Ada beberapa hal yang patut diperhatikan agar hidup yang kita jalani ini berlangsung baik-baik saja. Pertama, jangan durhaka kepada orang tua, apalagi ibu yang menyimpan surga di bawah telapak kakinya. Cerita Malin Kundang memberitahu kita bahwa seorang anak akan menjadi batu saat itu juga karena mendurhakai ibu kandung. Kedua, berhati-hatilah dalam menghadapi kaum yang tertindas. Sebab, lidah orang0orang tertindas itu ampuh sekali. Doa mereka pun mujarab karena selalu dikabulkan. Ketiga, hindari keong racun, buaya darat, dan sebagainya. Lagu-lagu pop mengajari kita untuk waspada terhadap binatang-binatang itu.
Satu binatang darat lain yang amat patut diwaspadai adalah lintah darat. Dalam situasi yang memungkinkan, binatang terakhir ini berkembang biak amat subur. Reklamenya bisa Anda baca di tembok-tembok pagar atau di tiang-tiang listrik dan telepon: “Butuh uang...?”
Tentu saja yang disampaikan itu bukan peringatan untuk pemerintah. Pemerintah kita tidak perlu takut pada itu semua untuk menjalani hidup baik-baik. Ia tidak perlu takut pada air mata ibu yang didurhakai. Ia tidak takut pada orang-orang tertindas. Ia tidak taut pada keong racun, buaya darat, atau lintah darat. Ia hanya sedikit tidak nyaman ketika sepuluh guru besar berkumpul di Surabaya dan membuat pernyataan bahwa pemerintah berbohong. Orang-orang dekatnya (atau “aparat terkait” jika Anda menggunakan istilah yang lebih resmi) segera membuat pernyataan bantahan bahwa pemerintah tidak pernah berbohong.
Dugaan sementara saya, dua kubu pastilah sama-sama benar. Anda tahu, tidak ada yang salah di negeri ini. Kalau toh ada orang-orang yang dihukum karena korupsi atau karena urusan-urusan lain, itu bukan karena mereka bersalah, tapi karena nasib mereka sedang apes belaka.
Semua yang terjadi di negeri ini –menggunakan istilah Pak Presiden– sudah pas dan terukur. Pemerintah sudah bekerja baik dan terus mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh warga. Anda hanya perlu mempercayai pernyataan itu, seperti orang-orang beriman mempercayai kebenaran agama. Mengenai bagaimana cara pemerintah mengupayakan kesejahteraan, tak perlu dipikirkan amat. Anda mungkin tidak akan pernah tahu. Bahkan, pemerintah sendiri mungkin tidak tahu.
Mencari tahu bagaimana cara pemerintah mengupayakan kesejahteraan, menurut saya, kurang lebih sama dengan mencari tahu bagaimana mukjizat Tuhan bekerja. Itu sama-sama di luar jangkauan nalar manusia. Anda akan kelelahan jika mencari tahu hal-hal yang di luar nalar.
Sebelum lebih jauh membicarakan tentang pernyataan bahwa pemerintah berbohong, saya ingin menyampaikan hal yang paling dasar. Karena sebagaian besar di antara kita tidak mempelajari ilmu pemerintahan, pikiran kita akan segera tertuju ke presiden dkkjika mendengar sebutan pemerintah. Pikiran saya begitu. Pemerintah=presiden. Pikiran presiden rupanya begitu. Buktinya, ketika ada pernyataan bahwa pemerintah berbohong, yang sibuk membuat penolakanadalah para anak buah presiden. Mereka bergantian membantah.
Ini memang pekan yang cukup sibuk dengan perbantahan. Presiden menyampaikan curhat tentang gajinya yang tidak pernah naik dalam tujuh tahun terakhir. Survei majalah The Economist menyebutkan bahwa gaji presiden kita 28 kali lipat upah minimum. Dengan kelipatan itu, ia berada di urutan ketiga dalam daftar pemimpin negara dengan kesenjangan gaji terbesar.
Berdasarkan angka itu, kita bisa bergerak lebih jauh. Jika presiden mengeluhkan gajinya yang tidak naik-naik dan mungkin terlalu kecil, kita tahu bahwa jumlah upah minimum di negeri ini memang benar-benar minimum sehingga memerlukan kecerdasan finansial yang ekstra genius untuk mengelolanya. Tanpa kegeniusan finansial, Anda akan segera kering kerontang diisap lintah darat.
Lagi-lagi kita beruntung bahwa presiden kita dan keluarganya cukup prigel dalam mengelola gaji sehingga harta kekayaannya bertambah meskipun gajinya tidak naik-naik. Itu menurut catatan pegawai pencatat harta kekayaan.Tetangga saya, seorang pesuruh kantor, saya kira perlu mencontoh cara presiden mengelola keuangan. Dia sudah bekeja lebih dari sepuluh tahun, dan gajinya pun naik sedikit-sedikit, tetapi harta kekayaannya malah merosot dari waktu ke waktu. Sekarang sebagian sudah dijual dan sebagaian lagi nangkring di rumah gadai.
Sebenarnya, ketika membaca pernyataan tentang kebohongan pemerintah, dan segala bantahannya, sejak awal saya sudah menetapkan dugaan sementara bahwa dua kubu pasti benar, sebagaimana sudah saya nyatakan di atas. Jadi tanpa bermaksud mencari tahu mana yang benar dan mana yang keliru, saya ingin membahas yang remeh-remeh saja. Misalnya, apa pengertian berbohong dan kenapa pemerintah tidak suka disebut berbohong oleh para guru besar.
Berbohong bisa juga Anda sebut berdusta, adalah menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Itu menurut Kamus Basar Bahasa Indonesia. Apakah Anda membaca kamus atau tidak, tentu Anda tidak suka dibohongi. Bahkan, orang yang suka berbohong juga tidak suka dibohongi. Artinya, sesungguhnya dia tidak suka dengan perbuatannya sendiri.
Dalam konteks pemerintah, kalau toh terjadi kebohongan, sangat mungkin itu adalah kebohongan yang tidak disengaja. Mungkin karena ia terlalu banyak berjanji dan selanjutnya lupa apa saja yang sudah ia janjikan. Atau lebih sepele dari itu: ia tidak memiliki kecakapan untuk menepati janji. Untuk mendapatkan contohnya, lihatlah Gubernur Fauzi Bowo di Jakarta. Dia berjanji mengatasi masalah-masalah dan pelbagai keruwetan di DKI. “Serahkan pada ahlinya,” katanya sewaktu kampanye. Tetapi dia terlanjur memenangi pilkada.
Para guru besar mungkin melihat hal yang sama pada pemerintah pusat. Berjanji memberantas korupsi tanpa pandang bulu, tidak ditepati. Berjanji meningkatkan kesejahteraan, tidak ditepati. Berjanji menjadi pemimpin yang peduli pada nasib orang banyak, tidak ditepati.
Dalam pandangan guru besar, itu adalah kebohongan. Sedangkan dalam pandangan pemerintah, itu bukan kebohongan, jadi tidak apa-apa dilakukan. Saya sendiri absen. Saya tidak tahu apakah tidak cakap menepati janji bisa dikatagorikan kebohongan. Saya hanya tahu bahwa orang berbohong biasanya untuk tujuan tertentu.
Anda bisa berbohong karena takut mempertanggungjawabkan perbuatan Anda. Anda bisa berbohong karena kalau menyampaikan apa adanya, Anda akan kena marah. Anda berbohong karena mengidap keyakinan yang meleset bahwa Anda akan hancur jika Anda jujur. Anda berbohong karena Anda tidak mampu mengerjakan apa yang menjadi kewajiban Anda. Oh, saya tahu sekarang, Anda bisa berbohong karena tidak mampu menepati janji.
Jika Anda berjanji ngalor ngidul dan Anda tidak mumpuni untuk mewujudkan apa yang Anda janjikan, orang akan mengatakan bahwa Anda hanya bisa menggombal. Seorang istri akan frustasi jika suaminya hanya tukang gombal.
Anda tahu, kebanyakan politisi adalah tukang gombal. Dalam pernyataan Khruschev, “Mereka selalu berjanji membangun jembatan meski tidak ada sungai.” Mereka seper4ti gerombolan untuk melamar gadis-gadis lugu agar mau dijadikan istri. Bedanya dengan para suami gombalan, politisi itu bisa menjadi apa saja, bergantung nasibnya. Ada yang jalan mondar-mandir dengan bercawat saja karena gagal mendapatkan apa-apa setelah menghamburkan seluruh persedian gombalnya. Ada yang jadi presiden karena nasibnya baik.
Hal lain yang membedakan pemerintah, yakni para politisi yang bernaib baik, dari para tukang gombal yang berusaha mencuri hati adlah kecerdasannya. Pemerintah pasti lebih pandai dalam segala hal ketimbang para mbambungan pencari istri, termasuk kecerdasan dalam berbohong. Setidaknya kita berharap demikian. Jika pemerintah tidak cakap dalam berbohong, celakalah kita. Sedih saya karena kita bisa dibohongi oleh pemerintah yang tidak lebih cerdas dari pada mbambungan itu.
Mengenai kebohongan yang cerdas, pasti ada statistik di sana. Pasti ada bukti-bukti di atas kertas untuk menunjukkan bahwa pemerintah adalah jujur dan memiliki hati yang tulus seperti anak-anak yang tajut neraka. Kita pun akan merasa lebih tentram menerima kebohongan yang disertai bukti-bukti.
Oleh; A.S. Laksana
Satu binatang darat lain yang amat patut diwaspadai adalah lintah darat. Dalam situasi yang memungkinkan, binatang terakhir ini berkembang biak amat subur. Reklamenya bisa Anda baca di tembok-tembok pagar atau di tiang-tiang listrik dan telepon: “Butuh uang...?”
Tentu saja yang disampaikan itu bukan peringatan untuk pemerintah. Pemerintah kita tidak perlu takut pada itu semua untuk menjalani hidup baik-baik. Ia tidak perlu takut pada air mata ibu yang didurhakai. Ia tidak takut pada orang-orang tertindas. Ia tidak taut pada keong racun, buaya darat, atau lintah darat. Ia hanya sedikit tidak nyaman ketika sepuluh guru besar berkumpul di Surabaya dan membuat pernyataan bahwa pemerintah berbohong. Orang-orang dekatnya (atau “aparat terkait” jika Anda menggunakan istilah yang lebih resmi) segera membuat pernyataan bantahan bahwa pemerintah tidak pernah berbohong.
Dugaan sementara saya, dua kubu pastilah sama-sama benar. Anda tahu, tidak ada yang salah di negeri ini. Kalau toh ada orang-orang yang dihukum karena korupsi atau karena urusan-urusan lain, itu bukan karena mereka bersalah, tapi karena nasib mereka sedang apes belaka.
Semua yang terjadi di negeri ini –menggunakan istilah Pak Presiden– sudah pas dan terukur. Pemerintah sudah bekerja baik dan terus mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh warga. Anda hanya perlu mempercayai pernyataan itu, seperti orang-orang beriman mempercayai kebenaran agama. Mengenai bagaimana cara pemerintah mengupayakan kesejahteraan, tak perlu dipikirkan amat. Anda mungkin tidak akan pernah tahu. Bahkan, pemerintah sendiri mungkin tidak tahu.
Mencari tahu bagaimana cara pemerintah mengupayakan kesejahteraan, menurut saya, kurang lebih sama dengan mencari tahu bagaimana mukjizat Tuhan bekerja. Itu sama-sama di luar jangkauan nalar manusia. Anda akan kelelahan jika mencari tahu hal-hal yang di luar nalar.
Sebelum lebih jauh membicarakan tentang pernyataan bahwa pemerintah berbohong, saya ingin menyampaikan hal yang paling dasar. Karena sebagaian besar di antara kita tidak mempelajari ilmu pemerintahan, pikiran kita akan segera tertuju ke presiden dkkjika mendengar sebutan pemerintah. Pikiran saya begitu. Pemerintah=presiden. Pikiran presiden rupanya begitu. Buktinya, ketika ada pernyataan bahwa pemerintah berbohong, yang sibuk membuat penolakanadalah para anak buah presiden. Mereka bergantian membantah.
Ini memang pekan yang cukup sibuk dengan perbantahan. Presiden menyampaikan curhat tentang gajinya yang tidak pernah naik dalam tujuh tahun terakhir. Survei majalah The Economist menyebutkan bahwa gaji presiden kita 28 kali lipat upah minimum. Dengan kelipatan itu, ia berada di urutan ketiga dalam daftar pemimpin negara dengan kesenjangan gaji terbesar.
Berdasarkan angka itu, kita bisa bergerak lebih jauh. Jika presiden mengeluhkan gajinya yang tidak naik-naik dan mungkin terlalu kecil, kita tahu bahwa jumlah upah minimum di negeri ini memang benar-benar minimum sehingga memerlukan kecerdasan finansial yang ekstra genius untuk mengelolanya. Tanpa kegeniusan finansial, Anda akan segera kering kerontang diisap lintah darat.
Lagi-lagi kita beruntung bahwa presiden kita dan keluarganya cukup prigel dalam mengelola gaji sehingga harta kekayaannya bertambah meskipun gajinya tidak naik-naik. Itu menurut catatan pegawai pencatat harta kekayaan.Tetangga saya, seorang pesuruh kantor, saya kira perlu mencontoh cara presiden mengelola keuangan. Dia sudah bekeja lebih dari sepuluh tahun, dan gajinya pun naik sedikit-sedikit, tetapi harta kekayaannya malah merosot dari waktu ke waktu. Sekarang sebagian sudah dijual dan sebagaian lagi nangkring di rumah gadai.
Sebenarnya, ketika membaca pernyataan tentang kebohongan pemerintah, dan segala bantahannya, sejak awal saya sudah menetapkan dugaan sementara bahwa dua kubu pasti benar, sebagaimana sudah saya nyatakan di atas. Jadi tanpa bermaksud mencari tahu mana yang benar dan mana yang keliru, saya ingin membahas yang remeh-remeh saja. Misalnya, apa pengertian berbohong dan kenapa pemerintah tidak suka disebut berbohong oleh para guru besar.
Berbohong bisa juga Anda sebut berdusta, adalah menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Itu menurut Kamus Basar Bahasa Indonesia. Apakah Anda membaca kamus atau tidak, tentu Anda tidak suka dibohongi. Bahkan, orang yang suka berbohong juga tidak suka dibohongi. Artinya, sesungguhnya dia tidak suka dengan perbuatannya sendiri.
Dalam konteks pemerintah, kalau toh terjadi kebohongan, sangat mungkin itu adalah kebohongan yang tidak disengaja. Mungkin karena ia terlalu banyak berjanji dan selanjutnya lupa apa saja yang sudah ia janjikan. Atau lebih sepele dari itu: ia tidak memiliki kecakapan untuk menepati janji. Untuk mendapatkan contohnya, lihatlah Gubernur Fauzi Bowo di Jakarta. Dia berjanji mengatasi masalah-masalah dan pelbagai keruwetan di DKI. “Serahkan pada ahlinya,” katanya sewaktu kampanye. Tetapi dia terlanjur memenangi pilkada.
Para guru besar mungkin melihat hal yang sama pada pemerintah pusat. Berjanji memberantas korupsi tanpa pandang bulu, tidak ditepati. Berjanji meningkatkan kesejahteraan, tidak ditepati. Berjanji menjadi pemimpin yang peduli pada nasib orang banyak, tidak ditepati.
Dalam pandangan guru besar, itu adalah kebohongan. Sedangkan dalam pandangan pemerintah, itu bukan kebohongan, jadi tidak apa-apa dilakukan. Saya sendiri absen. Saya tidak tahu apakah tidak cakap menepati janji bisa dikatagorikan kebohongan. Saya hanya tahu bahwa orang berbohong biasanya untuk tujuan tertentu.
Anda bisa berbohong karena takut mempertanggungjawabkan perbuatan Anda. Anda bisa berbohong karena kalau menyampaikan apa adanya, Anda akan kena marah. Anda berbohong karena mengidap keyakinan yang meleset bahwa Anda akan hancur jika Anda jujur. Anda berbohong karena Anda tidak mampu mengerjakan apa yang menjadi kewajiban Anda. Oh, saya tahu sekarang, Anda bisa berbohong karena tidak mampu menepati janji.
Jika Anda berjanji ngalor ngidul dan Anda tidak mumpuni untuk mewujudkan apa yang Anda janjikan, orang akan mengatakan bahwa Anda hanya bisa menggombal. Seorang istri akan frustasi jika suaminya hanya tukang gombal.
Anda tahu, kebanyakan politisi adalah tukang gombal. Dalam pernyataan Khruschev, “Mereka selalu berjanji membangun jembatan meski tidak ada sungai.” Mereka seper4ti gerombolan untuk melamar gadis-gadis lugu agar mau dijadikan istri. Bedanya dengan para suami gombalan, politisi itu bisa menjadi apa saja, bergantung nasibnya. Ada yang jalan mondar-mandir dengan bercawat saja karena gagal mendapatkan apa-apa setelah menghamburkan seluruh persedian gombalnya. Ada yang jadi presiden karena nasibnya baik.
Hal lain yang membedakan pemerintah, yakni para politisi yang bernaib baik, dari para tukang gombal yang berusaha mencuri hati adlah kecerdasannya. Pemerintah pasti lebih pandai dalam segala hal ketimbang para mbambungan pencari istri, termasuk kecerdasan dalam berbohong. Setidaknya kita berharap demikian. Jika pemerintah tidak cakap dalam berbohong, celakalah kita. Sedih saya karena kita bisa dibohongi oleh pemerintah yang tidak lebih cerdas dari pada mbambungan itu.
Mengenai kebohongan yang cerdas, pasti ada statistik di sana. Pasti ada bukti-bukti di atas kertas untuk menunjukkan bahwa pemerintah adalah jujur dan memiliki hati yang tulus seperti anak-anak yang tajut neraka. Kita pun akan merasa lebih tentram menerima kebohongan yang disertai bukti-bukti.
Oleh; A.S. Laksana