6.8.13

Pengamalan Nilai Ramadan Pasca-Ramaadan



السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر ..
الله أكبر .. الله أكبر .. الله أكبر كبيرا .. والحمد لله كثيرا .. وسبحان الله بكرة وأصيلاً .
الله أكبر ماَ أَشْرَقَتْ وُجُوْهُ الصَّائِمِيْنَ بَشَراً .. الله أكبر ماَ تَعاَلَتِ اْلأَصْواَتُ تَكْبِيْراً وَذِكْراً ...
الله أكبر ماَ تَوَالَتِ اْلأَعْياَدُ عُمْراً وَدَهْراً .. لك الْمَحاَمِدُ ربَّنا سِراً وَجَهْراً .. لَكَ الْمَحاَمِدُ رَبَّنا دَوْماً وَكَرَّا .. لَكَ الْمَحاَمِدُ ربَّنا شِعْراً وَنَثْراً.. لك الْحَمْدُ يَوْمَ أَنْ كَفَرَ كَثِيْرٌ مِنَ الناَّسِ وَأَسْلَمْناَ، لَكَ الْحَمْدُ يَوْمَ أَنْ ضَلَّ كَثِيْرٌ مِنَ المسلمين وَابْـتَدَعُوْا وَلِلسُّـنَّةِ أَقَمْناَ، لَكَ الْحَمْدُ يَوْمَ أَنْ فَزَعَ النَّاسُ وَأَمَنْـتَنا، لَكَ الْحَمْدُ يَوْمَ جاَعَ كَثِيْرٌ مِنَ الناَّسِ وَأَطْعَمْـتَناَ، لَكَ الْحَمْدُ يَوْمَ أَنْ بَيْنَ يَدَيْكَ أَقَمْـتَناَ، وَلَكَ الْحَمْدُ يَوْمَ أَنْ لِشَهْرِ الصِّياَمِ كِلِّهِ صاَئِمِيْنَ لَكَ أَشْهَدْتَناَ .. لَكَ الْحَمْدُ أَحَقَّ مَحْمُوْدٍ مَحْبُوْبٍ وَأَعْظَمَ مَرْغُوْبٍ مَطْلُوْبٍ . وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن نبينا وحبيبنا وصفينا محمدَ بْنِ عَبْدِ الله ، صاَحِبَ الْحَوْضِ الْمَوْرُوْد ، وَاللِّواَءِ الْمَعْقُوْد، وَالصِّراَطِ الْمَمْدُوْد، يا ربنا ويا مولانا بلغه صلاتنا وسلامنا في هذه الساعة، يا ربنا لا تحرمنا رؤياه في الجنة، اللهم صل وسلم وبارك وأنعم عليه وعلى آله الأطهار وصحبه الأخيار وأتباعه الأبرار .. أما بعد: فَياَ عِباَدَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَإِياَيَ نَفْسِي بِتَقْوَى الله، وَاصْبِرُوا وَصاَبِرُواْ وَراَبِطُوْا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Hadirin wal hadirat, jama’ah solat Id yang berbahagia….
     Di pagi hari yang mulia, khidmat, dan  penuh barakah ini, mari bersam-sama kita perbanyak rasa syukur ke hadirat Allah SWT, seraya terus meningkatkan kualitas ketaqwaan: bermujahadah dalam melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjahui semua larangan-Nya. Pada kesempatan ini juga, bersama-sama kita agungkan asma Allah, dengan memperbanyak bertakbir, tahmid, tahlil dan tasbih, sebagai ungkapan rasa syukur dan suka cita; menenggelamkan diri dalam suasana kemenangan, setelah sebulan lamanya kita laksanakan ibadah puasa, sebagai manifestasi ketaqwaan. Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba yang dikaruniai kefitrahan, dan mampu meraih derajat muttaqin pasca-tempaan selama Ramadan. Amin ya Rabbal alamin.

Hadirin Jama’ah Shalat Idul Fitri, Rahimakumullah..
     Baru saja kita telah menunaikan shalat Id secara berjamaah. Selain sebagai pertanda kesyukuran atas nikmat-nikmat Allah yang senantiasa kita rasakan, ini juga menjadi ungkapan rasa suka cita bahwa kita sudah menjalankan ibadah puasa sebulan lamanya. Ya, satu kebahagiaan bahwa kita telah menjalankan pendidikan tahunan yang muaranya bertujuan agar kita menjadi orang-orang yang bertaqwa. Sebagaimana ditegaska dalam Al-Qur’an tentang diwajibkannya atas kita puasa Ramadan: (لعلكم تتقون). Itulah tujuan inti puasa.
      Sebagai muslim, seyogyanya kita menkaji dan mempelajari; atau jika perlu, kita pertanyakan ulang: apa kaitannya antara puasa dengan ketaqwaan itu sendiri?! Pada titik ini, kita dituntut cerdas memahami permasalahan; kita berkewajiban memahami penegasan Al-Qur’an tentang puasa dan ketaqwaan.

Allahu Akbar 3x walillahilhamd
         Sebagai ilustrasi, sebagaimana kita fahami bahwa di antara semua ibadah, yang paling bersifat rahasia adalah puasa, dalam arti bahwa yang tahu kita berpuasa atau tidak hanyalah kita dan Allah semata, orang lain tidak. Saat kita lapar atau haus, tanpa sepengetahuan manusia, bisa saja kita makan dan minum. Namun kita tetap menahan diri untuk tidak melakukannya. Kenapa? Itu sebetulnya merupakan latihan bersikap jujur kepada Allah swt dan juga kepada diri sendiri.
         Sementara itu, dalam ibadah selain puasa, kita dianjurkan menampakkannya, alias terang-terangan. Kewajiban shalat, umpamanya, kita disunnatkan berjamaah. Kita tahu, sholat berjamaah lebih afdol dari pada sholat sendirian. Ibadah Haji, apa lagi. Tidak mungkin kita melaksanakannya sendirian. Zakat lebih menarik lagi, karena dalam Al-Quran ada indikasi bahwa Tuhan tidak peduli, apakah orang yang membayar zakat itu ikhlas atau tidak. Yang penting dari zakat adalah orang miskin tertolong, karena tujuan zakat adalah menolong orang miskin. Ketiga jenis ibadah di atas sangat nampak nilai sosialnya.   
Sekali lagi, di antara ibadah-ibadah, yang paling bersifat pribadi adalah puasa. Puasa merupakan latihan menghayati kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari; Allah selalui beserta kita, di mana pun berada. Inilah inti dari takwa: kesadaran bahwa dalam hidup ini kita selalu mendapat pengawasan dari Allah Swt. yang gaib. Ya, Allah merupakan Dzat yang Ghaib.
Dari sini kita faham, ternyata moralitas yang sejati me­merlukan dimensi kegaiban, yaitu bagaimana orang tetap berbuat baik dan menghindar dari kejahatan meskipun tidak ada yang tahu, karena Allah tahu. Hal ini menjadi  dasar kehidupan yang benar; yaitu taqwa pada Allah Swt., dan takwa sifatnya pribadi: tidak ada yang tahu bahwa kita bertakwa kepada Allah atau tidak, kecuali kita sendiri dan Allah Swt., bahkan mungkin kita sendiri juga tidak tahu. Oleh karena itu, kita harus selalu berdoa kepada Allah, Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (Q., 1: 6).

Kaum muslimin sekalian yang berbahagia
         Pelajaran serta latihan bahwa Allah selalu mengawasi tingkah laku kita, sejatinya tidak berhenti saat puasa saja. Pelajaran ini juga berlaku dalam kehidupan kita setelah Ramadan. Karena pada hakekatnya, di luar bulan Ramadan pun, saat kita melanggar aturan, Allah tahu; saat kita berbuat curang, berlaku dolim, melakukan maksiat, Allah juga tahu.  Allah adalah dzat yang maha mengetahui, bahkan sesuatu yang terbersit dalam hati kita, Dia tahu dengan pasti.
     Jika saat Ramadan kita terlatih untuk tidak makan dan minum di siang hari, kita terbiasa meningkatkan amal ibadah, terdidik menahan diri untuk meluapkan hawa nafsu, maka pelajaran serta latihan ini harus kita fahami berlaku dalam waktu-waktu selama hidup kita; jadikan pelajaran serta latihan selama Ramadan bermanfaat dan bisa diamalkan dalam sisa waktu umur kita.

Hadirin wal hadirat rahimakumullah
        Selain untuk tujuan taqwa, ibadah puasa Ramadan juga menjadi media agar kita bisa kembali pada kefitrahan, alias kesucian diri. Doa kita setelah Ramaadan: (جعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين ): "semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang bisa kembali pada kefitrahannya, dan oraang-orang yang beruntung".
        Kenapa dikatakan "kembali" pada kesucian? Kenapa bukan "menjadi suci"? Karena pada hakekatnya semua manusia, termasuk kita, seperti dijelaskan Rasul, adalah terlahir dalam keadaan suci. Tidak perduli siapa pun orang tua si bayi. Mau anaknya presiden, anak kiai, anak pengusaha, bahkan anak maling, pembunuh, atau penjahat kelas kakap sekali pun, dalam pandangan Islam, bayi yang terlahir tetap dalam kefitrahan, atau kesucian.
         Sabda beliau: (كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو يمجسانه  أو ينصرانه ), setiap bayi terlahir dalam keadaan suci, lantas kemudian, orang tuanyalah yang berperan menjadikannya sebagai orang Yahudi, Majusi, atau Nasrani.
         Dari sini bisa dimengerti, bahwa kita ini semuanya suci tanpa dosa saat pertama terlahir. Hanya saja, nah ini yang kemudian menodai kesucian diri adalah kelemahan kita mengendalikan diri untuk bisa tetap suci. Sekali lagi, kita lemah dalam mengendalikan diri untuk tidak melanggar aturan Allah. Berlatih mengendalikan diri inilah yang juga menjadi tujuan nilai yang hendak dicapai dalam ibadah Puasa Ramadan.

Ayal faaiziina wal faaizaat...
   Disebutkan sebelumnya, salah satu kelemahan terbesar kita sebagai manusia adalah ketidakmampuan menahan diri. Hal ini tergambar dalam kisah kakek kita Adam as, bersama istrinya Hawa, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah, ayat 35. Allah berfirman:
وَقُلْنَا ياَئاَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلاَ مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلاَ تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ.
Artinya:
 “Hai Adam! Tinggal­lah kamu dan istrimu dalam Taman (surga), dan makanlah makanan dari sana apa yang kamu sukai. Tetapi jangan dekati pohon ini supaya kamu tidak menjadi orang yang zhalim
Saat pertama diciptakan, kakek kita Adam dan Hawa ditempatkan di Surga. Allah menyediakan bagi keduanya makan dan minuman, juga apa saja yang dibutuhkan telah tersedia. Allah hanya memberikan satu larangan, yakni tidak memakan satu jenis buah yang oleh banyak mufassir dinamai buah Khaldi.
Pelarangan tersebut juga merupakan satu MoU atau perjanjian antara Adam dan Allah. Ditegaskan:
وَلَقَدْ عَهِدْنَآ إِلَى ءَادَمَ مِن قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا 
" Dan Kami telah menjanji­kan sebelum itu kepada Adam, tetapi dia lupa, dan Kami tidak mene­mukan padanya keteguhan hati" (Taha: 115)
   Ya, karena ketidakmampuan Adam menahan diri, lebih mendengarkan suara nafsu ketimbang suara hati kecil, beliaupun tergoda bujukan Iblis. Akibatnya, Allah turunkan Adam bersama istrinya dari derajat ketinggian di surga, ke derajat yng rendah, yakni bumi.              
Dikatakan: (قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا... الأية), "Allah berfirman: turunlah kalian berdua dari surga... (Taha: 123)

Hadirin sekalian yang dirahmati Allah...
       Dalam kenyataannya, memang sumber terjerumusnya manusia kedalam  lembah kesesatan, turunnya derajat manusia di mata Allah, bahkan juga di mata kita sesama manusia adalah ketidakmampuannya menahan diri, karena keserakahan serta ketamakannya dalam urusan duniawi. Mereka tidak kuasa menahan diri untuk tidak melakukan pelanggaran; mereka labil juga rentan melanggar batatsan-batasan norma yang telah disepakati bersama, baik norma agama, ataupun norma-norma umum  lainnya. Inilah kelemahan terbesar kita.
Hal yang mungkin kita renungi bersama adalah, jika kakek kita Adam yang hanya punya satu larangan saja masih tidak kuasa menahan diri, masih bisa tergoda syaitan, sekali lagi hanya satu pelanggaran! Lantas, bagaimana kita yang terdapat banyak sekali garis batasan yang tidak boleh dilewati?! Larangan bagi kita dalam kegidupan ini sangat kompleks. Dari sinilah kita dianggap perlu terus dilatih oleh Allah dengan ibadah puasa, agar kita bisa kembali lagi pada kefitrahan kita, suci tanpa noda seperti saat dulu kita terlahir di dunia ini.
Maka, untuk nilai-nilai puasa Ramadan inilah, saya mengajak diri sendiri dan segenap hadirin agar bisa dan iklash meneruskan amalan mulia saat Ramadan kemarin, sampai ajal menjemput kita. Semoga Allah memberikan taufiq serta hidayah-Nya untuk harapan dan tekat kita ini. Amien...    
           
     Kemudia, setelah Kewajiban puasa Ramadan dijalankan dengan baik, Al-Quran lantas menganjurkan setiap orang yang beriman untuk bertakbir atau mengagungkan asmâ’ Allah Swt., Dalam surah al-Baqarah ayat 185 dijelaskan:
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ"
  …Allah menghendaki yang mudah bagimu dan tidak ingin mempersulit kamu. (Ia menghendaki kamu) mencukupkan jumlah bilangan, serta mengagungkan Allah yang telah memberi petunjuk kepadamu, supaya kamu bersyukur” (Q., 2: 185).
Dengan anjuran bertakbir tersebut, sepertinya seorang muslim yang telah menjalankan ibadah puasa diasumsikan berada dalam kemenangan atau kesucian, sehingga yang ada hanya Tuhan dan yang lain dianggap tidak berarti apa-apa. Allâhu Akbar 3x, Allah Maha Besar.
Allahu Akbar: tidak menilai orang besar karena baju barunya!
Allahu Akbar: tidak melihat orang besar karena hartanya!
Allahu Akbar: tidak menganggap orang besar karena jabatan dan kedudukannya!
Allahu Akbar: tidak menilai segala sesuatu selain Allah, besar!
Allahu Akbar, tidak pernah menganggap diri sendiri, besar! Senyatanya kita rendah di sisi Allah, kita hina di hadapan Allah, karena banyaknya dosa, dosa, dan dosa yang kita perbuat.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd
          Itulah makna filosofi kalimat takbir: menyatakan dengan sebanar-benarnya kebesaran Allah, tidak sekedar terucap melalui lisan, tapi diyakini dengan hati yang paling dalam, dan diperaktekkan dalam amalan sehari-hari. Keyakinan semacam ini tidak akan pernah terwujud, tanpa sebelumnya meyakini keberadaan Allah; meyakini haqqul yakin bahwa Allah meha mengetahui tentang apa saja yang akan, sedang dan telah kita lakukan. Itulah beberapa pelajaran inti dalam ibadah bulan Ramadan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa kembali pada fitrahan diri, dan terlatih mengendalikan diri setelah kepergian bulan Ramadhan tahun ini; tetap menempati kehormatan sebagai sebaik-baik makhluk dan tidak akan merosot menjadi makhluk yang paling rendah akibat tak kuasa menahan godaan yang selalu mengintai. Akhirnya, minal âidzîn wal fâizîn, selamat Hari Raya Idul Fitri tahun 1434 Hijriyah.

جعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين المقبولين، وبارك لنا فى القرآن العظيم. ونفعنا بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، إنه هو البر الرؤوف الرحيم،
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم: "قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى، وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى"
وقل رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين
Zul FS,