27.7.12

PUASA RAMADAN DAN KETAQWAAN



Jamaah shalat Jum’at rahimakumullah
Alhamdulillah, sepekan sudah kita jalankan kewajiban ibadah puasa Ramadan tahun ini. Sebagai muslim, sepatutnyalah kita terus berusaha menggali nilai-nilai penting atau pelajaran dari semua ibadah yang kita kerjakan. Hal itu penting, agar ritual pelaksanaan ibadah tidak berhenti hanya sekedar menjalankan kewajiban belaka. Semua ibadah kita yakini memiliki dimensi yang sejatinya kembali untuk kemaslahatan umat manusia itu sediri. Termasuk juga ibadah puasa sebagai kewajiban tahunan bagi kita umat Islam.
Kita ketahui bersama bahwa muara akhir diwajibkannya ibadah puasa adalah untuk menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertaqwa. (لعلكم تتقون). Tujuan inilah yang seharusnya kita kaji dan pelajari; atau jika perlu, kita pertanyakan ulang: bagaimana keterkaitan antara puasa dengan peningkatan nilai taqwa yang setiap saat kita upayakan?! Pada titik ini, umat Islam sejatinya dituntut untuk cerdas memahami permasalahan; kita berkewajiban memahami penegasan Al-Qur’an tentang puasa dan ketaqwaan.

Kaum muslimin sekalian yang berbahagia
Di antara semua ibadat, yang paling bersifat pribadi adalah puasa, dalam arti bahwa yang tahu kita berpuasa atau tidak hanyalah kita dan Tuhan, orang lain tidak. Saat kita lapar atau dahaga, tanpa sepengetahuan manusia, bisa saja kita makan dan minum. Namun kita tetap menahan diri untuk tidak melakukannya. Kenapa? Itu sebetulnya merupakan latihan bersikap jujur kepada Allah swt dan juga kepada diri sendiri.

Sementara itu, dalam ibadat selain puasa, kita dianjurkan menampakkannya. Kewajiban shalat, umpamanya, kita disunnatkan berjamaah, karena berjamaah mempunyai fungsi sosial: memperkuat ikatan komunitas salat. Ibadah Haji, apa lagi. Tidak ungkin kita melaksanakannya sendirian. Zakat lebih menarik lagi, karena dalam Al-Quran ada indikasi bahwa Tuhan tidak peduli, apakah orang yang membayar zakat itu ikhlas atau tidak. Yang penting dari zakat adalah orang miskin tertolong, karena tujuan zakat adalah menolong orang miskin. Ketiga jenis ibadah di atas sangat kentara dampak sosialnya. 

Sekali lagi, di antara ibadat-ibadat, yang paling bersifat pribadi adalah puasa. Puasa merupakan latihan menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup; Tuhan selalu beserta kita, di mana pun kita berada. Inilah inti dari takwa: kesadaran bahwa dalam hidup ini kita selalu mendapat pengawasan dari Allah Swt. yang gaib. Ya, Allah merupakan Dzat yang Ghaib. Tentang kegaiban Allah, suatu ketika nabi Musa bersikeras ingin melihat Allah, setelah dituruti, belum sampai melihat Dzat Allah, Musa tidak kuat, lalu roboh tidak sadarkan diri. Hal ini bisa menjadi pelajaran bahwa memang kegaiban itu tidak perlu penyingkapan, cukup diimani saja.  Dalam Qur’an ditegaskan:
 (ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين # الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة)
Artinya: “Inilah Kitab yang tiada diragukan; suatu petunjuk bagi mereka yang bertakwa maka indikasi pertama takwa adalah, Mereka yang beriman kepada yang gaib (Q., 2: 2-3).
Dari sini kita faham, ternyata moralitas yang sejati me­merlukan dimensi kegaiban, yaitu bagaimana orang tetap berbuat baik dan menghindar dari kejahatan meskipun tidak ada yang tahu, karena Allah tahu. Karena itu, dasar kehidupan yang benar ialah takwa kepada Allah Swt., dan takwa kepada Allah itu sifatnya pribadi: tidak ada yang tahu bahwa kita bertakwa kepada Allah atau tidak, kecuali kita sendiri dan Allah Swt., dan bahkan mungkin kita sendiri juga tidak tahu. Oleh karena itu, kita harus selalu berdoa kepada Allah, Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (Q., 1: 6).

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah
Serupa dengan ketaqwaan, keikhlasan juga bersifat rahasia. Ada sebuah ungkapan dalam kitab tasawuf yang artinya begini, “Amal perbuatan adalah gambar yang mati, dan ruhnya adalah rahasia keikhlasan di dalamnya.” Mengapa ada ungkapan rahasia? Ini sebetulnya berdasarkan hadis Nabi yang menceritakan: ada orang bertanya kepada beliau mengenai ikhlas,  dan ternyata Nabi tidak tahu. Nabi kemudian bertanya kepada Jibril. Jibril pun tidak tahu. Lalu, melalui Jibril, Nabi bertanya kepada Allah Swt. Allah Swt. pun menjawab, “Ikhlas itu adalah salah satu dari rahasia-rahasia-Ku yang Aku titipkan di dalam hati para hamba-Ku yang Aku cintai.
Jadi sedemikian rahasianya ikhlas, malaikat pun tidak bisa tahu sehingga tidak bisa mencatat, dan setan pun tidak bisa tahu sehingga tidak bisa merusak. Itulah ikhlas, dan ikhlas ada korelasinya dengan takwa, sehingga ada sebuah ayat yang menjelaskan bahwa manusia tidak boleh merasa sok suci,
(هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ اْلأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلاَ تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى)
Dia lebih tahu tentang kamu ketika Ia mengeluarkan kamu dari bumi, dan ketika kamu masih tersembunyi dalam rahim ibumu. Karenanya,  janganlah kamu mengganggap diri kamu suci. Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari kejahatan (Q., An-Najm: 32). Sebagai penutup kita tegaskan: Jangan merasa sok suci, dan jangan pernah menilai kwalitas ketaqwaan orang lain. Karena sebenarnya kita sendiri tidak tahu apakah kita sudah benar-benar bertaqwa atau tidak. Takwa itu ada di dalam dada, bersifat sangat pribadi dan, karena itu, dimensinya pun langsung dengan Tuhan (habl-un min-a ‘l-Lâh).
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم و نفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو البر الرؤوف الرحيم. وقل رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين














MENYAMBUT RAMADAN



الحمد لله الذي فضل أوقات رمضان على غيره من الأزمان وأنزل فيه القرآن هدى وبينات من الهدى والفرقان ، أحمده سبحانه وأشكره، أشهد أن لا أله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن نبينا محمدا عبده ورسوله الذي كان يخص رمضان بما لم يخص به غيره من صلاة وتلاوة وصدقة وبر وإحسان
 اللهم صل عليه وعلى آله وأصحابه الطاهرين الذين آثروا رضا الله على شهوات نفوسهم فخرجوا من الدنيا مأجورين وعلى سعيهم مشكورين وسلم تسليماً كثيراً إلى يوم الدين  .
أما بعد : فيا عباد الله أوصيكم ونفسي بتقوى الله، فهي جماع الخير كله فاجعلوا بينكم وبين عذاب الله وقاية بفعل الأوامر وترك النواهي

Kaum muslimin sekalian, rahimakumullah.
Pertama dan yang paling utama, saya mengajak diri pribadi dan segenap hadirin untuk bersama-sama kita tingkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah SWT. Hanya dengan itulah, hidup ini akan semakin bernilai baik di dunia, terlebih di akhirat kelak. Tanpa ketaqwaan, apapun yang kita miliki, juga apapun yang kita upayakan, tidak akan pernah ada nilainya. Hanya kerugian dan kerugian semata yang kita alami. Naudzu billah min dzalika…

Jama’ah shalat Jum’at yang berbahagia…
Sesuai akidah, kita semua adalah umat Nabi Muhammad SAW., sekaligus menjadi umat penutup, alias umat terakhir. Sebagai umat terakhir, selayaknya kita bisa membaca perbedaan antara kita dengan umat-umat terdahulu. Tentunya, lain kita, lain pula umat terdahulu. Ada klasifikasi yang membedakan antara satu umat dengan lainnya.
Bisa jadi ada banyak ciri khas yang membedakan. Dibutuhkan penelitian sejarah untuk membuktikannya. Toh demikian, jika sejenak direnungkan, setidaknya ada tiga ciri khas umat Muhammad yang membedakan sekaligus menjadi keunggulan tersendiri jika dibandingkan dengan umat lainnya.
          Ketiga ciri khas tersebut adalah: diwahyukannya al-Qur’an sebagai kitab suci, dipilihnya sosok Muhammad sebagai rasul-Nya, dan relatif dipersingkatnya usia. Tentang kitab suci Al-Qur’an, kita patut bangga, karena penjagaannya langsung dilakukan oleh Allah SWT. Dijelaskan:
إنا أنزلناه الذكرى وإنا له لحافظون (الأية)
“Kami telah menurunkan al-Qur’an sebagai pengingat, dan kami juga lah yang menjaga kemurnian isinya”. Pada titik ini, kita bisa melihat bagaimana kitab-kitab Allah sebelum al-Qur’an telah diselewengkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Pastinya, masih terlalu banyak keistimewaan al-Qur’an sebagai kitab suci bagi umat Muhammad yang bisa dibanggakan.
          Hal selanjutnya yang perlu dibanggakan sebagai umat nabi Muhamad adalah realita pribadi Rasulullah sendiri. Sebuah hadis qudsi menjelskan:
لولاك لولاك يا محمد، ما خلقت هذه الكائنات
“Jika bukan karena engkau, hai Muhammad, niscaya tidaklah aku ciptakan dunia beserta isinya ini”. 

Kaum muslimin yang berbahagia...
            Kiranya tidk perlulah saya berapologis dengan banyak komentar seputar dua keutamaan umat nabi Muhammad tadi; tentang keutamaan al-Qur’an dan keistimewaan sosok Nabi Muhammad. Hal tersebut sangat bergantung pada kualitas keimanan kita. Meski secara defakto telah terbukti, namun tetap saja akan menyisakan prasangka subjektif di kalangan mereka yang tidak seiman.
          Waba’du, tersisa satu ciri khas yang bisa kita cermati menjadi sebuah kajian yang logis-rasional; yakni relatif dipersingkatnya usia. Jika dibandingkan dengan usia umat-umat terdahulu, usia manusia yang hidup saat ini memang relatif singkat. Kata Rasul: usia umatku berkisar antara 60 sampai 70 tahun saja. Angka tersebut sangat singkat kalau melihat usia orang-orang dahulu yang konon mencapai ratusan tahun.
          Usia nabi bisa menjadi presentasi bagi usia umatnya. Nabi Muhammad sendiri usianya sekitar 63 tahun saja Maka usia umat beliau tidak jauh dari itu. Sangat jarang yang melebihi usia 70 tahun. Jika ada, julukan yang pas adalah lanjut usia. Tidak demikian dengan usia umat-umat terdahulu. Ini bisa dilihat dari usia para nabi mereka.
          Nabi Adam usianya sampai 930 th; nabi Nuh, lebih lama lagi, sampai 1000 th. Nabi Ibrahim, usianya sampai 195 th; nabi Sulaiman, 180 th; nabi Zakaria mendekati usia 300 th. Begitu seterusnya. Maka, bisa dipastikan bahwa usia umat-umatt terdahulu menyamai usia nabi mereka. 
          Pertanyaannya, dimana letak keutamaan umat nabi Muhammad yang berusia relatif singkat? Satu contoh analogis: jika dua hamba Allah yang selama hidupnya selaluu beribadah dan berbuat kebajikan, yang satu berusia 50 tahun, dan lainnya berusia 100 tahun, maka bisa dipastikan: orang yang berusia sampai 100 tahun mempunyai peluang lebih banyak mendapatkan ganjaran dibanding mereka yang hanya hidup cuma sampai 50 th??!!! Dimana letak keutamaan berusia relatif singkat bagi kita umat nabi Muhammad?
          Disinilah lagi-lagi Allah memanjakan kita umat Muhammad. Bagi kita disiapkan satu nilai kuadrat dalam kebajikan, yakni barokah. (ziyadatu al-khair fi syai’: bertambahnya nilai kebaikan dalam urusan). Ada dua macam barokah: barakatun mahalliyah dan barakatun zamaniyyah. Banyak tempat-tempat yang penuh barakah bagii kita. Saah satunya, seperti sabda nabi adalah masjid-masjid mulia dalam Islam. Ada masjid Haram di Makkah, masjid Nabawi di Madinah dan masjid Aqsha di Palestina.
          Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini lebih baik daripada 1000 shalat di tempat lain, kecuali di Masjid Al-Haram.” (HR. Muslim no. 1394). Menurut riwayat, shalat di masjidil Haram bisa berlipat 100.000 kali. Bayangkan, bagi kita yang bisa pergi ke Tanah Suci, dan shalat selama sebulan –umpamanya- di masjidil Haram, secara matematis, perbandingannya akan sama dengan ganjaran umat lainnya dengan jangka waktu bertahun-tahun. Demikian contoh kalkulasi yang nampak dari barakah mahaliyyah bagi umat Muhammad.
          Bagi kita yang belum ditaqdirkan bisa datang ke tanah Haram, baik karena faktor biaya atau karena alasan lain, jangan khawatir, ada barakah lain yang disediakan bagi kita umat nabi Muhammad, yakni barakah zamaniyyah: barakah waktu. Banyak sekali waktu-waktu yang penuh barakah bagi umat Islam. Namun di antara sekian banyak waktu yang ada, ada satu waktu yang nilai kebarokahannya melimpah, dan terhitung paling lama. Bayangkan, sebulan penuh. Waktu tersebut adalah bulan suci Ramadan. 

Hadirin jama’ah shalat Jum’at rahimakumullah
          Jika barakah tempat seperti shalat di masjid al-Haram sudah terbilang kelipatan ganjarannya, maka dalam Ramadan ini justru tidak terungkap secara eksplisit. Dan lagi-lagi Allah sendiri yang akan memberikan ganjarannya. Dalam hadis qudsi dijelaskan:
كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به
semua amal ibadah manusia pada hakekatnya untuk mereka, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa itu untuk-Ku (kata Allah), dan Aku-lah yang akan memberikan ganjarannya”. Dari sini bisa difaham, sedemikian besarnya ganjaran ibadah puasa, hingga hitungan matematis tidak cukup mewakili sebagai perlambang besarnya ganjaran ibadah puasa.
          Sedemikian berlimpahnya barakah Ramadan, hingga penalaran logis manusia tidak mampu melukiskannya. Alias tidak masuk akal. Indikasi ini tergambar dalam sebuah hadis:
خلو فم الصائم أطيب من ريح المسك
bau mulutnya orang yang berpuasa, bagi Allah justru lebih harum dibandingkan wewangian parfum yang paling harum sekalipun”. Bagaimana kita bisa menganalogis antara bau mulut dengan parfum? Lebih-lebih bau mulut orang yang berpuasa. Maka, jelaslah betapa besar barakah serta ganjaran yang disediakan bagi kita dalam bulan Ramadan. Sedemikian besarnya, sampai-sampai andaikan kita mengetahuinya, maka seluruh bulan dalam setahun kita harapkan menjadi bulan Ramadan semuanya. Seperti sabda Rasul:
لو عرف الناس ما في رمصان لتمنوا أن تكون السنة كلها رمضان
Andai saja manusia mengetahui keutamaan-keutamaan dalam bulan Ramadan, maka niscaya mereka akan mengharap agar sepanjang tahun menjadi Ramadan.

Kaum muslimin sekalian...
          Kiranya tidak akan cukup waktu jika saat ini kita membicarakan seputar fadilah dan barokah bulan Ramadan. Satu hal yang perlu kita fahami: Ramadan adalah anugrah. Maka selayaknya kita melihatnya sebagai kesempatan untuk berlomba-lomba melakukan amal ibadah dan kebajikan, dengan penuh keimanan dan hanya mengharap ridla Allah SWT.
          Intinya, meski kita sebagai umat Nabi Muhammad berusia relatif singkat, namun peluang memperbanyak ganjaran kebajikan tetap terbuka untuk menyaingi umat-umat lain yang berusia jauh lebih panjang. Peluang itu salah satunya berada di bulan Ramaadan yang beberapa hari lagi menjelang.
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan karena keimanan dan mengharap ridla Allah, maka niscaya segala dosa-dosanya yang terdahulu diampuni oleh Allah SWT. Wallahu a’lam bi al-shawab...
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم و نفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو البر الرؤوف الرحيم. وقل رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين.