digandol maling. Pada saat-saat awal menyadari kehilangan, saya sempat panik bercampur sewot. Maklumlah, Hp yang hilang tergolong baru. Sekitar empat bulan yang lalu saya beli. Harganya juga tergolong tinggi. Di pasaran, Hp itu masih bisa laku 1,5 sampai 2 juta rupiah. Tapi, mau apa lagi?! Sudah hilang. Sudah bukan rizkiku lagi. Sanatai aja. Mau marah? Siapa yang mau dimarahin?! Alhamdulillah. Sesaat kemudian saya sudah bisa mengendalikan emosi.
Yang menjadi beban kemudian, saya malah merasa eman atas nomer kartu yang sudah sekian tahun saya gunakan. Jelas, komunikasi dengan rekan-kerabat yang sudah bisa menghubungi saya dengan nomer tersebut jadi terputus. Intinya: Hp yang hilang sudah bisa saya relakan. Tapi, tidak dengan nomer Hp yang sudah terlanjur dikenal banyak orang. Seketika saya coba menghubungi nomer tersebut. Tapi, nihil. Si copet tak kunjung mau menjawab.
Akhirnya, sayapun berkirim sms pannya, dan berkata: ”Mas, Hp yang sekarang berada di tangan Anda, saya relakan tetap menjadi hak Anda. Tapi, tolong kembalikan simcardnya saja. Kirimkan saja melalui pos ke alamat saya.” Dengan permohonan yang sama, saya terus mengulang-ulang berkirim sms kepada si pemegang Hpku. Tapi, ternyata maling ya tetap maling. Tak pernah sedikit menggunbris kerisauan orang.
Tak ingin semakin terputus komunikasi dengan rekan-kerabat, sayapun segera mengurus pembelokiran nomer Hp dan menggantinya dengan sim baru. Ternyata tidak rumit mengurusnya. Cukup dengan surat bukti kehilangna dari kepolisian, datang ke Grapari, selesai. Tinggal cari Hp baru, komunikasi udara bisa tersambung kembali.

Ibu Tetap Diingat
Dalam proses pengurusan semua itu, saya harus -setidaknya- mendatangi tiga meja administrasi: di kepolisian, di Grapari dan, untuk proses kredit Hp baru, saya bikin kartu kredit di Bank. Dari ketiga meja administrasi tersebut, saya dapat satu pelajaran. Ternyata peran ibu begitu mendominasi untuk selalu diingat oleh sang anak. Bagaimana? Ceritanya begini: dari tiga proses administrasi, pencantuman nama ibu mutlak diperlukan.
Semua kolom administrasi yang saya butuhkan terdapat kolom yang menanyakan nama Ibu. Bukan Ayah. Untuk menghilangkan penasaran, saya coba bertanya pada pihak perbankan: ”Maaf Bu, kenapa harus mencantumkan nama Ibu? Bukan Ayah? Petugaspun menjawab: Beginipak, secara logis, anak pasti terlahir dari satu rahim wanita (ibu, pen). Tidak demikian dengan Ayah. Bisa jadi –maaf- seorang ayah berkelit untuk mengaku memiliki anak. Hal-hal seperti ini yang lantas diantisipasi oleh pihak perbankan guna menjaga kemungkinan yang tak diinginkan dari nasabah bank”
Dengan penjelasan ini, menjadi semakin jelas, kenapa Rasulullah lantas mewajibkan kita untuk menghormati Ibu, tiga kali lebih ganda dari rasa hormat kita kepada Ayah.
Karenanya, suatu hari, Rasulullah pernah ditanya sahabat: “Di antara Bapak dan Ibuku, siapakah yang patut saya hormati terlebih dahulu ya Rasul? Beliau menjawab: Ibumu. Si sahabat bertanya lagi: kemudian siapa ya Rasul. Beliau menajwab lagi: Ibumu. Lagi-lagi sang sahabat bertanya: lalu siapa ya Rasul? Dijawab lagi: Ibumu. Pada kali keempat sahabat bertanya lagi: lalu siapa? Rasul kemudian menjawab: Ayahmu.
Dengan ketegasan tersebut, kita fahami, bahwa Islam memang memberikan porsi penghormatan kepada Ibu yang telah melahirkan kita melebihi penghormatan kepada Bapak. Alasannya cukup logis: Ibu yan telah menanggung penderitaan di atas penderitaan selama masa kandungan, sebelum melahirkan kita; Ibu yang telah menyusui, dan Ibu jugalah yang menjadi sosok awl pendidik kita (madrasatu al-ula).

Zulfan Syahansyah




21.2.09

SBY-JK vs SBY dan JK

KEPENTINGAN: BANGSA ATAU PARTAI?


Saat ini, sudah nyata ada tiga capres yang akan diusung tiga partai besar: PDIP telah tegas akan mengusung Megawati sebagai capres, seperti halnya partai Demokart akan tetap mempertahankan SBY sebagai capres 2009-2014, dan menyusul Golkar "percaya diri" ikut berlaga dalam kontestan capres RI. Memang, secara tegas Golkar belum menetapkan siapa yang akan diusung sebagi capres. Ketetapan penentuan capres Golkar masih menunggu setelah Rapimnasus Partai Golkar 23 April mendatang.

Kenyataan bertambahnya capres ini tentu semakin memperlebar lika-liku perseteruan politik di Indonesia menjelang pemilu. Menarik untuk diperhatikan fenomena keinginan Golkar mengusung capresnya sendiri. Yang jelas, ini berawal dari harga diri partai yang merasa direndahkan pihak Demokrat. Realita ini sebagai tindak lanjut dari pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Achmad Mubarok, yang "mengkerdilkan" Partai Golkar yang terus dinilai sangat sensitif oleh sebagian besar kalangan elit partai di daerah. Tegas Jk, seperti diberitakan Jawa Pos, 21/2.


Dus, dengan mengatasnamakan 'mandat partai', ketua DPP Golkar yang sekaligus wakil presiden Yusuf Kalla secara terbuka menyatakan kesiapannya bersaing dengan presiden SBY, jika nantinya ditetapkan partai sebagai capres Golkar. Tak ayal, dengan pernyataan JK itu, suhu persaingan antara presiden dan wakilnya semakin memanas. Jika keduanya sudah mengatasnamakan partai, otomatis kepentingan bersama untuk bangsa akan dikesampingkan.

Dengan kenyataan ini, yang patut disayangkan adalah nasib bangsa yang akan terimbas panasnya kompetisi para elit negara tersebut. Sayang, sayang seribu sayang. Kenapa kabar ini sudah berembus di tengah-tengah gencarnya pemerintah yang mengupayakan masa jabatan mereka menjadi husnul khatimah? Kenapa kabar ini tak diupayakan untuk sejenak dipendam, menunggu berakhirnya masa jabatan pemerintah 2004-2009 ? Sedemikian urgennyakah pendeklarasian capres untuk partai menjelang pemilu legislatif? Pastinya, peluang ini akan dijadikan senjata oleh kelompok yang memang mengharap pecahnya 'keharmonisan' SBY-JK. Hati-hatilah menfilter "mandat" partai. Sebagai personil partai, boleh saja SBY atau JK berhujjah melaksanakan tugas partai. Yang lebih urgen dari semua itu, Anda berdua telah dipilih langsung oleh sebagian besar bangsa Indonesia untuk menjalankan roda pemerintahan. Gampangnya, saat ini pemerintahan sedang menghadapi dilema: antara "SBY-JK" sekaligus "SBY dan JK".


Kenapa kompetisi partai-partai yang ada semakin mengaburkan makna perjuangan untuk bangsa? Yang nampak selanjutnya, partai-partai yang ada saling berebut menunjukkan arogansi untuk kemenangan pribadi, tidak untuk kepentingan bangsa.
Harapan kami: "Jangan tukar kepentingan bangsa dengan arogansi politik sesaat".

13.2.09

Urusan Datang Tak Terduga

URUSAN DATANG TAK TERDUGA

Dalam sepekan ini, penulis disibukkan dengan beberapa urusan yang bahkan tak pernah terbersit untuk melakukannya. Mulai dari hal-hal sepele, sampai perkara yang menyangkut masadepan perorangan serta kelompok. Disebut urusan perorangan, karena hal tersebut menyangkut kehidupan perorangan; jelasnya sebuah pasangan. Iya, tentang ini penulis telah menjodohkan dua sejoli. Peristiwa perjodohan pertama terjadi di Jakarta. Pada tanggal 7 Pebruari lalu, penulis diminta menjadi wakil dari mempelai pria yang kebetulan masih saudara misan penulis.

Sengaja pada acara sakral tersebut penulis menggunakan pakaian sedikit santai: baju hem lengan pendek dan bercelana jens. Sementara kebanyakan hadirin yang ada waktu itu menggunakan kemeja resmi berlengan panjang. Bahkan tak sedikit yang memakai sarung. Banyak juga waktu itu tokoh masyarakat sekitar yang hadir. Anehnya, saat memasuki acara penutup, yakni do'a, tokoh-tokoh agama yang ada justru memaksa penulis untuk memimpin do'a bersama. Setelah dipaksa beberapakali, penulispun tak berdaya menolak.

Perjodohan kedua, antara seorang alim ahli hadis dari Mesir. Namanya, Ahmad Darwis. Ia datang ke Indonesia menemani seorang syekh muqaddam (pimpinan) tariqah Tijaniyah, Ahmad bin Muhammad al-Hafid al-Tijani al-Misri. Keduanya sama-sama bertujuan menghadiri acara Idul Khatmi al-Tijaniyah yang diselenggarakan di Madura Jawa Timur.

Kisah perjodohan kedua ini cukup unik. Ia terjadi sangat spontan, bahkan tanpa persiapan apa-apa. Ini juga yang dirasa wali dari mempelai wanita: Bapak Masrurun. Ya, apa boleh buat. Setelah penulis utarakan niat Darwis untuk mempersunting putri pertamanya, Masrurun langsung mengiyakan maksud tersebut. Pendek kisah, jadilah acara akad nikah pada hari itu juga.Ternyata benar, jodoh adalah rahasia ilahi yang kedatangannya tak pernah bisa disangka-sangka.

Dalam pekan yang sama juga, penulis banyak kedatangan tamu; para Caleg DPR RI dari berbagai partai yang sengaja datang bersua ke rumah. Entahlah, apa motif kedatangan mereka bertamu pada penulis. Sebagaian mereka juga ada yang secara terang-terangan minta dukungan penulis untuk menjadi "corong" pengeras suara kepada masyarakat. Namun, dengan tetap menjaga etika santun, kepada seluruh caleg, penulis hanya bisa mendo'akan agar semuanya bisa meraih kesuksesan dalam segala hal yang positif, untuk bangsa, negara dan agama. Amin.....

2.2.09

Dua Aliran Pendidikan

RASULULLAH VS KAHLIL GIBRAN
Oleh: Zulfan Syahansyah

Dalam sebuah hadits yang cukup dikenal di dunia pendidikan Islam, Rasulullah menegaskan besarnya peranan orang tua (ortu) terhadap kehidupan anaknya. Sesuai keinginannya, ortu bisa “mencetak” sang anak; menjadi apa saja. Bukan hanya tabiat dan kecendrungan sang anak yang bisa diupayakan ortu, bahkan aqidahnya pun tak luput dari kecondongan kemana hendak digiring. Satu contoh kecil, saat ini kita termasuk umat Islam. Pernahkah terbersit dalam benak: Ini adalah peran besar atau “garapan” orangtua yang telah membesarkan kita? Adakah yang membayangkan: Andaikan orang tuaku non-muslim, masak iya, saya menjadi muslim seperti saat ini?”.
Ada sebagian yang berpendapat, tidak semuanya begitu! Seorang Musa, pembela Bani Israil, dididik dan dibesarkan Fir’aun, tapi bisa menjadi seorang Nabi bahkan Rasul! Putra Nabi Nuh, termasuk golongan yang tidak beriman kepada risalah sang ayah! Dan banyak lagi contoh-contoh lainnya dalam sejarah manusia prihal kontradiksi antar orang tua dengan anaknya. Untuk kasus-kasus tersebut, dijawab juga: “Itu hanya pengecualian. Tapi hakekatnya, betul seperti apa yang telah ditegaskan oleh Baginda kita Nabi Muhammad SAW”
Dus, sebagai penguat, berikut penulis sertakan hadits dimaksud:

كل مولود يولد على الفطرة، فأبواه يهوّدانه أو ينصرانه أو يمجسانه
Setiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah (yang berperan) menjadikan anak itu sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sampai disini bisa disimpulkan, orang tua memiliki andil besar, bahkan cenderung menentukan kehidupan anaknya kelak. Setujukah Anda? Atau sebaliknya, underestimate –untuk tidak menyatakan menentang– hadits tersebut. Jika Anda condong pada pendapat kedua, maka Anda sefaham dengan apa yang telah diungkapkan oleh Kahlil Gibran, seperti dalam puisinya:

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang
Rindu akan dirinya sendiri
Mereka dilahirkan melalui engkau
Tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu
Tapi mereka bukan milikmu
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu
Tapi bukan fikiranmu
Karena mereka memiliki fikiran sendiri
Engkau bisa merumahkan fikiran mereka,
tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok
Yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam
mimpi
Engkau bisa jadi seperti mereka
tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
karena hidup tidak berjalan mundur dan
tidak pula berada di masa lalu.

Amma ba’du; menanggapi realita di atas, dan mengaca pada kehidupan yang saat ini kita jalani, penulis cendrung pada kesimpulan, ada dua aliran “mencetak” (maaf kata yang terkutib penulis maksudkan untuk istilah yang tak penulis mafhum) yang sama-sama beralasan. Kedua-duanya ada benar, dan tentu ada tak benarnya juga.

Untuk para pembaca, bagaimana kecendrungan Anda pada dua model aliran pendidikan seperti di Atas. Di mana kecondongan saudar ?

23.1.09

Dmokrasi: Mau ke Mana?

Demokrasi: Mau ke Mana?
Oleh: Azyumardi Azra

Judul ‘Resonansi’ ini saya ambil dari kertas kerja posisi International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) dalam pertemuan Annual Board Meeting yang saya ikuti di Stockholm pada 4-5 Desember 2008 lalu. Persisnya bertajuk Democracy: Whither are we Wandering?--Demokrasi: Ke Mana Kita Berkelana? Makalah ini merupakan assessment yang jujur dan berani dari sebuah lembaga internasional yang bergerak dalam pengembangan demokrasi dan bantuan elektoral di berbagai penjuru dunia.
Makalah ini mulai dengan pernyataan: 2009 datang merupakan tahun perayaan demokrasi; 30 tahun setelah mulainya gelombang ketiga demokrasi di Amerika Latin; 20 tahun sesudah runtuhnya Tembok Berlin; 15 tahun setelah berakhirnya rezim apartheid di Afrika Selatan; dan 10 tahun sejak awal reformasi politik Indonesia. Walhasil, sekitar 100 negara telah mengalami transisi ke demokrasi sejak 1970-an--dengan sekitar 40 negara mengalaminya pada 1990-an dan awal 2000-an.
Tetapi, jelas, jumlah semata tidak mencerminkan mulusnya perjalanan demokrasi. Sebaliknya, perjalanan demokrasi memperlihatkan proses-proses yang rumit, bergelombang, bahkan tidak jarang runtuhnya tatanan hukum yang diikuti kekerasan. Dan, di negara-negara Selatan--seperti Indonesia--demokrasi belaka juga tidak serta-merta dapat menghapuskan pengangguran dan kemiskinan. Demokrasi di banyak bagian dunia masih dipandang sebagai cita ideal yang masih harus terbuktikan untuk dapat menjadi sistem politik efektif guna mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.
Dengan penilaian yang jujur dan terus terang dari sebuah lembaga internasional yang memiliki komitmen dan menjalankan berbagai program untuk penguatan demokrasi, tidaklah berarti negara-negara demokrasi atau yang masih berada dalam transisi dan konsolidasi demokrasi harus segera meninggalkan demokrasi dan beralih kepada sistem-sistem politik lainnya. Memang, demokrasi bukanlah ‘’obat’’ (panasea) bagi semua masalah; demokrasi juga memiliki batas-batasnya. Tetapi, jika dibandingkan sistem-sistem politik lain, semacam otoritarianisme militer (atau sipil) atau teokrasi, demokrasi tetap merupakan pilihan yang lebih baik.
Di Tanah Air, yang juga disebut banyak kalangan internasional sebagai salah satu kisah sukses demokrasi, perjalananan demokrasi juga masih belum sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan. Selain biaya demokrasi prosedural yang cenderung kian mahal dan tidak efisien, juga menimbulkan bermacam ekses yang boleh jadi tidak disengaja (unintended consequences). Eksplosi aspirasi demokrasi membuat usaha pemerintah dan swasta untuk melaksanakan program-program yang baik langsung maupun tidak langsung dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, tidak lagi dapat berjalan mulus. Lihat, misalnya, rencana pembangunan jalan tol trans-Jawa; pembebasan lahan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan karena adanya kalangan masyarakat yang menolak. Dan, tentunya, banyak contoh lain.
Karena itu, pada akhirnya pertumbuhan dan penguatan demokrasi sangat terkait dengan sejumlah faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor yang dapat menghambat penguatan demokrasi itu mestilah diatasi agar demokrasi betul-betul tumbuh dengan baik dan berdaya guna untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
Secara internal, seperti terungkap dari penilaian International IDEA, lembaga-lembaga politik belum juga menguat di banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia. Sebaliknya, yang terjadi adalah kian fragmentaris lembaga-lembaga politik. Di Tanah Air, parpol bukannya kian terkonsolidasi, tetapi sebaliknya, makin terfragmentasi, seperti terlihat dari jumlah parpol: 48 pada Pemilu 1999, 24 pada Pemilu 2004, dan naik lagi menjadi 38 plus 6 parpol lokal untuk Pemilu 2009.
Pada saat yang sama, terjadi juga peningkatan kemerosotan kepercayaan publik pada institusi-institusi politik, semacam parpol dan lembaga perwakilan rakyat. Publik melihat bahwa banyak dari mereka yang terlibat dalam institusi-institusi semacam itu lebih tertarik pada kepentingan mereka masing-masing daripada kepentingan publik secara keseluruhan.
Sebab itu, salah satu tantangan dalam penguatan demokrasi adalah pemulihan kepercayaan publik pada institusi politik. Dan, ini harus dimulai dari para aktor politik itu sendiri untuk lebih menampilkan sosok yang penuh dengan integritas dan komitmen pada kepentingan publik. Kesempatan masih ada untuk membentuk dan menampilkan sosok seperti itu pada masa-masa kampanye menjelang Pemilu 2009.
Pada saat yang sama, para pemilih umumnya dapat lebih berhati-hati dalam melakukan pilihan nantinya. Para pemilih hendaknya jangan terbuai janji dan kata-kata manis mereka yang memiliki aspirasi untuk terpilih. Sebaiknya, para pemilih berusaha mendapatkan informasi tentang rekam jejak (track record) setiap calon. Sehingga, ketika melakukan pilihan, dapat betul-betul didasari pertimbangan rasional dan logis. Tidak hanya untuk kepentingan pemilu itu sendiri, tapi lebih penting lagi demi penguatan dan pendewasaan demokrasi di bumi tercinta ini.
Sumber: Republika, 18 Desember 2008

22.1.09

Arab Palestin VS Yahudi Israel

Beberapa Catatan dari Israel
Oleh: Lutfi Assaukani
Saya baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh memori konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga keramahan orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani pengalaman seperti saya akan mengubah pandangannya tentang Israel dan orang-orangnya.
Ketika transit di Singapore, seorang diplomat Israel mengatakan kepada saya bahwa orang-orang Israel senang informalities dan cenderung rileks dalam bergaul. Saya tak terlalu percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak saya adalah tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu benar belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya jumpai dari sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa orang-orang Israel memang senang dengan informalities dan cenderung bersahabat.
Saya masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi mengeluarkan joke-joke terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia mengaku mengoleksi beberapa joke tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur yang katanya "more jewish than me." Dalam jamuan lunch, seorang diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan dengan cerita jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.
Tentu saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel. Pada satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya yang Arab: hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya Mediteranian memang seperti itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang membedakannya dari orang-orang Arab: kecerdasan orang-orang Israel di atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar mitos yang biasa kita dengar. Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel.
Kecerdasan itu seperti kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul dengan seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa sebagian peraih nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang Yahudi.Yang membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang Israel, paling tidak para pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional, yang saya jumpai, semuanya lancar dan fasih berbahasa Arab. Mereka senang sekali mengetahui bahwa saya bisa berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami merasa akrab. Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya.
Kebijakan resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat cerdas, bukan sekadar mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim di Israel. Dengan menguasai bahasa Arab, orang-orang Israel telah memecah sebuah barrier untuk menguasai orang-orang Arab. Sebaliknya, orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang dibicarakan di Israel, karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan hanya tak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua informasi yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian dengan bangsa Arab.
Bahwa Israel adalah orang-orang yang serius dan keras, benar, jika kita melihatnya di airport dan kantor imigrasi. Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan benar. Di tempat2 strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas, kalau tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan penjuru angin oleh musuh-musuhnya. .Saya sangat bisa memahami ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk kedubes dan urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah 60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah. Lihatlah Tel Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau Sydney. Sepanjang pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau Queensland. Sistem irigasi Israel adalah yang terbaik di dunia, karena mampu menyuplai jumlah air yang terbatas ke ribuan hektar taman dan pepohonan di sepanjang jalan.
Bangsa Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka, bukan karena ada memori holocaust yang membuat mereka terpacu untuk memiliki sebuah negeri yang berdaulat, tapi karena mereka betul-betula bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan yang kasar menjadi indah dan nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah. Setiap melihat keindahan di Israel, saya teringat sajak Iqbal:Engkau ciptakan gulitaAku ciptakan pelitaEngkau ciptakan tanahAku ciptakan gerabahDalam Taurat disebutkan, Jacob (Ya'kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah, nama Israel (Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan) disematkan kepada Jacob. Di Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak bergulat dengan Tuhan.
Orang-orang Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.
Melihat indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: "orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?" Problem besar orang-orang Arab, sejak 1948 adalah bahwa mereka tak bisa menerima "two state solution," meski itu adalah satu-satunya pilihan yang realistik sampai sekarang. Jika saja orag-orang Palestina dulu mau menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain, mungkin tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang Arab, Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi orang-orang Israel, orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh dalam kelemahan.
Sekarang saya mau cerita sedikit tentang Kota Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan pengalaman saya berada di sana. Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang saya bayangkan. Ia hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah. Ukurannya tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung sebelum direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan yang membentuknya seperti sekarang ini. Tapi, jangan bayangkan ia seperti Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun memancarkan keindahan dari kontur tanahnya.
Kota Tua Jerussalem hanyalah sebongkah tanah yang tak rata dan sama sekali buruk, dari sisi manapun ia dilihat.Sebelum menuruni tangga ke sana, saya sempat melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran seribu heran, mengapa tempat kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu besar gravitasinya, menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan jika tak ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang tak menarik. Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar, Solahuddin al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para penziarah Eropa yang berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk menyaksikan makam, kuburan, dan salib-salib. Agama memang tidak masuk akal.
Oleh Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah bagian dari Jerussalem Timur yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua menjadi bagian dari Israel. "Dulu," katanya, "ada tembok tinggi yang membelah Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun, setelah 1967, Jerussalem menjadi satu kembali." Yang membuat saya tertegun bukan cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni oleh sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh orang-orang Yahudi.Saya protes kepada Guide itu, "Mengapa itu bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel membiarkan diskriminasi itu?" Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua patah bahasa Arab, ibu cantik itu menjelaskan: "ya akhi ya habibi, kedua neighborhood itu adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam banyak jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak. Itulah yang bisa kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau dan Jerussalem Timur gersang." Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis: "What went wrong?"Ada banyak pertanyaan "what went wrong" setiap kali saya menyusuri tempat-tempat di Kota Tua. Guess what? Kota Tua dibagi kepada empat perkampungan (quarter): Muslim, Yahudi, Kristen, dan Armenia.
Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin al-Ayyubi. Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan perkampungan Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan Muslim. Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk.Jika pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di quarter Muslim, tampak tak terurus. Ketika saya belanja di sana, saya hampir tertipu soal pengembalian uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya hasrat menipu.
Namun, di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan Islam adalah pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya Haram al-Syarif). Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak tertanggulangi, yang berasal dari sebuah teologi abad kegelapan. You know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk ke sinagog, merayu tuhan di tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa pertanyaan dan tak ada penjagaan sama sekali.Tapi begitu masuk wilayah Haram al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania dengan senjata otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan mengetes setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan: "enta Muslim (apakah kamu Muslim)?" Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan kedua: "iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah). " Kalau hafal Anda lulus, dan bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.
Saya ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa Arab, yang membuat mereka tersenyum, "kaffi, kaffi, ba'rif enta muslim (cukup, cukup, saya tahu Anda Muslim)." Saya ingin meledak menyaksikan ini karena untuk kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan mereka. Kota Tua adalah wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama. Para petinggi Yahudi dan Kristen rupanya menyadari itu, dan karenanya mereka tak keberatan jika semua pengunjung, tanpa kecuali, boleh mendatangi rumah-rumah suci mereka.Tapi para petinggi Islam rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa superioritas mereka (yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening yang begitu keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif. Ketika saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh. Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya termasuk Qubbat al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di Madinah. Rumah tuhan ini begitu sepi dari pengunjung.
Tentu saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim haram masuk wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak pandai membaca al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu menganggap non-Muslim adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.Saya tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan, protes kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan kebodohan yang tak masuk akal.

14.1.09

Demokrasi ya..Islam

ISLAM DAN DEMOKRASI
Oleh: Zulfan Syahansyah*


Saya ada saudara perempuan (mbak) yang saat ini menjadi caleg DPRD di Kabupaten Buleleng. Ada partai politik yang melamarnya. Selain keaktifannya di masyarakat, alasan utama partai tersebut melamar, tentu karena mbakku menjadi ketua Muslimat NU di daerah bagian utara pulau Bali itu. Sebab jabatannya di Badan Otonom (Banom) NU ini juga, beberapa hari lalu ia diundang Muslimah Hizbu Tahrir Indonesia (MHTI) Bali dalam acara seminar bertema: Kiprah Muslimah Dalam Politik Islam

Kepada semua peserta seminar, panitia membagikan sebuah buku gratis berjudul: Khilafah Islamiyah, Menjamin Kesejahteraan Setiap Perempuan. Dari fareabel judul buku, mudah ditebak arah penjelasan pemakalah, berkisar seputar sistem sebuah negara. Dus, acara tersebut menjadi ajang mengampanyekan Khilafah Islamiyah (KI) sebagai asas sebuah negara yang Islami. Selain KI, jelas tidak Islami. Termasuk sistem demokrasi seperti yang saat ini dijalankan di Indonesia.
Parahnya lagi, keluh mbakku, pemakalah dengan tegas menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem negara buatan orang kafir dan hanya layak untuk negara mereka. Tidak untuk kalangan muslim. Pemaparan lebih dipertegas lagi dengan menyertakan ayat-ayat al-Qur’an yang –bagi kelompok pendukung– sesuai dengan masalah dimaksud.
Usai menceritakan semuanya, akhirnya mbakku bertanya: Benarkah demokrasi tidak Islami? Kenapa akhir-akhir ini banyak kita saksikan kelompok penentang demokrasi yang menjadi sistem negara kita, semakin lantang menyuarakan penolakan? Bagaimana nasib integritas bangsa jika hal ini tidak segera ditangani?
Setelah mbakku terdiam, saya mulai bicara: pertma, saya ingin menaggapi keresahan terakhir mbak. Bahwa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa adalah tugas kita bersama. Bukan hanya pemerintah, tapi seluruh komponen bangsa. Tentunya, segala upaya yang mengarah pada retaknya integritas bangsa, menjadi prioritas yang wajib ditangani oleh pemerintah.
Hanya saja, Indonesia adalah negara demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk bersuara. Karenanya, pemerintah tak berhak membungkam para penentang sistem negara yang dijalankan oelh Indobesia. Itulah sebabnya mereka berani bersuara lantang. Intinya, sistem negara yang dibenci justru memberikan mereka keamanan. Bisakah hal serupa didapat dari sistem negara yang mereka dambakan?!
Selanjutnya, tentang demokrasi, saya tegaskan bahwa esensi makna yang terkandung sejalan dengan cakupan diturunkannya Islam ke muka bumi. Gampangnya, kandungan nilai demokrasi termuat dalam ”paketan” Islam. Bahwa esensi makna demokrasi adalah upaya memberantas otoritatif dan kedoliman.
Dalam negara yang demokrasi, tak ada pemimpin yang menjadi ”tuhan”. Seorang Presiden tak lain manusia biasa yang dipilih untuk menjalankan aturan dan kesepahaman yang disepakati bersama. Anak presiden tak ubahnya anak pedagang koran. Hukum di negara demokrasi berlaku sama bagi semua rakyatnya. Tak ada yang kebal. Tak ada satupun yang boleh merasa memiliki otoritas melebihi lainnya. Inilah idealita demokrasi.
Tentang Islam, sekilas bisa kita pahami bagaimana pola kehidupan kaum Arab pra-Islam. Masa itu disebut jahiliya. Kenapa? Karena mereka menerapkan hukum rimba dalam kehidupan sehari-hari waktu itu. Yang kuat, menang. Kehormatan dan kejayaan dapat diraih dengan otoriter. Antara pria dan wanita, jelas lebih kuat pria. Karenya, anak wanita waktu itu menjadi perlambang ”aib” keluarga. Tak heran, sebelum menjadi muslim, Umar bin Khattab tega mengubur hidup-hidup putrinya.
Bagi Arab Jahiliyah, martabat manusia menjadi taqdir saat kelahirannya. Anak keluarga terhormat, otomatis menjadi golongan terhormat juga. Sebaliknya, bayi seorang budak, secara estafeta akan menyandang gelar budak pula. Realita inilah yang saya maksud dengan pola kehidupan sosial yang otoriter dan dlalim. Maka, datanglah Nabi Muhammad membawa Islam untuk membenahi sistem ini.
Membawa ajaran agama yang tak membedakan status sosial.Tak ada dikotomi antara pria dan wanita. Semua manusia dipandang sama di hadapan Allah. Satu yang menjadi penilaian, yaitu taqwa. Tidak kurang dalil-dalil al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut. Mungkin secara harfiah kita tak mendapatkan arti demokrasi tersurat dalam al-Qur’an. Namun jika ditilik dari idealitanya, siapa yang hendak menafikan bahwa demokrasi dan Islam memang sejalan. Wallahu a’lam bi alshawab.

*Muslim yang demokrat







12.1.09

HAKEKAT 'WAKTU'


KERUGIAN MENYEPELEKAN WAKTU
Oleh: Zulfan Syahansyah
Wujud waktu di dunia ini, bagaikan cermin yang memantulkan “wajah” prilaku kita. Hanya memberikan dua pilihan; kebaikan, atau keburukan. Tidak lebih. Karena, hakekatnya manusia di kehidupan ini, hanya menjadi cerita bagi manusia-manusia setelahnya. Kebaikan dan keburukannya, lambat-laun akan tersingkap dalam tahapan seleksi waktu, alias sejarah. Waktu termasuk modal utama manusia dalam berusaha: apa yang luput dari usaha, masih mungkin untuk diraih di lain waktu, selagi yang luput bukan waktu.

Muqaddimah
Pada hakekatnya, segala sesuatu yang berwujud selalu memiliki konsep ruang dan waktu. Konsep ruang untuk menyatakan kisaran tempat, dan konsep waktu menjadi penegasan masa keberadaan sesuatu. Ini menjadi titik tolak keimanan kita, bahwa selain Allah SWT; segala yang ada di alam semesta adalah makhluq, dan karenanya bersifat hawadits. (saat ini menjadi “ada”, setelah sebelumnya melalui tahapan masa “tidak ada”). Sebagai contoh, dunia: dari bahasa Arab, dunyâ, yang berarti tempat yang terdekat.
Kata ‘dunia’, mencakup dua pengertian; dunyâ dan ûlâ. Pengertian pertama mengandung konsep ruang, sedangkan konsep waktunya ialah ûlâ, seperti dalam firman Allah: “wa lal âkhiratu khayrun laka minal ûlâ”. Jika meruntun sebatas pemahaman simpel, waktu menjadi per­soalan yang sangat abstrak, sehingga terefleksi dalam sebuah hadis yang mungkin agak aneh, “Janganlah kamu menyalahkan waktu, karena waktu itu adalah milik Tuhan.”
Serupa dengan konsep ruang dan waktu, Nur Khalis Madjid menjelaskan: “Dalam bahasa Latin, ada konsep waktu yang disebut saeculum, maka ada istilah secular yang artinya masa kini. Konsep ruangnya adalah mundus, maka ada istilah mondial, yang artinya dunia. Saeculum itu padanannya ‘ûlâ, yaitu waktu yang pertama, lawan dari al-âkhirah. Ungkapan “dunia-akhirat” sebenarnya sedikit tidak simetris, sebab dunia merupakan konsep spasial, sedangkan akhirat merupakan konsep temporal”.
Jadi, kenyataan itu bisa dikenali sebagai konsep ruang (special concept) ataupun konsep waktu (temporal concept), bahasa Arabnya, dunyâ dan ‘ûlâ. Perkataan al-dunyâ yang berarti ‘yang terdekat’ itu sebetulnya betuk feminin dari al-‘adnâ. Al-‘adnâ adalah bentuk maskulinnya. Mengapa gendernya feminin? Ada kecenderungan dalam bahasa Arab bahwa hal-hal yang besar selalu diasosiasikan pada perempuan (muannas): matahari, surga-neraka, langit, dunia, dan lain-lain. Ini gejala bahasa, tetapi penting diperhatikan karena kemungkinan ada motif kultural di dalamnya.
Alasan lain mengapa perkataan al-dunyâ itu mengambil bentuk gender feminin adalah sebagai berikut: al-hayât-u ‘l-dunyâ (hidup yang terdekat) adalah lawan dari al-hayât-u ‘l-‘âkhirah (hidup yang kemudian). Ini konsep spasial atau konsep ruangnya, sedangkan konsep temporalnya adalah al-‘ûlâ. Al-‘ûlâ inilah yang persis merupakan lawan dari al-‘âkhirah. Al-‘ûlâ adalah bentuk feminin dari al-awwal. Maka kalau mau simetris dari segi bahasa, istilahnya bukan dunia-akhirat, tetapi ‘ûlâ-‘âkhirat; keduanya sama-sama konsep tem­poral. Hanya perlu digaris­bawahi bahwa manusia hidup di dunia ini jauh lebih dari segi ruang. Sedangkan waktu yang akan datang, setelah mati, karena tidak tahu ruangnya, kesadarannya lebih tampak pada konsep waktu.
Dalam bahasa Latin, saeculum, yang dari situ diambil perkataan secular, memiliki arti persoalan-persoalan sekarang. Tetapi kalau sudah menjadi paham sekularisme, itu artinya suatu paham yang tidak mengakui adanya hal yang akan datang. Kemudian konsep ruangnya adalah mundus. Jadi alam raya ini disebut saeculum atau mundus. Demikian cendikiawan yang akrab dipanggil Cak Nun ini menjelaskan tentang konsep ruang dan waktu.

Makna Waktu
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, waktu adalah: “seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun yang akan datang.” Sedangkan dalam Al-Qur’an, seperti penjelasan M. Quraish Shihab, kata waqt (waktu) ditemukan tiga kali, hanya saja konteks penggunaan dan makna yang terkandung kurang sepadan dengan penjelasan di atas. Kata tersebut digunakan dalam konteks pembicaraan tentang masa akhir hidup di dunia ini. (baca QS 7: 187; 15: 38, dan 38: 81). Dari sini, dan setelah menelusuri seluruh bentuk kata lain yang berakar pada kata waqt, para pakar akhirnya menyimpulkan bahwa waqt adalah batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk berusaha sebaik mungkin.
Senada dengan pepatah Arab yang berbunyi: ”kod faata ma faata”: yang lalu, telah berlalu. Sebuah penegasan bahwa waktu yang telah lampau, sekali-kali tidak akan pernah datang lagi. Ia hanya akan tersisa sebagai kenangan; menjadi cerita apik, kisah indah, jika dilakoni dengan kebenaran dan keindahan. Sebaliknya, tak jarang masa lalu kelabu menjelma sebagai bayangan yang terus menghantui, memperpanjang deretan memori hitam, karena ia tercatat sebagai hasil tipu daya syaitan, dan menjadi lembaran kelam masa silam.
Demikianlah keberadaan waktu bagi kita di dunia ini, bagaikan cermin yang memantulkan “paras” prilaku kita. Hanya memberikan dua pilihan; kebaikan, atau keburukan. Tidak lebih. Karena, pada dasarnya manusia di kehidupan ini, tak lain hanya menjadi cerita bagi manusia-manusia setelahnya. Kebaikan dan keburukannya, lambat-laun akan tersingkap dalam tahapan seleksi sejarah. Akan selalu segar dalam kenangan, kisah Nabi Yusuf dan saudara-saudara tirinya, Nabi Musa dan Fir’aun, Nabi Muhammad saw. dan para kaum kafir Quraish perongrong dakwah Islam. Semuanya menjadi kisah yang tak akan pernah usang dimakan waktu.

Waktu dan Kerja Keras
Selanjutnya Quraish shihab menjelaskan, kata lain yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk menunjuk kepada ‘masa’ adalah ‘ashr. Kata ini, walaupun hanya ada satu (pada surat Al-‘Ashr), kaitannya dengan “kerja keras” justru sangat jelas. Apalagi ia digunakan dalam konteks pembicaraan kehidupan duniawi.
Dari makna katanya, ‘ashr berarti memeras atau menekan sekuat tenaga, untuk menghasilkan saripati sesuatu. Maka kata “’ashir” bermakna jus (hasil perasan). Al-Qur’an menamainya ‘ashr, karena manusia dituntut untuk menggunakannya sekuat tenaga, memeras keringat, agar bisa menghasilkan sari kehidupan.
Sepadan dengan pengertian tersebut, ‘ashr adalah masa menjelang terbenamnya matahari; masa seseorang telah selesai memeras tenaganya. Karena, pada hakekatnya, sejak pagi hingga siang hari, adalah saat untuk bekerja dan malam hari untuk istirahat. (QS 27: 86). Jadi, waktu termasuk modal utama manusia dalam berusaha: Apa yang luput dari usaha, masih mungkin untuk diraih esok hari, selama yang luput tersebut bukan waktu.
Sedemikian pentingnya arti waktu dalam kehidupan, hingga Allah SWT, menjadikannya bergandengan dengan kewajiban ibadah utama seorang muslim, yakni shalat lima waktu. Al-Qur’an menjelaskan bahwa shalat merupakan kewajiban “berwaktu” atas kaum beriman (lihat QS, 4:103). Yaitu, diwajibkan pada waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (shubh), diteruskan ke siang hari (zhuhr), kemudian sore hari (‘ashr), lalu sesaat setelah terbenam matahari (maghrib), dan akhirnya di malam hari (‘isyâ’).
Hikmah di balik penentuan waktu itu ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi, kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (zhuhr) dan, lebih-lebih lagi, saat kita santai sesudah bekerja (dari ‘ashr sampai ‘isyâ’). Sebab, justru saat santai itulah biasanya dorongan untuk mencari kebenaran menjadi lemah, dan tak jarang kita malah tergelincir dalam gelimang kesenangan dan kealpaan. Karenanya, menjadi kewajiban saat melaksanakan sholat, mentaati alias disiplin waktu. Dan tentu, agar mengisi waktu luang dengan kegiatan bermanfaat dan mendekatkan diri kepada Tuhan (QS 94: 7-8).

Kerugian Menyepelekan Waktu
Salah satu realita perbedaan yang nampak antara Negara miskin, berkembang dan Negara maju adalah cara atau kebiasaan memanaj waktu. Semakin maju sebuah Negara, maka akan semakin berharga wujud waktu. Tak heran, jika mereka bersemboyan: “time is money”, waktu adalah uang. Peluang waktu sama artinya peluang emas untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Maka tolak ukur penghitungan waktu, tidak lagi menggunakan hari, tapi jam, bahkan menit.
Beda halnya dengan kebiasaan kita, yang katanya masih berada dalam tahap Negara berkembang. Efisiensi waktu masih jauh dari target harapan. Realita terlambat, jam karet, waktu molor, masih sangat akrab dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Sebuah kenyataan yang sangat tragis, karena justru dianggap hal wajar oleh bukan saja dari kalangan awam, tapi justru diteladani para elit masyarakat; pemerintah, tokoh agama. Padahal, mayoritas penduduk negeri ini adalah umat Islam.
Kebiasaan hidup santai bangsa yang terus mengakar, seakan membingkai bahaya kerugian menyepelekan waktu, sehingga nampak remang-remang dan nyaris tertutupi. Hanya ketegasan Allah SWT. dalam Al-Qur’an surat Al-‘ashr, yang bersumpah dengan wujud waktu, menyatakan:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menjelaskan: “kerugiannya adalah karena tidak menggunakan ‘ashr, dan kerugian tersebut seringkali disadari pada waktu asar (menjelang terbenamnya matahari).” Hanya ada empat kelompok yang terhindar dari kerugian ini: pertama, yang mengenal kebenaran (ậmanủ); kedua, yang mengamalkan kebenaran (‘amilủ al-shalihật); ketiga, yang ajar-mengajar menyangkut kebenaran (tawậshauw bi al-haq); dan keempat, yang sabar dan tabah dalam mengamalkan serta mengajarkan kebenaran (tawậsauw bi al-sabr).
Ternyata, sekedar mengetahui dan mengamalkan kebenaran saja masih belum cukup untuk menghindari kerugian. Kita masih dituntut untuk saling menjaga, memelihara serta meningkatkan kualitas, kemudian berjuang bersama untuk meraih anugrah-anugrah Allah, dan tentunya, harus sabar.
Sejak kecil, minimal sehabis sekolah, kita terbiasa membaca surat Al-‘Ashr, sebagai do’a perpisahan. Namun kebiasaan tersebut tak lebih menjadi “koor” bersama, tanpa ada upaya menjalankan maksud tersirat. Perlu juga kiranya, prinsip surah ini kita tancapkan dalam hati, setiap akan memulai kegiatan, agar waktu kita tidak terisi dengan aktivitas yang merugikan. Wallahu a’lam bi al-shawab.









9.1.09

Golput: Wajah Lain Demokrasi

GOLPUT, KENAPA TIDAK?!
Zulfan Syahansyah*


Live is how to choose” Demikian jargon sebuah iklan produk furniture yang saya jumpai saat transit di Singapura beberapa pekan lalu. Artinya, jika boleh saya tafsirkan adalah: kehidupan selalu ada alternatif yang wajib kita tentukan sendiri. Realitanya memang kita dituntut untuk terus menentukan pilihan-pilihan sebelum menetapkan satu hal. Dus, kesuksesan hidup di dunia tak terlepas dari ketepatan menentukan aneka pilihan yang ada.
Hanya saja, benarkah kita dituntut untuk itu? Kenapa kebahagiaan yang menjadi dambaan setiap insan harus melalui penentuan alternatif yang justru tak diketahui sebelumnya. Bukankah pra-syarat menetapkan pilihan harus tahu dulu apa konsekuensi masing-masing pilihan?! Sebelum menetukan arah timur atau barat dalam perjalanan, misalnya, sejatinya kita sudah mengetahui ke mana tujuan kita. Hukum sebab-akibat mengatakan: setiap kali menentukan sebuah pilihan, maka kesiapan menanggung resiko adalah konsekuesi logis tak tertawar yang akan datang menyusul?
Sebagai contoh, tak ada seorang pun yang mau memilih kehidupan susah alias melarat. Semua pasti akan menentukan pilihan menjadi sosok yang senang atau bahagia. Dengan menggunakan akal sehat, orang pasti akan memilih madu jika alternatif minuman lainnya adalah racun. Kurang waras atau ada kelainan namanya, jika ada yang lebih memilih makan pasir jika dihidangkan padanya makanan dan pasir itu sendiri.
Sampai disini, kita bisa jadikan akal sebagai prisai menentukan alternatif dalam hidup. Maka maksimalisasi peran akal dalam menentukan pilihan, menjadi indikasi minimalisir kegagalan pilihan. Demikian pula sebaliknya. Sebuah contoh simpel, kambing jika disodorkan pilihan antara seikat rumput dengan sekalung emas, pasti akan memilih rumput. Itu jelas, karena kambing tak berakal. Padahal jika sedikit ada akal, kambing mungkin memilih emas untuk dijual kemudian dibelikan rumput. Bisa dibayangkan tumpukan rumput yang bakal kambing tersebut dapat. Inilah salah-satu contoh hikmah penganugrahan akal bagi manusia.
Jika tulisan di iklan tersebut menjadi premis mayor, maka premis minornya adalah: “human has choise, then he has live” Saya simpulkan: No choise is not Live”. Tanpa alternatif untuk ditentukan, pudarlah esensi nilai sebuah kehidupan. Meskipun secara jasad kita hidup, tanpa kebebasan memilih, hakekatnya kita mayat yang bernafas.
Dengan logika sederhana ini saya ingin menyatakan, kebebasan menentukan sikap, selama tidak merugikan orang lain, merupakan hak dasar setiap orang yang wajib dihormati bersama. Paksaan untuk menentukan pilihan merupakan pelanggaran HAM yang tidak bisa dibiarkan. Termasuk juga dalam berpolitik. Tidak boleh ada kekuatan yang menyalahkan kebebasan memilih, termasuk memilih untuk tidak memilih alias golput.
Maka aneh jika ada yang menfatwakan ’haram’ golput. Karena, semakin kita mempermasalahkan golput, arah demokratisasi tidak akan lebih baik, tapi justru semakin mundur. So, kecendrungan golput? Kenapa tidak?!

*
Masih condong meng-golput

4.1.09

Latar Belakang Tesisku

ثلاث، نحتاج إليهن حين تحدثنا عن العربية كلغة ثانية، وبتلك الثلاث يكون الأمر واضحا متكاملا، هن: حقيقة اللغة العربية و واقعيتها وسمعتها. إن حقيقة اللغة العربية، كما عرفنا واعتقدنا أنها لغة عظيمة شريفة؛ يكتب بها القرآن الكريم. قال جل وعلا: " إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون " ( يوسف : ٢) وقال تعالى في آية أخري: " إناجعلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون " (الزخرف : ٣). وإن رسولنا يتحدث بها، حيث يحثنا عليه الصلاة والسلام على حب اللغة العربية، كما في الحديث: عن ابن عباس رضي الله عنه أن رسول الله صل الله عليه وسلم قال : " أَحبوا العرب لثلاثٍ لأني عربي والقرآن عربي وكلام أهل الجنة في الجنة عربي " (رواه الطبراني و غيره). فنفهم من هنا أن العربية لغة الاتصال الديني، إذ أننا نفهم بها الإسلام فهما جيدا، لذلك قال أمير المؤمنين عمر ابن الخطاب: "احرصوا على تعلم اللغة العربية فإنها جزء من دينكم" (أزهر أرشد، ٧).

دلت هذه البيانات على أهمية اللغة العربية في الإسلام والمسلمين. و بجانب لغة الدين فإن العربية لغة الإتصال في العالم حيث اعترفت بها هيئة الأمم المتحدة وجاء ذلك في قرارها رقم (٠٣١٩٠) المؤرخ في 18/12/ 1973 ( كامل الناقة، 1985: 20). ولذلك، ليست اللغة العربية رديئة بل هامة يحتاج مراعاتها الدول في العالم وخاصة الدول الإسلامية منها إندونيسيا. اهتم سكانها باللغة العربية اهتماما كبيرا منذ القديم. وذلك بتأسيس المؤسسات التعليمية حيث توجد من المواد المتعلمة فيها اللغة العربية. كم من معاهد في أنحاء إندونيسيا تقليدية كانت أم حديثة والمدارس الإسلامية أهلية كانت أم حكومية والجامعات الإسلامية.

وعلى الرغم من هذا الاهتمام الكبير الذي قام به سكان إندونيسيا في نشر اللغة العربية فإن انتشارها لم يصل إلى درجة مرجوة وهي استعاب واستخدامها في مجالات الحياة. فهذه المسألة لا تخلو عن الجوانب الآتية:
1. الجانب التعليمي، وهو ما يتعلق بالمنهج والمعلم والوسائل التعليمية.
2. الجانب الثقافي، وهو ما يتعلق بالبيئة والمجتمع.
3. الجانت اللغوي، وهو ما يتعلق باللغة العربية نفسها.
4. الجانب السياسي، وهو ما يتعلق بالصلات الدبلومايسة والقرارات القومية (محمد مثنى، 1999: 5).
ومن أهم الجوانب التي تؤدي إلى عديد من المشكلات هو الجانب التعليمي، لأنه يتأثر مباشرة إلى التعليم و التعلم: ليس من السهولة أن يقوم معلم العربية في إندونيسا بتعليمها لدى الداريسين لعدم الهماشة تدفعهم على الجد والجهد في تعلم اللغة العربية، فأصبح الحال من واقعية هذه اللغة هنا.

واقعية العربية كلغتنا الثانية، بالذات تؤثر إلى سمعتها لدى الدارسين المبتدئين الناطقين بلغة أخرى. رغم أننا المسلمون، لكن العربية لغة ثانية أجنبية عندنا، فلا تزال بحاجة إلى الجد والإجتهاد لسيطرتها حين تعلمها. فكما وقع في اللغات الأجنبية الأخرى، كان درس اللغة العربية شبح المخيف لدى الطلاب في المدرسة التي يقوم الباحث فيها ببحثه، وهذا الواقع يصبح ما يدل على تحديات نجاح تعلم اللغة العربية.

علاوة على ذلك، مهما كان أكثر سكان إندونيسيا مسلمين فإن درس اللغة العربية ليس من المواد الممتحنة في الاختبار الوطني الأخير (UAN) الحاجز على فعالية تعلم الطلاب، وهذا يخالف بما وقع في اللغة الإنجليزية فإنها من المواد الممتحنة فيها حيث يؤثر إلى الأمرين الأساسيين اللازمين على الطلاب إختيار واحدهما: الجد في تعلم اللغة الإنجليزية استعدادا لمقابلة الاختبار الوطني الأخير أو الرضا علي نتيجة منخفضة فيه حتي لا ينجح في الإمتحان.
فليس من المبالغة بأن نقول أن مكانة العربية عند الإندونيسيين المسلمين –لا سيما – غير المسلمين تحلو في أدنى مكانة اللغة الأجنبية وهي الإنجليزية، ذلك لعدم اهتمام الحكومة الإندونيسية الكاف في تنمية تعليم اللغة العربية وتعلمها كما اهتمامهم للإنجليزية. فيتأثر بالطبع إلى عدم المدافعة الفعالة – سوى الدينية – للدارسين في تعلم اللغة العربية بالجد والإجتهاد.

ففي إندونيسيا، لا يمكن توجيههما ( الجد في تعلم اللغة الإنجليزية استعدادا لمقابلة الاختبار الوطني الأخير أو الرضا علي نتيجة منخفضة فيه حتي لا ينجح في الإمتحان ) في تنبيه الطلبة لتعلم اللغة العربية فعالا. فمن واجبات معلم العربية هنا، جعل الدارسين يتهمشون ويجتهدون بأنفسهم في تعلم اللغة العربية، ليس لأجل نتيجة الإمتحان بل لتعمق فهم دينهم. و ليس هذا بسيطا، فلا يحدث ذلك بين يوم وليلة، ولا بين عشية وضحاها، إنها عملية تستغرق وقتا وتطلب من الصبر والجهد والحكمة ما ينبغي أن يملكه المعلم.

والحاصل أصبح تعلم اللغة العربية من المواد المخيفة لكثير من الطلبة في إندونيسية. هكذا ما أرى كمعلم اللغة العربية لدى طلبة المدرسة المتوسطة المنورية. ولأجل ذلك، أستفيذ من عملية البحث الذي كلفتني الجامعة في توفير الشروط لنيل الماجستير فى حين، و تنفيذ طريقة تعليم اللغة العربية الفعالة في حين آخر.
لإزال النظر أن اللغة العربية صعب بكثير بما فيها من تعليم القواعد اللغوية، فأري الطريقة الطبيعية والمباشرة تحليلا لهذه المسألة، مع تعويد الدارسين على الممارسة في الكلام حتي تكون اللغة العربية شيئا عاديا لديهم، فأصمم موضوع البحث: "استخدام الحوار المباشر الطبيعي لتنمية مهارة الكلام"