22.12.07

Hikmah Idul Adha


Makna Perayaan Idul Adha
Zulfan Syahansyah*


Saat ini, tepatnya pada tanggal 10 Dzul. Hijjah, ummat Islam di seantaro muka bumi, syarqiha ila garbiha, syamaaliha ila januubiha, (dari ujung timur sampai barat, dari ujung utara hingga selatan) semuanya bersuka merayakan peringatan I’dul adha. Khusus di Makkah, pada sepekan ini, para kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji, pada hakekatnya juga sebagai wujud memperingati hari I’dul adha atau udhiyyah Ibrahim, pengorbanan Nabi Ibrahim yang terus diabadikan dalam syari’at Islam. Jadi, baik kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji di Makkah, atau kita yang sedang melaksanakan shalat idul adha di luar Makkah, sama-sama berupaya bisa mengambil hikmah dari peringatan ini.
Predikat mabrur bagi jama’ah haji yang berhasil mengambil hikmah dari ibadah hajinya, dan predekat makbul bagi kita yang bisa memahami dan mengamalkan makna hakiki dari penyelenggaraan ini. Maka, mudah-mudahan kita bisa lebih mamahami hakekat I’dul adha dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Amien…
Sebagai momentum yang agung, Allah SWT, mengabadikan kisah udhiyatu Ibrhim (pengorbanan Nabi Ibrahim) dalam al-qur’an surah Ash-shafat ayat 102, Allah berfirman:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Sebuah dialog antara seorang ayah dan putranya yang dilandasi ketaqwaan kepada Allah SWT, menjadikan cinta kepada Allah di atas cinta segalanya, bahkan cinta kepada putra satu-satunya Ibrahim pada waktu itu.
Coba kita bayangkan, betapa tulus ketaatan Ibrahim kepada Allah, setelah sekian lama mendambakan keturunan, sampai pada usia senja, melalui istrinya yang bernama Hajar, Ibrahim dikaruniai seorang putra yang kemudian diberi nama Ismail. Namun tidak lama kemudian, karena satu dan lain hal, Allah memerintahkan Ibrahim mengungsikan Hajar bersama si bayi ke sebuah lembah perbukitan yang sangat gersang dan tandus tidak ada tanda kehidupan pada waktu itu, sekarang menjadi Makkah.
Jika hanya menggunakan akal sehat, tidak mungkin seorang ayah akan membiarkan istri bersama putra yang masih bayi dan sangat disayanginya ditempat yang sangat gersang tanpa tempat tinggal. Tapi, Nabi Ibrahim mampu membuktikan bahwa ketaatannya kepada Allah di atas segalanya.
Peristiwa ini terjadi lebih 4 ribu tahun yang lalu. Tapi sampai saat ini terus menjadi catatan sejarah sebagai peringatan atau dzikr bagi umat Islam sampai nanti akhir zaman.
Ada baiknya, jika pada kesempatan pagi ini kita bersama-sama menelaah hikmah atau pelajaran dari peristiwa udhitu Ibrahim tersebut. Setidaknya, ada dua hikmah yang dapat kita petik. Pertama, menjadikan Allah semata, sebagai tuhan yang dituhankan. (laa ilaha illallah), tiada Tuhan selain Allah. Kenapa hal ini perlu kita tegaskan kembali? Karena masih banyak umat Islam –atau mungkin kita sendiri- yang mengakui Allah sebagai Tuhan, tapi tidak sungguh-sungguh menuhankan-Nya.

Dalam hidup, kita masih terlalu membanggakan, memuliakan, dan merasa mulia; karena jabatan, harta, fikiran atau akal kita. Maka segala cara akan kita lakukan untuk mendapatkannya, meskipun harus melanggar norma-norma yang telah ditetapkan oleh Allah. Na’udzubillahi min dzalik.
Kita tanyakan diri kita, sudah berapa kali kita langgar perintah Allah hanya untuk mendapatkan harta, jabatan? Kita bahkan terlalu membanggakan akal kita, hanya untuk kesenangan dunia. Jika demikian, siapa sebenarnya yang kita tuhankan; Allah ataukah kesenangan dunia?
Akhir-akhir ini, sudah banyak bermunculan aliran-aliran di kalangan umat Islam yang sesat dan menyesatkan. Mereka percaya bahwa Allah adalah Tuhan mereka, tapi mereka terlalu menggunakan logika pemikiran untuk mencerna ajaran Islam yang telah ada dalam al-Qur’an dan hadits nabawi, sehingga segala keputusan yang tidak masuk dalam akal mereka, atau kurang menguntungkan, dengan dalih; demi kemanusiaan, dan keadilan mereka mencoba membuat pemahaman sendiri, mengganti ajaran yang sudah ada.
Kelompok ini lupa, bahwa Allahlah yang menciptakan mahluk; termasuk manusia, jadi Allah lebih tahu tentang arti kemanusiaan. Allah juga dzat ahsanul haakimin (dzat yang maha adil) maka tidak ada keputusan yang lebih adil dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad.
Jadi, kalau kita telah berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah, maka tuhankanlah Allah dan jangan sekali-kali menyekutukan-Nya. Jangan sekutukan Allah dengan; harta, kekuasaan, jabatan serta akal kita. Caranya; jadikan urusan Allah di atas segalanya, dan bahwa aqidah yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim dan dipertegas oleh Nabi Muhammad sebagi Nabi terakhir, harus kita jadikan manhaj atau jalan dalan menjalankan kehidupan di dunia ini.
Hikmah atau pelajaran selanjutnya yang bisa kita ambil dari perayaan ‘idul adha ini adalah bahwa Allah sekali-kali tidak akan pernah menyia-nyiakan pengorbanan, baik yang berbentukn perjuangan dan pengabdian; tenaga, pikiran serta shadaqah atau infaq, yang tulus. Pasti akan Allah ganti jauh lebih bermanfaat bagi kita dari apa yang telah kita keluarkan.
Ketika Nabi Ibrahim bersiap menghunuskan pedangnya untuk menyembeleh Ismail, spontan Allah mengganti dengan seekor kambing yang besar sebagai symbol kelulusan. Maka semestinya kita juga wajib meyakini bahwa apapun yang telah kita korbankan; baik harta, tenaga serta pikiran yang dilandasi lillahi ta’ala, pasti telah Allah siapkan balasannya yang jauh lebih bermanfaat bagi kita dari apa yang telah kita keluarkan.
Sekali lagi, fikiran, tenaga, serta harta yang kita shadaqahkan, pada hakekatnya adalah sebuah investasi yang akan terus berlipat ganda dan akan dikembalikan lagi kepada kita. Dalam hal ini, Allah SWT, menegaskan firmannya dalam surat al-Baqarah ayat 261.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Dalam tafsiran ayat ini dijelaskan, bahwa pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi; belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan atau lembaga pendidikan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah.
Karena keterbatasan pengetahuan dan ilmu, mungkin hanya ini yang dapat saya sampaikan sebagai pelajaran atau hikmah yang dapat kita ambil dalam peristiwa udhiyatu Ibrahim, saya yakin masih banyak lagi pelajaran yang bermanfaat bagi kita. Wallahu a’lam bissawab.

*Pengurus PP. Al-Munawwariyyah.
Penulis juga telah memaparkan isi makalah di atas
saat menjadi khatib Idul Adha (20/12/07) di masjid jami’ al-Muttaqin
Sudimoro, Bululawang, Malang.

19.12.07

Mempermasalahkan Sesuatu yang Sudah Bukan Masalah

Masih sangat jelas dalam ingatan kita, pengakuan Moh. Mushaddaq yang telah “kembali” ke Islam dan disusul oleh para anggotanya yang selama ini menjadi pengikut aliran al-Qiyadah. Sebuah aliran yang dicap sesat oleh sebagian besar kaum muslimin Indonesia –dalam hal ini disuarakan oleh MUI- karena mengakui adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Sesuai dengan kesaksian mereka; ashhadu alla ilaha illallh, wa anna Masih al-mau’ud Rasulullah.
Bagi kita kaum muslimin di Indonesia, kenyataan tersebut menjadi kabar gembira karena –setidaknya- dua hal; pertama, kembalinya mereka (pengikut aliran al-Qiyadah) dari “kesesatan”, dan yang kedua, semakin tertutupnya pintu masuk ruangan konflik fisik di antara sesama muslim di Indonesia akibat pro-kontra aliran tersebut.
Seperti halnya permasalahan lain, munculnya al-Qiyadah juga melahirkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Bagi kelompok yang kontra, mudah dipahami alasan mereka; karena aliran ini –menurut sebagian besar kaum muslim- sesat dan menyesatkan. Namun, tidak demikian dengan kelompok yang tidak kontra –unuk tidak mengatakan pro- kepada aliran al-Qiyadah. Kelompok yang kedua ini, selain para jama’ah al-Qiyadah sendiri, juga mereka yang merasa “gerah” dengan usaha yang dilakukan Majlis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyelamatkan umat dari kesesatan.
Menurut versi mereka, upaya yang dilakukan MUI dengan mengeluarkan kriteria kelompok muslim yang sesat dan menyesatkan, justru kriteria itu sendiri yang sesat. Sebagai perwakilan dari pemikiran mereka adalah apa yang telah ditulis oleh Pradana Boy ZTF (Dosen Fakultas Ilmu Agama Universitas Muhammadiyah Malang), Jawa Pos (9/11/07) “Relativitas Kesesatan Aliran Sesat”, dan Muhammad Guntur Ramli (aktifis Jaringan Islam Liberal) di Jawa Pos kemarin(14/11/07), “sesatnya kriteria sesat” telah. Lebih jelas saudara Guntur mengatakan, kriteria penyesatan itu akan menumbuhkan tradisi yang buruk di kalangan umat karena akan menutup pintu dialog dan menggiring ke ruang konflik yang penuh dengan kekerasan.
Sampai disini, saya kurang sependapat dengan pernyataan di atas. Karena jelas, umat Islam, khususnya kelompok yang kontra terhadap aliran tersebut sudah berusaha untuk mengetahui hakekat ajarannya. Bahkan, penulis sendiri sempat mencoba mendekati seorang teman yang menjadi pengikut aliran al-Qiyadah dan “memancing”nya agar mau berdialog. Namun dengan santai ia berkata: lakum dinukum waliyadin. Entah, apa maksudnya mengeluarkan dalil tersebut. Yang jelas, setahu penulis -karena memang kami bersahabat sejak kecil- sampai sekarang ia bahkan tidak bisa dengan benar membaca al-Qur’an, apalagi memahami maksudnya. Usaha mengajak berdialog ini terjadi awal Februari 2007. Cukup lama bukan?!
Hal senada juga terjadi pada hampir semua pengikut aliran yang menyalahi ketentuan agama. Para jamaahnya terkesan menutupi ajaran mereka kepada orang atau kelompok yang mereka “khawatiri”. Objek ajaran mereka hanya dikhususkan kepada kaum muslimin yang dipandang “kuat iman”dan lemah pengetahuan agama. Untuk kondisi seperti ini, siapakah yang dimaksud saudara Guntur, sebagai kelompok yang tidak ingin berdialog? MUI dan para kelompok yang kontrakah?
Mari, tanpa niatan “bersaing”, saya mengajak semua komunitas umat, khususnya muslimin di Indonesia, untuk mengembalikan pertentangan argumentasi ini pada pokok permasalahannya. Sebagai upaya menghindari semakin meluasnya konflik di tubuh umat Islam. Jika pada pembukaan tulisannya, saudara Guntur mengatakan: Islam diturunkan sebagai misi penyelamatan, bukan amunisi penyesatan. Hal Ini sejalan dengan pemikiran Sayyid Qutub yang mengatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Artinya, memang agama adalah asas peradaban, bukan asas kebiadaban.
Jika mereka menghawatirkan “fatwa” MUI dapat memancing kemarahan umat Islam, yang dapat menimbulkan kebiadaban, maka ketahuilah, “rongrongan” mereka kepada MUI -dalam masalah ini- juga telah menaburkan benih keraguan di kalangan umat, untuk menentukan mana sebenarnya yang benar. Untunglah, Allah segera membukakan hati Muhammd Mushaddaq. Sehingga dengan besar hati ia mengakui bahwa aliran yang selama ini telah dipimpinnya memang sesat dan menyesatkan.
Walhasil, saat pengakuan kesesatan aliran al-Qiyadah, Mushaddaq ditemani ketua MUI. Mereka juga tampak akrab, seolah tidak pernah terjadi perselisihan. Yang menjadi masalah, di mana mereka yang selama ini menyalahkan apapun usaha MUI, karena telah menjadikan Islam sebagai “senjata” fatwa. Kenapa tidak mereka tampakkan jiwa demokrasi yang selama ini menjadi “bualan” mereka. Atau dengan konsep pluralismenya, untuk menganggap semua permasalahan itu sama saja. Kenapa mereka sangat bisa bersandingan dengan non-Muslim dan sangat sulit untuk bermesraan dengan sesame Muslim yang beda pemikiran dengan mereka?
Bolehkah jika disimpulkan, lebih baik berkawan dengan orang yang beda aqidah, daripada dengan sesama Muslim tapi beda pemahaman! Untuk kasus ini, penulis justru menilai MUI lah yang lebih demokratis ketimbang mereka. Bukankah mereka selalu “berkoar” tentang demokrasi?!
Sejujurnya penulis merasa heran dan aneh, mengapa kasus al-Qiyadah yang sudah dianggap “selesai” oleh empunya, justru mereka yang masih berusaha “memancing” konflik argumen melalui pernyataan saudara Guntur Ramli. Jika anda mengannggap bahwa kriteria sesat adalah sebuah kesesatan, dan itu tidak ada dalam Islam, tapi nampaknya saudara tidak sadar bahwa anda sendiri justru telah mengklaim sesatnya kriteria itu. Dan itu sudah keluar dari kontek Islam. Padahal, anda telah menulis bahwa wilayah itu bukan lagi ruang penafsiran dan pemahaman yang bisa dimasuki oleh manusia seperti derajat benar dan salah. Artinya, masih ada kelompok yang ingin menjadikan masalah yang sudah selesai ini sebagai masalah. Na’udubillahi min dzalik
Jadi, sangat nampak sekali bahwa argumentasi mereka selama ini adalah sebagai upaya “menandingi” kelompok yang khawatir Islam akan disalah artikan. Bukan malah membantu kaum awam memahami Islam yang benar. Lebih “sadis” lagi mereka seolah mengajarkan umat sebuah kebebasan untuk memahami Islam. Dalam konteks ini, kita perlu memahami ulang sebuah kaidah tentang kebebasan yang berbunyi: hurriyatul mari, mahdudatun bihurriyatil ghair. “kebebasan seseorang, terikat dengan kebebasan orang (sesuatu) lain.
Seseorang termasuk kita umat Islam, bebas memahami Islam sesuka hati. Tapi ingat, Islam sebagai agama juga mempunyai rambu-rambu yang paten, dan menjadi pembeda dengan agama lainnya. Jika rambu-rambu itu yang dilanggar, maka itu artinya, ia telah menggunakan kebebasannya “mengganggu” kebebasan orang lain. Wallahu a’lam bissawab.

MUI HENDAKNYA BERIMBANG

Pernah suatu ketika penulis mendapat undangan sebagai peserta seminar sehari bertajuk “Menegaskan Parameter Aliran Sesat Dalam Islam dan Implementasinya di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerjasama dengan Aswaja Centre UNISMA bertempat di kampus UNISMA. Hadir sebagai narasumber; selain KH. Abdussamad Buchari selaku ketua MUI Jawa Timur, juga KH. Miftahul Akhyar, Rais Syuriah NU wilayah Jawa Timur, serta Dwi Hartanta, SH, MH, pengkaji intelejen Kajati Jatim.

Dari tajuk seminar yang dihadiri oleh para utusan oramas-ormas Islam dan beberapa pengasuh pondok pesantren se-Malang raya, “bidikan busur panah” yang menjadi sasaran nampak jelas; mengajak semua pihak bersama-sama menangkal gejala semakin menjamurnya aliran sempalan dalam memahami Islam, seperti harapan KH. Abdussamad ketika memaparkan makalahnya yang berjudul “Parameter yang Digunakan MUI Untuk Menetapkan Aliran Sesat Dalam Islam di Indonesia”.

Dari ketiga pemakalah, bahasan yang dikemukakan seluruhnya mengarah pada bahayanya dampak yang timbul dari aliran sesat dan menyesatkan. Sangat minim sekali –untuk tidak mengatakan tidak ada- penjelasan tentang apa yang melatarbelakangi timbulnya pemahaman sempalan tersebut. Penjelasan juga mengarah pada kemungkinan adanya faktor eksternal yang melandasi kesesatan pemikiran dalam Islam.

Adalah layak kalau kita harus selalu waspada dengan kemungkinan tersebut, tetapi mengarahkan bidikan semata-mata pada faktor eksternal yang belum sepenuhnya terbukti, tak ubahnya menyuruh umat untuk selalu berprasangka buruk dan tidak kritis.

Padahal, di luar persoalan itu, patut pula direnungkan apa yang melatar belakangi lahirnya aliran-aliran sempalan tersebut. Hal ini dapat menjadi masukan dalam upaya prefentif. Karena menurut hemat penulis, sepatutnya MUI dan semua elit agama Islam menyadari bahwa para pengikut aliran sesat sedang mariid (orang yang sakit), bukan maraad (penyakit). Mereka harus kita lihat sedang sakit, karenanya harus kita upayakan semaksimal mungkin mengobati. Jangan malah sebaliknya, kita memandang mereka sebagai penyakit yang harus dijauhi dan diberantas.
Dalam banyak kesempatan saat pemaparan, KH. Abdussamad juga banyak menjelaskan pemahaman kelompok Islam progresif yang –masih menurutnya- sangat meresahkan umat, seperti JIL. Bahkan, ketua MUI Jatim ini juga sempat menyebutkan nama-nama mereka. Ada Moh. Guntur Ramli, Pradana Boy ZTF, Ulil Abshar Abdallah, dan masih banyak yang lainnya.

Saat tiba waktu dialog interaktif, banyak sekali peserta yang mengacungkan tangan untuk mendapatkan kesempatan berbicara. Namun karena keterbatasan waktu, banyak peserta yang tidak kebagian mengungkapkan unek-unek-nya, termasuk juga penulis. Dari empat penanya yang mendapat kesempatan, rata-rata menuntut ketegasan MUI sebagai pihak yang “berkompeten” bersikap tegas bukan hanya kepada kelompok Islam progresif, tapi “ketegasan” berimbang juga diharapkan dalam menyikapi kelompok Islam beraliran keras yang jika dibiarkan, juga “membahayakan” ukhuah umat, karena mereka cenderung gampang menkafirkan sesama muslim.

Dampak “kerasnya” kelompok ini sangat terasa. Bahkan, penulis sendiri merasakan rembesannya. Suatu ketika, penulis hendak terbang dari bandara Ngurah Rai, Bali menuju Jakarta, bersama rekan yang pada waktu itu berpenampilan layaknya preman; celana jean, berjaket kulit, bertopi dan tak ketinggalan menggunakan kacamata hitam gelap. Sedangkan penulis; berbaju koko, bercelana sopan, berkopyah haji, persis seperti penampilan dai kondang ustadz Jefri Bukhari. Satu lagi, saat itu penulis belum sempat mencukur sedikit jenggot “tahunan” yang sengaja dipelihara setiap kali menjadi mutawwif (pembimbing) jama’ah haji Indonesia yang sejak tahun 2000 penulis lakoni.

Masalahnya kemudian, ketika hendak memasuki ruang tunggu, seperti penumpang lainnya, kita berdua harus melewati ruang pemeriksaan. Karena ada di belakang rekan, penulis menyaksikan saat petugas bandara memeriksa tubuhnya dengan detektor. Sangat singkat, cuma sekali pemeriksaan, selanjutnya dipersilahkan berlalu. Tapi, tidak demikian halnya proses pemeriksaan penulis, tubuh penulis dibolak-balik berulang-ulang, dan petugas menditeksi dari atas sampai bagian bawah tubuh, lebih dari lima kali. Setelah dipersilahkan lewat, rekan penulis berbisik sambil tersenyum dan berkata: “saat ini, dunia sudah berbalik! Berpenampilan preman lebih aman dari intaian petugas daripada penampilanmu saat ini.” Sambil tersenyum, penulis mengambil barang dan kitapun berlalu menuju ruang tunggu.

Sampai disini, penulis berkesimpulan; betapa Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, memang masih harus dibuktikan oleh kaum muslimin. Saat ini, pemahaman sekelompok muslim justru melahirkan image negative di kalangan non-muslim atau dan pemerintah, walaupun sebagai indifidu, sebagian besar pemerintah kita beragama Islam.

Karenanya, sekali lagi, MUI sebagai pihak yang “berkompeten” dituntut bersikap adil dalam menanggulangi fenomena maraknya aliran sesat. Karena bisa jadi, munculnya aliran-aliran sempalan sebagai dampak “protes” dari mereka yang menolak maraknya pemikiran Islam garis keras. Mungkin, Ulil Abshar Abdallah cs, membentuk komunitas JIL karena “gerah” menyaksikan praktek keberagamaan kelompok Islam ekstrem. Kita juga tidak bisa menutup kemungkinan; lahirnya al-Qiyadah al-Islamiyah, atau bahkan Lia Eden dengan komunitas alirannya, sebagai reaksi protes “keras”nya “Islam mereka”.

Memahami kenyataan ini, sebagai badan otonom yang “dekat” dengan penguasa, MUI dituntut untuk juga melakukan upaya prefentif menanggulangi merebaknya pemahaman sesat dan menyesatkan. Inilah usulan sekaligus harapan penulis kepada MUI yang tidak sempat diutarakan ketika pelaksanaan seminar kemarin, karena terbatasnya waktu yang tersedia. Karena menurut penulis, maslah ini sangat krusial dan perlu penanganan se-segera mungkin. Semoga MUI bisa diharapkan. Berlaku tegas dan berimbang menyikapi dua pemahaman Islam yang sedang sama-sama ingin “berunjuk gigi” Wallahu a’lam bis shawaab.