27.11.10

CATATAN SEPUTAR HIJRIYAH

(Berikut ini beberapa inti catatan seputar Hijriyyah tulisan Nurcholish Madjid)

Setiap kali memperingati tahun baru, orang umumnya menung­gu tengah malam sebagai pergantian tahun, karena dalam sistem penanggalan syamsîyah atau penang-galan matahari, pergantian memang terjadi pada pukul 24.00. Se¬mentara itu pergantian hari dan tanggal dalam sistem Islam ialah magrib, karena menggunakan sis¬tem penanggalan qamarîyah. Itulah sebabnya mengapa ru’yah untuk kedudukan bulan, misalnya, dilakukan pada waktu magrib. Sistem penanggalan Islam yang kemudian dikenal dengan Kalender Hijriah memang dimulai dengan peristiwa Hijrah, yaitu peristiwa kepindahan Nabi Saw. dan para Sahabat dari Makkah ke Yatsrib, yang kemudian diubah namanya oleh Nabi menjadi Madinah; lebih lengkap lagi, Madînah al-Nabî atau Madînah al-Rasûl.

Yang menetapkan Hijrah sebagai permulaan kalender Islam bukanlah Nabi sendiri, melainkan Umar ibn Khaththab. Sahabat Nabi dan juga khalifah kedua yang dikenal mempunyai banyak repu¬tasi dan pelopor dalam beberapa hal. Misal¬nya, dialah orang yang pertama kali menciptakan kantor (dîwân) di dalam sistem masyarakat Islam. Dalam hal ini, terutama kantor yang ada kaitannya dengan ke-uangan. Dari perkataan dîwân itulah kemudian diambil perkataan duane dalam bahasa Prancis, yang artinya tempat memungut pajak. Kelak juga kata itu juga masuk dalam bahasa Indonesia, dewan.

Reputasi Umar yang lain ialah menciptakan Baitul Mal (Bayt al-Mâl). Umar juga yang mula-mula menciptakan gelar Amirul Mukminin (Amîr al-Mu’minîn), suatu gelar yang semula sebetulnya tidak begitu jelas. Ketika Abu Bakar menggantikan Rasulullah, beliau digelari khalîfat al-Rasûl (pengganti Rasul). Ketika Umar menjabat sebagai pemimpin masyarakat Islam, orang mulai memanggilnya khalîfat al-khalîfah (pengganti khalifah), atau panjangnya khalîfatu khalîfati al-Rasûl (pengganti penggantinya Nabi, maksudnya Abu Bakar). Umar tertegun dengan sebutan atau gelar yang panjang itu. Pikirnya, bagaimana nanti gelar orang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, setelah dia. Bukankah gelar itu akan menjadi semakin panjang. Karena itu, Umar ke¬mudian mengusulkan untuk meng¬gunakan sebutan yang singkat, yaitu amîr al-mu’minîn (pemimpin orang-orang yang beriman).

Dari sekian banyak hal yang dirintis oleh Umar, salah satunya ialah penetapan Hijrah sebagai permulaan kalender Islam melalui suatu musyawarah. Pada mulanya dalam musyawarah itu sendiri muncul berbagai pendapat dan perdebatan. Salah satunya ialah usulan bahwa tahun Islam harus dimulai dengan kelahiran Nabi Muhammad. Sebuah usul yang sangat masuk akal. Sebab, bu¬kan¬kah sering terjadi dalam tradisi umat manusia, menghormati orang yang sangat berpengaruh dengan cara menjadikan hari kelahirannya sebagai permulaan perhitungan tahun atau kalender. Itu terjadi, misal¬nya, dengan tahun Masehi (tahun Kristen). Dalam bahasa Arab lebih banyak digunakan istilah tahun Milâdi, artinya tahun kelahiran, yaitu kelahiran Nabi Isa al-Masih.

Usul agar tahun Islam dimulai dengan kelahiran Nabi Muhammad ditolak oleh Umar. Singkat cerita, di dalam proses musya­warah itu akhirnya disepakati bahwa kalender Islam dimulai dengan Hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Ini mempunyai makna yang sangat besar. Kita mengetahui bahwa Hijrah itu suatu kegiatan atau aktivitas. Kelahiran bukanlah kegiatan, melainkan sesua­tu yang diterima secara pasif. Lagi pula kalau kita memperingati sesuatu dan dikaitkan dengan seseorang, maka dengan sendirinya meng¬isyaratkan bahwa di situ ada unsur pemujaan. Kalau toh bukan pemu¬jaan, setidak-tidaknya ada unsur pengagungan terhadap orang tersebut.

Umar menolak usul peng¬hitungan kalender Islam yang dimulai dengan kelahiran Nabi Muhammad, argumennya adalah bahwa Muhammad ibn Abdullah itu lahir belum menjadi nabi. Dia hanya seorang manusia biasa. Dia menjadi nabi atau rasul sejak umur empat puluh tahun. Pada waktu menjadi rasul pun beliau tidak sekaligus menciptakan prestasi, melainkan memerlukan waktu yang cukup lama, suatu proses yang sangat sulit selama tiga belas tahun di Makkah. Sulitnya perjuangan beliau itu direkam di dalam Al-Quran, termasuk dalam surat Al-Dhuhâ. Surat ini turun di Makkah, artinya sebelum terjadi Hijrah. Banyak tafsir yang menga­takan bahwa yang dijanjikan oleh Tuhan di dalam surat Al-Dhuhâ melalui pernyataan, Dan Tuhanmu kelak memberimu apa yang menyenangkan kau (Q., 93: 5) itu adalah keme¬nangan-kemenangan yang reali¬sasinya terjadi setelah Hijrah. Me¬mang Nabi kemudian wafat pada tahun ke-10 Hijrah sebagai Nabi yang paling sukses dalam sejarah umat manusia.

HIJRAH BUKAN MELARIKAN DIRI
Hijrah artinya pindah. Dalam bahasa Inggris, migration. Tetapi orang-orang Barat menerjemahkan hijrah dengan flight, padahal flight itu artinya melarikan diri. Dengan bermigrasi dari Makkah ke Madinah, Nabi Muhammad tidak bermaksud melarikan diri, tetapi pindah, dan kepindahannya bukan atas kemauan sendiri melainkan atas petunjuk dari Allah Swt.
Secara sosiologis historis memang ada beberapa faktor yang melatarbelakangi hijrah Nabi, yaitu antara lain didahului dengan adanya bai’at (janji setia) yang diikuti oleh orang-orang dari Madinah (waktu itu namanya Yatsrib, dalam naskah-naskah Yunani kuno dikenal sebagai Yathriba).

Tidak banyak yang diketahui oleh orang-orang luar mengenai Arabia, karena Arabia memang merupakan daerah yang tidak begitu menarik bagi bangsa-bangsa lain. Karena itu tidak ada usaha untuk, misalnya, menaklukkan daerah tersebut. Orang Arab sendiri menyadari hal itu, karenanya disebut jazirah. Dalam bahasa Arab, jazirah itu bukan semenanjung, tetapi pulau.
Orang Arab menyebut negerinya sebagai pulau karena dari tiga jurusan dikelilingi oleh laut, yaitu Laut Merah, Lautan Arab, dan Teluk Persi. Tetapi yang di utara bukan lautan air melainkan lautan pasir yang sulit sekali diterobos, terutama gurun pasir Syria atau dalam bahasa Arab Wadî‘at al-Syams. Daerah itu memang terkenal “kejam” sekali sehingga tidak mudah diterobos oleh orang-orang dari luar. Karena itu jazirah Arabia, dalam sejarahnya, hanya mengirim orang ke luar, dan sedikit sekali orang yang masuk.

Dalam sejarah dibuktikan bahwa bangsa-bangsa Semitik kuno seperti bangsa Asyria, bangsa Babilonia, bangsa Kanaan dan sebagainya, sebetulnya berasal dari Jazirah Arabia. Mereka disebut Arab karena selalu berpindah-pindah. Jadi Arab itu artinya berpindah-pindah, dari perkataan Ibrani, ‘Ibrun, ‘Abarah yang artinya menye¬berang. Dalam bahasa Arab memang sering terjadi perpindahan suku kata, tetapi mempunyai makna yang sama atau asalnya ber¬makna sama yang disebut tashrîf kabîr. Misalnya, kata ‘ilm (dari ‘ayn, lâm, dan mîm), itu satu akar kata dengan ‘amal (dari ‘ayn, mîm, dan lâm), sebab antara ilmu dan amal itu terkait. Demikian juga Arab dengan Ibrani: Ibrani itulah yang lalu menjadi Hebrew, menjadi orang Yahudi. Jadi orang-orang Bani Israil disebut Hebrew atau Ibrani, karena suka mengembara.

Malah ada teori dari ahli sejarah bahwa sebetulnya Ibrahim itu namanya bukan Ibrahim. Ada nama lain yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Sebab Ibrahim itu dulu asalnya adalah Abram, lalu menjadi Abraham dan kemudian menjadi Ibrahim. Abram itu artinya orang yang menye¬berang, orang yang mengembara. Yang jelas dia mengembara dari Babilonia ke Mesopotamia Utara, kemudian belok ke Selatan ke Kanaan.

Pandangan seperti ini penting diketahui untuk sampai pada pemahaman mengapa misalnya Nabi Muhammad hijrah ke kota sebelah utara, yaitu Yatsrib, lalu dengan strategi baru beliau berhasil menghimpun kekuatan orang-orang Arab dan kemudian terjadi apa yang dalam istilah para ahli sejarah disebut Arab explotion (ledakan orang Arab).

HIJRAH DAN KETOKOHAN MUHAMMAD
Peristiwa Hijrah dapat disebut sebagai peristiwa kesejarahan karena dampaknya yang demikian besar dan dahsyat pada perubahan sejarah seluruh umat manusia. Kalau sebuah buku yang membahas tokoh-tokoh umat manusia sepanjang sejarah menempatkan Nabi Muham­mad Saw. sebagai yang terbesar dan paling ber¬pengaruh dari tokoh-tokoh lainnya, maka bukti dan alasan penilaian dan pilihan itu antara lain dida¬sarkan kepada dampak keha¬diran Nabi dan agama Islam, yang mo¬men¬tum kemenangannya terjadi karena peristiwa Hijrah.

Dari sudut pandang ini, maka tepat sekali tindakan Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththâb untuk memilih Hijrah Nabi sebagai titik permulaan penghitungan kalender Islam, dan bukan, misalnya, memilih kelahiran Nabi (yang saat itu tentunya belum menjadi seorang Nabi, melainkan hanya seorang bayi Muhammad). Tindakan ‘Umar itu sesuai dengan prinsip besar Islam, yaitu “peng¬hargaan dalam Jahi­liah berdasarkan keturunan, dan peng¬hargaan dalam Islam berdasarkan prestasi ker­ja”. Dan pres­tasi kerja Nabi Saw. mendapatkan momen¬tumnya dengan peristiwa Hijrah, sehing­ga ketika wa­fat, Nabi Muhammad Saw. adalah seorang Utusan Allah yang paling sukses dan pa­ling besar pengaruhnya kepada umat manusia.

Hal ini menirukan jargon yang sering muncul dalam masyarakat bahwa salah satu inti makna Hij­rah ialah semangat mengandalkan penghargaan karena prestasi kerja, bukan karena pertim­bangan-pertimbangan kenisbatan (ascriptive) yang sekedar memberi gengsi dan prestise seperti keturunan, asal daerah, kebangsaan, bahasa, dan lain-lain. Selain sejalan dengan prinsip di atas, pandangan ini juga merupakan konsekuensi penegasan Al Quran bahwa seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali yang diusahakan sendiri (Q., 53: 36-42).


HIJRAH MENUJU KEMENANGAN
L. Stoddard dalam The Rising Tide of Colours (Bangkitnya Bangsa-Bangsa Berwarna) mengatakan bahwa Nabi Muhammad seolah-olah telah mengubah padang pasir Timur Tengah menjadi mesiu yang dia sulut dari Madinah dan meledakan seluruh Timur Tengah. Sebab tidak lama setelah Rasulullah pindah ke Madinah, dalam tempo 10 tahun sebelum beliau wafat, ia menjadi tokoh sejarah yang paling sukses dalam sejarah umat manusia. Michael Hart, seorang wartawan Amerika yang menulis buku tentang 100 tokoh yang paling berpengaruh di dalam sejarah umat manusia, dengan jujur mengakui bahwa di antara 100 tokoh itu, kalau dilihat efeknya, Muhammad lah yang terbesar.

Efek itu ada terutama karena kepindahan Nabi Muhammad dari Makkah ke Yatsrib. Nabi di Makkah selama 13 tahun tanpa men¬dapatkan hasil yang menge-sankan, bahkan bisa dikatakan—dalam bahasa manusia—beliau gagal. Di antara ahli tafsir ada yang mengatakan bahwa Nabi pernah putus asa sehingga kemudian turun surat Al-Dhuhâ. Malah ada yang mengatakan, surat Al-Dhuhâ itu menunjukkan bahwa Nabi sede¬mikian putus asa sehingga ada yang menafsirkan bahwa Nabi pernah berpikir untuk bunuh diri. Oleh karena itu, surat Al-Dhuhâ berisi teguran yang keras sekali, Demi cahaya pagi yang gemilang. Dan demi malam bila sedang hening. Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak membencimu. Dan sungguh, yang kemudian akan lebih baik bagimu daripada yang sekarang. Dan Tuhanmu kelak memberimu apa yang menyenangkanmu (ke¬menangan) (Q., 93: 1-5).

Secara historis, kemenangan yang dijanjikan oleh Tuhan itu terealisir setelah 10 tahun di Madi¬nah. Karena itu, “wal al-âkhirat khayrun laka min al-ûlâ” (Q., 93: 4) terjemahannya bukan akhirat lebih baik daripada dunia, seperti yang banyak dipahami tetapi, dalam bahasa sekarang, “yang jangka panjang itu lebih baik daripada yang jangka pendek”.

Jadi ini suatu peringatan kepada Nabi seolah-olah Allah berfirman, “Hai Muhammad, mungkin kamu gagal dalam jangka pendek, tetapi kalau kamu berjuang terus, maka dalam jangka panjang kamu akan berhasil”. Umumnya manusia itu tidak tahan berpikir panjang dan selalu ingin cepat berhasil. Karena itulah ajaran sabar dalam Al-Quran banyak sekali, termasuk surat Al-‘Ashr, ...dan saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran dan ketabahan (Q., 103: 3). Tidak saja kita harus saling mengingatkan kepada setiap orang supaya berpegang pada yang baik dan benar, tetapi juga harus tahan dalam arti jangan mudah tergoda oleh hal-hal yang bersifat jangka pendek. Itulah satu hal yang bisa ditarik dari pelajaran hijrah.


HIJRAH MENUJU MASYARAKAT BERPERADABAN
Mula-mula yang dilakukan Nabi setelah hijrah dari Makkah ke Yatsrib adalah mengubah nama dari Yatsrib menjadi Madinah. Hal ini patut direnungkan, karena Madinah (madînah) itu artinya kota. Bahkan secara etimologis, Madinah artinya tempat peradaban. Karena itu hijrah juga merupakan suatu titik balik dari proses perjuangan Nabi yang semula di Makkah lebih banyak dipusatkan kepada pendidikan priba­di-pribadi, maka di Madinah mulai diwujudkan dalam konteks sosial menjadi sebuah peradaban (Arab: madînah). Jadi Hijrah juga meru¬pakan suatu lambang bahwa akhir¬nya tujuan beraga­ma ialah men¬ciptakan kehidupan yang beradab.

Madinah dalam bahasa Arab sama dengan polis dalam bahasa Yunani. Maka ada Konstan¬tino¬polis, Miniapolis, Indianapolis, Parsipolis, dan lain-lain. Seandainya Rasulullah dulu berbahasa Yunani, maka Madinah itu akan memper¬oleh nama Prophetopolis, kota Nabi. Dari polis inilah kemudian diambil kata-kata politik; jadi perkataan politik itu sendiri sudah menunjuk kepada konsep kehidupan teratur dalam sebuah kota. Maka tidak heran bahwa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah mendirikan negara (Madinah). Negara yang didirikan Nabi itu mula-mula adalah sebuah negara kota (city state), kemudian diperluas meliputi seluruh Jazirah Arabia. Kelak bahkan diperluas lagi oleh para sahabat menjadi suatu imperium dunia, yang jauh lebih luas daripada kekaisaran Romawi atau kekaisaran Byzantium pada zaman keemasannya.

Selain madanîyah, perkataan lain untuk peradaban dalam bahasa Arab ialah hadhârah, satu akar kata dengan hâdhir. Hadhârah adalah konsep kehidupan menetap di suatu kota untuk menciptakan kehidupan yang teratur, bukan kehidupan nomad atau berpindah-pindah. Hadhârah merupakan lawan dari badâwah, artinya orang-orang kampung di padang pasir, yaitu mereka yang pola kehidu¬pannya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Karena itu, padang pasir dalam bahasa Arab juga disebut bâdiyah. Dari kata-kata badâwah itulah diambil perkataan badawî, kemu¬dian menjadi badui, artinya orang kampung dengan konotasi orang yang tidak begitu terpelajar.

Maka Al-Quran membedakan antara ahl al-khabar dengan ahl al-badâwah (penghuni kota dari penghuni desa). Ada isyarat-isyarat bahwa Al-Quran lebih menghargai kehidupan kota, karena di kotalah orang bisa menciptakan peradaban. Inilah yang menyebabkan agama Islam, dalam tinjauan sosiol­ogis, sering disebut sebagai berorientasi urban (urban orienta­tion), dalam penger¬tian agama kota, atau agama kehidupan teratur. Karena itu orang yang masuk Islam, pandangan dan pola kehidu­pannya menjadi kosmopolis; dia menjadi warga dari seluruh masyarakat yang tidak lagi dibatasi oleh batas-batas desanya sendiri.


HIJRAH SEBAGAI PERISTIWA METAFISIS
Hijrah adalah peristiwa his­toris yang amat besar, bah­kan paling besar dalam sejarah umat manusia jika dilihat dampak yang dihasilkannya. Walaupun be­gitu Hijrah juga sekaligus sebagai peristiwa metafisis yang dari berbagai segi termasuk mu‘jizat Nabi dan tindakan supranatural beliau. Artinya, ia merupakan sebuah peristiwa yang tidak akan terjadi tanpa “campur tangan” Tuhan secara langsung, baik dalam penyiapan, perenca­na­an, maupun perlindungannya.

Menurut sebagian para ahli, salah satu firman Allah yang me­ru­pa­kan isyarat kepada terjadinya Hijrah yang membawa kemenangan besar bagi Nabi Saw. itu ialah, Apakah mereka (kaum kafir Makkah) berkata, “Kami adalah kelompok yang menang?” Kelompok mereka itu akan dihancurkan, dan mereka lari terbirit-birit. Sungguh, Saatnya akan datang sebagai janji kepada mereka, dan Saat itu akan sangat menyedihkan dan sangat pahit (bagi mereka) (Q., 54: 45-47). Bahkan ada isyarat dari Al Quran bahwa Nabi akan keluar dari kota tumpah darahnya yang amat dicintai, yaitu Makkah, namun akan kembali dengan penuh kemenangan dengan izin Allah, Sesungguhnya Dia (Allah) yang telah menjadikan ajaran Al Quran sebagai panggilan kewajiban atas engkau (Muhammad) tentulah akan mengembalikan engkau ke tempat asalmu (Makkah) (Q., 28: 85). Mendengar antisipasi dan predik­si serupa itu maka kaum kafir Quraisy hanya mengejek dan menertawakan saja.

Tahun-tahun terakhir menjelang Hijrah, bagi Nabi dan kaum beriman adalah saat-saat yang penuh kesulitan. Oleh karena itu tidak heran bahwa kaum kafir merasa kemenangan sudah di ambang pintu, dan Nabi berserta kaum beriman akan segera lenyap dari muka bumi. Maka mereka hanya mengejek saja jika ada prediksi bahwa kaum beriman, di bawah pimpinan Nabi, akan men­da­patkan kemenangan dan kaum kafir akan hancur.

Menurut sebagian ulama, bahkan dalam surat Al-Rûm (Q., 30) ayat-ayat pertama yang meramalkan kemenangan Romawi Timur (Bizantium) atas Persia juga merupakan prediksi tidak langsung bagi kemenangan Nabi dan ka­um beriman ter­ha­dap ka­um kafir. Pertama, karena kaum beriman bersimpati kepada Romawi, tidak ke­pa­da Persia, sementara kaum kafir Makkah bersimpati kepada Persia, tidak kepada Romawi. Kedua, ke­a­daan Romawi saat itu, setelah dikalahkan oleh Persia, adalah porak-poranda sehingga se­pin­tas lalu mus­tahil akan dapat menang atas Persia yang perkasa.

Tetapi kenyataannya Ro­ma­wi me­nang tidak lama setelah turun surat Al-Rûm. Ini berarti bahwa kaum beriman pun, dalam ke­a­da­an yang sangat lemah dan dirundung berbagai kesulitan, juga dapat menang atas kaum kafir Makkah yang kaya dan kuat. Semuanya itu terbukti menjadi kenyataan setelah Hij­rah, di­mulai dengan perang Badar yang merupakan titik balik seluruh sejarah umat Islam (dan se­ja­rah umat manusia). Karena itu dalam Al Quran perang Badar itu disebut “Hari yang me­nen­tukan” (Yawm al Fur­qân—Q., 8: 41).


HIJRAH SEBAGAI TURNING POINT
Kita mengetahui bahwa Nabi Musa ditugaskan oleh Allah Swt. untuk membimbing anak ke¬turun¬an Nabi Ya’kub, Bani Israil (Israil adalah gelar Nabi Ya’kub yang berarti hamba Allah atau abdullah) untuk keluar dari Mesir membe-baskan mereka dari perbudakan menuju ke tanah yang dijanjikan, yaitu Kanaan, yang tidak lain adalah tanah Nabi Ibrahim. Nabi Musa berhasil membawa bangsa Yahudi keluar dari Mesir, tetapi beliau hanya sampai ke Sinai, tidak sampai ke Kanaan. Bahkan beliau wafat di Sinai. Padahal dia adalah Nabi kedua yang paling sukses.

Sebaliknya ketika Nabi Muhammad diutus, seluruh jazirah Arabia tun¬duk kepada beliau. Bahkan sudah mulai ada ekspansi-ekspansi keluar jazirah Arabia, yang segera dilan¬jutkan oleh Abu Bakar, Ustaman, Umar, dan sebagainya. Pada zaman Umar, artinya hanya selang bebe¬rapa tahun saja setelah wafat Nabi, Persi sudah jatuh ke tangan orang Islam.

Apalagi Syam (Syria Raya yang meliputi Libanon, Israil) dan Mesir, juga jatuh ke tangan Umat Islam. Jadi “walasawfa yu‘thîka rabbuka fatardhâ” (Q., 93: 5) sudah terbukti secara historis, karena memang Nabi kemudian tampil sebagai seorang ahli strategi yang sangat ulung. Barangkali juga penting memahami surat Al-Dhuhâ, yang setelah itu Nabi Muhammad digugat. Dan gugatannya menarik sekali, bukankah Dia mendapati kau sebagai piatu, lalu Ia melindungi? (Q., 93: 6).

Kira-kira kalau dalam bahasa sekarang, Muhammad yang piatu dicarikan orang yang bisa mengasuhnya; mula-mula ialah kakeknya, Abdul Muthalib; kemudian pamannya, Abu Thalib, bapak dari Ali yang kelak kemudian menjadi menantu¬nya. Dan Dia mendapati kau tak tahu jalan, lalu Ia memberi bimbingan (Q., 93: 7). Bahwa Tuhan mendapati Nabi dalam keadaan bingung, tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah, sehingga diberi petunjuk (menerima wahyu). Ini referensinya kepada pengalaman Nabi dalam mencari kebenaran beberapa belas tahun.

Setelah kawin dengan Khadijah, dengan jalan “semacam bertapa” atau bermenung di gua Hira, akhirnya turun wahyu pertama. Kemudian, Dan Dia mendapati kamu dalam kekurangan, lalu Ia memberi kecukupan (Q., 93: 8). Bahwa dulu Muhammad adalah orang miskin yang tergantung kepada orang lain, tetapi kemudian dibuat kaya, yaitu dikawinkan dengan Khadijah. Kemudian, Karenanya, janganlah kau berlaku sewenang-wenang kepada anak yatim (Q., 93: 9). Bahwa kamu adalah anak yatim, maka kepada anak yatim kamu jangan membentak. Kemudian, Dan orang yang me-minta, janganlah kau bentak (Q., 93: 10). Bahwa kepada orang yang meminta-minta, jangan sampai kamu menghardik, karena kamu sendiri dulunya juga miskin. Kemudian, “Dan nikmat Tuhanmu, hendaklah kau siarkan,” (Q., 93: 11).

Berkenaan dengan nikmat karunia Tuhanmu, hendaknya kamu manifestasikan, tunjukkan, dan manfaatkan semaksimal mungkin, jangan disembunyikan, jangan diingkari (Q., 93: 6 dst.). Jadi nikmat yang diterima harus dibuat lebih produktif. Artinya, sesuatu yang merupakan kelebihan kita, kita gunakan secara maksimal untuk manfaat yang sebesar-besarnya. Itulah Dan nikmat Tuhanmu, hendaklah kau siarkan (Q., 93: 11).

Berdasarkan surat Al-Dhuhâ, Nabi pernah mengalami down atau kehilangan semangat—untuk tidak menyebut putus asa. Tetapi setelah diperingatkan oleh Allah Swt. seperti itu, kemudian timbul lagi semangat beliau dan melakukan hijrah. Dengan hijrah, kemudian terjadi titik-balik (turning point), yaitu Rasulullah wafat sebagai Nabi yang sangat sukses, bahkan kesuksesannya diteruskan oleh para pengikutnya. Sehingga dalam tempo yang sangat singkat daerah pengaruh Islam terbentang sejak dari lautan Atlantik di sebelah Barat sampai ke Tembok Cina, Gurun Gobi di sebelah Timur.


HIJRAH UNTUK MENDAPATKAN KEBEBASAN
Ada firman Allah yang lebih merupakan suatu janji, Dan barang siapa yang hijrah di jalan Allah di bumi ini banyak tempat dan rezeki yang melimpah (Q., 4: 100). Banyak sekali contoh keberhasilan yang bisa diraih setelah hijrah atau berpindah. Di zaman sekarang ini kita bisa menunjuk Khomeini yang ditindas oleh Syah Iran, lalu pindah ke Irak untuk mendapatkan (sedikit) kebebasan, tetapi rezim Irak kemudian juga merasa ketakutan, sehingga Khomeini ditindasnya; akhirnya, tokoh Syiah ini pergi ke Prancis. Di sana dia memperoleh fasilitas, keluasan, dan kebebasan, termasuk kebebasan menga­jarkan konsep-konsep politiknya, yang kemudian direkam dan dikirimkan kembali ke Iran, untuk menjadi biduk atau permulaan dari Revolusi Iran.

Pelarian-pelarian politik sekarang ini pun banyak yang pergi ke Barat, karena di sana mereka mendapatkan kebebasan. Negeri-negeri Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, selalu mem¬berikan fasilitas kepada pela¬rian politik, meskipun ideo-loginya tidak disetujui. Maka orang gam¬pang sekali pindah ke Ameri­ka Serikat; misalnya, dia hanya tinggal mengumpulkan dokumen bahwa di negerinya dia ditindas secara politik. Pasti di sana dia akan men¬dapat fasilitas. Yang perlu dicatat, hal semacam itu sama sekali bukan gejala modern, bahkan juga terjadi di zaman kejayaan Islam dulu.

Orang-orang yang tertindas di negeri-negeri bukan Muslim lari ke negeri Islam. Ketika orang-orang Kristen fanatik mengejar-ngejar orang Yahudi untuk dipaksa masuk Kristen, karena memang ada masa¬lah teologis antara kekristenan dan keyahudian, yaitu tuduhan bahwa yang membunuh Nabi Isa dulu adalah orang Yahudi, orang-orang Yahudi lari ke seluruh dunia Islam untuk meminta perlin¬dungan, termasuk ke Istanbul yang pada waktu itu sudah menjadi ibukota Turki Utsmani. Karena itu, sampai sekarang di Istanbul masih ada perkampungan Yahudi berbahasa Spanyol.

Begitulah, Tuhan menjanjikan bahwa orang yang berpindah demi kebenaran akan mendapatkan kemudahan yang banyak dan keluasan atau kebebasan. Lahirnya Amerika Serikat juga karena adanya orang-orang Eropa yang mencari kebebasan; mereka berlari karena penindasan-penindasan yang terjadi di Eropa waktu itu. Imam Syafi’i, anutan mazhab terbesar di Indonesia, menulis syair yang bagus tentang ini: Sâfir tajid ‘iwadhan ‘an man tufâri­quhu, fa inna al-‘ûd bâkî fî ardhihi min al-hathâbi (Pergilah maka kamu akan mendapatkan ganti dari yang kamu tinggalkan, lihatlah kayu yang wangi itu [cendana] di tempatnya sendiri cuma sebangsa kayu bakar saja).

Maksudnya, banyak orang yang mungkin tidak berharga kalau masih berada di tempatnya sendiri; dia akan berharga kalau pindah ke tempat lain. Banyak orang yang bisa membuat kreativitas dan karya-karya besar setelah mereka pindah. Sebaliknya, jarang sekali orang yang bisa menjadi besar di tem­patnya sendiri, karena terkekang oleh masyarakatnya.

Jadi Hijrah merupakan suatu cara untuk memperoleh pelajaran dari Allah dengan memperhatikan masyarakat-masyarakat yang jauh. Itulah sebabnya mengapa umat Islam dulu sangat dina­mis; mereka mengembara ke seluruh muka bumi, dan menemukan berba­gai hal yang kemudian dirangkum untuk menjadi ramuan dari peradaban Islam. Peradaban Islam adalah peradaban yang sangat kosmopolit, dalam arti bahwa unsur-unsurnya diambil dari seluruh umat manusia.

21.11.10

MADINAH

Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab “dîn” itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta “agama”. Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian “a-gama” yang berarti “tidak kacau”, yakni, teratur atau berperaturan.

Sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur sekitar empat ratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama Bani Nazhîr, Bani Qaynuqâ dan Bani Qurayzhah. Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Potelemius, Yethroba sebagai namanya.

Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi Saw. untuk meng­ganti nama kota itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi itu bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkadung makna yang luas dan mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidu­pan politik Jazirah Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau semantis, perkataan Arab “madînah” berarti kota. Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologsinya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu “d-y-n” (dâl-yâ-nûn), dengan makna dasar “patuh”, sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dâna-yadînu.

Dari situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk “agama” ialah dîn, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tantang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut “agama” itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup. Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagaian lagi tidak(Q., 9:29).

Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab “dîn” itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta “agama”. Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian “a-gama” yang berarti “tidak kacau”, yakni, teratur atau berperaturan. (“Agama” dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama).


Kembali ke perkataan “madînah” yang digunakan Nabi Saw., untuk menukar nama kota hijrah beliau itu. Di sini kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak diwujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Maka konsep madînah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.

Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madanîyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumput bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga “polisi”). Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut “kota” (city, polis). Dalam konteks Jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqâfah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadlârah) di tempat itu.

Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqâfah menjadi berarti “kebudayaan”, dan hadlârah ialah kebalikan dari badâwah yang mempunyai makna kebahasaan peristilahan “hidup berpindah-pindah” (nomadism) dan makna kebahasaan “(tingkat) permulaan” (bidâyah, alis “primitif”). Karena itu “orang kota” disebut ahl al-hadlar atau hadlarî dan “orang kampung” disebut ahl al-badâwah atau badâwî, juga badwî (badui).