13.8.11

Rajin Ibadah saat Ramadan saja

PELAKU AMAL SHOLEH YANG CULAS

Buka lagi, sahur lagi. Habis buka, sahur lagi.. Dua hari sudah kita jalankan puasa Ramadan. Ya, sukacita patut kita apresiasikan. Kalau tidak karena sabda Rasul tentang jaminan surga bagi muslim yang senang menyambut dan bahagia (sepanjang) kehadiran bulan penuh barokah ini, setidaknya karena karunia panjang umur: masih diberi kesempatan hidup saat Ramadan. Semuanya pasti suka diberi karunia umur panjang, bukan?!

Seperti biasanya, suasana Ramadan berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Malam harinya lebih bergairah: menjelang isya’, banyak muslim berduyun-duyun ke masjid berjama’ah sholat isya’ dan tarawih; di pagi harinya juga ke masjid menunaikan sholat subuh bersama. Ghirah (semangat) umat Islam secara umum meningkat, terutama pada aspek ibadah mahdlah.

Sementara di siang harinya, suasana nampak loyo: rutinitas saat puasa agak kendor, efektifitas jam kerja melamban. Logisnya, hasil kerja saat puasa dipastikan menurun. Bayangkan! Kerja dalam rentang waktu yang panjang dan perut isi saja produktivitas kita masih rendah. Apalagi kerja dalam rentang waktu yang lebih pendek, dengan perut lapar lagi, setidaknya itu yang saya rasa.

Memang ada yang membantah; bahwa puasa tidak serta merta mengurangi produktivitas kerja. Justru dalam keadaan puasa, pikiran lebih jernih, kerja pun lebih khusyuk, lebih konsentrasi. Waktu yang biasa dibuang untuk istirahat makan siang pun tiada. Soal perut lapar? Dua atau tiga hari lewat, tidak akan lagi terasa. Benarkah? Pastikan, lalu jawab sendiri. Bukankah masing-masing kita punya aktifitas sendiri-sendiri. Jadi ukur saja etos kerja kita antar sebelum dan saat puasa!
***

Tentang meningkatnya ibadah mahdah di bulan Ramadan, saya justru tak habis fikir: kok bisa-bisanya kita tak sadar bahwa kita malah ‘sok tahu’, dan pamrih abis!? Maksudnya begini, diakui atau tidak, pada umumnya memang ada peningkatan ibadah secara siknifikan saat Ramadan. Jika ditanya kenapa, pasti jawabannya karena kebarokahan dan berlipat gandanya ganjaran bagi pelaku amal shaleh. Hampir tak ada jawaban lainnya.

Akhirnya, sampailah saya pada kesimpulan: oh, jadi kita sergep beribadah “lebih” saat Ramadan, karena ada udang di balik batunya. Ada patokan pahala yang berlipat ganda saat Ramadan. Sementara di bulan-bulan lainnya, yang penting sudah menjalankan kewajiban sebagai hamba, cukup lah. Gak perlu ibadah-ibadah “tambahan” seperti saat Ramadan. Maaf, ini yang saya alami selama ini. Saya yakin, pembaca yang budiman tidak demikian.

Dalam sebuah Hadis Qudsi Allah berfirman: “semua amal ibadah manusia adalah untuk mereka sendiri, kecuali puasa. Ia milik-Ku, dan Akulah yang (tahu) memberikan ganjarannya.” Sepintas, saya meyakini bahwa ganjaran ibadah puasa jauh lebih tinggi dari ibadah-ibadah lainnya. Karena akan langsung diganjar Allah SWT, namun saya lantas sadar, emang selain Allah, siapa lagi yang akan mengganjar ibadah selain puasa: shalat kita, siapa yang menganjar selain Allah; zakat kita; haji; dan ibadah-ibdah lainnya. Jika bukan Allah, lalu siapa? Tak ada, kan..?!

Bagi saya, penegasan firman Allah untuk mengganjar lansung ibadah puasa itu hanya kiasan bahwa bulan Ramadan tak lebih hanya sebagai media latihan semata. Media yang di”fasilitasi” untuk bisa lebih baik –dalam segala aspek– di sebelas bulan lainnya. Jadi, sangat naif jika tujuan kita meningkatkan amal ibadah di bulan Ramadan hanya karena ganjarannya lebih gede, dan menyepelekan ibadah di sebelas bulan lainnya, karena ganjarannya minim. Kalau itu yang kita lakukan, maka tak ada bedanya kita dengan para spekulan, penimpun barang: mau mengeluarkan barangnya jika harga sudah naik. Na’udzu billah..

ZNS

TAQWA TUJUAN PUASA RAMADAN

PUASA UNTUK LATIHAN TAKWA

Oleh: Zulfan Syahansya


Dengan perenungan yang mendalam, akhirnya kita semakin bisa memahami kenapa intisari ibadah puasa mengarah pada ketakwaan. Setidaknya jika kita mulai pemahaman takwa seperti dijelaskan dalam al-Qur’an, surah Al-Baqarah: “Itulah kitab yang tak ada keraguan sedikit pun; sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa: orang-orang yang beriman pada hal gaib; menegakkan sholat; mendarmakan sebagian harat; percaya kepada ajaran yang diturunkan kepada Nabi SAW, dan yang diturunkan sebelum beliau; dan yakin akan Hari Akhirat

Dari kelima dasar yang menjadi ciri ketakwaan tersebut, dasar pertama, yaitu iman pada hal gaib, mendapatkan penanaman dan penguatan dalam ibadah puasa. Dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya, hanya puasa yang menjadi the most personal-worship, ibadah yang sangat peribadi; tanpa jaminan bagi orang lain untuk sepenuhnya melihat, apalagi menilainya. Tidak demikian halnya dengan ibadah selain puasa. Dalam Hadis Qudsi Allah berfirman: “Puasa adalah untukku semata, dan akulah yang mengganjarnya.” Intinya, tidak ada satu pun yang tahu prihal ibadah puasa seseorang kecuali yang bersangkutan dan Allah SWT.

Puasa tidak sama dengan sholat yang dianjurkan berjama’ah (bersama orang lain). Puasa juga beda dengan zakat, yang memang boleh “ditampakkan”, karena tujuan utamanya adalah sebagai solusi masalah sosial. Diukur dengan haji pun puasa lebih rahasia, sebab ibadah haji dilakukan ditengah orang banyak. Jika sholat, zakat dan haji, orang bisa menilai bahkan memuji, karenanya yang bersangkutan jadi “terpuji”; tidak demikian puasa, sekali lagi, cuma Allah yang mengganjar. Bisa saja kita berlagak puasa di tengah keramaian, namun mokel saat sendirian. Tak akan ada yang tahu kecuali yang bersangkutan dan Allah.

Mengapa orang bersedia menahan lapar dan dahaga, menahan pemenuhan nafsu biologis lainnya, padahal dia bisa melakukan itu semua kapan saja dia mau secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, tanpa ada satu pun yang tahu? Jawabannya tak lain, karena dia tahu ada dzat yang maha mengetahui dan yang selalu mengintai gerak-gerik setiap sesuatu di jagat ini, tanpa kelengahan sedikit pun. Ia tidak akan melanggar satu larangan meski berada dalam kesendirian, tak ada satu pun orang bersamanya, karena Dia yang scara gaib selalu hadir bersamanya. Yaitu Allah subhanahu wata’ala.

Latihan merasakan kegaiban yang Maha Gaib inilah yang menjadi pondasi utama amalan dalam pelaksanaan ibadah puasa. Maka, jika seorang muslim sukses menjalankan ibadah puasa dangan baik dan benar, dipastikan –sesuai sabda Nabi– semua dosa-dosanya terdahulu akan diampuni Allah SWT. Dan dipastikan kualitas ketakwaannya semakin meningkat. Itulah sebabnya, kenapa Allah pertegas tujuan dalam kewajiban berpuasa, agar menjadi orang-orang yang bertaqwa. Wallahu a’lam bi al shawab.

ZNS

MENGENDALIKAN HAWA NAFSU

PLUS-MINUS HAWA NAFSU

Bagi orang tua yang khawatir kondisi fisik anaknya karena sukar makan, bisa jadi segala upaya dilakukan agar si buah hati mau mengunyah makanan. Keadaan seperti ini sudah biasa dan sering terjadi. Sambil merayu dan bermain, sampai jalan-jalan ke tempat rekreasi tidak jarang dilakukan untuk membangkitkan selera makan si kecil. Atau, tarulah kita sendiri sebagai contoh, ketika nafsu makan tidak ada, makanan yang katanya enak pun, tidak bisa membangkitkan selera makan kita. Seperti tujuan merangsang makan anak-anak, kita pun acapkali butuh situasi dan kondisi untuk membangkitkan selera makan. Itulah gambaran nafsu makan yang sedang bermasalah.

Adalagi contoh kondisi nafsu yang bermasalah: kebalikan dari kondisi nafsu makan di atas. Kalau tidak sehatnya nafsu pertama karena minus selera makan –terlepas dari motif penyebabnya– pada kondisi nafsu berikutnya karena terlalu bersemangat makan hingga melebihi kewajaran. Jika semestinya cukup dengan porsi makanan satu atau dua piring, karena nafsu sedang “sakit”, keinginan makan dan minum jadi over. Semua makanan atau minuman yang tersedia, maunya diembat habis. Ingat ketika sedang berpuasa, waktu siang hari sampai menjelang buka adalah masa-masa godaan untuk perut yang sedang keroncongan: melihat makanan, meski biasanya tidak selera, pada saat tersebut, jadi nampak menggoda selera.

Ringkasnya, begitulah gambaran hawanafsu. Di satu sisi kita membutuhkannya, sementara di sisi lain kita bahkan wajib mengekangnya. Nafsu kita butuhkan, karena ia adalah keinginan yang langsung memotifasi dan dapat melahirkan inspirasi untuk setiap pekerjaan. Tanpa nafsu, tak mungkin manusia bisa menciptakan semua kecanggihan tekhnologi seperti saat ini. Malaikat adalah makhluk Allah yang tak memiliki nafsu. Maka tak ada inspirasi yang lahir dari mereka. Semua pekerjaan Malaikat tak lain hanya menjalankan perintah langsung dari Allah.

Malaikat pencabut nyawa, sejak diciptakan hingga akhir masa, tetap saja kerjaannya mencabut nyawa; yang bertugas membagi rizqi, hingga kiamat menjelang pun, tugasnya, ya itu. Tak ada inspirasi atau inisiatif dari Malaikat untuk setiap pekerjaannya. Itulah contoh bagaimana ternyata nafsu bisa mendatangkan inspirasi. Dengan adanya nafsu juga, peran Allah dalam menciptakan manusia sudah banyak dibantu manusia itu sendiri. Dalam sejarah, hanya segelintir manusia yang bisa meneruskan keturunannya (punya anak), yang betul-betul karena “kasat mata” pemberian Allah SWT; selebihnya, manusia sendirilah yang berusaha untuk meneruskan keturunannya.

Selain itu, ternyata kita juga wajib mengontrol nafsu agar tidak “liar”. Karena memang kenyataannya nafsu sering kali sukar dikendalikan. Nafsu condong membisikkan perbuatan jelek kepada manusia. Nabi Muhammad pun, seperti sering dikutip, telah menegaskan beratnya perang menundukkan hawanafsu, jauh melebihi ganasnya perang melawan bala tentara.

Dalam momentum Ramadan kali ini, saya hanya ingin mencatat satu dari sekian hikmah puasa di bulan yang penuh barakah ini. Sebagaimana kita ketahuai, makna puasa yang dalam bahasa Arabnya ‘assiyam’, berarti menahan diri. Cukup logis jika ada pertanyaan, apa yang perlu dikendalikan dari diri manusia? Anggota badannya kah?; jiwa manusia?; Atau mungkin ruhnya? Bukankah jenjang puasa Ramadan memang terbagi ke dalam tiga katagori di atas.

Imam Gazali dalam Ihya Ululmuddinnya menulis bahwa satu kesatuan organ tubuh manusia bagaikan sebuah kerajaan. Di sana ada prajurit, punggawa, panglima sampai rajanya juga ada. Tak perlu secara detail saya paparkan perumpamaan tersebut. Yang jelas, kalbu memiliki peranan penting dalam keberlangsunga “roda kerajaan” diri, tentunya dengan bantuan akal. Sedangkan nafsu, ia menjadi bagaikan punggawa: sangat bermanfaat jika loyalitasnya tinggi; atau sebaliknya, ia bisa menghancurkan kerajaan dengan penghianatan yang mungkin dilakukannya.

Bagi saya, asal mau berfikir objektif-realistis, akal manusia secara normal terbukti cukup mumpuni mengontrol hawa nafsu. Pelajaran berharga ini bisa kita ambil dari intisari pendidikan puasa Ramadan. Contonya sederhana saja, sesaat sebelum berbuka, sebagaimana di atas, semua hidangan di meja merangsang untuk dilahap. Tapi, ketika waktu buka tiba, setelah ta’jil dan makan secukupnya, semua keinginan nafsu yang sebelumnya membara jadi meredup seketika. Malihat makanan yang sejam lalu nampak menggairahkan, setelah buka, tidak lagi.

Saya pun berkesimpulan, ternyata hawa nafsu selalu menggoda manusia untuk melakukan hal-hal yang bahkan di luar batas kebutuhannya. Pada titik inilah peran akal sangat dibutuhkan. Akal dapat menjadi barometer kebutuhan diri; akal menakar batasan-batasan segala sesuatu sesuai keperluan, agar diri tidak terjerembab keinginan hawa nafsu sukar dirkontrol. Dalam konteks inilah dapat kita fahami firman Allah: innal mubaddirina kanÅ© ikhwânas syayâtÄ©n, sesungguhnya orang-orang yang berlebih-lebihan itu termasuk saudaranya syaitan. Wallahu a’lam bi alshawab.

ZNS

MENGENDALIKAN HAWA NAFSU

PLUS-MINUS HAWA NAFSU

Bagi orang tua yang khawatir kondisi fisik anaknya karena sukar makan, bisa jadi segala upaya dilakukan agar si buah hati mau mengunyah makanan. Keadaan seperti ini sudah biasa dan sering terjadi. Sambil merayu dan bermain, sampai jalan-jalan ke tempat rekreasi tidak jarang dilakukan untuk membangkitkan selera makan si kecil. Atau, tarulah kita sendiri sebagai contoh, ketika nafsu makan tidak ada, makanan yang katanya enak pun, tidak bisa membangkitkan selera makan kita. Seperti tujuan merangsang makan anak-anak, kita pun acapkali butuh situasi dan kondisi untuk membangkitkan selera makan. Itulah gambaran nafsu makan yang sedang bermasalah.

Adalagi contoh kondisi nafsu yang bermasalah: kebalikan dari kondisi nafsu makan di atas. Kalau tidak sehatnya nafsu pertama karena minus selera makan –terlepas dari motif penyebabnya– pada kondisi nafsu berikutnya karena terlalu bersemangat makan hingga melebihi kewajaran. Jika semestinya cukup dengan porsi makanan satu atau dua piring, karena nafsu sedang “sakit”, keinginan makan dan minum jadi over. Semua makanan atau minuman yang tersedia, maunya diembat habis. Ingat ketika sedang berpuasa, waktu siang hari sampai menjelang buka adalah masa-masa godaan untuk perut yang sedang keroncongan: melihat makanan, meski biasanya tidak selera, pada saat tersebut, jadi nampak menggoda selera.

Ringkasnya, begitulah gambaran hawanafsu. Di satu sisi kita membutuhkannya, sementara di sisi lain kita bahkan wajib mengekangnya. Nafsu kita butuhkan, karena ia adalah keinginan yang langsung memotifasi dan dapat melahirkan inspirasi untuk setiap pekerjaan. Tanpa nafsu, tak mungkin manusia bisa menciptakan semua kecanggihan tekhnologi seperti saat ini. Malaikat adalah makhluk Allah yang tak memiliki nafsu. Maka tak ada inspirasi yang lahir dari mereka. Semua pekerjaan Malaikat tak lain hanya menjalankan perintah langsung dari Allah.

Malaikat pencabut nyawa, sejak diciptakan hingga akhir masa, tetap saja kerjaannya mencabut nyawa; yang bertugas membagi rizqi, hingga kiamat menjelang pun, tugasnya, ya itu. Tak ada inspirasi atau inisiatif dari Malaikat untuk setiap pekerjaannya. Itulah contoh bagaimana ternyata nafsu bisa mendatangkan inspirasi. Dengan adanya nafsu juga, peran Allah dalam menciptakan manusia sudah banyak dibantu manusia itu sendiri. Dalam sejarah, hanya segelintir manusia yang bisa meneruskan keturunannya (punya anak), yang betul-betul karena “kasat mata” pemberian Allah SWT; selebihnya, manusia sendirilah yang berusaha untuk meneruskan keturunannya.

Selain itu, ternyata kita juga wajib mengontrol nafsu agar tidak “liar”. Karena memang kenyataannya nafsu sering kali sukar dikendalikan. Nafsu condong membisikkan perbuatan jelek kepada manusia. Nabi Muhammad pun, seperti sering dikutip, telah menegaskan beratnya perang menundukkan hawanafsu, jauh melebihi ganasnya perang melawan bala tentara.

Dalam momentum Ramadan kali ini, saya hanya ingin mencatat satu dari sekian hikmah puasa di bulan yang penuh barakah ini. Sebagaimana kita ketahuai, makna puasa yang dalam bahasa Arabnya ‘assiyam’, berarti menahan diri. Cukup logis jika ada pertanyaan, apa yang perlu dikendalikan dari diri manusia? Anggota badannya kah?; jiwa manusia?; Atau mungkin ruhnya? Bukankah jenjang puasa Ramadan memang terbagi ke dalam tiga katagori di atas.

Imam Gazali dalam Ihya Ululmuddinnya menulis bahwa satu kesatuan organ tubuh manusia bagaikan sebuah kerajaan. Di sana ada prajurit, punggawa, panglima sampai rajanya juga ada. Tak perlu secara detail saya paparkan perumpamaan tersebut. Yang jelas, kalbu memiliki peranan penting dalam keberlangsunga “roda kerajaan” diri, tentunya dengan bantuan akal. Sedangkan nafsu, ia menjadi bagaikan punggawa: sangat bermanfaat jika loyalitasnya tinggi; atau sebaliknya, ia bisa menghancurkan kerajaan dengan penghianatan yang mungkin dilakukannya.

Bagi saya, asal mau berfikir objektif-realistis, akal manusia secara normal terbukti cukup mumpuni mengontrol hawa nafsu. Pelajaran berharga ini bisa kita ambil dari intisari pendidikan puasa Ramadan. Contonya sederhana saja, sesaat sebelum berbuka, sebagaimana di atas, semua hidangan di meja merangsang untuk dilahap. Tapi, ketika waktu buka tiba, setelah ta’jil dan makan secukupnya, semua keinginan nafsu yang sebelumnya membara jadi meredup seketika. Malihat makanan yang sejam lalu nampak menggairahkan, setelah buka, tidak lagi.

Saya pun berkesimpulan, ternyata hawa nafsu selalu menggoda manusia untuk melakukan hal-hal yang bahkan di luar batas kebutuhannya. Pada titik inilah peran akal sangat dibutuhkan. Akal dapat menjadi barometer kebutuhan diri; akal menakar batasan-batasan segala sesuatu sesuai keperluan, agar diri tidak terjerembab keinginan hawa nafsu sukar dirkontrol. Dalam konteks inilah dapat kita fahami firman Allah: innal mubaddirina kanÅ© ikhwânas syayâtÄ©n, sesungguhnya orang-orang yang berlebih-lebihan itu termasuk saudaranya syaitan. Wallahu a’lam bi alshawab.

ZNS

Kemulian Umat Akhir Zaman

KITA BERPOTENSI MENGALAHKAN NABI MUSA

Nabi Musa bertanya kepada Allah:“Wahai Allah, apakah ada seseorang yang mendapatkan kemuliaan bisa berbicara dengan-Mu, sebagaimana saya saat ini?” Allah lantas menjawab:“Wahai Musa, di akhir zaman nanti ada umat yang Aku muliakan ketika bulan Ramadan. Dan Saya lebih dekat kepada mereka dibandanding kamu.”

Dalam sejarah teologis agama-agama (millah) Ibrahim: Yahudi, Nasrani dan Islam; yang mula-mula diberi kemuliaan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah adalah Nabi Musa as. Waktu itu Musa menerima langsung sepuluh perintah (Ten Commendement) dari Tuhan untuk disampakana kepada umatnya. Kemulian serupa juga dianugrahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dikala menerima perintah shalat lima waktu; saat peristiwa Isra’ Mi’raj.

Selain keduanya, tak ada lagi yang mendapatkan kemuliaan berkomunikasi langsung dengan Allah. Kecuali pada moment seperti dijelaskan tadi: baik Musa, atau Muhammad tidak pernah lagi mendapatkan kesempatan tersebut. Semua ajaran-ajaran dari langit disampaikan Allah melalui perantara Jibril. Pastinya, selain karena mulianya ajaran yang disampaikan tadi -hingga Allah langsung yang menyampaikannya- sosok yang mendapat kemuliaan tersebut (Musa dan Muhammad) memang sebenar-benar manusia pilihan dan sangat dekat dengan Tuhannya.

Menyadari kemulian yang diperolehnya, Nabi Musa lantas bertanya kepada Allah:“Wahai Allah, apakah ada seseorang yang mendapatkan kemuliaan bisa berbicara dengan-Mu, sebagaimana saya saat ini?” Allah lantas menjawab:“Wahai Musa, di akhir zaman nanti ada umat yang Aku muliakan ketika bulan Ramadan. Dan Saya lebih dekat kepada mereka dibandanding kamu.” (Hadis dari Sahabat Anas bin Malik)

Dari penggalan hadis di atas, bisa difaham, kenapa sampai Rasulullah menegaskan keinginan umatnya agar semua bulan sepanjang tahun menjadi Ramadan. Bahkan beliau sampai nangis tersedu-sedu setiap kali akan berakhir bulan suci ini.

***

Saat ini, selagi kita masih di pertengahan Ramadan, mumpung bulan suci ini masih belum berlalu, selayaknya kita perbanyak harapan untuk meraih kasih sayang dan ampunan Allah. Lebih dari itu, kita wajib meyakini bahwa semua permintaan kita (selagi dekat, bahkan sangat dekat dengan Allah) pasti terkabul.

Begitulah janji Allah untuk umat Muhammad. Sebagaimana penjelasan Jibril kepada Rasul ketika bertanya apa yang Allah perbuat di malam-malam Ramadan. Bahwa Allah memandang dengan penuh rahmat dan ampunan kepada kaum muslim saat Ramadan.Wallau a'lam bi alshawab.

Akhirnya, mari saya mengajak diri sendiri dan segenap pembaca sekalian untuk terus meningkatkan dan berkompetisi meraih sebanyak mungkin magfirah dan ampunan Allah SWT, selama bulan suci ini…

ZLF

9.8.11

SATU DARI SEKIAN SISI PENDIDIKAN RAMADAN

PUASA: IMAN SEBAGAI LANDASAN INTROSPEKSI

Selain sebagai bulan yang penuh barakah, Ramadan juga disebut syahrun al-tarbiyyah, bulan pendidikan. Di bulan ini, umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa yang muaranya mengantarkan pada satu sikap mulia, yakni ketaqwaan. (QS. 2:183). Kaitannya dengan tujuan kependidikan, ada satu hadis yang sangat masyhur, “Man syãma Ramadãna imãnan wahtisãban gufira lahu mã taqaddama min danbihi: barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan karena dilandasi keimanan dan berintrospeksi diri, niscaya diampuni dosa-dosanya yang lampau”.

Mencermati hadis tersebut, terdapat satu kandungan pendidikan bagi setiap muslim yang benar-benar memahami tujuan diwajibkannya puasa Ramadan. Ada dua kata kunci dalam hadis tersebut yang menarik diketengahkan pada kesempatan ini, yakni: keimanan dan introspeksi diri. Sebagai penggiat kebahasaan, penulis tertarik mempertanyakan: kenapa sikap iman didadhulukan sebelum upaya introspeksi?

Jika ditinjau dari kajian linguistik, susunan kebahasaan hadis tersebut masuk pada ranah komunikatif. Akan berbeda makna jika saja kata “introspeksi” didahulukan sebelum kata “iman”. Dari sini juga bisa terurai muatan makna pendidikan yang bisa difaham oleh kita umat Islam. Kandungan hadis mengisyaratkan kita agar keimanan dijadikan pedoman dasar untuk berintrospeksi diri dalam setiap lini kehidupan; di bidang apapun kita berkiprah dalam kehidupan, maka keimanan menjadi landasan mengintrospeksi diri.

Setiap orang tentu melihat pentingnya upaya introspeksi diri. Landasannya macam-macam. Seorang pejabat –umpamanya– untuk melanggengkan kedudukannya, dia membutuhkan introspeksi diri; aparat, juga demikian; politikus, apalagi. Bahkan penjahat pun tidak ketinggalan berintrospeksi diri dalam menjalankan “tugas” kejahatannya. Pada titik ini, upaya introspeksi bermuara pada kesusksesan tugas atau kapasitas pekerjaan seseorang. Dalam kata lain, introspeksi bermakna strategi.

Dari sini jelas, apa yang perlu dilatih umat Islam selama Ramadan: menjadikan keimanan sebagai landasan introspeksi atau strategi dalam menjalankan kehidupan pada sebelas bulan lainnya. Maka tidak heran jika keimana sebagai landasan introspeksi diri, segala dosa-dosa diri akan terampuni. Ini menjadi satu kewajaran. Tanpa itu, tidak cukup alasan dosa kita bisa terampuni. Terlepas dari sifat Rahman dan Rahim Allah, seyogyanya kita berfikir: bagaimana Allah akan mengampuni dosa-dosa kita, jika upaya introspeksi tidak berlandaskan keimanan.

Lantas, kenapa harus keimana yang menjadi landasan introspeksi? Ilustrasi sebagai jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah memaknai keimanan sebagai sikap inti dalam peribadatan, sebagai naluri utama kita. Hal ini disebabkan, secara alami, sejak lahir kita sudah membawa perjanjian primordial untuk hanya menyembah kepada Tuhan. Jika naluri ini tidak tersalurkan dengan benar, dampaknya bisa mengarah “sembarangan”, sehingga yang dihadapi manusia bukan persoalan tidak menyembah Tuhan tetapi terlalu banyak yang disembah. Inilah relevansinya kenapa kredo Islam dimulai dengan negasi, lâ ilâha (tiada Tuhan), yaitu untuk membebaskan dari segala macam keper­cayaan, baru dilanjutkan dengan illâllâh (kecuali kepada Allah). Setiap kepercayaan akan memperbudak.

Kalau kita percaya kepada cincin yang dapat mendatangkan rejeki, misalnya, secara apriori kita telah kalah dengan cincin tersebut dan dengan sendirinya kita menjadi lebih rendah dari batu. Inilah yang disebut syirik, yaitu menempatkan diri tidak sesuai dengan rencana Tuhan sebagai makhluk tertinggi. Dari sini, dapat dimengerti kenapa syirik disebut dalam Al-Quran sebagai dosa yang paling besar.

Karena persoalannya bukan tidak percaya kepada Tuhan, maka meski komunisme secara formal menyatakan diri sebagai ateis, pada kenyataannya tidaklah demikian. Komunisme menjadi ajaran agama yang lengkap dengan segala atribut, termasuk ibadah dan ritusnya. Hal ini bisa dilihat ketika anggota PKI telah menyanyikan lagu genjer-genjer, mereka bisa mengalami ekstase.

Bagi mereka, lagu genjer-genjer berfungsi sebagaimana Shalawat Badar bagi kalangan NU. Mereka juga memiliki kitab suci, seperti teks kapital dan kutipan-kutipan ketua Mao. Atau dapat juga dilihat bagaimana sikap orang-orang komunis di lapangan merah yang mirip dengan sikap orang-orang Katolik di Vatikan, orang Yahudi di Yerussalem, orang Islam di Makkah, yaitu sikap mensucikan diri. Maka, komunisme telah menjadi agama, atau lebih tepatnya religion equipment, menyerupai agama tetapi tidak mengakui dirinya sebagai agama. Komunisme yang sedianya diciptakan untuk menolak teisme, justru berubah menjadi religion equipment. Hal ini membuktikan bahwa manusia tidak mungkin tidak bertuhan.

ZfS