Satu ketika, Khalifah Ali bin Abi Thalib kedatangan seorang peminta-minta. Ia lantas menyuruh putranya untuk memintakan uang dua Dinar pada ibunya, Fatimah binti Muhammad. Tidak lama kemudian, Fatimah datang dan memberitahu bahwa uang yang tersisa hanya enam Dinar. Rencananya untuk membeli makanan hari itu. Mendengar penjelasan sang istri, Ali lantas meminta semua uang dan memberikannya pada si pengemis tadi.
Beberapa saat kemudian, datang sorang tetangga dengan membawa seekor kambing dan menawarkannya pada Ali yang kemudian bertanya:
“berapa hendak kau jual kambing itu?”.
“Seratus empat puluh dinar” Jawab sang tetangga. Ali pun menyetujui harga yang ditawarkan, lalu berkata:
“Tolong ikatkan kambing itu di serambi rumah, dan kembalilah nanti sore untuk mengambil uangnya”.
Setelah mengikatkan kambingnya, si penjua tadi lantas pergi.
Tidak lama kemudian, datang lagi seseorang bertamu ke Ali, yang ternyata hendak membeli kambing yang dilihatnya ada di serambi rumah Ali. Singkat kata, sang tamu bertanya:
“Berapa hendak dijual kambing itu?”
“Saya akan menjualnya seharga dua ratus Dinar” Jawab Ali meyakinkan.
Setelah menyetujui, sang tamu lantas membayar sesuai harga yang diminta. Ali pun kini memegang dua ratus Dinar kontan.
Menjelang tengah hari, sesuai kesepakatan, si penjual kambing menemui Ali dan kemudian menerima uang seratus empat puluh Dinar. Sisanya, enam puluh Dinar, Ali serahkan kepada Istrinya yang lantas keheranan dan bertanya:
“Uang apa dan dari mana ini”?
Ali menjawab: “Ini adalah ganti dari uang yang pagi tadi kita edekahkan kepada pengemis, pagi tadi. Sesuai janji-Nya, Allah akan mengganti amal kebajikan seseorang sepuluh kali lipat. Kita telah bersedekah enam Dinar. Allah ganti enam puluh Dinar” Jelas Ali mengingatkan istrinya yang masih keheranan.
***
Kisah di atas adalah satu dari sekian cerita tentang janji Allah, akan memberikan rizki kepada hambanya yang bertaqwa, dengan cara yang tak disangka-sangka. Hal ini lantas membuat kita under-estimate menanggapai cerita ini. Selain karana Ali diyakini sebagai kekasih Allah, sepupu nabi ini juga seorang amir al-mu’minin. Jadi, mustahil cerita tersebut bisa dilakoni orang kebanyakan.
Mungkin memang sukar untuk meniru apa yang telah dicontohkan Ali ra. Namun jika dicermati lebih dalam, kesukaran tersebut, mungkin hanya pada satu aspek, yaitu kualitas ketaqwaan. Satu keyakinan yang hanya dimiliki hamba-hamba Allah yang “super”: tidak merasakan kecemasan sedikitpun dalam hal duniawi; yakin bahwa semuanya telah diatur oleh Sang Maha pengatur.
Toh demikian, ada satu hal yang juga inti, dan bisa dilakoni siapa saja dalam hal berpatner, yakni bisa percayaan. Kisah di atas menggambarkan bahwa Sayyidina Ali adalah sosok yang amanah, bisa dipercaya. Apa yang ia ucapkan, serta-merta diamini rekan-rekannya. Saat Ali katakan hendak membeli kambing, meski uangnya menyusul, sang tetangga langsung mempercayainya. Realita inilah yang mestinya disadari oleh semua pihak dalam berurusan.
Dalam realita sehari-hari, orang yang mendapatkan kepercayaan, pasti akan jauh lebih mudah berurusan dengan orang lain, dari pada orang yang tidak bisa menjaga kepercayaan. Senyatanya, sahabat atau kerabat kita seantiasa menilai sejauh mana kita bisa dipercaya. Semakin kita bisa dipercaya, semakin gampang kita berurusan dengan orang lain. Demikian juga sebaliknya: jika kita sudah tidak dipercaya lagi, intaian, pengawasan dan kecurigaan akan selalau mengintai gerak-gerik kita.
Kalau keadaan terakhir ini yang menimpa kita, alamat, segala urusan tidak akan berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Kecuali jika tipuan kita gunakan sebagai caranya. Kalau sudah begitu, tidak menutup kemungkinan kita juga akan mengamini ungkapan: “Mecari yang haram saja susah, apalagi yang halal”. Begitukah kita? Semoga tidak.
Toh demikian, ada satu hal yang juga inti, dan bisa dilakoni siapa saja dalam hal berpatner, yakni bisa percayaan. Kisah di atas menggambarkan bahwa Sayyidina Ali adalah sosok yang amanah, bisa dipercaya. Apa yang ia ucapkan, serta-merta diamini rekan-rekannya. Saat Ali katakan hendak membeli kambing, meski uangnya menyusul, sang tetangga langsung mempercayainya. Realita inilah yang mestinya disadari oleh semua pihak dalam berurusan.
Dalam realita sehari-hari, orang yang mendapatkan kepercayaan, pasti akan jauh lebih mudah berurusan dengan orang lain, dari pada orang yang tidak bisa menjaga kepercayaan. Senyatanya, sahabat atau kerabat kita seantiasa menilai sejauh mana kita bisa dipercaya. Semakin kita bisa dipercaya, semakin gampang kita berurusan dengan orang lain. Demikian juga sebaliknya: jika kita sudah tidak dipercaya lagi, intaian, pengawasan dan kecurigaan akan selalau mengintai gerak-gerik kita.
Kalau keadaan terakhir ini yang menimpa kita, alamat, segala urusan tidak akan berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Kecuali jika tipuan kita gunakan sebagai caranya. Kalau sudah begitu, tidak menutup kemungkinan kita juga akan mengamini ungkapan: “Mecari yang haram saja susah, apalagi yang halal”. Begitukah kita? Semoga tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar