Pertama-tama, perkataan “madînah” sendiri memang berarti “kota”. Selanjutnya, dari segi etimologis, perkataan itu berasal dari akar kata yang sama dengan perkataan “madaniyah” dan “tamaddun”, yang artinya “peradaban”, “civilization”. Maka secara harfiah “madînah” adalah tempat peradaban, atau suatu lingkungan hidup yang ber-”adab” (kesopanan, “civility”), tidak “liar”.
Dalam bahasa Arab, padanan istilah “madanîyah” ialah “hadlârah” (satu akar kata dengan perkataan “hâdlir” [Indonesia: “hadir”]) yang menunjuk kepada pengertian asal “pola hidup menetap di suatu tempat” (“sedentary”). Pengertian ini amat erat kaitannya dengan istilah “tsaqâfah”, suatu padanan dalam bahasa Arab untuk “budaya”, “culture”, tapi sesungguhnya juga mengisyaratkan pola kehidupan yang menetap di suatu tempat tertentu. Sebab peradaban dan kebudayaan, dalam arti idealnya, dapat diwujudkan hanya melalui pola kehidupan sosial yang menetap, “sedentary” (Inggris), tidak berpindah-pindah seperti dalam pola kehidupan kaum “nomad” (Inggris).
Oleh karena itu, konsep “madanîyah” tersebut akan menjadi lebih tajam pengertiannya jika kita letakkan dalam konteks pola kehidupan yang umum terdapat di Jazirah Arabia saat itu, yaitu pola kehidupan “badâwah”, “bâdiyah” atau “badw”, yang mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah, nomad, dan tidak teratur, khususnya pola kehidupan gurun pasir.
Bahkan sesungguhnya istilah itu mengisyaratkan pola kehidupan “primitif” (“tingkat permulaan”), sebagaimana ditunjukkan oleh etimologi istilah itu sendiri (“badâwah”, “badw” adalah seakar kata dengan “ib-tidâ’”¾seperti dimaksud dalam istilah “madrasah ibtidâ’îyah”, yakni “sekolah tingkat permulaan”). Karena itu orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah, tidak teratur, dan “kasar” dalam bahasa Arab disebut orang “badâwi” atau “badawî” (“badui”, yang juga dipinjam dalam bahasa Inggris menjadi “bedouin”), sebagai lawan dari mereka yang disebut kaum “hadlarî” atau “madanî”.