18.6.08
AKKBB, REKREASI KE BALI!
Menyoal Keseriusan AKKBB
Oleh: Zulfan Syahansyah*
Menyaksikan kegigihan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam mewujudkan cita-citanya menciptakan tradisi moderat di Negara Indonesia patut diacungi jempol. Terlebih, pascatragedi Monas yang berhasil mengundang simpati khalayak ramai, terutama kalangan muslim Indonesia. Dalam hal ini dukungan beberapa organisasi Islam; ada Garda Bangsa, Banser, serta kelompok-kelompok berembel 'Islam' yang memang sebelumnya telah tergabung dalam AKKBB. Sebut saja: Jaringan Islam Liberal (JIL), Jaringan Islam Kampus (JIK), Lakpesdam NU, Fatayat NU, Wahid Institut dan tentunya beberapa organisasi, lembaga swadaya masyarakat, termasuk juga Gedong Gandhi Ashram (GGA) Bali. Sengaja yang terakhir ini penulis sebutkan. Tak lain karena saat ini penulis sedikit akan menyinggung pulau Bali sebagai pusat GGA. Klimaks dukungan yang diperoleh AKKBB berupa maraknya tuntutan pembubaran FPI
Tulisan ini tidak bermaksud mendukung salah satu kubu yang sedang bertikai; FPI atau AKKBB sendiri yang saat ini penulis jadikan objek untuk menanyakan satu hal mendasar kaitannya dengan komitmen aliansi ini untuk terciptanya kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Penulis hanya tertarik dan merasa perlu menanyakan konsistensi AKKBB dalam menjalankan perjuangannya.
Adalah kenyataan bahwa umat Islam di Indonesia saat ini menjadi kelompok mayoritas. Mudah-mudahan bisa berlanjut seterusnya. Karenanya, menjadi garapan mulia AKKBB berusaha melindungi kelompok minoritas –dalam hal ini umat nonmuslim, termasuk kaum muslim yang berbeda pemahaman agama dari kalangan umat Islam pada umumnya– dalam menjalankan keyakinan beragama dan kepercayaan mereka tanpa merasa tertindas oleh kelompok mayoritas. Pembelaan terhadap kelompok Ahmadiyah adalah salah satu contoh kegigihan AKKBB dalam aliansi kebangsaan mereka.
Harapan AKKBB
Indonesia harus betul-betul menjadi sebuah Negara hukum-moderat, berdasarkan UUD 45, berasas Pancasila. Indonesia bukan Negara agama; tidak boleh dimonopoli oleh agama Islam sebagai agama mayoritas penduduk; dan tentunya, tidak boleh juga dimonopoli oleh agama-agama lain yang diakui keberadaannya di seantaro tanah Nusantara. Kira-kira demikian harapan dan cita-cita yang diperjuangkan AKKBB. Tidak kurang tokoh nasional yang mendukung upaya tersebut. Salah satunya adalah Gus Dur; sosok ulama yang cukup disegani kalangan umat Islam; pejuang demokrasi yang juga diandalkan oleh kalangan nonmuslim terutama komunitas Konghucu. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh agama serta nasional lainnya yang ikut peduli mengembangkan faham pluralitas, Gender, serta HAM.
Sampai tahapan ini, penulis masih menganggap wajar upaya tersebut. Betul, kelompok mayoritas tidak boleh semena-mena terhadap kalangan minoritas. Penindasan, kesemena-menaan, serta pelecehan harus diberantas. Toleransi, saling menghormati adalah modal utama kemakmuran dan kedamaian sebuah bangsa, termasuk Indonesia.
Satu hal yang penulis perlu ingatkan, bahwa Indonesia terbentang dari Sabang sampai Meraoke. Maka seharusnya, sasaran AKKBB tidak hanya terbatas di pulau Jawa; bertumpu di dataran tempat tinggal masyarakat yang mayoritas beragama Islam saja. Karena jelas, benturan kendala yang dihadapi AKKBB pasti umat Islam. Maka opini tentang ‘Islam’ semakin melebar; ada Islam fundamental, moderat, juga liberal, dengan cakupan identifikasi masing-masing.
Penulis akan semakin respek jika aliansi kebangsaan ini juga menjamah daerah yang kebetulan umat Islam menjadi kelompok minoritas. Tidak usah terlalu jauh, cukup menyeberang ke sebelah timur pulau Jawa; ke pulau Bali. Di sana kelompok mayoritas adalah umat Hindu. Pastikan, sesuaikah cita-cita AKKBB dengan realita di lapangan? Sebagai contoh, saat perayaan hari raya Nyepi yang jatuh setiap tanggal 1 Saka.
Seperti yang kita maklumi bersama, ketika Nyepi, seluruh umat Hindu di Bali menjalankan ritual kepercayaan mereka dengan melakukan tapa geni; menyepi dari keramaian alam, berpuasa sejak pukul 0:0 sampai pukul 0:0 pada hari berikutnya. Tak ada akses kendaraan, listrik padam selama perayaan. Semua penduduk diwajibkan untuk tinggal di dalam rumah. Saat itu, Bali harus benar-benar sepi, hening. Masalahnya kemudian, kenapa umat non-Hindu juga diharuskan untuk “menjalankan” ritual kepercayaan mereka? Bagi mereka, pelaksanaan puasa geni adalah ibadah, tapi tidak bagi umat lain!
Contoh kasus, saat penulis masih duduk di bangku SMP, pernah terjadi peristiwa yang menegangkan antara umat Islam dan Hindu. Perayaan Nyepi dan hari raya Idul Fitri jatuh pada waktu yang bersamaan. Di satu sisi umat Hindu harus menjalankan ritual penuh keheningan, tapi di sisi lain umat Islam seperti biasanya dianjurkan merayakan hari kemenangan mereka dengan penuh suka cita. Terjadi perbedaan cara merayakan hari raya; harus sepi vs disunnahkan bersuka ria. Siapa yang “kalah”? Dalam hal ini jelas umat Islam sebagai kelompok minoritas harus menyambut malam idul fitri di tengah kewajiban bernyepi. Jika perayaan Nyepi dan Idul Fitri kembali jatuh pada waktu yang bersamaan, penulis yakin, kasus menegangkan antara umat Hindu dan muslim di Bali akan terulang kembali. Seperti biasa, pasti kalangan muslim sebagai kelompok minoritas akan kalah.
Tidak Ada Suara
Itukah makna toleransi beragama? Mewajibkan umat beragama lain untuk ikut “bertapa” ketika Nyepi? Tidakkah ini bertentangan dengan keyakinan umat-umat non-Hindu yang berdomisili di Bali? Bukankah Bali termasuk wilayah Negara Indonesia yang berasaskan hukum? Lalu kenapa dibiarkan upaya pemaksaan mengikuti ritual kepercayaan umat Hindu? Di mana suara AKKBB yang memperjuangkan kebebasan menjalankan agama? Di mana juga gaung Hak Asasi Manusia yang sering mengkritik “kesemena-menaan” umat Islam?
Penulis adalah seorang muslim yang dilahirkan dan tumbuh remaja di pulau Bali. Penulis merasakan bagaimana susahnya jika tiba waktu Nyepi. Mungkin sama menderitanya dengan umat nonmuslim yang tinggal di Pulau Jawa atau daerah berpenduduk mayoritas umat Islam, saat tiba waktu Ramadlan. Tapi pastinya, umat Islam tidak pernah melarang umat beragama lain untuk tidak makan di siang hari saat Ramadlan! Kalangan nonmuslim tidak merasakan imbas ibadah puasa. Jika ada sekelompok muslim yang melakukan razia Ramadlan, itu hanya oknum.
Memang sampai saat ini belum pernah terjadi kekerasan fisik mengatasnamakan agama di Bali. Pulau Bali relatif masih aman, damai dibandingkan daerah-daerah lain yang mayoritas berpenduduk muslim. Tak kurang dalam beberapa tahun ini Bali dijadikan lokasi perhelatan acara-acara nasional dan internasional. Hemat penulis, itu tak lain karena dua hal: pertama, umat-umat beragama minoritas di Bali sadar bahwa mereka memang bukan kelompok mayoritas; kedua, tidak pernah ada lembaga-lembaga swadaya masyarakat, semisal AKKBB yang mau mengangkat realita keberagamaan di Bali sebagai opini nasional. Entah kenapa!
Jadi, mengambil pelajaran dari kenyataan di atas, mestinya kita sama-sama melakukan introspeksi; berusaha meredam opini-opini sesaat yang hanya memarginalkan Islam dan kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas bangsa. Jika Perda Bali membenarkan upaya yang mengharuskan umat non-Hindu di Bali mentaati peraturan Nyepi, kenapa AKKBB harus ribut dan menyangsikan kedaulatan Indonesia sebagai Negara hukum pascakeluarnya SKB tiga mentri? Atau, mungkinkah terdapat agenda untuk “mengkebiri” power kelompok mayoritas di Indonesia?
*Muslim yang lahir dan besar di Bali
Alumni PP. Al-Amien Sumenep Madura
Pengurus PP. Al-Munawwariyyah Malang
Hp. 081333244422
Langganan:
Postingan (Atom)