25.2.11

Berbohong Untuk Jujur

Orang-orang memanggilnya Wak Bawon. Seorang berusia lanjut yang sehari-harinya mencari kayu bakar di hutan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sang istri yang juga berusia lanjut. Sudah setua itu, Wak Bawon masih saja belum dikaruniai anak. Di rumahnya yang terbuat dari gubuk, Wak Bawon hanya tinggal berdua bersama istrinya. Untuk melakukan aktifitasnya, Wak Bawon cukup membawa sebilah kapak yang sudah nampak usang berkarat.

Suatu hari, ketika akan mencari kayu, Wak Bawon menyeberangi sungai yang airnya mengalir sangat deras. Tanpa disengaja, kapaknya terjatuh ke sungai. Jelas saja, Wak Bawon bersedih, hingga menangis tersedu-sedu memikirkan kapaknya. Anda tahu, seketika itu juga datang Dewa, dan bertanya: “Kenapa kamu bersedih, Wak Bawon?”

“Kapak saya jatuh di sungai yang airnya sangat deras itu, Dewa” Jawab Wak Bawon sambil terisak-isak.

Mendengar jawaban Wak Bawon, Sang Sewa segera masuk ke sungai dan membawa Kapak yang terbuat dari emas. “Ini kapakmu” Tanya Dewa kepada Wak Bawon.

“Bukan, Dewa” Kata Wak Bawon.

Sang Dewa lantas masuk ke sungai lagi, dan keluar membawa kapak terbuat dari perak. “Yang ini kapakmu?” Tanya Sang Dewa lagi.

“Bukan, Dewa” Jawab Wak Bawon.

Untuk ketiga kalinya, Dewa kembali masuk ke sungai dan membawa kapak usang berkarat, kemudian muncul dan berkata: “Apakah ini kapak milikmu?”

“Betul, Dewa. Itu kapakku” Jawab Wak bawon tegas.

“Saya bangga atas kejujuranmu, Wak Bawon. Sebagai imbalannya, dua kapak yang terbuat dari emas dan perak ini kuberikan semuanya untukmu”.

Wak Bawon pun bahagia menerima hadiah tersebut.

***

Beberapa waktu kemudia, Wak Bawon pergi menyeberangi sungai bersama istrinya. Ternyata, sang istri kecebur sungai dan terbawa arusnya yang deras dan tenggelam. Wak Bawon pun bersedih dan menagis memikirkan nasib sang istri. Sesaat kemudia ia teringat pertolongan Dewa ketika kapaknya jatuh. Ia lantas berdo’a mengharap sang Sewa kembali datang. Benar saja, Dewa muncul dan bertanya masalah yang menimpanya. Wak Bawon lantas berkata: “Istriku kecebur dan terbawa arus sungai entah kemana, Dewa”

Dewa lantas turun ke sungai, dan membawa Dewi Persik, lalu berkata: “Apakah ini istrimu?”

“Iya, benar, Dewa. Dia istriku”

Mendengar jawaban Wak Bawon, Dewa lantas murka dan berkata: “Dasar pembohong. Istrimu sudah tua, tapi mengaku Dewi Persik sebagai istri. Kurang ajar, kamu!”

“Maaf, Dewa. Istri saya memang sudah tua. Tapi saat Dewa membawa Dewi Persik dan menanyakan apakah dia istriku, saya jawab saja: iya. Sebab, kalau saya jawab: bukan, saya takut Dewa masuk ke sungai dan membawa Julia Peres, lalu menanyakan apakah dia istriku. Jika saya jawab: tidak, Dewa pasti masuk lagi ke sungai dan membawa istriku yang sebenarnya. Kalau saya jujur, saya khawatir Dewa menghadiahkan saya Dewi Persik dan Julia Peres. Bukankah Dewa tahu, saya ini orang susah. Menghidupi satu istri saja repot, apalagi tiga istri. Jadi, saya terpaksa berbohong mengakui Dewi persik sebagai istri saya. Begitu maksudku, Dewa” Jawab Wak Bawon menjelaskan alasannya berbohong. Dewa pun mengangguk-angguk membenarkan argomen Wak Bawon...

Pendustaan Terhadap Agama*

Akhir-akhir ini disebut-sebut ada pihak-pihak yang melakukan penistaan terhadap agama. Tentu mereka dikecam atas perbuatannya itu. Agama oleh siapapun tidak boleh dinistakan. Agama bagi pemeluknya adalah ajaran mulia yang harus dihormati dan juga diamalkan. Penistaan teradap agama akan melahirkan kemarahan. Karena itu harus dihindari oleh siapapun.

Dalam kitab suci al Qurán, disebutkan ada istilah pendustaan agama dan bukan penistaan agama. Agama bukan dinistakan, melainkan lebih banyak didustakan. Para pendusta itu adalah orang-orang yang sehari-hari sebenarnya shalat, tetapi melupakan akan makna shalatnya. Yaitu orang-orang yang riya’ dan lupa tidak memberi makan orang-orang miskin dan tidak memperhatikan terhadap anak yatim.

Acaman terhadap orang-orang yang mendustakan agama cukup berat, yaitu kelak akan dimasukkan ke neraka wael. Ancaman itu tentu berat dan apalagi datang dari Allah sendiri. Apa saja yang dikatakan-Nya selalu benar. Karena itu, mestinya siapa saja yang mengimani pada al Qurán akan sangat takut disebut sebagai pendusta agama.

Namun sayangnya, peringatan al Qurán ini belum terlalu banyak mendapatkan perhatian. Orang-orang miskin, yang sehari-hari masih kesulitan mendapatkan makanan masih ada di mana-mana. Mereka mengais-ngais tong sampah, meminta-minta, tidak terkecuali di pinggir-pinggir jalan menuju masjid pada setiap hari jumát, sekedar untuk mendapatkan sedekah seikhlasnya. Ternyata banyak orang kaya masih belum memiliki perhatian terhadap mereka.

Jika untuk makan sehari-hari saja belum tentu mendapatkannya, maka lebih-lebih lagi adalah untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Mereka mengambil tempat seadanya. Di antara mereka membuat gubug-gubug di pinggir kali, atau di mana saja yang memungkinkan. Sudah menderita seperti itu, kalau kedapatan petugas, mereka diusir, dimaki-maki dengan alasan merusak pemandangan lingkungan.

Jumlah orang miskin sebagaimana digambarkan secara singkat di muka jumlahnya amat banyak. Sehingga tidak mungkin seorang, apalagi kelebihan yang dimiliki belum seberapa, bisa menanggulangi persoalan yang sedemikian banyak itu. Akan tetapi, andaikan kaum muslimin secara bersama-sama tumbuh kesadarannya untuk menolong mereka, maka beban itu tidak akan berat. Misalnya, seorang yang berlebihan menolong atau mengentaskan seorang keluarga, maka persoalan itu akan terkurangi.

Dalam hal menolong orang miskin , tidak perlu berpikir harus tuntas terselesaikan semuanya. Sebab tidak akan mungkin persoalan kemiskinan itu dihilangkan secara tuntas. Dalam kehidupan masyarakat selalu saja terdapat orang-orang miskin dan tertinggal, disebabkan oleh kelemahan dan atau ketidak-berdayaannya masing-masing. Akan tetapi, jika setiap orang yang berada mau mengulurkan tangannya untuk memberi, maka persoalan itu akan berkurang.

Pekerjaan memberi sekalipun mulia memang berat dilakukan. Padahal, justru telah memberi sesuatu kepada orang lain itu, maka akan mendapatkan nikmat yang luar biasa. Sementara orang mengira, bahwa kenikmatan akan didapat dan dirasakan tatkala menerima, padahal kenikmatan itu akan dirasakan oleh orang-orang yang telah memberi sesuatu kepada orang lain.

Seringkali orang salah paham. Seseorang yang telah mendapatkan pemberian dari orang lain, dikiranya beruntung, karena telah mendapatkan sesuatu itu. Padahal sebenarnya mereka yang beruntung dan lebih berbahagia adalah orang-orang yang berhasil telah memberi. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan konsep ajaran Islam, bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Pemberi lebih utama daripada orang yang menerimanya. Islam menganjurkan agar orang berposisi sebagai pemberi dan bukan sebagai penerima sumbangan.

Sebagai pengalaman, ------- dan sama sekali bukan bermaksud lain yang tidak perlu, suatu saat isteri saya menginformasikan ada seseorang yang tidak memiliki rumah. Tempat yang ditempati selama itu sangat tidak layak, dan itupun harus menyewa. Kamar yang hanya berukuran tidak lebih dari 10 meter persegi, ditempati bersama-sama anak dan cucu-cucunya. Melihat kenyataan itu, isteri saya rupanya membayangkan atas penderitaan orang dimaksud.

Atas laporan itu, saya usulkan agar tabungan yang dimilikinya dibelikan rumah kecil-kecilan, dan diberikan kepada orang yang disebutkan tidak punya rumah itu. Usulan itu tidak segera disetujui dengan alasan, tabungan dimaksud akan digunakan untuk pergi umrah. Saya mengatakan bahwa membelikan rumah, sekalipun kecil dan sederhana, nilainya jauh lebih tinggi dari pada sekedar umrah. Akhirnya, usul saya tersebut disetujui, dan dibelikanlah rumah kecil-kecilan, kemudian diserahkan kepada orang yang sangat memerlukan tersebut. Hal yang demikian sudah dua kali dilakukan, dan ternyata dirasakan nikmat olehnya. Kesediaan memberi sekalipun mudah, ternyata harus dibimbing dan dilatih.

Saya mengatakan kepada isteri saya, bahwa umrah adalah penting dilakukan, tetapi jika ditinggalkan ------oleh karena sudah pernah umrah dan haji, maka tidak mengapa. Namun jika meninggalkan dari memperhatikan orang miskin dan anak yatim, maka resikonya dianggap sebagai pendusta agama. Resiko itu sangat berat, mungkin kurang lebih sama dengan resiko orang-orang yang akhir-akhir ini disebut menisakan agama. Menistakan dan mendusatakan agama, keduanya rasanya agak mirip. Oleh karena itu, seharusnya sama-sama dihindari. Wallahu a’lam.

Oleh: Prof. Imam Suprayogo

21.2.11

Tuhan, Sains, Agama: Sebuah Pergulatan Iman

Oleh Haikal Kurniawan*

“Saya ingin mencari Tuhan dengan cara saya sendiri, bukan kata si-A, kata si-B, bukan Tuhannya agama-A, agama-B. Tuhan seperti itu bagi saya tuhan-tuhan palsu. Tuhan yang sudah di-manusiakan, di-konsepkan, di-sifatkan, dimasukkan nilai-nilai non-ketuhanan oleh sebagian orang yang meyakininya. Tuhan seperti itu bagi saya tak lebih dari berhala-berhala abstrak. bukan nilai esensial ketuhanan yang sesungguhnya. Tidak! Tuhan tidak seperti itu! Tuhan tidak serendah itu!”

Inilah mungkin salah satu pergulatan terberat dan terbesar yang pernah saya alami. Peperangan antara nilai spiritualitas versus nilai rasionalitas dalam diri saya. Mungkin beberapa teman pernah mengalaminya. Situasi ini sangat lama saya alami. Terkadang, dalam pertempuran tersebut sisi spiritual yang menang, yang membuat saya begitu takut akan adanya Tuhan dan keberadaan akhirat. Takut akan kematian dan nasib saya sesudah itu. Kadangkala sisi rasional yang menang, yang membuat saya melupakan Tuhan, yang membuat saya skeptis terhadap agama, yang membuat saya menghapus apa saja sesuatu yang adikodrati dari pikiran saya.

Saya sejenak berfikir, apakah saya gila? Apakah akal saya masih berjalan dengan baik? Atau, ini hanyalah halusinasi belaka? Mungkin para saintis, terutama bidang psikologi, akan mengatakan saya hanya berhalusinasi. Mungkin karena saya sudah terlalu banyak menerima nilai-nilai keagamaan yang bersifat ritual, dogmatis dan irasional sehingga seolah akal saya mengamuk karena jarang saya pergunakan untuk memahami nilai, doktrin dan ritual-ritual keagamaan secara rasional dan kritis. Namun di sisi lain ada suatu ketakutan tersendiri dalam diri saya jika saya mencoba bersikap rasional terhadap nilai-nilai dan doktrin keagamaan akibat dari banyaknya pengaruh agama yang besifat dogmatis dalam akal saya.

Saya terlahir dari keluarga beragama yang sebagian besar muslim (atau hampir semua). Saya disekolahkan di sekolah Islami dari pagi hingga sore hari. Di sana saya banyak diajarkan tentang Islam. Tentang sejarahnya, keajaibannya, bahkan kehebatannya dibanding agama-agama lain. Agama yang benar adalah Islam dan aliran-aliran tertentu dalam Islam dianggap sesat karena telah keluar dari rel yang telah disepakati. Yang menyedihkan, saya hanya diizinkan bersikap rasional terhadap materi pelajaran yang bersifat duniawi. Saya diizinkan bersikap rasional dan kritis terhadap teori gravitasi Newton, konsep tata surya Kepler, teori evolusi Darwin, sejarah G30S/PKI, teori kapitalis Adam Smith, dan lain-lain. Namun ketika rasionalitas dan kritisisme itu saya pergunakan untuk memahami nilai-nilai serta doktrin ketuhanan dan keagamaan, saya dibungkam sama sekali. Kita tidak diizinkan mempertanyakan al-Qur’an, kenabian Muhammad, meragukan akan adanya akhirat, dan lain-lain (dan saya yakin ini juga dialami oleh teman-teman yang berada di lingkungan yang diklaim agamis). Saya masih teringat ketika saya duduk di kelas 5 SD sekitar 6 tahun lalu. Saya bertanya pada guru agama saya, “jika Tuhan itu mahabesar, kuat, dan maha pencipta, bisakah Tuhan menciptakan sesuatu yg lebih besar dan lebih kuat dari dirinya sendiri?” Lalu yang saya dapat bukan jawaban rasional, melainkan bentakan dan omelan. Saya didoktrin bahwa kita tidak boleh mempertanyakan apa yang disebut sebagai Tuhan, baik zat-Nya, sifat-Nya, atau apa pun yang berhubungan dengan-Nya. Kita harus mempercayai apa yang disebut Tuhan dan kekuatan adikodrati lainnya itu ada, tanpa harus dianalisis, dibedah atau dikritisi secara ilmiah. Saya saat itu sangat takut. Kejadian itu membuat saya tidak berani bersikap rasional dan kritis terhadap agama, setidaknya sampai saya duduk di bangku SMA.

Saat duduk di bangku SMP, bisa dibilang itulah puncak dari sikap fundamentalisme saya terhadap Islam (sebagai agama yang saya yakini satu-satunya yang paling benar). Saya tidak pungkiri itu semua sebagian besar karena pengaruh islamisasi di lingkungan sekolah saya dan sebagian besar hidup saya dihabiskan di sana pada waktu itu. Pengkafiran terhadap orang-orang Ahmadiyah, Komunitas Eden, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dan Jaringan Islam Liberal, kemuakan terhadap Israel-Yahudi, dan kebencian terhadap tokoh-tokoh pluralisme agama dan kalangan Islam progresif seperti Gus Dur, Musdah Mulia, Ulil Abshar Abdalla, dan Luthfi Asyaukani adalah sebagian dari beberapa sikap radikalisme saya (terutama akibat pendidikan dari lingkungan sekolah). Belum lagi pengaruh dari kyai dan ustad yang mengisi sebagai khatib di ceramah-ceramah, dan tabloid Islam yang sering saya beli terutama pada waktu shalat Jum’at. Dari isi ceramah dan artikel tersebut, sangat jelas kita ditekan untuk percaya pada doktrin agama secara menyeluruh tanpa menggunakan akal sehat. Kalaupun menggunakan akal, tidak boleh kebablasan. Kita diizinkan menggunakan akal untuk memahami agama, namun tidak boleh sampai keluar dari koridor yang sudah disepakati oleh ulama yang bersikap sebagai pemangku mandat dari Allah.

Tetapi saya akui bahwa kebebasan berfikir dan kritis terhadap agama yang sangat dibatasi pada saat saya di SMP tidak begitu terasa pada saat itu. Saya baru menyadarinya pada saat saya duduk di bangku SMA. Terutama ketika saya membaca tulisan dan artikel keislaman yang lebih beragam, baik di internet maupun media massa. Saya baru menyadari betapa sikap kritisisme dalam beragama sangat dibatasi di lingkungan yang agamis. Saya baru membuka mata betapa sikap menafsirkan teks keagamaan secara literal di abad modern ini seperti yang saya alami dulu adalah tidak memuaskan. Saya baru mulai mau kembali bersikap kritis dan rasional tehadap nilai dan teks-teks keagamaan, terutama yang bersifat dogmatis, irasional, dan sudah tidak sesuai di abad modern. Saya baru sadar akan pentingnya kita bersikap kritis terhadap semua aspek kehidupan. Dan agama sebagai suatu fakta sosial antropologis tidak terlepaskan dari semua itu. Agama harus ditaruh di meja bedah ilmiah karena sudah terlalu banyak dogma-dogma dan hal-hal supranatural.

Setelah kembali menjadi seorang rasionalis-kritis, saya seperti terlahir kembali. Saya seperti merasa menemukan jati diri saya sebagai seorang rasionalis. Saya merasa bebas dari doktrin-doktrin agama yang rigit. Saya merasa bisa menggunakan akal saya dengan optimal. Saya bisa berfikir dan menganalisis apa pun yang saya mau tanpa harus takut atau khawatir. Namun sayangnya kebebasan itu tidak terasa lama. Saya kembali mengalami suatu dilema antara rasionalitas dan spiritualitas. Saya kembali menjadi gusar dan gundah. Di satu sisi, sisi spiritualitas saya ingin agar saya mencari apa yang disebut sebagai Tuhan dengan cara saya sendiri, namun di sisi lain, rasionalitas saya menginginkan saya melupakan Tuhan agar saya tidak bisa melihat, mendengar dan merasakan kehadiran-Nya.

Saya pada akhirnya menemukan win-win solution untuk semua itu. Saya sudah menemukan bagaimana mendamaikan sisi spiritualitas dan rasionalitas. Meskipun saya pada akhirnya seperti memenangkan sisi rasionalitas dengan melupakan agama, namun saya tetap meyakini akan Tuhan (namun bukan Tuhan secara personal dan literal). Saya menggantikan “makanan” untuk apa yang disebut sebagai sisi spiritual dari agama menjadi kemanusiaan. Saya menemukan apa yang disebut sebagai Tuhan pada nilai-nilai kemanusiaan. Ketika saya membantu seorang pengemis di jalanan atau membantu seorang nenek tua menyeberang jalan, saya seperti menemukan apa yang disebut sebagai nilai esensial dari konsep ketuhanan itu sendiri. Nilai esensial dari divinitas saya temukan pada humanitas. Saya berhasil menemukan apa yang disebut Tuhan pada konsep Hak Asasi Manusia. Saya serasa bertemu dengan apa yang disebut sebagai Tuhan ketika saya membantu dan membela saudara-saudara saya sesama manusia dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Meskipun begitu, bukan berarti saya semena-mena menaruh apa yang disebut sebagai Tuhan pada seluruh aspek kehidupan. Menaruh Tuhan pada ilmu pengetahuan bagi saya sama saja mengotori Tuhan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Memasukkan Tuhan pada hukum-hukum sains sama saja membajak nilai transendental Tuhan. Saya sangat mengapresiasi teori Hawking tentang awal mula terciptanya alam semesta tanpa harus melibatkan Tuhan, ataupun teori psikologi Freud. Saya berani katakan bahwa sains tidak membutuhkan Tuhan ataupun kekuatan adikodrati lainnya untuk menjelaskan teori-teorinya, dan sebaliknya, Tuhan tidak membutuhkan hukum-hukum sains untuk menopang keberadaan-Nya. Sains bisa menjelaskan seluruh fenomena alam tanpa harus ada campur tangan Tuhan. Sains semakin membuat kita maju dan mampu menyibak rahasia alam tanpa harus melibatkan sesuatu yang adikodrati. Sains selalu membuka diri untuk teori-teori baru yang lebih ilmiah, maju, dan rasional untuk menggantikan teori lama yang sudah usang sesuai perkembangan zaman. Namun sebaliknya, agama akan selalu baku. Ia tak menyediakan tempat untuk dikritisi, dirasionalisasi, dan diobservasi secara ilmiah dan saintifik.

Sains selalu membuka pintu untuk keragu-raguan akan teori sains itu sendiri. Tetapi agama sangat bertolak belakang, ia selalu menutup pintu terhadap keragu-raguan akan dogma-dogma yang sudah disepakati, karena dogma tersebut diklaim berasal dari sesuatu yang maha segala-galanya sehingga tak boleh dibantah sedikit pun. Sains selalu berdasarkan pembuktian empiris, observasi dan analisis logis, sedangkan klaim kebenaran agama selalu berdasarkan iman kepada sesuatu yang bersifat adikodrati yang tidak berdasar pada bukti empiris secara menyeluruh, bahkan sekalipun kebenaran tersebut sudah dijungkir-balikkan oleh pembuktian dan teori saintifik modern. Itulah yang membuat saya tertarik pada sains.

Tetapi sekritis-kritisnya pemikiran saya akan dogma-dogma agama, bukan berarti saya anti-agama. Saya tetap mengambil nilai-nilai universal dan kemanusiaan dari agama apapun untuk saya aplikasikan dalam kehidupan. Saya tetap menghormati keyakinan saudara dan sahabat-sahabat saya akan agama. Saya mengakui bahwa banyak sisi positifnya dari suatu agama yang mengajarkan kemanusiaan, perdamaian, dan keadilan (sekalipun sangat banyak pengikutnya yang tidak menjalankanya). Nilai universal kemanusiaan harus kita terapkan dari mana pun sumbernya. Bagi saya semua agama itu benar menurut caranya sendiri-sendiri. Ia akan selalu benar dan menjadi yang terbenar jika dilihat dari sudut pandang agama tersebut. Tetapi yang tidak bisa saya tolelir adalah jika agama menjadi sebuah tirani yang mencampakkan nilai kemanusian. Manusia tetap bisa beradab meskipun tanpa agama, namun betapa banyaknya orang yang mengaku beragama bersikap abai pada nilai-nilai kemanusiaan. Semoga saya tidak kembali terjebak di jurang fundamentalisme dan fanatisme keagamaan seperti yang saya alami dulu.

*Haikal Kurniawan adalah seorang siswa kelas II Sekolah Menengah Atas (SMA)

MENDEKATI TUHAN


Shirâth, sabîl, syarî‘ah, tharîqah, minhâj, mansak atau manâsik (plural), dan maslak atau sulûk, semuanya berarti jalan, cara, metode dan semacamnya. Jika tisifati menggunakan kata: hanif, mustaqim (jalan yang lurus), maka akan menjadi padanan kata agama. Maka hakekat “agama” adalah jalan yang lurus. Karena bermakna jalan, maka seorang agamis haruslah bersifat dinamis. Jika berhenti di jalan berarti menyalahi sifat jalan itu sendiri.


Agama Islam adalah agama yang tidak mengajari bagaimana cara sampai kepada Tuhan atau mengetahui-Nya, karena hal itu sangat mustahil. Islam tidak mengakui gnostisisme, meskipun konon perkataan ma’rifah digunakan sebagai akibat pengaruh dari konsep gnostisisme Yunani. Memang, keduanya sangat berbeda. Dalam tasawuf, ma’rifah hanya bisa ditafsirkan sebagai teori tentang pengalaman teofanik, yakni pe­ngalaman penyingkapan kebena­ran dari seseorang yang sangat pribadi.


Pengalaman kita dalam beragama ialah pengalaman mendekati Tuhan yang tidak pernah hadir. Karena itu, dalam menempuh perjalanan keagamaan, kita mempunyai pengalaman yang bermacam-macam dan berbeda-beda. Sebagai contoh adalah cerita mengenai seorang wanita tua yang datang kepada Nabi. Wanita tersebut ditanya oleh Nabi, “Kalau kamu beriman kepada Allah, di mana adanya Tuhan itu?” Wanita tua itu menunjuk ke langit. Kemudian Nabi berkata dengan rileks, “Wanita ini benar”. Para sahabat lalu memprotes Nabi dengan mengatakan, “Al-Quran menyebut bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Mengapa Nabi membenarkan wanita yang berpendapat bahwa Tuhan hanya berada di langit?” Nabi menjawab, “Itulah yang dipahami wanita tua itu. Kamu tidak usah mengganggu”.


Cerita ini menunjukan makna dari apa yang disebut dengan idiom, yang banyak sekali macamnya dalam masyarakat kita. Oleh karena itu, para ulama dulu membagi manusia ke dalam bermacam-macam tingkatan (maqâm). Ada sebuah Hadis yang sering juga kita dengar, “Bicaralah pada manusia sesuai dengan tingkat kecerdasan akalnya”. Kalau kita bicara kepada orang yang buta huruf dengan bahasa-bahasa akademis, pasti tidak mengena. Sebaliknya, kalau kita menggunakan idiom-idiom orang buta huruf untuk kalangan akademis, pasti ditolak. Jadi, implikasi kebenaran itu banyak sekali. Seolah-olah ada garis besar kebenaran berupa lingkaran, yang di dalamnya orang bisa berkiprah apa saja, ke mana-mana, asal tidak keluar dari lingkaran itu.