Pernah suatu ketika penulis mendapat undangan sebagai peserta seminar sehari bertajuk “Menegaskan Parameter Aliran Sesat Dalam Islam dan Implementasinya di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerjasama dengan Aswaja Centre UNISMA bertempat di kampus UNISMA. Hadir sebagai narasumber; selain KH. Abdussamad Buchari selaku ketua MUI Jawa Timur, juga KH. Miftahul Akhyar, Rais Syuriah NU wilayah Jawa Timur, serta Dwi Hartanta, SH, MH, pengkaji intelejen Kajati Jatim.
Dari tajuk seminar yang dihadiri oleh para utusan oramas-ormas Islam dan beberapa pengasuh pondok pesantren se-Malang raya, “bidikan busur panah” yang menjadi sasaran nampak jelas; mengajak semua pihak bersama-sama menangkal gejala semakin menjamurnya aliran sempalan dalam memahami Islam, seperti harapan KH. Abdussamad ketika memaparkan makalahnya yang berjudul “Parameter yang Digunakan MUI Untuk Menetapkan Aliran Sesat Dalam Islam di Indonesia”.
Dari ketiga pemakalah, bahasan yang dikemukakan seluruhnya mengarah pada bahayanya dampak yang timbul dari aliran sesat dan menyesatkan. Sangat minim sekali –untuk tidak mengatakan tidak ada- penjelasan tentang apa yang melatarbelakangi timbulnya pemahaman sempalan tersebut. Penjelasan juga mengarah pada kemungkinan adanya faktor eksternal yang melandasi kesesatan pemikiran dalam Islam.
Adalah layak kalau kita harus selalu waspada dengan kemungkinan tersebut, tetapi mengarahkan bidikan semata-mata pada faktor eksternal yang belum sepenuhnya terbukti, tak ubahnya menyuruh umat untuk selalu berprasangka buruk dan tidak kritis.
Padahal, di luar persoalan itu, patut pula direnungkan apa yang melatar belakangi lahirnya aliran-aliran sempalan tersebut. Hal ini dapat menjadi masukan dalam upaya prefentif. Karena menurut hemat penulis, sepatutnya MUI dan semua elit agama Islam menyadari bahwa para pengikut aliran sesat sedang mariid (orang yang sakit), bukan maraad (penyakit). Mereka harus kita lihat sedang sakit, karenanya harus kita upayakan semaksimal mungkin mengobati. Jangan malah sebaliknya, kita memandang mereka sebagai penyakit yang harus dijauhi dan diberantas.
Dalam banyak kesempatan saat pemaparan, KH. Abdussamad juga banyak menjelaskan pemahaman kelompok Islam progresif yang –masih menurutnya- sangat meresahkan umat, seperti JIL. Bahkan, ketua MUI Jatim ini juga sempat menyebutkan nama-nama mereka. Ada Moh. Guntur Ramli, Pradana Boy ZTF, Ulil Abshar Abdallah, dan masih banyak yang lainnya.
Saat tiba waktu dialog interaktif, banyak sekali peserta yang mengacungkan tangan untuk mendapatkan kesempatan berbicara. Namun karena keterbatasan waktu, banyak peserta yang tidak kebagian mengungkapkan unek-unek-nya, termasuk juga penulis. Dari empat penanya yang mendapat kesempatan, rata-rata menuntut ketegasan MUI sebagai pihak yang “berkompeten” bersikap tegas bukan hanya kepada kelompok Islam progresif, tapi “ketegasan” berimbang juga diharapkan dalam menyikapi kelompok Islam beraliran keras yang jika dibiarkan, juga “membahayakan” ukhuah umat, karena mereka cenderung gampang menkafirkan sesama muslim.
Dampak “kerasnya” kelompok ini sangat terasa. Bahkan, penulis sendiri merasakan rembesannya. Suatu ketika, penulis hendak terbang dari bandara Ngurah Rai, Bali menuju Jakarta, bersama rekan yang pada waktu itu berpenampilan layaknya preman; celana jean, berjaket kulit, bertopi dan tak ketinggalan menggunakan kacamata hitam gelap. Sedangkan penulis; berbaju koko, bercelana sopan, berkopyah haji, persis seperti penampilan dai kondang ustadz Jefri Bukhari. Satu lagi, saat itu penulis belum sempat mencukur sedikit jenggot “tahunan” yang sengaja dipelihara setiap kali menjadi mutawwif (pembimbing) jama’ah haji Indonesia yang sejak tahun 2000 penulis lakoni.
Masalahnya kemudian, ketika hendak memasuki ruang tunggu, seperti penumpang lainnya, kita berdua harus melewati ruang pemeriksaan. Karena ada di belakang rekan, penulis menyaksikan saat petugas bandara memeriksa tubuhnya dengan detektor. Sangat singkat, cuma sekali pemeriksaan, selanjutnya dipersilahkan berlalu. Tapi, tidak demikian halnya proses pemeriksaan penulis, tubuh penulis dibolak-balik berulang-ulang, dan petugas menditeksi dari atas sampai bagian bawah tubuh, lebih dari lima kali. Setelah dipersilahkan lewat, rekan penulis berbisik sambil tersenyum dan berkata: “saat ini, dunia sudah berbalik! Berpenampilan preman lebih aman dari intaian petugas daripada penampilanmu saat ini.” Sambil tersenyum, penulis mengambil barang dan kitapun berlalu menuju ruang tunggu.
Sampai disini, penulis berkesimpulan; betapa Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, memang masih harus dibuktikan oleh kaum muslimin. Saat ini, pemahaman sekelompok muslim justru melahirkan image negative di kalangan non-muslim atau dan pemerintah, walaupun sebagai indifidu, sebagian besar pemerintah kita beragama Islam.
Karenanya, sekali lagi, MUI sebagai pihak yang “berkompeten” dituntut bersikap adil dalam menanggulangi fenomena maraknya aliran sesat. Karena bisa jadi, munculnya aliran-aliran sempalan sebagai dampak “protes” dari mereka yang menolak maraknya pemikiran Islam garis keras. Mungkin, Ulil Abshar Abdallah cs, membentuk komunitas JIL karena “gerah” menyaksikan praktek keberagamaan kelompok Islam ekstrem. Kita juga tidak bisa menutup kemungkinan; lahirnya al-Qiyadah al-Islamiyah, atau bahkan Lia Eden dengan komunitas alirannya, sebagai reaksi protes “keras”nya “Islam mereka”.
Memahami kenyataan ini, sebagai badan otonom yang “dekat” dengan penguasa, MUI dituntut untuk juga melakukan upaya prefentif menanggulangi merebaknya pemahaman sesat dan menyesatkan. Inilah usulan sekaligus harapan penulis kepada MUI yang tidak sempat diutarakan ketika pelaksanaan seminar kemarin, karena terbatasnya waktu yang tersedia. Karena menurut penulis, maslah ini sangat krusial dan perlu penanganan se-segera mungkin. Semoga MUI bisa diharapkan. Berlaku tegas dan berimbang menyikapi dua pemahaman Islam yang sedang sama-sama ingin “berunjuk gigi” Wallahu a’lam bis shawaab.
Dari tajuk seminar yang dihadiri oleh para utusan oramas-ormas Islam dan beberapa pengasuh pondok pesantren se-Malang raya, “bidikan busur panah” yang menjadi sasaran nampak jelas; mengajak semua pihak bersama-sama menangkal gejala semakin menjamurnya aliran sempalan dalam memahami Islam, seperti harapan KH. Abdussamad ketika memaparkan makalahnya yang berjudul “Parameter yang Digunakan MUI Untuk Menetapkan Aliran Sesat Dalam Islam di Indonesia”.
Dari ketiga pemakalah, bahasan yang dikemukakan seluruhnya mengarah pada bahayanya dampak yang timbul dari aliran sesat dan menyesatkan. Sangat minim sekali –untuk tidak mengatakan tidak ada- penjelasan tentang apa yang melatarbelakangi timbulnya pemahaman sempalan tersebut. Penjelasan juga mengarah pada kemungkinan adanya faktor eksternal yang melandasi kesesatan pemikiran dalam Islam.
Adalah layak kalau kita harus selalu waspada dengan kemungkinan tersebut, tetapi mengarahkan bidikan semata-mata pada faktor eksternal yang belum sepenuhnya terbukti, tak ubahnya menyuruh umat untuk selalu berprasangka buruk dan tidak kritis.
Padahal, di luar persoalan itu, patut pula direnungkan apa yang melatar belakangi lahirnya aliran-aliran sempalan tersebut. Hal ini dapat menjadi masukan dalam upaya prefentif. Karena menurut hemat penulis, sepatutnya MUI dan semua elit agama Islam menyadari bahwa para pengikut aliran sesat sedang mariid (orang yang sakit), bukan maraad (penyakit). Mereka harus kita lihat sedang sakit, karenanya harus kita upayakan semaksimal mungkin mengobati. Jangan malah sebaliknya, kita memandang mereka sebagai penyakit yang harus dijauhi dan diberantas.
Dalam banyak kesempatan saat pemaparan, KH. Abdussamad juga banyak menjelaskan pemahaman kelompok Islam progresif yang –masih menurutnya- sangat meresahkan umat, seperti JIL. Bahkan, ketua MUI Jatim ini juga sempat menyebutkan nama-nama mereka. Ada Moh. Guntur Ramli, Pradana Boy ZTF, Ulil Abshar Abdallah, dan masih banyak yang lainnya.
Saat tiba waktu dialog interaktif, banyak sekali peserta yang mengacungkan tangan untuk mendapatkan kesempatan berbicara. Namun karena keterbatasan waktu, banyak peserta yang tidak kebagian mengungkapkan unek-unek-nya, termasuk juga penulis. Dari empat penanya yang mendapat kesempatan, rata-rata menuntut ketegasan MUI sebagai pihak yang “berkompeten” bersikap tegas bukan hanya kepada kelompok Islam progresif, tapi “ketegasan” berimbang juga diharapkan dalam menyikapi kelompok Islam beraliran keras yang jika dibiarkan, juga “membahayakan” ukhuah umat, karena mereka cenderung gampang menkafirkan sesama muslim.
Dampak “kerasnya” kelompok ini sangat terasa. Bahkan, penulis sendiri merasakan rembesannya. Suatu ketika, penulis hendak terbang dari bandara Ngurah Rai, Bali menuju Jakarta, bersama rekan yang pada waktu itu berpenampilan layaknya preman; celana jean, berjaket kulit, bertopi dan tak ketinggalan menggunakan kacamata hitam gelap. Sedangkan penulis; berbaju koko, bercelana sopan, berkopyah haji, persis seperti penampilan dai kondang ustadz Jefri Bukhari. Satu lagi, saat itu penulis belum sempat mencukur sedikit jenggot “tahunan” yang sengaja dipelihara setiap kali menjadi mutawwif (pembimbing) jama’ah haji Indonesia yang sejak tahun 2000 penulis lakoni.
Masalahnya kemudian, ketika hendak memasuki ruang tunggu, seperti penumpang lainnya, kita berdua harus melewati ruang pemeriksaan. Karena ada di belakang rekan, penulis menyaksikan saat petugas bandara memeriksa tubuhnya dengan detektor. Sangat singkat, cuma sekali pemeriksaan, selanjutnya dipersilahkan berlalu. Tapi, tidak demikian halnya proses pemeriksaan penulis, tubuh penulis dibolak-balik berulang-ulang, dan petugas menditeksi dari atas sampai bagian bawah tubuh, lebih dari lima kali. Setelah dipersilahkan lewat, rekan penulis berbisik sambil tersenyum dan berkata: “saat ini, dunia sudah berbalik! Berpenampilan preman lebih aman dari intaian petugas daripada penampilanmu saat ini.” Sambil tersenyum, penulis mengambil barang dan kitapun berlalu menuju ruang tunggu.
Sampai disini, penulis berkesimpulan; betapa Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, memang masih harus dibuktikan oleh kaum muslimin. Saat ini, pemahaman sekelompok muslim justru melahirkan image negative di kalangan non-muslim atau dan pemerintah, walaupun sebagai indifidu, sebagian besar pemerintah kita beragama Islam.
Karenanya, sekali lagi, MUI sebagai pihak yang “berkompeten” dituntut bersikap adil dalam menanggulangi fenomena maraknya aliran sesat. Karena bisa jadi, munculnya aliran-aliran sempalan sebagai dampak “protes” dari mereka yang menolak maraknya pemikiran Islam garis keras. Mungkin, Ulil Abshar Abdallah cs, membentuk komunitas JIL karena “gerah” menyaksikan praktek keberagamaan kelompok Islam ekstrem. Kita juga tidak bisa menutup kemungkinan; lahirnya al-Qiyadah al-Islamiyah, atau bahkan Lia Eden dengan komunitas alirannya, sebagai reaksi protes “keras”nya “Islam mereka”.
Memahami kenyataan ini, sebagai badan otonom yang “dekat” dengan penguasa, MUI dituntut untuk juga melakukan upaya prefentif menanggulangi merebaknya pemahaman sesat dan menyesatkan. Inilah usulan sekaligus harapan penulis kepada MUI yang tidak sempat diutarakan ketika pelaksanaan seminar kemarin, karena terbatasnya waktu yang tersedia. Karena menurut penulis, maslah ini sangat krusial dan perlu penanganan se-segera mungkin. Semoga MUI bisa diharapkan. Berlaku tegas dan berimbang menyikapi dua pemahaman Islam yang sedang sama-sama ingin “berunjuk gigi” Wallahu a’lam bis shawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar