19.11.10

Menyambut Tahun Baru Hijriyah

Dalam Hijrah, di antara tindakan pertama Rasulullah Saw. segera setelah tiba di Yatsrîb ialah mengubah nama kota itu menjadi Madînah, atau, lengkapnya, Madînat al-Nabî, “Kota Nabi”. Ini bisa dibandingkan dengan perbuatan Raja Constantin dari Byzantium yang memberi nama Constantinopel (Constantinopolis, “Kota Konstantin”) kepada kota yang didirikannya. Tetapi Nabi tidaklah bermaksud untuk sekedar mengabadikan nama beliau seperti maksud raja Eropa itu. Dengan mengubah nama kota Yatsrîb menjadi Madinah itu Nabi memaksudkan sesuatu yang jauh lebih mendalam.

Pertama-tama, perkataan “madînah” sendiri memang berarti “kota”. Selanjutnya, dari segi etimologis, perkataan itu berasal dari akar kata yang sama dengan perkataan “madaniyah” dan “tamaddun”, yang artinya “peradaban”, “civilization”. Maka secara harfiah “madînah” adalah tempat peradaban, atau suatu lingkungan hidup yang ber-”adab” (kesopanan, “civility”), tidak “liar”.

Dalam bahasa Arab, padanan istilah “madanîyah” ialah “hadlârah” (satu akar kata dengan perkataan “hâdlir” [Indonesia: “hadir”]) yang menunjuk kepada pengertian asal “pola hidup menetap di suatu tempat” (“sedentary”). Pengertian ini amat erat kaitannya dengan istilah “tsaqâfah”, suatu padanan dalam bahasa Arab untuk “budaya”, “culture”, tapi sesungguhnya juga mengisyaratkan pola kehidupan yang menetap di suatu tempat tertentu. Sebab peradaban dan kebudayaan, dalam arti idealnya, dapat diwujudkan hanya melalui pola kehidupan sosial yang menetap, “sedentary” (Inggris), tidak berpindah-pindah seperti dalam pola kehidupan kaum “nomad” (Inggris).

Oleh karena itu, konsep “madanîyah” tersebut akan menjadi lebih tajam pengertiannya jika kita letakkan dalam konteks pola kehidupan yang umum terdapat di Jazirah Arabia saat itu, yaitu pola kehidupan “badâwah”, “bâdiyah” atau “badw”, yang mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah, nomad, dan tidak teratur, khususnya pola kehidupan gurun pasir.

Bahkan sesungguhnya istilah itu mengisyaratkan pola kehidupan “primitif” (“tingkat permulaan”), sebagaimana ditunjukkan oleh etimologi istilah itu sendiri (“badâwah”, “badw” adalah seakar kata dengan “ib-tidâ’”¾seperti dimaksud dalam istilah “madrasah ibtidâ’îyah”, yakni “sekolah tingkat permulaan”). Karena itu orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah, tidak teratur, dan “kasar” dalam bahasa Arab disebut orang “badâwi” atau “badawî” (“badui”, yang juga dipinjam dalam bahasa Inggris menjadi “bedouin”), sebagai lawan dari mereka yang disebut kaum “hadlarî” atau “madanî”.

16.11.10

ISLAM: MASA KEEMASAN DAN KEMUNDURANNYA

Sesuai catatan sejarah, umat Islam pernah mengalami masa keemasan dan masa kemunduran. Masa keemasan, yang oleh para ahli sejarah disebut periode klasik Islam terjadi antara tahun 650-1250 M. Pada periode ini, umat Islam bisa disebut apa yang saat ini diistilahkan dengan super power. Umat Islam menguasai sebagian besar negara-negara di tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Wilayah kekuaasaannya terbentang mulai dari Spanyol di sebelah Barat, dan India di sebelah Timur.

Pada periode ini juga, Islam melahirkan para ahli di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Tercatat sederet nama-nama yang sampai saat ini diabadikan bukan saja oleh kalangan umat Islam, tapi diakui oleh para ilmuan Barat. Ada Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, Ibn Hambal, Al-Asy’ari, Maturidi, Washil bin Atha’, Zunnun Al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Maskawaih, dan Ibn Sina. Selain pakar dalam bidang pemikiran (rasio), tokoh-tokoh tersebut juga dikenal kuat di bidang rasa, sehingga tidak diragukan bahwa mereka juga tergolong orang yang memiliki ketinggian akhlak.

Pada periode itu, Islam sebagai agama dan ajaran dipandang sangat menghargai potensi akal manusia. Ijtihad dan penalaran menjadi aspek penting yang perlu terus dikembangkan, karena ideal ajaran Islam memang sangat mendorong penggunaan daya pikir (Harun Nasution: 1990). Intinya, saat itu Islam menjadi agama yang sangat produktif, dinamis. Bukan agama yang belakangan terasumsi sebagaii agama yang fatalistis dan statis.

Akan tetapi, setelah masa itu Islam mengalami masa kemunduran. Hal ini diakibatkan karena perpecahan dan kejumudan umat Islam sendiri. Selain daerah-daerah yang tadinya berada di bawah kekuasaan umat Islam menjadi jajahan Barat, pada masa ini tidak ditemukan lagi tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti masa sebelumnya. Walaupun pada awal abad XIX Masehi umat Islam mulai bangkit kembali, tetapi sampai kini mereka masih banyak didominasi Barat (Abd al-Rahman:1982).

Kemunduran umat Islam tersebut menyadarkan para tokoh muslim untuk berpendapat mengenai faktor utama apa saja yang menyebabkan kemunduran umat Islam masa lalu. Masing-masing ahli tampaknya mempunyai kesimpulan yang beragam sesuai dengan keahliannya. Para teolog misalnya, berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan kerena teologi yang dianutnya bukan lagi teologi yang membawa dinamika.

Ahli fiqh juga punya pendapatnya sendiri. Mereka berpendapat bahwa faktor penyebab kemunduran mereka adalah hukum-hukum furu’iyah yang dijalankan tidak lagi menjiwai semangat Islam yang rahmatan lilalamin. Perdebatan sempit seputar fiqhiyah cukup menyita waktu umatt Islam hingga mengaburkan tugas esensi sebagai keniscayaan khaira ummatin.

Para ahli pendidikan muslim juga mempunyai pendapat sendiri seputar faktor kemunduran umat Islam. Bagi mereka, penyebab kemunduran umat Islam disebabkan adanya pendidikan yang salah. Pendidikan yang diselenggarakan tidak lagi menghasilkan anak didik yang dinamis dan tanggap terhadap kemajuan zaman. Pada abad ke-13 dunia Islam tersebar pendapat bahwa pintu-pintu ijtihad telah tertutup. Karenanya, pendidikan yang terjadi ketika itu bukan lagi melahirkan manusia yang dinamis melainkan fatalistis dan statis Tarikat dengan pengaruh negatifnya telah melanda dunia Islam.

15.11.10

HARAM SUSAH, APALAGI HALAL

Satu ketika, Khalifah Ali bin Abi Thalib kedatangan seorang peminta-minta. Ia lantas menyuruh putranya untuk memintakan uang dua Dinar pada ibunya, Fatimah binti Muhammad. Tidak lama kemudian, Fatimah datang dan memberitahu bahwa uang yang tersisa hanya enam Dinar. Rencananya untuk membeli makanan hari itu. Mendengar penjelasan sang istri, Ali lantas meminta semua uang dan memberikannya pada si pengemis tadi.

Beberapa saat kemudian, datang sorang tetangga dengan membawa seekor kambing dan menawarkannya pada Ali yang kemudian bertanya:
“berapa hendak kau jual kambing itu?”.
“Seratus empat puluh dinar” Jawab sang tetangga. Ali pun menyetujui harga yang ditawarkan, lalu berkata:
“Tolong ikatkan kambing itu di serambi rumah, dan kembalilah nanti sore untuk mengambil uangnya”.
Setelah mengikatkan kambingnya, si penjua tadi lantas pergi.
Tidak lama kemudian, datang lagi seseorang bertamu ke Ali, yang ternyata hendak membeli kambing yang dilihatnya ada di serambi rumah Ali. Singkat kata, sang tamu bertanya:
“Berapa hendak dijual kambing itu?”
“Saya akan menjualnya seharga dua ratus Dinar” Jawab Ali meyakinkan.
Setelah menyetujui, sang tamu lantas membayar sesuai harga yang diminta. Ali pun kini memegang dua ratus Dinar kontan.

Menjelang tengah hari, sesuai kesepakatan, si penjual kambing menemui Ali dan kemudian menerima uang seratus empat puluh Dinar. Sisanya, enam puluh Dinar, Ali serahkan kepada Istrinya yang lantas keheranan dan bertanya:
“Uang apa dan dari mana ini”?
Ali menjawab: “Ini adalah ganti dari uang yang pagi tadi kita edekahkan kepada pengemis, pagi tadi. Sesuai janji-Nya, Allah akan mengganti amal kebajikan seseorang sepuluh kali lipat. Kita telah bersedekah enam Dinar. Allah ganti enam puluh Dinar” Jelas Ali mengingatkan istrinya yang masih keheranan.
***

Kisah di atas adalah satu dari sekian cerita tentang janji Allah, akan memberikan rizki kepada hambanya yang bertaqwa, dengan cara yang tak disangka-sangka. Hal ini lantas membuat kita under-estimate menanggapai cerita ini. Selain karana Ali diyakini sebagai kekasih Allah, sepupu nabi ini juga seorang amir al-mu’minin. Jadi, mustahil cerita tersebut bisa dilakoni orang kebanyakan.

Mungkin memang sukar untuk meniru apa yang telah dicontohkan Ali ra. Namun jika dicermati lebih dalam, kesukaran tersebut, mungkin hanya pada satu aspek, yaitu kualitas ketaqwaan. Satu keyakinan yang hanya dimiliki hamba-hamba Allah yang “super”: tidak merasakan kecemasan sedikitpun dalam hal duniawi; yakin bahwa semuanya telah diatur oleh Sang Maha pengatur.

Toh demikian, ada satu hal yang juga inti, dan bisa dilakoni siapa saja dalam hal berpatner, yakni bisa percayaan. Kisah di atas menggambarkan bahwa Sayyidina Ali adalah sosok yang amanah, bisa dipercaya. Apa yang ia ucapkan, serta-merta diamini rekan-rekannya. Saat Ali katakan hendak membeli kambing, meski uangnya menyusul, sang tetangga langsung mempercayainya. Realita inilah yang mestinya disadari oleh semua pihak dalam berurusan.

Dalam realita sehari-hari, orang yang mendapatkan kepercayaan, pasti akan jauh lebih mudah berurusan dengan orang lain, dari pada orang yang tidak bisa menjaga kepercayaan. Senyatanya, sahabat atau kerabat kita seantiasa menilai sejauh mana kita bisa dipercaya. Semakin kita bisa dipercaya, semakin gampang kita berurusan dengan orang lain. Demikian juga sebaliknya: jika kita sudah tidak dipercaya lagi, intaian, pengawasan dan kecurigaan akan selalau mengintai gerak-gerik kita.

Kalau keadaan terakhir ini yang menimpa kita, alamat, segala urusan tidak akan berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Kecuali jika tipuan kita gunakan sebagai caranya. Kalau sudah begitu, tidak menutup kemungkinan kita juga akan mengamini ungkapan: “Mecari yang haram saja susah, apalagi yang halal”. Begitukah kita? Semoga tidak.