19.10.10

ISLAM DAN STUDI AGAMA

ISLAM DAN STUDI AGAMA
Oleh: Zulfan Syahansyah

I. Muqadimah
Tidak jarang kita saksikan tindakan dan prilaku seseorang yang masih mencampuradukkan antara kebenaran dan kemajuan. Apa yang dilihatnya sebagai kemajuan, serta-merta akan menilainya benar. Padahal, ideal kebenaran berbeda dengan kemajuan. Kebenaran bersifat non-comulative (tidak bertambah), sementara kemajuan itu bersifat cumulative (bertambah). Maksudnya, nilai kebenaran akan tetap demikian adanya sepanjang waktu, sedangkan standar kemajuan itu berkembang mengikuti waktu. Agama, filsafat, dan kesenian termasuk katagori non-cumulative.
Sesuatu yang dianggap benar sejak dahulu kala, sampai saat ini masih bisa diterima sebagai hal yang juga benar. Tentu saja kebenaran yang penulis maksud setelah melalui proses atau mekanisme kebenaran. Jika ada perubahan, maka apa yang sebelumnya dianggap benar, akan bergeser menjadi kurang benar, atau berbalik menjadi salah. Bagi yang menerima kebenaran filsafat Aristoteles, Ibnu Ruysd, selamanya tetap menaganggap benar, selama belum ada pemikiran lain yang “mempengaruhi” mindside-nya kemudian.
Pragmatisme adalah sebuah teori kebenaran yang mula-mula berkembang di Amerika, yang dikembangkan oleh William James (1842-1910), seorang profesor terkemuka di Harvard. Teori ini berkembang sejak tahun 1970, dengan inti ajaran, bahwa kepercayaan itu akan menjadi benar adanya jika ada unsur guna. Ukuran dari kebenaran ialah, apakahh kepercayaan dapat mengantar orang pada tujuan. Pragmatisme menolak pandangan tentang kebenaran kaum rasionalis dan idealis, karena pandangan mereka tidak berguna dalam kehidupan praktis. William tidak menolak keberagamaan sebagai sebuah pengalaman, bukan sebagai kebenaran.
Tentu saja Islam tidak seperti itu menilai sebuah kebenaran. Ajaran Islam menegaskan kebenaran hanya datang dari Tuhan (QS. 18:29), berguna atau tidak dalam kehidupan praktis, jika itu dari Tuhan, keimanan menuntut seorang muslim bahwa hal itu adalah kebenaran. Lebih dipertegas, jangan sampai kemajuan memperdaya kebenaran. Demikian kira-kira Islam menjelaskan umatnya dalam menentukan sebuah kebenaran. Hal ini penting penulis ketengahkan sebagai pijakan dasar lebih memahami agama (Islam). Dan bagaimana seorang muslim harus bersikap, berkata dan dan berfikiran sesuai tuntunan ajaran agamanya.
II. Lebih Memahami Islam
Sebagai muslim, idealnya kita dituntut menjadi orang Islam yang kaffah. (QS. 02:208), dan otentik (QS. 19:36). Dituntut menjadi muslim kaffah atau menyeluruh, dalam hal berfikir, berkata dan berbuat. Sedangkan tuntutan menjadi muslim yang otentik, maksudnya tidak tercemar dengan ajaran lainya. Dua tuntutan itu hanya terbatas mengenai akidah, ibadah, syariat, dan akhlaq. Pertanyaannya kemudian, apakah dua tuntutan itu menjadikan umat Islam kaku, tidak fleksibel? Inilah point utama penulis mengetengahkan makalah ini.
Agar objektif, tentunya kita tidak akan menjawab pertanyaan di atas secara apologetik. Namun secara teoritis kita telaah melalui kacamata historis periode awal ajaran Islam yang dilakoni oleh Rasulullah selaku pembawa risalah dan para generasi-generasi awal di masa beliau. Selanjutnya, kita menilik perbandingannya dengan ajaran-ajaran yang belakangan menggejala sebagai “ajaran modern” dalam lingkup global. Hal ini jugalah yang senyatanya menjadi pemikiran umat Islam dalam memahami agamanya, untuk selanjtnya dikembangkan sebagai standar ideal pendidikan agama.
Idealitanya, Islam adalah agama yang sangat luas, mendalam, dan terpadu. Cakupan ajarannya tidak hanya berkutat seputar fiqih (hukum). Dalam sumber ajaran utamanya (Al-qur’an dan as-Sunnah), Islam juga berbicara pada semua aspek kehidupan manusia, baik dalam kapasitas sebagai indifidu, juga sebagai kelompok masyarakat. Pemahaman ajaran hablun minallah dan hablun minannas, tak lain sebagai satu-kesatuan ajaran Islam yang kompleks.
Karena bersifat bimbingan dan pengajaran, Islam juga hakekatnya “sesuatu” yang dicari manusia. Ia datang dari dzat yang menciptakan manusia, kehidupan dan segala permasalahnnya, yang tentunya lebih mengerti akan eksistensi manusia, dibandingkan manusia itu sendiri. Islam adalah keyakinan universal yang dirancang sederhana, mudah dan logis untuk difahami, serta applicable. Selanjutnya, berikut ini sengaja penulis ketengahkan contoh-contoh nyata ajaran Islam yang langsung diteladani oleh Baginda Rasulullah. Penulis tidak akan banyak menyertakan nas-nas qur’ani atau hadis yang justru terkesan apologetik.
III. Persamaan Kedudukan Dalam Islam
Dalam banyak buku sirah nabawiyyah wal khulafaurrasyidin, banyak kita jumpai ajaran-ajaran seputar persamaan kedudukan manusia. Satu contohnya, apa yang terjadi pada tahun 636 M, ketika Umar bin Khattab bepergian ke kota Qudsi untuk menerima penyerahan kekuasaannya dari kaisar Romawi kepada pemerintahan Daulah Islamiyah. Menurut riwayat, kota Qudsi sebelumnya berada di bawah kekuasaan Romawi-Nasrani, setelah peralihan kekuasaannya dari Bani Israil, selama tidak kurang tujuh abad.
Selama perjalanan, Khalifah hanya membawa seokor unta yang ditungganginya secara bergantian: satu waktu khalifah Umar yang menunggangi unta, sementara pengawalnya berjalan dibawahnya. Pada waktu lain sebaliknya: pengawal khalifah menunggangi unta dan sang khalifah yang berjalan kaki. Begitu seterusnya, sampai tiba di tempat tujuan.
Saat memasuki kota Qudsi yang saat itu mayoritas penduduknya beragama Nasrani, khalifah Umar kebagian giliran berjalan kaki, sementara yang menunggangi unta adalah pengawalnya. Melihat kejadian tersebut, penduduk Qudsi yang sebelumnya sudah mengenal sosok Umar bin Khattab sebagai khalifah merasa kaget sekaligus heran. Mereka terperanjat, bagaimana mungkin seorang khalifah berjalan kaki sementara pengawalnya justru menunggangi unta.
***
Ya, sebuah pemandangan yang langka serta aneh bagi mereka, bahkan mungkin bagi siapa saja yang belum mengenal ajaran Islam. Agama yang menyamakan hak antara pemimpin dan pengikutnya; antara si kaya dan si miskin, laki-laki dan perempuan; dan pastinya antara pemerintah dan rakyatnya. Nilai manusia, sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an, hanya tergantung kualitas ketaqwaannya saja. Tidak lain.
Terlepas dari keabsahan kisah diatas, kandungan nilai kisah tersebut juga ditauladani Nabi Muhammad selaku pembawa risalah Islam. Rasulullah tidak pernah membedakan umatnya menurut klasifikasi yang umum menjadi standar penilaian masyarakat Quraisy kala itu; di mana Rasul dilahirkan dan tumbuh berkembang. Beliau bahkan menentang kecendrungan tata cara bersosialisasi masyarakat Arab pada waktu itu, yakni standarisasi penilaian manusia dilihat dari faktor materialis dan genitas.
Sejak awal Rasul memang selalu memberi suri tauladan penghapusan nilai-nilai fanatisme kelompok dan golongan. Karenanya tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya dalam bermuamalah, baik secara sosial, ekonomi, politik, juga hukum. Dalam penerapan hukum, asas persamaan dan keadilan betul-betul beliau terapkan. Bahkan, Fatimah putrinya pun, jika ketahuan mencuri, hukumannya sama dengan yang lainnya: potong tangan, tanpa pertimbangan putri Rasul.
Dalam aspek sosial, tauladan persamaan sangat kental, bahkan cendrung nampak “ekstrim” dilakoni Nabi. Kita tidak akan pernah mendengar ada sebutan ‘murid Nabi’, apalagi pembantu Nabi. Yang ada hanya istilah ‘sahabat Nabi’. Kita pasti meyakini, bahwa hanya Rasul satu-satunya manusia pada masanya yang mendapat petunjuk langsung dari Allah berupa wahyu. Sementara selain Nabi adalah –dalam istilah sekarang– pengikut atau murid beliau.
Nabi yang mengajarkan mereka segala apa yang diwahyukan Allah. Jadi Nabi adalah guru, dan lainnya tentu murid. Tapi, dengan kerendahan hatinya, beliau tidak pernah menonjolkan dirinya agar disebut sebagai guru. Semua orang yang mengenal dan hidup dimasanya tak lain menjadi sahabtnya. Ada lagi, Sahabat Abu Hurairah yang terkenal di kalangan ualama hadis sebagai periwayat beribu-ribu hadis, tak lain merupakan -menurut tradisi kita- khaddam (pembantu) Nabi.
Begitulah salah satu inti ajaran Islam dalam hal persamaan antar sesama manusia. Tak ada yang perlu meresa lebih tinggi atau lebih rendah dari lainnya karena kekuasaan, harta atau keturunan. Perbedaan antar manusia di sisi Allah hanya dinilai dari ketaqwaannya. Siapa yang bisa menilai kualitas taqwa seseorang? Tak ada satu pun selain Allah. Ketaqwaan tak lain adalah urusan antar pribadi dengan Rabb Allah.
Dengan landasan pemahaman di atas, adalah orang yang tidak tahu ajaran Islam lah siapa-siapa yang menilai orang lain lebih rendah darinya, atau sebaliknya, lebih mulia. Tak ada alasan yang membenarkan –dalam ajaran Islam– merendahkan atau memuliakan orang lain, melebihi tatakrama kesopanan serta etika kesantunan bermasyarakat sebagaimana mestinya.
Selebihnya, jika penduduk kota Qudsi yang mayoritas nonmuslim merasa aneh saat menyaksikan kedatangan khalifah Umar bin Khattab bersama pengawalnya dengan bergantian menunggangi unta, maka saat ini dengan penduduk mayoritas muslim, apakah masyarakat Indonesia juga akan melihat adanya kejanggalan atau keanehan ketika melihat presiden Indonesia sedang menyupir mobil yang ditumpangi oleh para pengawal atau ajudannya? Mungkinkah?!
Satu lagi, jika Rasulullah saja yang diyakini sebagai maha guru bagi para sahabatnya, lantas tidak menganggap mereka sebagai murid, tapi justru sahabat saja; bagaimana kita yang berprofesi sebagai guru, ustad atau dosen harus merasa lebih tinggi di hadapan para murid kita?; kita anggap para murid su’ul adab saat pringainya tidak atau kurang menghargai kita selaku guru mereka? Inilah inti ajaran pendidikan dalam Islam yang sejatinya kita fahami bersama.
IV. Me-review Pendidikan Agama
Manusia adalah makhluk yang dapat mendidik dan dididik (homo educabille), sedang makhluk lain tidak. Pada dimensi ini, manusia memiliki potensi yang dapat menjadi objek dan subjek pengembangan diri. Pendidikan sebagai wahana pengembangan diri harus berlandaskan pada potensi yang dimiliki manusia, karena potensi manusia tidak mungkin berkembang tanpa adanya rangsangan dari luar, berupa pendidikan. Dalam realitasnya, manusia adalah makhluk yang mampu berfikir, berpolitik, memiliki kebebasan memilih, sadar diri, memiliki norma, tukang bertanya, tegasnya memiliki kebudayaan. Sebuah realitas yang tidak dimiliki makhluk selain manusia.
Pada titik ini, penulis melihat kemestian adanya pararelitas antara keharusan menjadi sosok muslim kaffah dengan potensi yang dimiliki manusia itu sendiri. Bukankah muslim juga manusia?! Karenanya, tuntutan pengembangan potensi sebagai manusia, menjadi kemestian yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam historis masa keemasan Islam, pemaduan menjadi muslim kaffah dan peningkatan potensi manusia adalah contoh yang disadari bukan saja oleh umat Islam, tapi diakui juga oleh para ilmuan nonmuslim. Tanpa pemaduan dimaksud, cita-cita mengulang masa keemasan Islam; menjadi khairulummah (sebaik-baiknya umat) tak lebih hanya isapan jempol belaka.
V. Mempertanyaan Dikotomi Ilmu Pengetahuan
Hal yang mula-mula harus diluruskan dalam upaya pararelitas tersebut, adalah upaya menepis apa yang berkembang di tengah umat Islam dalam memahami ilmu pngetahuan; adanya dikotomi ilmu. Penulis berkesimpulan, agama adalah satu kesatuan yang meliputi etika, budaya, kecendrungan, serta sikap yang bersumber dari guidence-idealist, panduan ideal untuk diterapkan dalam kehidupan saat ini. Pengertian agama dan keberagamaan tidak menyempit pada laku ritual belaka, namun pastinya mencakup semua aspek hidup. Seluas apapun bidang kehidupan seseorang, dengan ketaatannya, maka seluas itu pula agama bisa diejahwantahkannya.
Ritualitas agama tidak lain menjadi pondasi awal sebuah bangunan keberagamaan seorang hamba. Karena hanya pondasi –tanpa mengkerdilkan urgensitas praktek ubudiyah– pelaksanaan ibadah ritual masih belum bisa dipandang sebagai ketaatan utuh hamba dalam beragama. Sebuah bangunan akan nampak jelas seiring kelengkapan bentuk yang menjadi corak bangunan tersebut. Etika, kecendrungan serta sikap inilah yang “melengkapi” keberagamaan seseorang. Apapun agamanya.
Dengan pemahaman di atas, penulis lantas mempertanyakan pemilahan ilmu pengetahuan yang berkembang di masyarakat: ada ilmu agama, juga ilmu umum (non-agama). Pemahaman yang berkembang, ilmu agama adalah pengetahuan yang berhubungan langsung dengan ritualitas beragama. Sementara yang tidak langsung berhuungan, dikata ilmu umum. Ilmu fisika, matemtika, biologi, ekonomi, kimia, arsitektur, kedokteran dan sejenisnya adalah contoh ilmu non-agama. Benarkah? Mari kita bangun sebuah asumsi dengan beberapa contoh kasus berikut.
Seperti halnya masalah pada umumnya, pemahaman keberagamaan seperti ini pun menjadi objek perdebatan antara yang pro dan kontra. Toh demikian, sejauh pengamatan penulis, sumber perselisihan bisa dipetakan timbul dari perbedaan sudut pandang makna agama, serta efek langsungnya dalam kehidupan sehari-hari.
Ada baiknya penulis ketengahkan sebuah pertanyaan yang bisa menjadi contoh bahwa semua ilmu bisa menjadi ilmu agama. Ada pertanyaan: “Apa kaitannya antara ilmu otomotif dengan agama?” Sepintas, nampak keluguan dari pertanyaan ini. Namun tidak menutup kemungkinan itu menjadi pertanda ketidak-setujuan penanya pada pemahaman penulis tentang agama, termasuk persepsi menyamakan semua ilmu.
Sebagai jawaban, penulis lantas memaparkan pengalaman yang baru beberapa waktu lalu terjadi, karenanya masih sangat segar dalam ingatan. Suatu ketika penulis berangkat ke sebuah kampus tempat mengajar. Tiba-tiba, di tengah perjalanan, mobil penulis mogok. Sesuai jadwal, beberapa saat lagi penulis harus mengawasi Ujian Tengah Semester (UTS).
Penulis berasumsi, para mahasiswa tidak mungkin mau tahu alasan keterlambatan penulis masuk ke ruang ujian. Namun, untung saja ada kawan yang pandai otomotif, bisa segera datang dan membantu memperbaiki mobil mogok tadi. Maka, selamatlah penulis dari anggapan sebagai dosen yang tidak konsisten waktu.
Bukankah agama (Islam) menyuruh umatnya menjadi sosok yang bisa dipercaya, amanah dan sebagainya. Dengan kemampuan otomotif, kekhawatiran diasumsikan sebagai sosok yang tidak amanah bisa ditepis. Bukankah, "ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib" ? Kemampuan otomotif adalah perantara mensukseskan kewajiban sebagai sosok yg beragama.
Jika ada yang bertanya: dimana letak kewajiban sebagai sosok beragama dlam contoh tersebut? Berkepribadian amanah, bisa dipercaya adalah satu dari sekian kawajiban seorang muslim. Artinya, muslim tidk boleh berkepribadian munafiq. Gampangnya, bersifat munafiq hukumnya haram; bersikap amanah adalah wajib.
Masih dalam kapasitas sebagai perantara, ilmu-ilmu eksaks juga tidak kalah pentingnya untuk dikatagorikan sebagai ilmu agama. Bayangkan, bagaimana mungkin kita bisa menjalankan perintah Allah agar memikirkan bagaimana penciptaan langit dan bumi, jika tidak mnggunakan ilmu-ilmu astronomi dan fisika?; bagaimana mungkin juga seorang muslim mau merenungkan proses penciptaan makhluk hidup, untuk semakin menguatkan keimanannya, kalauu tidak dengan biologi? Tidak mungkin kan!
Pada ranah inilah penulis ingin memastikan bahwa semua ilmu pengetahuan masuk katagori ilmu agama, selama dufungsikan sebagai mediasi perantara semakin mengenal kekuasaan-Nya. Sebaliknya, ilmu yang saklek agamis akan berbobot hambar jika tidak bisa mengantar pemiliknya untuk semakin mendekati-Nya.
VI. IV. Penutup
Dalam situs JIL (Jaringan Islam Liberal), Saidiman Ahmad menulis catatan ‘Mendewasakan Pendidikan Agama’, tertanggal 30/4/10. Paparnya, bahwa pada pertengahan Maret lalu, Friedrich Nauman Foundation (FNF) menyelenggarakan seminar internasional tentang agama dan pendidikan. Ada hal menarik yang diusulkan dalam seminar tersebut oleh banyak utusan dari Negara-negara Barat seperti Rusia, Belarusia, Slovenia, Kyrgistan dan Ukraina. Mereka mengusulkan agar agama masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Keniscayaan peran agama dalam setiap sejarah kehidupan manusia, hingga kemustahilan membicarakan peradaban manusia tanpa agama atau keyakinan teologisnya, menjadi alasan utama mereka mengusulkan materi agama dalam kurikulum pendidikan tadi.
Hal yang mungkin mengejutkan, lantas menarik dari usulan tersebut adalah bahwa pendapat semacam itu dikemukakan oleh para aktivis dan pemikir dari negara-negara yang memiliki latar belakang ateistik. Jelasnya, bahkan di negara-negara dengan peran agama yang tidak signifikanpun agama masih dipertimbangkan agar bisa masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Para ilmuan negara-negara sekuler itu kian merasakan pentignya agama diketahui sejak dini oleh para pelajar di negara mereka.
Bagaimana di Indonesia? Tentu materi agama sudah lama masuk dalam kurikulum nasional di negeri ini. Bahkan tidak jarang dengan proporsi yang berlebihan. Banggakahh kita dengan realita ini? Ada baiknya jika sebelum berbangga diri, kita menela’ah secara seksama bagaimana materi agama teraplikasi dalam kuriulum kita; bagaimana agama dirumuskan sebagai model kebijakan pembelajaran di sekolah-sekolah? Pertanyaan ini mungkin diasumsikan berlebihan, namun sejatinya itu penting. Minimal karena hakekat lembaga pendidikan bukanlah media dakwah atau misionari, melainkan lembaga untuk mencetak sumber daya manusia yang bermutu.
Dengan demikian, pengajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar-standar ilmiah. Bukan agama pada justifikasi teologi unsich yang menjadi fokus pengajaran, melainkan faham agama mengilmiyah. Dengan begitu, para siswa akan memiliki pengetahuan agama secara objektif dan tidak berdasar kepada pengetahuan dan iman subjektif belaka. Setidaknya ini yang penulis faham kenapa Allah acapkali mengakhiri khitab dalam Al-Qur’an dengan banyaknya penyebutan kata ulil abshar, ta’kilun, tufakkirun, tubshirun dsb.
Konsekuensi logis dari pola kurikulum semacam ini adalah bahwa syarat utama pengajarnya adalah ilmuan agama, dan tidak harus agamawan. Dalam tradisi muslim Indonesia, kata ‘agamawan’ maksudnya adalah ulama atau kiai, atau setidaknya ustadz (mu’allim); sedangkan ilmuan agama adalah mereka yang mengerti agama dengan penalaran, tidak secara apologetic-doktrinal semata.
Selama ini, lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia masih mewacanakan pengajaran agama sebagai bagian dari penyebaran agama. Sehingga guru-guru agama diharuskan dari kalangan agamawan, seperti para da’i, pastur, pendeta, dan lain-lain. Banyak ahli agama kemudian tersingkir dan sekedar menjadi pengamat agama, bukan malah mengajarkan agama di lembaga-lembaga pendidikan.
Hal yang tidak kalah memprihatinkan, para pelajar mengasumsikan materi agama sebagai urusan ahirat belaka. Meski ada hal-hal yang berkaitan dengan urusan duniawi, tapi itu tak lebih sekedar batu loncatan untuk kebahagiaan di akhirat. Ujung-ujungnya toh akhirat juga. Karenanya tidak heran, seseorang yang berusaha atau “terjebak” mendalami ilmu-ilmu agama, akan disebut sebagai ulama atau ustadz; sebuah sebutan yang saat ini dipandang tidak atau kurang "menjanjikan”.
Lalu dari mana akan kita runtun masalah ini? Akankah agama hanya dipandang sebagai keahlian tertentu yang tidak semua orang bisa atau cocok mendalaminya? Wallahu a'lam bi alshawab
<...ZfSY...>




KAJIAN PUSTAKA
1. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi Metodologi dan Etika, Edisi II, Tiara Wacana, Jogjakarta, 2006
2. Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006
3. Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah, Gama Media, Yogjakarta, 2006
4. http://zoelfansyah.blogspot.com/2010/02/tradisi-guru-murid-islami-kah.html