18.9.11

JASA TASAWWUF BAGI ISLAM DI INDONESIA

Sudah menjadi fakta sejarah bahwa sufisme pernah mengalami penyimpangan dari sunnah yang sangat jauh. Tetapi tidaklah adil kalau kita hanya menimpakan tanggung jawab penyimpangan ini pada dunia tasawuf. Karena kita juga tidak bisa mengingkari jasa-jasa yang pernah diberikan kaum sufi kepada agama Islam. Pada saat kaum Muslim mengalami kemun­duran dalam hal kekuatan politik dan militer, serta mundur­nya kegiatan intelektual Islam pada abad-abad ke-12 dan ke-13, gera­kan-gerakan sufilah yang memeli­hara jiwa keagamaan di kalangan kaum Muslim.

Mereka pula­lah yang menjadi perantara bagi tersebarnya agama Islam keluar dari daerah Timur Tengah, teruta­ma ke Asia Tenggara, terma­suk Indonesia dan pedalaman Afri­ka. Para peda­gang, pengembara, dan pengamal tasawuf merupakan juru tabligh utama penyebaran agama Islam ke daerah-daerah tersebut, baru kemu­dian tugas itu diteruskan dan diselesaikan oleh ulama-ulama ahli fiqh dan ahli kalam.


Bahkan, di beberapa tempat, seperti di India, struktur organisasi gerakan tasawuf telah membentuk masyarakat setempat begitu rupa sehingga mendekati pola-pola yang ada di dunia Islam (Timur Tengah), dan ini sangat mendukung bagi penyebaran Islam selanjutnya. Di tempat-tempat yang terdapat pengikut tarekat hampir selalu bisa ditemukan suatu pondokan atau zâwiyah guna menampung para fakir yang hendak melakukan wirid atau suluk. Zâwiyah itu dalam perkembangannya berubah menjadi gilda-gilda dan pusat-pusat kegiatan ekonomi, pusat pendidikan, bahkan tidak jarang menjadi cikal bakal kekuatan politik yang besar pengaruhnya di kemudian hari.


Keadaan serupa juga berlaku di Indonesia. Pusat-pusat penyebaran Islam yang mula-mula, khususnya di Jawa seperti di daerah Ampel dan Giri, agaknya merupakan sambu­ngan sistem zâwiyah di India dan Timur Tengah, yang kemudian berkembang menjadi pondok atau pesantren seperti yang kita kenal sekarang. Dianggapnya para tokoh penyebar ajaran Islam itu sebagai wali yang keramat menunjukkan kuatnya pengaruh segi tasawuf dalam ajaran-ajarannya. Sebab, kepercayaan kepada wali merupakan bagian penting dalam rangkaian faham sufi.


Tentang bagaimana bentuk hubungan yang sebenarnya antara sufisme dengan mistik Jawa yang kemudian dikenal dengan kebati­nan pernah menjadi bahan diskusi yang hangat di Indonesia. Satu hal yang barangkali mendekati kepastian adalah bahwa pembawa­an-pembawaan mistis pada orang Jawa khususnya dan orang Indo­nesia umumnya – yang merupakan warisan ajaran-ajaran agama Hindu-Buddha – telah membantu mematangkan kesiapan bangsa kita menerima kedatangan agama Islam melalui tasawufnya itu.

Sebaliknya dalam perkembangannya, sufisme telah ikut mempengaruhi ajaran-ajaran mistik setempat, sehingga terdapat perbendaharaan keislaman padanya. Memang dalam kenyata­annya, ajaran-ajaran tasawuf meru­pa­kan bagian dari ajaran-ajaran Islam yang paling mudah dan cepat menyesuaikan diri dengan unsur-unsur mistik setempat.

Tetapi, kalau kita lihat para pengikut tasawuf di pesantren-pesantren di Jawa, ternyata mereka tidak begitu paham dengan sastra mistik Jawa sendiri. Umumnya mereka tidak mengenal bacaan-bacaan mistik seperti yang dikenal dalam dunia kebatinan atau kejawen. Bahkan mereka meman­dang bacaan-bacaan itu dengan curiga. Dalam mengamalkan tasawuf ini mereka hanya bersandar pada sumber-sumber berbahasa Arab seperti yang diajarkan oleh kiai atau guru mereka.

Meskipun pesantren atau pon­dok merupakan perkembangan dari sistem zâwiyah yang dikembangkan kaum sufi, tetapi bukan berarti setiap pesantren merupakan pusat gerakan tasawuf. Pada saat ini pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan dan penga­jaran. Sedangkan yang melakukan peranan sebagai pusat gerakan tarekat (tasawuf) hanya sedikit. Lebih sedikit lagi adalah pesantren yang mengkhususkan diri dalam bidang tasawuf sebagai objek pengajarannya.

Sufisme di Indone­sia agaknya terbatas pada segi-segi yang praktis, sedangkan segi pemi­kiran kontemplatifnya sangat kurang. Karena itu perkataan “tare­kat” (yaitu jalan atau ajaran berta­sawuf yang bersifat praktis) adalah lebih dikenal daripada perkataan tasawuf, khususnya di kalangan para pengikut awam yang justru menjadi bagian terbesar dari pengikut tasawuf ini.