13.9.11

MAKNA, HUKUM DAN TUJUAN PERNIKAHAN

A. MAKNA PERKAWINAN

Pengertian Secara Bahasa

Az-zawaaj adalah kata dalam bahasa arab yang menunjukan arti: bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya):

Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh)” (Q.S At-Takwir : 7)

dan firman-Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang artinya mereka disatukan dengan bidadari :

Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik lagi bermata jeli (Q.SAth-Thuur : 20)

Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut juga “Al¬-Aqd, yakni bergandengan (bersatu)nya antara laki-laki dengan perempuan, yang selanjutnya diistilahkan dengan “zawaaja�?.

Pengertian Secara Syar’i

Adapun secara syar’i perkawinan itu ialah ikatan yang menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan, dan tidak berlaku, dengan adanya ikatan tersebut, larangan-larangan syari’at.

Lafadz yang semakna dengan “AzZuwaaj” adalah “An-Nikaah“; sebab nikah itu artinya saling bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang maksud dari lafadz “An-Nikaah” yang sebenarnya. Apakah berarti “perkawinan” atau “jima’”.

Selanjutnya, ikatan pernikahan merupakan ikatan yang paling utama karena berkaitan dengan dzat manusia dan mengikat antara dua jiwa dengan ikatan cinta dan kasih sayang, dan karena ikatan tersebut merupakan sebab adanya keturunan dan terpeliharanya kemaluan dari perbuatan keji.

B. HUKUM PERKAWINAN

An-Nikaah hukumnya dianjurkan, karena nikah itu termasuk sunnah Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwasanya telah berkata Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu:
Telah datang tiga orang ke rumah istri-istri nabi Shalallahu’alaihi Wassallam. Mereka bertanya tentang ibadahnya, maka tatkala telah diberitahu maka seakan-akan merasa amalnya sangat sedikit, lalu mereka berkata: “Dimana kita dibanding Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, sungguh Allah mengampuni dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang”. Maka berkata seseorang di antara mereka, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selamanya”, dan berkata seorang lagi, “Aku akan berpuasa sepanjang masa,�? dan yang lainnya,”Aku akan meninggalkan wanita, tidak akan menikah�?. Lalu datang Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, kemudian beliau Shalallahu’alaihi Wassallam berkata:
‘Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu ? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa dari kalian, akan tetapi aku shalat dan aku tidur, aku puasa dan aku berbuka, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golnganku�?.

Makna dari “barang siapa yang membenci sunnahku” adalah berpaling dari jalanku dan menyelisihi apa yang aku kerjakan, sedang makna “bukan dari golonganku” yakni bukan dari golongan yang lurus dan yang mudah, sebab dia memaksakan dirinya dengan apa yang tidak diperintahkan dan membebani dirinya dengan sesuatu yang berat. Jadi, maksudnya adalah barang siapa yang menyelisihi petunjuk dan jalannya Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, dan berpendapat apa yang dia kerjakan dari ibadah itu lebih baik dari apa yang dikerjakan oleh Rasulullah . Sehingga makna dari ucapan bukan dari golonganku” adalah bukan termasuk orang Islam, karena keyakinannya tersebut menyebabkan kekufuran.

Hukum nikah ini sunnah untuk orang yang bisa menanahan biologis dan tidak khawatir terjerumus ke dalam zina jika dia tidak menikah, dan dia telah mampu untuk memenuhi nafkah dan tanggung keluarga.

Adapun orang yang takut akan dirinya terjerumus ke dalam zina, jika dia tidak nikah, atau orang yang tidak mampu meninggalkan zina kecuali dengan nikah, maka nikah itu wajib atasnya. Dan untuk masalah nikah secara panjang lebar terdapat dalam kitab-kitab Fiqh.

C. TUJUAN PERNIKAHAN

Sesungguhnya perintah itu ikatan yang mulia dan penuh barakah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mensyari’atkan untuk kemaslahatan hamba-Nya dan kemanfaatan bagi manusia, agar tercapai maksud-maksud yang baik dan tujuan-tujuan yang mulia. Dan yang terpenting dari tujuan pernikahan ada dua, yaitu:

1. Mendapatkan keturunan atau anak
2. Menjaga diri dari yang haram

Maksud PertamaMendapatkan Keturunan atau Anak

Dianjurkan dalam pernikahan tujuan pertamanya adalah untuk mendapatkan keturunan yang shaleh, yang menyembah pada Allah dan mendo’akan pada orangtuanya sepeninggalnya, dan menyebut-sebut kebaikannya di kalangan manusia serta menjaga nama baiknya. Sungguh ada dalam hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu
berkata : Adalah Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras dan belia bersabda :

Nikahkah oleh kalian perempuan-perempuan yang pecinta dan peranak, maka sungguh aku berbangga dengan banyaknya kalian dari para Nabi di hari kiamat.�?

Al Walud (banyak anak), Al Wadud (pecinta), di mana dia mempunyai unsur-unsur kebaikan dan baik perangainya dan mencintai suaminya, Al-Makaatsarat ialah bangga dengan banyaknya umat shallallahu alaihi wa alaihi wa sallam di hari kiamat, maka Nabi,
Berbangga dengan banyaknya umatnya dari semua para Nabi. Karena siapa yang umatnya lebih banyak maka pahalanya lebih banyak dan bagi beliau mendapat seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Inilah tujuan yang besar dari pernikahan. Berfirman Allah Sub,hanahu wa Ta’ala (yang artinya) :

Dan Dia (Allah) telah menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu-cucu�?. (Q.S An-Nahl-72)

Al-Hafadah (jama’ dari hafid artinya cucu; yang dimaksud dalam ayat ini adalah anaknya anak dan anak-anak keturunan mereka.

Maka manusia dengan fitrah yang Allah berikan padanya dijadikan rnencintai anak-anak karena Allah menghiasi manusia dengan cinta pada anak-anak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (yang artinya) :

Dijadikan indah pada (pandangan ) manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu ; wanita-wanita, anak-anak,…�?(Q.S Ali-Imran -14)

Manusia memiliki naluri cinta pada anak-anak, karenanya Allah Subhanahu waTa’ala jadikan anak-anak sebagai perhiasan kehidupan dunia. Berfirman Allah (yang artinya):

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.�?

Namun karena terlalu cintanya pada anak-anaknya, kadang-kadang bisa menjerumuskan ke dalam fitnah, sehingga dia bermaksiat pada Allah dengan sebab anak-anaknya. Allah berfirman (yang artinya):

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S At-Taghabun : 15)

Dan bila telah keterlaluan fitnah anak pada manusia, maka bisa mendorong pada perbuatan haram, seperti usaha yang haram untuk menafkahi mereka, atau meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan jihad di jalan Allah, karena takut kalau meninggalkan anak. Maka anak dalam hal ini sama kedudukannya dengan musuh, sehingga wajib berhati-hati dari keterikatan pada mereka. Dan ini adalah makna dari firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isteri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.�? (Q.S At-Taghabun:14)

Telah ada dalam sebab Nuzul ayat ini apa yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Hakim dan lainnya dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata :

“Telah turun ayat ini (At-Taghabun-14) tentang suatu kaum dari ahli Makkah, mereka telah masuk Islam, lalu istri-istri mereka dan anak-anak mereka menolak ajakan mereka.
Maka ketika mereka datang pada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam di Madinah, mereka melihat orang-orang yang mendahului mereka dengan hijrah. Sungguh mereka telah pandai-pandai dalam urusan agama, maka mereka ingin menghukum istri-istri dan anak-anak mereka, lalu Allah turunkan pada mereka ayat :

Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang�? (Q.S At-Taghabun : 14)

Maksud Kedua : “Menjaga Diri dari yang Haram

Tidak diragukan lagi bahwa yang terpenting dari tujuan nikah ialah memelihara dari perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan keji, serta tidak semata-mata memenuhi syahwat saja. Memang bahwa memenuhi syahwat itu merupakan sebab untuk bisa menjaga diri, akan tetapi tidaklah akan terwujud iffah (penjagaan) itu kecuali dengan tujuan dan niat. Maka tidak benar memisahkan dua perkara yang satu dengan lainnya, karena manusia bila mengarahkan semua keinginannya untuk memenuhi syahwatnya dengan menyandarkan pada pemuasan nafsu atau jima’ yang berulang-ulang dan tidak ada niat memelihara diri dari zina, maka dimanakah perbedaannya antara manusia dengan binatang ?

Oleh karena itu, maka harus ada bagi laki-laki dan perempuan tujuan mulia dari perbuatan bersenang-senang yang mereka lakukan itu, yaitu tujuannya memenuhi syahwat dengan cara yang halal agar hajat mereka terpenuhi, dapat memelihara diri, dan berpaling dari yang haram. Inilah yang ditunjukkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam . Sungguh diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata : telah berkata Rasulullah .:

Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang mampu maka nikahlah, karena sesungguhnya itu dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan, maka barang siapa yang tidak mampu hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya itu benteng
baginya.
�?

Al- Wijaa’, adalah satu jenis pengebirian, yaitu dengan mengosongkan saluran mani yang menghubungkan antara testis_dan dzakar. Dan makna hadits ini adalah : Barang siapa yang mampu di antara kamu wahai pemuda untuk berjima’ dan telah mampu untuk memikul beban-beban pernikahan dan amanahnya, maka nikahlah. Karena nikah itu akan menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Jika tidak mampu hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu akan menghancurkan kekuatan gejolak syahwat, bagai pengebirian pada binatang buas untuk menghilangkan syahwatnya.

Maka jelaslah dari hadits ini bahwa Nabi salallahu ‘alaihi wasallam memberikan pada pernikahan itu dua perkara yang membantu pada kedua mempelai, yaitu pertama menundukan pandangan dari pandangan-pandangan yang diharamkan Allah Ta’ala dari para wanita, kedua memelihara kemaluan dari “zina” dan semua perbuatan-perbuatan keji. Sehubungan dengan makna ini telah ada hadits yang mulia yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma berkata :”Aku mendengar Rasulullah bersabda :

Apabila seseorang diantara kamu terkagum-kagum pada wanita lalu terkesan atau terjatuh dalam hati; maka hendaklah segera menemui isterinya lalu penuhilah hasratnya dengan isterinya, karena sesungguhnya itu akan menolak apa yang ada dihatinya atau jiwanya.�?

Adapun orang-orang yang telah menikah dan semua keinginannya dari pernikahan adalah syahwat dan jima’ semata, maka mereka tidak bertambah dengan jima’ tersebut kecuali tambah syahwat, dan dia tidak cukup dengan isterinya yang halal. Bahkan dia akan berpaling pada yang haram.

(Dikutip darikitab Ushulul Mu’asyarotil Zaujiyah, Penulis: Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an, Edisi Indonesia “Tata Pergaulan Suami Istri Jilid I�? Penerbit Maktabah Al-Jihad, Jogjakarta)

Disalin langsung dari http://menikahsunnah.wordpress.com

12.9.11

TUMPANG TINDIH BERDALIH

LAKNAT MALAIKAT, SIAPA TAKUT!

Orang yang kaya harta berdalih: “tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah”, lantas dia mengingatkan setiap orang yang datang kepadanya agar jangan mengharap sedekah. Sebaliknya, orang yang miskin mempunyai dalil: “Termasuk orang-orang yang mendustakan agama jika ada orang kaya tapi tidak mauu bersedekah, meski pun rajin sembahyang”. Dengan dalilnya ini, si miskin percaya diri mengingatkan orang yang kaya agar mau bersedekah.

Contoh lainnya, pejabat pemerintahan memegang ajaran agama tentang kewajiban rakyat untuk mematuhi pemimpinnya. Dengan modal anjuran tersebut, dia lantas menyampaikan perintah agama itu dalam setiap pembicaraannya di depan publik. Sementara itu, rakyatnya mempunyai dalil tentang kewajiban pemimpin menjadikan rasulullah sebagai suri tauladan dalam kepemimpinan; rasul adalah sosok pemimpin yang sederhana, bersahaja dan jauh dari kesan kemewahan.

Contoh-contoh di atas adalah gambaran keliru dalam berdalih. Namun, begitulah realita yang kerap terjadi. Berikut ini penulis paparkan satu contoh nyata kekeliruan berdalih seperti di atas.

Seorang istri yang menolak ajakan suminya berhubungan badan, lantas si suami tidak rela, alias grundel, maka para malaikat akan melaknat si istri hingga pagi hari. Artinya, dalam semalam itu si istri berada dalam kondisi yang tidak barokah. Naudzubillahi min dzâlika” Demikian penjelasan satu hadis yang dipertanyakan keabsahannya oleh seorang penanya dalam satu forum diskusi tentang hak-hak perempuan yang diselenggarakan oleh para mahasiswa di salah satu perguruan tinggi.

Secara sepontan salah satu narasumber, seorang perempuan tokoh feminisme, menanggapi pertanyaan itu dengan mantap: “Itu pasti hadis dhaif atau bisa jadi maudhû’! Tidak mungkin Rasulullah yang begitu agung memandang perempuan sedemikian rendah. Hanya sebagai pemuas syahwat lelaki!”

Melihat reaksi cara menjawabnya, nampak sekali penolakan sang narasumber pada hadis dimaksud. Jika saja dia khaliyatudz-dzihni, berfikiran jernih: tidak ada semacam kejengkelan yang sudah lama bercokol terhadap perlakuan tidak adil kaum lelaki terhadap perempuan, mungkin tidak sepontan dan semantap itu ia menjawab. Terlebih jika diketahui bahwa jawabnnya justru keliru. Paling tidak, ia akan mengatakan tidak atau belum pernah tahu apakah hadis itu sahih atau da’if. Untunglah dia masih menghormati Rasulullah SAW. Atau justru karena tidak berani mengecam Rasulullah maka dia hanya berani sebatas menafikan hadis tersebut.

Nara sumber tersebut pasti belum tahu bahwa hadis yang dimaksud adalah hadis sahih, muttafaq ‘alaihi; dari sahabat Abu Hurairah r.a. Bukan hadis dhaif (lemah) apalagi maudhû’(palsu). Dan hadis ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan sikap banyak lelaki yang memandang rendah kepada kaum perempuan. Lelaki yang melihat perempuan dengan sebelah mata berdasarkan hadis sejenis di atas tak ubahnya –seperti umunya politikus kita- yang menggunakan dalil agama sebagai pembenaran atau untuk mendukung kepentingannya.

Lantas, kenapa sampai ada hadis yang sekilas nampak sangat mendukung kediktatoran seorang suami kepada istrinya? Tidakkah ini semakin melemahkan posisi wanita sebagai istri? Adakah penjelasan yang bisa diterima semua pihak: diterima wanita sebagai istri, dan difaham pria sebagai suami yang senyatanya berkewajiban mengayomi istrinya?

Sebagai lelaki yang berstatus suami, penulis bagai berdiri di persimpangan dua jalan dalam memahami hadis tersebut: memahaminya secara leterleg, atau dituntut lebih memahami kandungan tersurat dari muatan hadis. Bukankah Rasulullah kita kenal sebagai sosok pria yang lemah lembut bukan saja kepada keluarga dan sahabatnya, tapi bahkan kepada musuh-musuhnya? Lantas, masak iya beliau memberikan satu ajaran yang terkesan diskriminasi?

Kesan diskriminsi hadis di atas karena teksnya secara jelas menyebutkan “perempuan/istri yang menolak”, bukan “pasangan yang menolak”. Jika teks terakhir yang digunakan, isi hadis bisa lebih nampak berimbang: bukan hanya istri yang menolak saja yang akan dilaknat para malaikat, tapi suami pun akan dilaknat malaikat jika menolak “permintaan” istrinya. Bukankah sudah lumrah indikasi banyak wanita yang selingkuh karena tidak mendapat kepuasan batin dari suaminya? Lantas, bagaimana Anda memahami makna tersirat hadis tersebut?

Penulis yakin, meski Anda lelaki, pasti tidak akan setuju jika wanita harus berada dalam posisi yang layak didiskriminasikan. Baik wanita itu adalah istri, saudari, anak perempuan, apalagi ibu, kan. Wanita, masya Allah, tidak cukup lembaran yang tersedia untuk melukiskan kemuliaan sosok kaum hawa ini. Siapa sih pria yang yang menjadi tokoh atau pemimpin dalam pentas sejarah kehidupan ini yang berhasil tanpa ada wanita di sampingnya? Tidak ada! So, masak iya, kejengkelan suami karena keengganan istrinya yang diajak tidur saja sampai berakibat pada kemurkaan malaikat pula, hingga ikut-ikutan melaknat? Maka saya berkesimpulan, biarkan saja malaikat melaknat, peduli amat! Bukankah malaikat tidak mempunyai otoritas memasukkan manusia ke Surga atau Neraka? Malaikat tidak lebih hanya pesuruh saja, kan! Lagi pula, mereka tidak punya pengalaman berumah tangga, jadi, tahu apa mereka tentang hubungan suami istri??!! Wallahu a’lam bi alshawab.

ZNS