Seperti biasanya, suasana Ramadan berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Malam harinya lebih bergairah: menjelang isya’, banyak muslim berduyun-duyun ke masjid berjama’ah sholat isya’ dan tarawih; di pagi harinya juga ke masjid menunaikan sholat subuh bersama. Ghirah (semangat) umat Islam secara umum meningkat, terutama pada aspek ibadah mahdlah.
Sementara di siang harinya, suasana nampak loyo: rutinitas saat puasa agak kendor, efektifitas jam kerja melamban. Logisnya, hasil kerja saat puasa dipastikan menurun. Bayangkan! Kerja dalam rentang waktu yang panjang dan perut isi saja produktivitas kita masih rendah. Apalagi kerja dalam rentang waktu yang lebih pendek, dengan perut lapar lagi, setidaknya itu yang saya rasa.
Memang ada yang membantah; bahwa puasa tidak serta merta mengurangi produktivitas kerja. Justru dalam keadaan puasa, pikiran lebih jernih, kerja pun lebih khusyuk, lebih konsentrasi. Waktu yang biasa dibuang untuk istirahat makan siang pun tiada. Soal perut lapar? Dua atau tiga hari lewat, tidak akan lagi terasa. Benarkah? Pastikan, lalu jawab sendiri. Bukankah masing-masing kita punya aktifitas sendiri-sendiri. Jadi ukur saja etos kerja kita antar sebelum dan saat puasa!
Akhirnya, sampailah saya pada kesimpulan: oh, jadi kita sergep beribadah “lebih” saat Ramadan, karena ada udang di balik batunya. Ada patokan pahala yang berlipat ganda saat Ramadan. Sementara di bulan-bulan lainnya, yang penting sudah menjalankan kewajiban sebagai hamba, cukup lah. Gak perlu ibadah-ibadah “tambahan” seperti saat Ramadan. Maaf, ini yang saya alami selama ini. Saya yakin, pembaca yang budiman tidak demikian.
Dalam sebuah Hadis Qudsi Allah berfirman: “semua amal ibadah manusia adalah untuk mereka sendiri, kecuali puasa. Ia milik-Ku, dan Akulah yang (tahu) memberikan ganjarannya.” Sepintas, saya meyakini bahwa ganjaran ibadah puasa jauh lebih tinggi dari ibadah-ibadah lainnya. Karena akan langsung diganjar Allah SWT, namun saya lantas sadar, emang selain Allah, siapa lagi yang akan mengganjar ibadah selain puasa: shalat kita, siapa yang menganjar selain Allah; zakat kita; haji; dan ibadah-ibdah lainnya. Jika bukan Allah, lalu siapa? Tak ada, kan..?!
Bagi saya, penegasan firman Allah untuk mengganjar lansung ibadah puasa itu hanya kiasan bahwa bulan Ramadan tak lebih hanya sebagai media latihan semata. Media yang di”fasilitasi” untuk bisa lebih baik –dalam segala aspek– di sebelas bulan lainnya. Jadi, sangat naif jika tujuan kita meningkatkan amal ibadah di bulan Ramadan hanya karena ganjarannya lebih gede, dan menyepelekan ibadah di sebelas bulan lainnya, karena ganjarannya minim. Kalau itu yang kita lakukan, maka tak ada bedanya kita dengan para spekulan, penimpun barang: mau mengeluarkan barangnya jika harga sudah naik. Na’udzu billah..
ZNS