PUASA: IMAN SEBAGAI LANDASAN INTROSPEKSI
Selain sebagai bulan yang penuh barakah, Ramadan juga disebut syahrun al-tarbiyyah, bulan pendidikan. Di bulan ini, umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa yang muaranya mengantarkan pada satu sikap mulia, yakni ketaqwaan. (QS. 2:183). Kaitannya dengan tujuan kependidikan, ada satu hadis yang sangat masyhur, “Man syãma Ramadãna imãnan wahtisãban gufira lahu mã taqaddama min danbihi: barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan karena dilandasi keimanan dan berintrospeksi diri, niscaya diampuni dosa-dosanya yang lampau”.
Mencermati hadis tersebut, terdapat satu kandungan pendidikan bagi setiap muslim yang benar-benar memahami tujuan diwajibkannya puasa Ramadan. Ada dua kata kunci dalam hadis tersebut yang menarik diketengahkan pada kesempatan ini, yakni: keimanan dan introspeksi diri. Sebagai penggiat kebahasaan, penulis tertarik mempertanyakan: kenapa sikap iman didadhulukan sebelum upaya introspeksi?
Jika ditinjau dari kajian linguistik, susunan kebahasaan hadis tersebut masuk pada ranah komunikatif. Akan berbeda makna jika saja kata “introspeksi” didahulukan sebelum kata “iman”. Dari sini juga bisa terurai muatan makna pendidikan yang bisa difaham oleh kita umat Islam. Kandungan hadis mengisyaratkan kita agar keimanan dijadikan pedoman dasar untuk berintrospeksi diri dalam setiap lini kehidupan; di bidang apapun kita berkiprah dalam kehidupan, maka keimanan menjadi landasan mengintrospeksi diri.
Setiap orang tentu melihat pentingnya upaya introspeksi diri. Landasannya macam-macam. Seorang pejabat –umpamanya– untuk melanggengkan kedudukannya, dia membutuhkan introspeksi diri; aparat, juga demikian; politikus, apalagi. Bahkan penjahat pun tidak ketinggalan berintrospeksi diri dalam menjalankan “tugas” kejahatannya. Pada titik ini, upaya introspeksi bermuara pada kesusksesan tugas atau kapasitas pekerjaan seseorang. Dalam kata lain, introspeksi bermakna strategi.
Dari sini jelas, apa yang perlu dilatih umat Islam selama Ramadan: menjadikan keimanan sebagai landasan introspeksi atau strategi dalam menjalankan kehidupan pada sebelas bulan lainnya. Maka tidak heran jika keimana sebagai landasan introspeksi diri, segala dosa-dosa diri akan terampuni. Ini menjadi satu kewajaran. Tanpa itu, tidak cukup alasan dosa kita bisa terampuni. Terlepas dari sifat Rahman dan Rahim Allah, seyogyanya kita berfikir: bagaimana Allah akan mengampuni dosa-dosa kita, jika upaya introspeksi tidak berlandaskan keimanan.
Lantas, kenapa harus keimana yang menjadi landasan introspeksi? Ilustrasi sebagai jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah memaknai keimanan sebagai sikap inti dalam peribadatan, sebagai naluri utama kita. Hal ini disebabkan, secara alami, sejak lahir kita sudah membawa perjanjian primordial untuk hanya menyembah kepada Tuhan. Jika naluri ini tidak tersalurkan dengan benar, dampaknya bisa mengarah “sembarangan”, sehingga yang dihadapi manusia bukan persoalan tidak menyembah Tuhan tetapi terlalu banyak yang disembah. Inilah relevansinya kenapa kredo Islam dimulai dengan negasi, lâ ilâha (tiada Tuhan), yaitu untuk membebaskan dari segala macam kepercayaan, baru dilanjutkan dengan illâllâh (kecuali kepada Allah). Setiap kepercayaan akan memperbudak.
Kalau kita percaya kepada cincin yang dapat mendatangkan rejeki, misalnya, secara apriori kita telah kalah dengan cincin tersebut dan dengan sendirinya kita menjadi lebih rendah dari batu. Inilah yang disebut syirik, yaitu menempatkan diri tidak sesuai dengan rencana Tuhan sebagai makhluk tertinggi. Dari sini, dapat dimengerti kenapa syirik disebut dalam Al-Quran sebagai dosa yang paling besar.
Karena persoalannya bukan tidak percaya kepada Tuhan, maka meski komunisme secara formal menyatakan diri sebagai ateis, pada kenyataannya tidaklah demikian. Komunisme menjadi ajaran agama yang lengkap dengan segala atribut, termasuk ibadah dan ritusnya. Hal ini bisa dilihat ketika anggota PKI telah menyanyikan lagu genjer-genjer, mereka bisa mengalami ekstase.
Bagi mereka, lagu genjer-genjer berfungsi sebagaimana Shalawat Badar bagi kalangan NU. Mereka juga memiliki kitab suci, seperti teks kapital dan kutipan-kutipan ketua Mao. Atau dapat juga dilihat bagaimana sikap orang-orang komunis di lapangan merah yang mirip dengan sikap orang-orang Katolik di Vatikan, orang Yahudi di Yerussalem, orang Islam di Makkah, yaitu sikap mensucikan diri. Maka, komunisme telah menjadi agama, atau lebih tepatnya religion equipment, menyerupai agama tetapi tidak mengakui dirinya sebagai agama. Komunisme yang sedianya diciptakan untuk menolak teisme, justru berubah menjadi religion equipment. Hal ini membuktikan bahwa manusia tidak mungkin tidak bertuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar