TELAAH PEMBELAJARAN BAHASA ARAB UNTUK PEMAHAMAN AL-QUR’AN BAGI NON-ARAB: ANALISIS NAHWU IMAM SIBAWAIH
(الإطلاع على تعليم اللغة العربية لفهم القرآن لغير العرب: تحليل النحو لإمام السيبويه)
Oleh: Zulfan Syahasnyah
Sebagai muslim non-Arab yang berkonsentrasi pada kuliah Pembelajaran Bahasa Arab (PBA), tema penelitian di atas senyatanya merupakan kesatuan rangkuman aspek-aspek mendasar berupa kewajiban, keinginan, juga mungkin kelayakan bagi peneliti. Dipandang sebagai kewajiban, karena penelitian ini berusaha memaparkan kembali tujuan utama pembelajaran bahasa Arab bagi kalangan non-Arab: yakni upaya memahami al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Dari sini saja, kiranya kita mafhum jika ada asumsi bahwa Islam sebagai agama identik dengan bahasa Arab. Sebab keseluruhan ajaran Islam terangkum dalam al-Qur’an dan hadis nabawi yang berbahasa Arab. Bukankah setiap muslim diwajibkan memahami ajaran agamanya secara benar? Maka kewajiban memahami ajaran Islam berdampak pada kewajiban memahami bahasa Arab, sebagai mediasinya, meski hanya bersifat reseptif. Sebuah kaidah fiqih menjelaskan: “ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib” (sesuatu yang tanpanya tidak terlaksana satu kewajiban, maka sesuatu itu pun juga wajib)
Selain sebagai kewajiban, tugas penelitian ini juga pada hakekatnya menjadi bagai sebuah ajang pencapaian hasrat yang sekian lama mengendap. Sejujurnya, sejak usia dini, tepatnya saat peneliti mulai mengenal bahasa Arab sebagai satu materi pembelajaran, khususnya sub materi PBA yang berkaitan dengan gramatika, peneliti sudah “akrab” dengan nama-nama ulama yang identik dengan kajian bahasa Arab. Di antara sekian nama tersebut, yang paling masyhur bagi umat Islam di Indonesia pada umumnya adalah Ibnu Malik dengan kitabnya Alfiyah, dan tentunya ‘Amru bin ‘Usman al-Qunbar, atau yang terkenal dengan sebutan Imam Sibawaih. Pada penelitian kali ini, peneliti secara khusus ingin mendalami siapa dan apa karakteristik Imam Sibawaih, khususnya seputar pemikirannya tentang Nahwu (gramatika bahasa Arab).
Sebagaimana diketahui, Imam Sibawaih adalah sosok ulama non-Arab (‘ajam) yang telah berjasa besar bagi perkembangan ilmu bahasa Arab. Bahkan bisa dibilang kalau Sibawaih termasuk yang paling berjasa dalam meletakkan istilah-istilah dasar ilmu Nahwu, khususnya di Bashrah. Pastinya, terlalu banyak alasan untuk peneliti ungkapkan sebagai alasan kenapa menjadikan Sibawaih dengan kajian-kajiannya seputar ilmu Nahwu sebagai objek penelitian. Di antara sekian banyak alasan, seperti pemaparan di atas, kenyataan bahwa Sibawaih adalah sosok non-Arab yang menguasai ilmu bahasa Arab adalah hujjah dominan bagi peneliti. Maka asumsi pun muncul: tidak mungkin Sibawaih melakukan semua itu tanpa adanya motifasi yang kuat. Maka pertanyaanya kemudian: apa motif Sibawaih mendalami dan menguasai bahasa Arab sebagai bahasa asing? Bagaimana ia memandang bahasa Arab? Adakah alasan yang lebih utama selain keberadaannya sebagai muslim yang dituntut memahami ajaran-ajaran Islam yang berbahasa Arab, terutama al-Qur’an?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, peneliti berusaha mencari benang merah antar materi ilmu Nahwu Sibawaih dengan pemahaman al-Qur’an. Untuk kajian ini, peneliti telah menyesun tahapan-tahapan kajian secara sistimatis. Tentu saja, peneliti berusaha agar tidak apologiz dalam mengkaji dan menelaah pemikiran ulama asal Persia itu, sebagai landasan dan syarat pengungkapan fakta secara objektif dari data-data yang semaksimal mungkin peneliti usahakan pengumpulannya. Dengan kajian yang mendalam, serta telaah atas teks-teks karya Imam sibawaih, baik berupa karangannya langsung, atau pandangan para pengikutnya, juga mereka yang mengkritisinya secara tertulis, penelitian berupaya menguak fakta dan realita dimana posisi Nahwu Imam sibawaih dalam korelasinya antara PBA sebagai ilmu terapan sebagaimana kajian bahasa pada umumnya, dan PBA dalam upaya pemahaman al-Qur’an bagi kalangan non-Arab.
Dengan pengungkapan data-data seperti dimaksud, peneliti melihat perlunya merekonstruksi ulang posisi PBA bagi kalangan non-Arab, semisal di Indonesia. Artinya, perlu ada ketegasan memposisikan bahasa Arab sebagai bahasa Asing bagi rakyat Indonesia. Karena tidak etis jika mensejajarkannya dengan basaha Indonesia sebagai bahasa nasional. Dengan posisinya ini, bahasa Arab masuk pada ranah kognitif yang memerlukan pembelajaran intensif sebagai pengetahuan baru, seperti halnya teori bahasa menurut Leonard Bloomfield. Untuk tujuan ini, peneliti melihat kelayakan kajian ini sebagai body of knowledge peneliti: masuk pada area Pembelajaran bahasa Arab.
Dengan klasifikasi metode dan jenisnya, penelitian ini masuk pada kajian Analisi Isi (Content Analysis). Yakni satu metode -seprti ditulis Mujia Raharjo- paling awal untuk menganalisis teks dan bahasa; fokus pada penggalian makna dan apa yang tampak; apa yang ditulis orang, namun tidak untuk memberikan penjelasan atau alasan bagaimana sesuatu itu disampaikan.
Sebagai dasar rujukan, selain data primer dan sekunder, penelitian ini tentunya berangkat dari beberapa penelitian sebelumnya. Sampai catatan ini ditulis, peneliti masih belum menemukan hasil penelitian yang berkesesuaian langsung dengan rencana penelitian ini. Namun demikian, ada beberapa penelitian yang turut menginspirasi kajian ini. Di antaranya:
- “Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammam Hassan”, yang dipertahankan oleh Muhbib Abdul Wahab pada siding senat terbuka di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 2008.
- “Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hermeneotis”, oleh Aksin Wijaya, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2008.
Pada hasil penelitian pertama, peneliti dapat mempelajari bagaimana Muhbib menguak fakta teori linguistic Tammam Hassan. Sebagai asumsi dasar, peneliti juga bisa menelaah bagaimana karakteristik pemikiran Nahwu Tammam Hasan. Pada titik ini, penulis memanfaatkan sistimatika serta cara penyimpulan Muhbib dari data-data yang didapat. Sedangkan untuk penelitian kedua, peneliti berusaha mempelajara pengungkapan realita dampak satu pemahaman (filsafat) untuk memahami al-Qur’an. Dari sini, peneliti bisa menelaah teori-teori penyimpulan dalam memahami teks al-Qur’an.
Kiranya, untuk sementara, ini saja yang bisa peneliti paparkan seputar rencana penelitian dengan tema di atas. Selebihnya, peneliti berharap agar hasil kajian ini bisa berkontribusi banyak bagi semua pihak, khususnya penggiat PBA non-Arab di Indonesia. Semua itu tidak lain agar bahasa Arab semakin menemukan perannya. Minimal, realita dan citra bahasa Arab di Indonesia bisa semakin mengejar idealitanya yang memang dianggap sebagai bahasa “suci” bagi umat Islam. Wallahu a’lam bi alshawab.