26.2.09

Hikmah Hilangnya HP

Hikmah Hilangnya HP
Beberapa hari lalu, saya menghadiri acara Idul Khatmi Tariqah Tijaniyyah di Pamekasan Madura. Meski sudah masuk hitungan tahun ketiga menjadi ikhwan Tijaniyyah, namun baru pada tahun ini saya berkesempatan menghadiri acara ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, karena satu dan lain hal, saya tak berkesempatan menghadiri acara yang berlokasi di daerah-daerah seluruh Indonesia secara bergiliran. Rencananya, untuk tahun depan, acara ini bertempat di Kab. Malang.
Sebagai ihkwan yang berasal dari Malang, saya penasaran ingin tahu bagaimana rangkaian acara yang konon selalu dinanti-nantikan oleh segenap ikhwan di seantero Indonesia. Ini saya lakukan sebagai upaya persiapan menjadi “tuan rumah” untuk tahun depan. Maklumlah, selain karen mertua saya adalah muqaddam (pimpinan) tariqah, Saya juga tak jarang menjadi guide yang harus menemani setiap muqaddam-muqaddam dari negara Arab yang sengaja diundang menghadiri acara Idul khatmi.
Saking asyiknya ”meleburk” dalam acara, saya justru kurang mawas diri. Konsekuensinyapun fatal. Tanpa terasa, HP di saku baju ludes digandol maling. Pada saat-saat awal menyadari kehilangan, saya sempat panik bercampur sewot. Maklumlah, Hp yang hilang tergolong baru. Sekitar empat bulan yang lalu saya beli. Harganya juga tergolong tinggi. Di pasaran, Hp itu masih bisa laku 1,5 sampai 2 juta rupiah. Tapi, mau apa lagi?! Sudah hilang. Sudah bukan rizkiku lagi. Sanatai aja. Mau marah? Siapa yang mau dimarahin?! Alhamdulillah. Sesaat kemudian saya sudah bisa mengendalikan emosi.
Yang menjadi beban kemudian, saya malah merasa eman atas nomer kartu yang sudah sekian tahun saya gunakan. Jelas, komunikasi dengan rekan-kerabat yang sudah bisa menghubungi saya dengan nomer tersebut jadi terputus. Intinya: Hp yang hilang sudah bisa saya relakan. Tapi, tidak dengan nomer Hp yang sudah terlanjur dikenal banyak orang. Seketika saya coba menghubungi nomer tersebut. Tapi, nihil. Si copet tak kunjung mau menjawab.
Akhirnya, sayapun berkirim sms pannya, dan berkata: ”Mas, Hp yang sekarang berada di tangan Anda, saya relakan tetap menjadi hak Anda. Tapi, tolong kembalikan simcardnya saja. Kirimkan saja melalui pos ke alamat saya.” Dengan permohonan yang sama, saya terus mengulang-ulang berkirim sms kepada si pemegang Hpku. Tapi, ternyata maling ya tetap maling. Tak pernah sedikit menggunbris kerisauan orang.
Tak ingin semakin terputus komunikasi dengan rekan-kerabat, sayapun segera mengurus pembelokiran nomer Hp dan menggantinya dengan sim baru. Ternyata tidak rumit mengurusnya. Cukup dengan surat bukti kehilangna dari kepolisian, datang ke Grapari, selesai. Tinggal cari Hp baru, komunikasi udara bisa tersambung kembali.

Ibu Tetap Diingat
Dalam proses pengurusan semua itu, saya harus -setidaknya- mendatangi tiga meja administrasi: di kepolisian, di Grapari dan, untuk proses kredit Hp baru, saya bikin kartu kredit di Bank. Dari ketiga meja administrasi tersebut, saya dapat satu pelajaran. Ternyata peran ibu begitu mendominasi untuk selalu diingat oleh sang anak. Bagaimana? Ceritanya begini: dari tiga proses administrasi, pencantuman nama ibu mutlak diperlukan.
Semua kolom administrasi yang saya butuhkan terdapat kolom yang menanyakan nama Ibu. Bukan Ayah. Untuk menghilangkan penasaran, saya coba bertanya pada pihak perbankan: ”Maaf Bu, kenapa harus mencantumkan nama Ibu? Bukan Ayah? Petugaspun menjawab: Beginipak, secara logis, anak pasti terlahir dari satu rahim wanita (ibu, pen). Tidak demikian dengan Ayah. Bisa jadi –maaf- seorang ayah berkelit untuk mengaku memiliki anak. Hal-hal seperti ini yang lantas diantisipasi oleh pihak perbankan guna menjaga kemungkinan yang tak diinginkan dari nasabah bank”
Dengan penjelasan ini, menjadi semakin jelas, kenapa Rasulullah lantas mewajibkan kita untuk menghormati Ibu, tiga kali lebih ganda dari rasa hormat kita kepada Ayah.
Karenanya, suatu hari, Rasulullah pernah ditanya sahabat: “Di antara Bapak dan Ibuku, siapakah yang patut saya hormati terlebih dahulu ya Rasul? Beliau menjawab: Ibumu. Si sahabat bertanya lagi: kemudian siapa ya Rasul. Beliau menajwab lagi: Ibumu. Lagi-lagi sang sahabat bertanya: lalu siapa ya Rasul? Dijawab lagi: Ibumu. Pada kali keempat sahabat bertanya lagi: lalu siapa? Rasul kemudian menjawab: Ayahmu.
Dengan ketegasan tersebut, kita fahami, bahwa Islam memang memberikan porsi penghormatan kepada Ibu yang telah melahirkan kita melebihi penghormatan kepada Bapak. Alasannya cukup logis: Ibu yan telah menanggung penderitaan di atas penderitaan selama masa kandungan, sebelum melahirkan kita; Ibu yang telah menyusui, dan Ibu jugalah yang menjadi sosok awl pendidik kita (madrasatu al-ula).

Zulfan Syahansyah