Masih sangat jelas dalam ingatan kita, pengakuan Moh. Mushaddaq yang telah “kembali” ke Islam dan disusul oleh para anggotanya yang selama ini menjadi pengikut aliran al-Qiyadah. Sebuah aliran yang dicap sesat oleh sebagian besar kaum muslimin Indonesia –dalam hal ini disuarakan oleh MUI- karena mengakui adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Sesuai dengan kesaksian mereka; ashhadu alla ilaha illallh, wa anna Masih al-mau’ud Rasulullah.
Bagi kita kaum muslimin di Indonesia, kenyataan tersebut menjadi kabar gembira karena –setidaknya- dua hal; pertama, kembalinya mereka (pengikut aliran al-Qiyadah) dari “kesesatan”, dan yang kedua, semakin tertutupnya pintu masuk ruangan konflik fisik di antara sesama muslim di Indonesia akibat pro-kontra aliran tersebut.
Seperti halnya permasalahan lain, munculnya al-Qiyadah juga melahirkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Bagi kelompok yang kontra, mudah dipahami alasan mereka; karena aliran ini –menurut sebagian besar kaum muslim- sesat dan menyesatkan. Namun, tidak demikian dengan kelompok yang tidak kontra –unuk tidak mengatakan pro- kepada aliran al-Qiyadah. Kelompok yang kedua ini, selain para jama’ah al-Qiyadah sendiri, juga mereka yang merasa “gerah” dengan usaha yang dilakukan Majlis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyelamatkan umat dari kesesatan.
Menurut versi mereka, upaya yang dilakukan MUI dengan mengeluarkan kriteria kelompok muslim yang sesat dan menyesatkan, justru kriteria itu sendiri yang sesat. Sebagai perwakilan dari pemikiran mereka adalah apa yang telah ditulis oleh Pradana Boy ZTF (Dosen Fakultas Ilmu Agama Universitas Muhammadiyah Malang), Jawa Pos (9/11/07) “Relativitas Kesesatan Aliran Sesat”, dan Muhammad Guntur Ramli (aktifis Jaringan Islam Liberal) di Jawa Pos kemarin(14/11/07), “sesatnya kriteria sesat” telah. Lebih jelas saudara Guntur mengatakan, kriteria penyesatan itu akan menumbuhkan tradisi yang buruk di kalangan umat karena akan menutup pintu dialog dan menggiring ke ruang konflik yang penuh dengan kekerasan.
Sampai disini, saya kurang sependapat dengan pernyataan di atas. Karena jelas, umat Islam, khususnya kelompok yang kontra terhadap aliran tersebut sudah berusaha untuk mengetahui hakekat ajarannya. Bahkan, penulis sendiri sempat mencoba mendekati seorang teman yang menjadi pengikut aliran al-Qiyadah dan “memancing”nya agar mau berdialog. Namun dengan santai ia berkata: lakum dinukum waliyadin. Entah, apa maksudnya mengeluarkan dalil tersebut. Yang jelas, setahu penulis -karena memang kami bersahabat sejak kecil- sampai sekarang ia bahkan tidak bisa dengan benar membaca al-Qur’an, apalagi memahami maksudnya. Usaha mengajak berdialog ini terjadi awal Februari 2007. Cukup lama bukan?!
Hal senada juga terjadi pada hampir semua pengikut aliran yang menyalahi ketentuan agama. Para jamaahnya terkesan menutupi ajaran mereka kepada orang atau kelompok yang mereka “khawatiri”. Objek ajaran mereka hanya dikhususkan kepada kaum muslimin yang dipandang “kuat iman”dan lemah pengetahuan agama. Untuk kondisi seperti ini, siapakah yang dimaksud saudara Guntur, sebagai kelompok yang tidak ingin berdialog? MUI dan para kelompok yang kontrakah?
Mari, tanpa niatan “bersaing”, saya mengajak semua komunitas umat, khususnya muslimin di Indonesia, untuk mengembalikan pertentangan argumentasi ini pada pokok permasalahannya. Sebagai upaya menghindari semakin meluasnya konflik di tubuh umat Islam. Jika pada pembukaan tulisannya, saudara Guntur mengatakan: Islam diturunkan sebagai misi penyelamatan, bukan amunisi penyesatan. Hal Ini sejalan dengan pemikiran Sayyid Qutub yang mengatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Artinya, memang agama adalah asas peradaban, bukan asas kebiadaban.
Jika mereka menghawatirkan “fatwa” MUI dapat memancing kemarahan umat Islam, yang dapat menimbulkan kebiadaban, maka ketahuilah, “rongrongan” mereka kepada MUI -dalam masalah ini- juga telah menaburkan benih keraguan di kalangan umat, untuk menentukan mana sebenarnya yang benar. Untunglah, Allah segera membukakan hati Muhammd Mushaddaq. Sehingga dengan besar hati ia mengakui bahwa aliran yang selama ini telah dipimpinnya memang sesat dan menyesatkan.
Walhasil, saat pengakuan kesesatan aliran al-Qiyadah, Mushaddaq ditemani ketua MUI. Mereka juga tampak akrab, seolah tidak pernah terjadi perselisihan. Yang menjadi masalah, di mana mereka yang selama ini menyalahkan apapun usaha MUI, karena telah menjadikan Islam sebagai “senjata” fatwa. Kenapa tidak mereka tampakkan jiwa demokrasi yang selama ini menjadi “bualan” mereka. Atau dengan konsep pluralismenya, untuk menganggap semua permasalahan itu sama saja. Kenapa mereka sangat bisa bersandingan dengan non-Muslim dan sangat sulit untuk bermesraan dengan sesame Muslim yang beda pemikiran dengan mereka?
Bolehkah jika disimpulkan, lebih baik berkawan dengan orang yang beda aqidah, daripada dengan sesama Muslim tapi beda pemahaman! Untuk kasus ini, penulis justru menilai MUI lah yang lebih demokratis ketimbang mereka. Bukankah mereka selalu “berkoar” tentang demokrasi?!
Sejujurnya penulis merasa heran dan aneh, mengapa kasus al-Qiyadah yang sudah dianggap “selesai” oleh empunya, justru mereka yang masih berusaha “memancing” konflik argumen melalui pernyataan saudara Guntur Ramli. Jika anda mengannggap bahwa kriteria sesat adalah sebuah kesesatan, dan itu tidak ada dalam Islam, tapi nampaknya saudara tidak sadar bahwa anda sendiri justru telah mengklaim sesatnya kriteria itu. Dan itu sudah keluar dari kontek Islam. Padahal, anda telah menulis bahwa wilayah itu bukan lagi ruang penafsiran dan pemahaman yang bisa dimasuki oleh manusia seperti derajat benar dan salah. Artinya, masih ada kelompok yang ingin menjadikan masalah yang sudah selesai ini sebagai masalah. Na’udubillahi min dzalik
Jadi, sangat nampak sekali bahwa argumentasi mereka selama ini adalah sebagai upaya “menandingi” kelompok yang khawatir Islam akan disalah artikan. Bukan malah membantu kaum awam memahami Islam yang benar. Lebih “sadis” lagi mereka seolah mengajarkan umat sebuah kebebasan untuk memahami Islam. Dalam konteks ini, kita perlu memahami ulang sebuah kaidah tentang kebebasan yang berbunyi: hurriyatul mari, mahdudatun bihurriyatil ghair. “kebebasan seseorang, terikat dengan kebebasan orang (sesuatu) lain.
Seseorang termasuk kita umat Islam, bebas memahami Islam sesuka hati. Tapi ingat, Islam sebagai agama juga mempunyai rambu-rambu yang paten, dan menjadi pembeda dengan agama lainnya. Jika rambu-rambu itu yang dilanggar, maka itu artinya, ia telah menggunakan kebebasannya “mengganggu” kebebasan orang lain. Wallahu a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar