13.8.11

MENGENDALIKAN HAWA NAFSU

PLUS-MINUS HAWA NAFSU

Bagi orang tua yang khawatir kondisi fisik anaknya karena sukar makan, bisa jadi segala upaya dilakukan agar si buah hati mau mengunyah makanan. Keadaan seperti ini sudah biasa dan sering terjadi. Sambil merayu dan bermain, sampai jalan-jalan ke tempat rekreasi tidak jarang dilakukan untuk membangkitkan selera makan si kecil. Atau, tarulah kita sendiri sebagai contoh, ketika nafsu makan tidak ada, makanan yang katanya enak pun, tidak bisa membangkitkan selera makan kita. Seperti tujuan merangsang makan anak-anak, kita pun acapkali butuh situasi dan kondisi untuk membangkitkan selera makan. Itulah gambaran nafsu makan yang sedang bermasalah.

Adalagi contoh kondisi nafsu yang bermasalah: kebalikan dari kondisi nafsu makan di atas. Kalau tidak sehatnya nafsu pertama karena minus selera makan –terlepas dari motif penyebabnya– pada kondisi nafsu berikutnya karena terlalu bersemangat makan hingga melebihi kewajaran. Jika semestinya cukup dengan porsi makanan satu atau dua piring, karena nafsu sedang “sakit”, keinginan makan dan minum jadi over. Semua makanan atau minuman yang tersedia, maunya diembat habis. Ingat ketika sedang berpuasa, waktu siang hari sampai menjelang buka adalah masa-masa godaan untuk perut yang sedang keroncongan: melihat makanan, meski biasanya tidak selera, pada saat tersebut, jadi nampak menggoda selera.

Ringkasnya, begitulah gambaran hawanafsu. Di satu sisi kita membutuhkannya, sementara di sisi lain kita bahkan wajib mengekangnya. Nafsu kita butuhkan, karena ia adalah keinginan yang langsung memotifasi dan dapat melahirkan inspirasi untuk setiap pekerjaan. Tanpa nafsu, tak mungkin manusia bisa menciptakan semua kecanggihan tekhnologi seperti saat ini. Malaikat adalah makhluk Allah yang tak memiliki nafsu. Maka tak ada inspirasi yang lahir dari mereka. Semua pekerjaan Malaikat tak lain hanya menjalankan perintah langsung dari Allah.

Malaikat pencabut nyawa, sejak diciptakan hingga akhir masa, tetap saja kerjaannya mencabut nyawa; yang bertugas membagi rizqi, hingga kiamat menjelang pun, tugasnya, ya itu. Tak ada inspirasi atau inisiatif dari Malaikat untuk setiap pekerjaannya. Itulah contoh bagaimana ternyata nafsu bisa mendatangkan inspirasi. Dengan adanya nafsu juga, peran Allah dalam menciptakan manusia sudah banyak dibantu manusia itu sendiri. Dalam sejarah, hanya segelintir manusia yang bisa meneruskan keturunannya (punya anak), yang betul-betul karena “kasat mata” pemberian Allah SWT; selebihnya, manusia sendirilah yang berusaha untuk meneruskan keturunannya.

Selain itu, ternyata kita juga wajib mengontrol nafsu agar tidak “liar”. Karena memang kenyataannya nafsu sering kali sukar dikendalikan. Nafsu condong membisikkan perbuatan jelek kepada manusia. Nabi Muhammad pun, seperti sering dikutip, telah menegaskan beratnya perang menundukkan hawanafsu, jauh melebihi ganasnya perang melawan bala tentara.

Dalam momentum Ramadan kali ini, saya hanya ingin mencatat satu dari sekian hikmah puasa di bulan yang penuh barakah ini. Sebagaimana kita ketahuai, makna puasa yang dalam bahasa Arabnya ‘assiyam’, berarti menahan diri. Cukup logis jika ada pertanyaan, apa yang perlu dikendalikan dari diri manusia? Anggota badannya kah?; jiwa manusia?; Atau mungkin ruhnya? Bukankah jenjang puasa Ramadan memang terbagi ke dalam tiga katagori di atas.

Imam Gazali dalam Ihya Ululmuddinnya menulis bahwa satu kesatuan organ tubuh manusia bagaikan sebuah kerajaan. Di sana ada prajurit, punggawa, panglima sampai rajanya juga ada. Tak perlu secara detail saya paparkan perumpamaan tersebut. Yang jelas, kalbu memiliki peranan penting dalam keberlangsunga “roda kerajaan” diri, tentunya dengan bantuan akal. Sedangkan nafsu, ia menjadi bagaikan punggawa: sangat bermanfaat jika loyalitasnya tinggi; atau sebaliknya, ia bisa menghancurkan kerajaan dengan penghianatan yang mungkin dilakukannya.

Bagi saya, asal mau berfikir objektif-realistis, akal manusia secara normal terbukti cukup mumpuni mengontrol hawa nafsu. Pelajaran berharga ini bisa kita ambil dari intisari pendidikan puasa Ramadan. Contonya sederhana saja, sesaat sebelum berbuka, sebagaimana di atas, semua hidangan di meja merangsang untuk dilahap. Tapi, ketika waktu buka tiba, setelah ta’jil dan makan secukupnya, semua keinginan nafsu yang sebelumnya membara jadi meredup seketika. Malihat makanan yang sejam lalu nampak menggairahkan, setelah buka, tidak lagi.

Saya pun berkesimpulan, ternyata hawa nafsu selalu menggoda manusia untuk melakukan hal-hal yang bahkan di luar batas kebutuhannya. Pada titik inilah peran akal sangat dibutuhkan. Akal dapat menjadi barometer kebutuhan diri; akal menakar batasan-batasan segala sesuatu sesuai keperluan, agar diri tidak terjerembab keinginan hawa nafsu sukar dirkontrol. Dalam konteks inilah dapat kita fahami firman Allah: innal mubaddirina kanũ ikhwânas syayâtĩn, sesungguhnya orang-orang yang berlebih-lebihan itu termasuk saudaranya syaitan. Wallahu a’lam bi alshawab.

ZNS

Tidak ada komentar: