السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر ..
الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر ..
الله أكبر ..
الله أكبر .. الله أكبر كبيرا .. والحمد لله كثيرا .. وسبحان الله بكرة وأصيلاً .
الله أكبر ماَ
أَشْرَقَتْ وُجُوْهُ الصَّائِمِيْنَ بَشَراً .. الله أكبر ماَ تَعاَلَتِ
اْلأَصْواَتُ تَكْبِيْراً وَذِكْراً ...
الله أكبر ماَ
تَوَالَتِ اْلأَعْياَدُ عُمْراً وَدَهْراً .. لك الْمَحاَمِدُ ربَّنا سِراً
وَجَهْراً .. لَكَ الْمَحاَمِدُ رَبَّنا دَوْماً وَكَرَّا .. لَكَ الْمَحاَمِدُ
ربَّنا شِعْراً وَنَثْراً.. لك
الْحَمْدُ يَوْمَ أَنْ كَفَرَ كَثِيْرٌ مِنَ الناَّسِ وَأَسْلَمْناَ، لَكَ
الْحَمْدُ يَوْمَ أَنْ ضَلَّ كَثِيْرٌ مِنَ المسلمين وَابْـتَدَعُوْا وَلِلسُّـنَّةِ
أَقَمْناَ، لَكَ الْحَمْدُ يَوْمَ أَنْ فَزَعَ النَّاسُ وَأَمَنْـتَنا، لَكَ الْحَمْدُ
يَوْمَ جاَعَ كَثِيْرٌ مِنَ الناَّسِ وَأَطْعَمْـتَناَ، لَكَ الْحَمْدُ يَوْمَ
أَنْ بَيْنَ يَدَيْكَ أَقَمْـتَناَ، وَلَكَ الْحَمْدُ يَوْمَ أَنْ لِشَهْرِ
الصِّياَمِ كِلِّهِ صاَئِمِيْنَ لَكَ أَشْهَدْتَناَ .. لَكَ الْحَمْدُ أَحَقَّ
مَحْمُوْدٍ مَحْبُوْبٍ وَأَعْظَمَ مَرْغُوْبٍ مَطْلُوْبٍ . وأشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن نبينا وحبيبنا وصفينا محمدَ بْنِ عَبْدِ الله ،
صاَحِبَ الْحَوْضِ الْمَوْرُوْد ، وَاللِّواَءِ الْمَعْقُوْد، وَالصِّراَطِ
الْمَمْدُوْد، يا ربنا ويا مولانا بلغه صلاتنا وسلامنا في هذه الساعة، يا ربنا لا
تحرمنا رؤياه في الجنة، اللهم صل وسلم وبارك وأنعم عليه وعلى آله الأطهار وصحبه
الأخيار وأتباعه الأبرار .. أما بعد:
فَياَ عِباَدَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَإِياَيَ نَفْسِي بِتَقْوَى الله، وَاصْبِرُوا
وَصاَبِرُواْ وَراَبِطُوْا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Hadirin wal hadirat, jama’ah solat Id yang
berbahagia….
Di pagi hari yang mulia, khidmat,
dan penuh barakah ini, mari bersam-sama
kita perbanyak rasa syukur ke hadirat Allah SWT, seraya terus meningkatkan
kualitas ketaqwaan: bermujahadah dalam melaksanakan segala perintah-Nya,
dan menjahui semua larangan-Nya. Pada kesempatan ini juga, bersama-sama kita
agungkan asma Allah, dengan memperbanyak bertakbir, tahmid, tahlil dan
tasbih, sebagai ungkapan rasa syukur dan suka cita; menenggelamkan diri dalam
suasana kemenangan, setelah sebulan lamanya kita laksanakan ibadah puasa, sebagai
manifestasi ketaqwaan. Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba yang dikaruniai
kefitrahan, dan mampu meraih
derajat muttaqin pasca-tempaan selama Ramadan. Amin ya Rabbal alamin.
Hadirin Jama’ah Shalat Idul
Fitri, Rahimakumullah..
Baru saja kita telah menunaikan shalat Id
secara berjamaah. Selain sebagai pertanda kesyukuran atas nikmat-nikmat Allah
yang senantiasa kita rasakan, ini juga menjadi ungkapan rasa suka cita bahwa
kita sudah menjalankan ibadah puasa sebulan lamanya. Ya, satu kebahagiaan bahwa
kita telah menjalankan pendidikan tahunan yang muaranya bertujuan agar kita menjadi
orang-orang yang bertaqwa. Sebagaimana ditegaska dalam Al-Qur’an tentang
diwajibkannya atas kita puasa Ramadan: (لعلكم تتقون). Itulah tujuan inti puasa.
Sebagai
muslim, seyogyanya kita menkaji dan mempelajari;
atau jika perlu, kita pertanyakan ulang: apa kaitannya antara puasa dengan ketaqwaan
itu sendiri?! Pada titik ini, kita dituntut cerdas memahami permasalahan; kita
berkewajiban memahami penegasan Al-Qur’an tentang puasa dan ketaqwaan.
Allahu
Akbar 3x walillahilhamd
Sebagai ilustrasi, sebagaimana kita
fahami bahwa di antara semua ibadah, yang paling bersifat rahasia adalah puasa,
dalam arti bahwa yang tahu kita berpuasa atau tidak hanyalah kita dan Allah
semata, orang lain tidak. Saat kita lapar atau haus, tanpa sepengetahuan
manusia, bisa saja kita makan dan minum. Namun kita tetap menahan diri untuk
tidak melakukannya. Kenapa? Itu sebetulnya merupakan latihan bersikap jujur
kepada Allah swt dan juga kepada diri sendiri.
Sementara itu, dalam ibadah selain puasa,
kita dianjurkan menampakkannya, alias
terang-terangan. Kewajiban shalat, umpamanya, kita disunnatkan berjamaah. Kita tahu, sholat
berjamaah lebih afdol dari pada sholat sendirian. Ibadah Haji, apa lagi. Tidak mungkin kita melaksanakannya sendirian. Zakat lebih
menarik lagi, karena dalam Al-Quran ada indikasi bahwa Tuhan tidak peduli,
apakah orang yang membayar zakat itu ikhlas atau tidak. Yang penting dari zakat adalah orang miskin tertolong, karena
tujuan zakat adalah menolong orang miskin. Ketiga jenis ibadah di atas sangat nampak
nilai sosialnya.
Sekali lagi, di
antara ibadah-ibadah, yang paling bersifat pribadi adalah puasa.
Puasa merupakan latihan menghayati kehadiran Allah dalam kehidupan
sehari-hari; Allah selalui beserta kita, di mana pun berada. Inilah inti dari
takwa: kesadaran bahwa dalam hidup ini kita selalu mendapat pengawasan dari
Allah Swt. yang gaib. Ya, Allah merupakan Dzat yang Ghaib.
Dari sini kita faham, ternyata moralitas
yang sejati memerlukan dimensi kegaiban, yaitu bagaimana orang tetap berbuat
baik dan menghindar dari kejahatan meskipun tidak ada yang tahu, karena Allah
tahu. Hal ini menjadi dasar kehidupan yang benar; yaitu taqwa pada
Allah Swt., dan takwa sifatnya pribadi: tidak ada yang tahu bahwa kita bertakwa
kepada Allah atau tidak, kecuali kita sendiri dan Allah Swt., bahkan mungkin
kita sendiri juga tidak tahu. Oleh karena itu,
kita harus selalu berdoa kepada Allah, Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus (Q., 1: 6).
Kaum muslimin sekalian yang berbahagia
Pelajaran serta
latihan bahwa Allah selalu mengawasi tingkah laku kita, sejatinya tidak
berhenti saat puasa saja. Pelajaran ini juga berlaku dalam kehidupan kita
setelah Ramadan. Karena pada hakekatnya, di luar bulan Ramadan pun, saat kita melanggar
aturan, Allah tahu; saat kita berbuat curang, berlaku dolim, melakukan maksiat,
Allah juga tahu. Allah adalah dzat yang
maha mengetahui, bahkan sesuatu yang terbersit dalam hati kita, Dia tahu dengan
pasti.
Jika saat Ramadan kita terlatih untuk tidak
makan dan minum di siang hari, kita terbiasa meningkatkan amal ibadah, terdidik
menahan diri untuk meluapkan hawa nafsu, maka pelajaran serta latihan ini harus
kita fahami berlaku dalam waktu-waktu selama hidup kita; jadikan pelajaran
serta latihan selama Ramadan bermanfaat dan bisa diamalkan dalam sisa waktu
umur kita.
Hadirin wal hadirat rahimakumullah
Selain untuk
tujuan taqwa, ibadah puasa Ramadan juga menjadi media agar kita bisa kembali pada
kefitrahan, alias kesucian diri. Doa kita
setelah Ramaadan: (جعلنا الله وإياكم من
العائدين والفائزين ): "semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang
bisa kembali pada kefitrahannya, dan oraang-orang yang beruntung".
Kenapa
dikatakan "kembali" pada kesucian? Kenapa bukan "menjadi
suci"? Karena pada hakekatnya semua manusia, termasuk kita, seperti
dijelaskan Rasul, adalah terlahir dalam keadaan suci. Tidak perduli siapa pun
orang tua si bayi. Mau anaknya presiden, anak kiai, anak pengusaha, bahkan anak
maling, pembunuh, atau penjahat kelas kakap sekali pun, dalam pandangan Islam,
bayi yang terlahir tetap dalam kefitrahan, atau kesucian.
Sabda beliau:
(كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو يمجسانه أو ينصرانه ), setiap bayi terlahir dalam
keadaan suci, lantas kemudian, orang tuanyalah yang berperan menjadikannya
sebagai orang Yahudi, Majusi, atau Nasrani.
Dari sini
bisa dimengerti, bahwa kita ini semuanya suci tanpa dosa saat pertama terlahir.
Hanya saja, nah ini yang kemudian menodai kesucian diri adalah kelemahan kita
mengendalikan diri untuk bisa tetap suci. Sekali lagi, kita lemah dalam
mengendalikan diri untuk tidak melanggar aturan Allah. Berlatih mengendalikan
diri inilah yang juga menjadi tujuan nilai yang hendak dicapai dalam ibadah
Puasa Ramadan.
Ayal faaiziina wal faaizaat...
Disebutkan sebelumnya, salah satu kelemahan terbesar kita sebagai manusia
adalah ketidakmampuan menahan diri. Hal ini tergambar dalam kisah kakek kita
Adam as, bersama istrinya Hawa, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surah
Al-Baqarah, ayat 35. Allah berfirman:
وَقُلْنَا ياَئاَدَمُ
اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلاَ مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا
وَلاَ تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ.
Artinya:
“Hai
Adam! Tinggallah kamu dan istrimu dalam Taman (surga), dan makanlah makanan
dari sana apa yang kamu sukai. Tetapi jangan dekati pohon ini supaya kamu tidak
menjadi orang yang zhalim”
Saat pertama diciptakan, kakek kita Adam dan Hawa ditempatkan di Surga.
Allah menyediakan bagi keduanya makan dan minuman, juga apa saja yang
dibutuhkan telah tersedia. Allah hanya memberikan satu larangan, yakni tidak
memakan satu jenis buah yang oleh banyak mufassir dinamai buah Khaldi.
Pelarangan tersebut juga merupakan satu MoU atau perjanjian antara Adam
dan Allah. Ditegaskan:
وَلَقَدْ عَهِدْنَآ إِلَى ءَادَمَ مِن قَبْلُ
فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا
" Dan Kami telah menjanjikan sebelum itu kepada Adam, tetapi dia
lupa, dan Kami tidak menemukan padanya keteguhan hati" (Taha: 115)
Ya, karena ketidakmampuan
Adam menahan diri, lebih mendengarkan suara nafsu ketimbang suara hati kecil, beliaupun
tergoda bujukan Iblis. Akibatnya, Allah turunkan Adam bersama istrinya dari
derajat ketinggian di surga, ke derajat yng rendah, yakni bumi.
Dikatakan: (قَالَ
اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا... الأية), "Allah berfirman: turunlah kalian
berdua dari surga... (Taha: 123)
Hadirin sekalian yang dirahmati Allah...
Dalam
kenyataannya, memang sumber terjerumusnya manusia kedalam lembah kesesatan, turunnya derajat manusia di mata Allah, bahkan
juga di mata kita sesama manusia adalah ketidakmampuannya menahan diri, karena
keserakahan serta ketamakannya dalam urusan duniawi. Mereka tidak kuasa menahan
diri untuk tidak melakukan pelanggaran; mereka labil juga rentan melanggar
batatsan-batasan norma yang telah disepakati bersama, baik norma agama, ataupun
norma-norma umum lainnya. Inilah kelemahan
terbesar kita.
Hal yang mungkin kita renungi bersama adalah, jika kakek kita Adam
yang hanya punya satu larangan saja masih tidak kuasa menahan diri, masih bisa
tergoda syaitan, sekali lagi hanya satu pelanggaran! Lantas, bagaimana kita
yang terdapat banyak sekali garis batasan yang tidak boleh dilewati?! Larangan
bagi kita dalam kegidupan ini sangat kompleks. Dari sinilah kita dianggap perlu terus dilatih
oleh Allah dengan ibadah puasa, agar kita bisa kembali lagi pada kefitrahan
kita, suci tanpa noda seperti saat dulu kita terlahir di dunia ini.
Maka, untuk nilai-nilai puasa Ramadan inilah,
saya mengajak diri sendiri dan segenap hadirin agar bisa dan iklash meneruskan amalan mulia saat Ramadan kemarin,
sampai ajal menjemput kita. Semoga Allah memberikan taufiq serta hidayah-Nya
untuk harapan dan tekat kita ini. Amien...
Kemudia, setelah Kewajiban puasa
Ramadan dijalankan dengan baik, Al-Quran lantas menganjurkan setiap orang yang beriman
untuk bertakbir atau mengagungkan asmâ’ Allah Swt., Dalam surah al-Baqarah ayat
185 dijelaskan:
يُرِيدُ
اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ"
“ …Allah
menghendaki yang mudah bagimu dan tidak ingin mempersulit kamu. (Ia menghendaki
kamu) mencukupkan jumlah bilangan, serta mengagungkan Allah yang telah memberi
petunjuk kepadamu, supaya kamu bersyukur” (Q., 2: 185).
Dengan anjuran bertakbir tersebut, sepertinya seorang muslim
yang telah menjalankan ibadah puasa diasumsikan berada dalam kemenangan atau
kesucian, sehingga yang ada hanya Tuhan dan yang lain
dianggap tidak berarti apa-apa. Allâhu Akbar 3x, Allah Maha Besar.
Allahu Akbar: tidak menilai orang besar
karena baju barunya!
Allahu Akbar: tidak melihat orang besar
karena hartanya!
Allahu Akbar: tidak menganggap orang besar
karena jabatan dan kedudukannya!
Allahu Akbar: tidak menilai segala sesuatu
selain Allah, besar!
Allahu Akbar, tidak pernah menganggap diri
sendiri, besar! Senyatanya kita rendah di sisi Allah, kita hina di hadapan
Allah, karena banyaknya dosa, dosa, dan dosa yang kita perbuat.
Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd
Itulah makna
filosofi kalimat takbir: menyatakan dengan sebanar-benarnya kebesaran
Allah, tidak sekedar terucap melalui lisan, tapi diyakini dengan hati yang
paling dalam, dan diperaktekkan dalam amalan sehari-hari. Keyakinan semacam ini
tidak akan pernah terwujud, tanpa sebelumnya meyakini keberadaan
Allah; meyakini haqqul yakin bahwa Allah meha mengetahui tentang apa saja yang
akan, sedang dan telah kita lakukan. Itulah beberapa pelajaran inti dalam
ibadah bulan Ramadan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang
bisa kembali pada fitrahan diri, dan terlatih mengendalikan diri setelah kepergian bulan
Ramadhan tahun ini; tetap menempati kehormatan sebagai sebaik-baik makhluk dan
tidak akan merosot menjadi makhluk yang paling rendah akibat tak kuasa menahan
godaan yang selalu mengintai. Akhirnya, minal âidzîn wal fâizîn, selamat Hari Raya Idul Fitri tahun 1434 Hijriyah.
جعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين المقبولين، وبارك لنا فى القرآن
العظيم. ونفعنا بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، إنه هو البر الرؤوف الرحيم،
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم: "قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى، وَذَكَرَ
اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى"
وقل رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين
Zul FS,