6.6.09

Pers dan Dunia Pendidikan

PERS DAN DUNIA PENDIDIKAN
Oleh: Zulfan Syahansyah*

Dalam sepekan terakhir, berita mengenai Manohara Odelia Pinot menyita perhatian masyarakat luas. Liputan kabar istri pangeran Kerajaan Kelantan, Tengku Muhammad Fakhry ini menyedot perhatian banyak pihak, dan nyaris menenggelamkan pemberitaan lainnya. Spontan, sosok Manohara kian tersohor mengalahkan ketenaran artis ngetop; menyisihkan kecamuk kabar para politisi yang sedang berkompetisi menjelang pilpres; menjadi penawar berita tuntutan banyak pihak mengenai kecurangan pileg lalu; dan masih banyak lagi berita-berita baik politik, ekonomi, serta budaya yang seakan jatuh tertindih berita Manohara yang ditengarai over ekspos.
Terlepas pro-kontra isi pemberitaan, penulis hanya ingin mengurai benang merah antara berita Manohara dengan berita-berita lain yang datang dan pergi menyisakan opini bagi publik, sebagai hasil kreasi pers. Memang, di era tekhnologi dan informasi seperti saat ini, pers semakin menemukan kekuasaaannya yang hampir tanpa batas.
Bagaikan tongkat ajaib, pers dapat memperlihatkan dan sekaligus menyembunyikan sebuah fakta atau aib. Pers juga bisa mencerdaskan dan sekaligus pembodoh bangsa. Bahkan, pers mampu menyihir apa saja menjadi apa saja secara meyakinkan. Bisa menampilkan penjahat sebagai pahlawan; menampilkan artis sebagai ulama; preman sebagai politisi; pengangguran sebagai wakil rakyat; karena pers juga, banyak kalangan guru merasa bagai tahanan luar yang wajib selalu di pantau; dan seterusnya, dan seterusnya.
Bagi mereka yang malas berfikir, opini pers akan dengan mudah memperdaya. Hitam kata pers, meski sebenarnya putih, akan tetap nampak hitam; benar kata hati nurani, akan terlihat salah jika pers mengopinikan sebaliknya.
Di negara-negara maju, pers menjadi senjata ampuh pihak-pihak yang berkepentingan merebut simpati publik. Dengan kehebatan pers merekalah, bangsa kita yang tergolong besar tapi lembek, sering diintervensi. Tak heran, apa yang mereka katakan mulia, dengan percaya diri kita pun mengatakan begitu; apa yang mereka kata hina, kita juga latah menghinakannya. Bahkan telanjang dan pacaran, misalnya, kita anggap budaya trendy; karena pers mereka mempropaganda budaya bangsa agar latah “membebek” tradisi mereka. Suatu ajaran agama tiba-tiba dirasa perlu penafsiran ulang saat nampak usang; adu jotos menjadi kegemaran kita; secara fanatik kita menjagokan klub sepak bola mereka; bahkan kita repot mengurusi gaya pakaian dan cara makan mereka; itu semua terutama berkat jasa pers mereka.
Bisa jadi, karena meyadari hebatnya pers, penguasa Orde Baru sengaja memasang penjaga khusus untuk membina, memantau dan mengawasi gerak pers secara ketat; termasuk menyensor pers luar.
Waktu itu, pers kita sendiri –seperti halnya lembaga-lembaga non-pemerintah lainnya– diarahkan menjadi pendukung kebijakan penguasa. Kran transparansi tersumbat rapat. Aktifitas pers menyuarakan suara kebenaran berjalan terseok-seok. Tidak sedikit mess media yang tumbang dibrendel karena bersuara mengusik ketenangan penguasa.
Sekarang, di mana kemerdekaan dan kebebasan semakin nampak nyata, perslah yang paling merasakan situasi dan kondisi ini. Ditambah lagi penguasanya “mabuk” demokrasi dan transparansi, pers pun semakin hebat dan merajalela.
Mungkin karena pers kita terlalu lama dibelenggu; maka begitu bebas, bagaikan kuda liar lepas dari kandang, pers pun seperti mabuk kepayang. Meminjam istilah Gus Mus, euphoria keterbukaan saat ini membuka peluang dan memamerkan kehidupan pers, yang seakan menjadi lahan pangan instan.
Seorang wartawan kawakan, Aristides Katoppo yang dulu bangga dan kini malu disebut sebagai wartawan mengatakan: dahulu kita punya100 pesawat terbang dan kini 500. Bila semua co-pilotnya pun kita suruh membawa sendiri, masih ada 300 pesawat; lalu siapa yang membawanya? “Terpaksa tukang ojek pun ikut membawa pesawat!” Kata si otong. (Mustofa Bisri: 2008) Penulis mengira, di zaman euphoria ini, perumpamaan di atas bisa diterapkan untuk kalangan lain yang selama ini terbelenggu oleh penguasa, seperti kalangan politikus.
Menganalogikan tamsil di atas, tidak heran jika profesi pers yang sejatinya mulia, kini nampak semraut tak beradab. Kode etik jurnalistik mengalahkan kode etika. Bisa jadi, 300 pesawat pers yang tak terpakai benar-benar dikendalikan para tukang ojek dan becak.
Maka jangan heran, jika kemudian masyarakat menjadi pusing menghadapi pers kita. Keluhan tentang ‘gangguan pers’, sudah sering terjadi. Akal kita sering dikacaukan oleh para insan pers. Sebagai contoh nyata, pers berhasil mengopinikan bahwa dunia pendidikan saat ini perlu diawasi secara ketat. Lihatlah kemudian bagaimana mereka ‘giring’ opini masyarakat untuk mendekte kalangan pendidik yang berujung pada renggangnya jarak antara guru dan walisiswa.
Akibat opini ini, para guru semakin khawatir menghukum murid yang layak dihukum. Sudah sering anak yang mengadukan kepada orang tuanya telah dipukul guru di sekolah, serta-merta akan diwacanakan telah terjadi penindasan atau kekarasan. Solusinya hanya dua: jika tak langsung dilabrak ke sekolah, tindak “kekerasan” pada sang murid akan segera dilaporkan ke pihak aparat. Seolah-olah, masalah dalam kependidikan hanya bisa diselesaikan dengan melabrak sekolah atau melapor ke polisi. Jarang, untuk tak mengatakan tak ada, walimurid yang benar-benar pasrah menyerahkan proses pendidikan anaknya pada sang guru.
Walhasil, karena mengerti kecemasan kalangan guru ini, para siswa semakin berani berulah tanpa khawatir mendapatkan sanksi yang selama ini mereka takutkan. Hasilnya, adab murid pada sang guru turun drastis; harmonisasi antara wali siswa dan pengajar menjadi hal langka; kecuali kewajiban mengajar di kelas, guru pun semakin enggan menerapkan pendidikan sebagaimana mestinya. Jika ini terus berlanjut, tujuan utama pendidikan bangsa semakin jauh api dari panggangnya, menjadi hal yang wajar dan tinggal menunggu waktu. Inilah sisi lain dari manfaat pers di era yang semakin bebas dan merajalela seperti saat ini.
Sepaham dengan kekhawatiran Gus Mus, bila hal ini tidak dicermati oleh kalangan pers dan berbenah diri, kita khawatir peranan mereka pada zaman reformasi ini tidak lebih baik –kalau tidak malah lebih buruk– dari pada saat tiarap di zaman Orde Baru kemarin; seperti kekhawatiran kita pada kalangan politisi. Wallahu a’lam bi al shawab.
*Pendidik di PP. Al-Munawwariyyah Malang