7.12.08

Ibadah Haji dan Martabat Indonesia


”SOAL HAJI ADALAH PERSOALAN MATI DAN HIDUP”
Oleh: Zulfan Syahansyah*

Judul di atas merupakan komitmen Mentri Agama (Menag) Maftuh Basyuni untuk bekerja maksiamal mempertahankan kebersihan dan suksesnya pelaksanaan ibadah haji. Lebih lanjut Maftuh menyatakan:. "Karena tugas ini menjadi barometer dan citra departemen yang dipimpinnya, maka sampai mati pun akan saya lakukan" tegasnya dalam acara temu kangen dengan beberapa rekannya di Purwokerto, September lalu, seperti yang diberitakan situs resmi Departemen Agama (Depag).
Bagaimanapun, urusan haji merupakan gawe besar pemerintah RI yang bersentuhan langsung dengan bangsa lain. Wajar jika pemerintah, dalam hal ini Departemen Urusan Haji yang berada di bawah payung Kementrian Agama, bertekat untuk terus meningkatkan mutu dan pelayanan haji. Intinya, ada dua hal mendasar yang menjadi tugas Departemen pinpinan Maftuh Basyuni, kaitannya dengan ”hidup dan mati” pemerintah RI di mata dunia: tugas internal dan eksternal.
Tugas pertama, pemerintah dituntut untuk terus meningkatkan mutu pelayanan bagi warga Indonesia yang hendak menyelenggarakan ibadah haji. Dan kedua, sebagai negara pengirim jamaah haji terbesar, secara tak langsung, pelaksanaan haji menjadi ’cermin’ yang menggambarkan hakekat bangsa Indonesia sebagai negara yang berdaulat di mata dunia.

***


Realita Jama’ah Haji Indonesia
Kagum dan terharu. Itulah yang penulis rasakan saat pertamakali ditaqdirkan mampu melaksanakan ibadah haji pada tahun 2001 silam. Terkagum pada banyak hal tentang pelaksanaan haji: kesigapan para jamaah dari seantero alam yang berjubel dan tumpek-bleg di tanah Haram; pengaturan pelaksanaannya, dan utamanya, kuantitas jamaah haji (JH) Indonesia yang setiap tahun menduduki peringka terbesar. Adalah, sedikit kebanggaan menjadi rakyat Indonesia, sebagai negara pengirim JH terbesar.
Selain bangga, menyadari realitas perkembangan JH yang terus meningkat setiap tahunnya, penulis juga terharu. Meski dalam dasawarsa terakhir Indonesia tertimpa multi krisis, termasuk bidang ekonomi, namun jumlah calon jamaah haji terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan, kuota haji Indonesia yang disediakan oleh kerajaan Saudi Arabia (KSA) berada pada titik minus.
Calon jamaah yang telah melunasi ONH tahun ini, jangan lantas bermimpi bisa berhaji pada tahun yang sama. Minimal dua bahkan tiga tahun ke depan, ia baru bisa menjadi ’tamu Allah’. Realita ini menunjukan betapa panjang antrean kaum muslimim Indonesia untuk bisa melaksanakan ibadah haji. Tidak sedikit juga JH yang siap membayar biaya tambahan, asal bisa segera berangkat, mendahului jadwal yang sudah ditetapkan pemerintah.
Seperti halnya jamaah lainnya, penulis juga harus sabar menunggu ’antrean’ panjang. Setelah melunasi biaya haji pada tahun 1998, baru pada tahun 2001 penulis ditakdirkan bersua ke Baitul Haram. Tak apalah, yang penting, rukun Islam kelima telah terlaksana. Alhamdulillah. Kira-kira, demikian juga yang dirasakan oleh hampir semua JH Indonesia yang tak mau ketinggalan untuk, setidaknya memiliki embel-embel sosial: ’Pak atau Bu haji’. Berapapun besarnya nominal ONH, keinginan untuk berhaji, tidak akan kendor.
Selain cara berhaji seperti di atas, tidak sedikit juga jamaah kita, karena minimnya dana atau tak sabar menunggu panjangnya antrean pemberangkatan haji, lantas menggunakan ”jalan pintas”. Berangkat umrah pada bulan-bulan sebelum waktu haji, lalu mukim (tinggal) sebagai imigran gelap, hingga masa haji tiba.
Ada juga yang berangkat haji dengan menggunakan paspor hijau. Beberapa hari lalu, harian ini juga memberitakan kasus serupa: karena berpaspor hijau, lima orang calon jamaah haji telantar di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Berhaji dengan alternatif kedua ini, memang penuh resiko. Resiko sebagai penduduk gelap, karena over stay, selama masa penantian musim haji; juga resiko saat ingin pulang ke tanah air. Harus siap masuk tarhil (penjara imigrasi) Saudia Arabia.
Setiap tahun, menjelang dan setelah pelaksanaan haji, ribuan penduduk Indonesia yang dideportase oleh bagian imigrasi KSA. Realita ini tentu menodai martabat bangsa. Sebagai negara pengirim JH terbesar, ternyata tidak sedikit yang menggunakan cara ilegal. Ironisnya, kenyataan tersebut, hingga kini masih belum bisa ditangani.
Selain kasus over stay, adalagi masalah yang tidak bisa dianggap enteng, maka sebisa mungkin segera diantisipasi guna menjaga harkat dan martabat bangsa Indonesia yang berdaulat. Undicipliner JH Indonesia saat kedatangan, dan terutama pada waktu pemulangan dari Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, atau King al-Su’ud, Madinah. Untuk kasus kedua ini, kedisiplinan JH Indonesia, akan sangat nampak ketika dibandingkan –maaf, sekedar contoh– dengan JH Malaysia.
Pada tahun 2006, penulis menjadi salah satu staf Saudia Ground Handling: petugas haji untuk penerbangan Saudia Airline yang membidangi keimigrasian JH Indoneisia. Selama musim haji, sepanjang hari penulis bertugas di bandara King Abdul Aziz. Sebagai warga Indonesia, ada perasaan malu jika pada waktu yang bersamaan terjadi antrean untuk proses imigrasi antara JH Indonesia dan JH Malaysia. Kenapa?
Dengan hitungan jumlah jamaah yang sama antara dua negara bertetangga ini, waktu dan personil dari petugas imigrasi Saudia, mesti lebih banyak dipersiapkan untuk JH kita. Bagaimana tidak?! JH Malaysia, selain nampak lebih berdedikasi, mereka rapi, patuh pada aturan setempat. Sikap disiplin dan penuh wibawa tercermin dari penempilan JH Malaysia. Maka tak heran, ’waktu’ dan petugas yang dibutuhkan untuk proses keimigrasian tak perlu banyak. Tidak demikian dengan JH Indonesia. Susah diatur dan kurang disiplin. Kesan sebagai uneducated people sangat kentara. Maaf, kontradiksi berdisiplin antara bebek dan ayam pun, tidak terlalu jauh dijadikan perumpamaan disiplin kedua bangsa tersebut.

Hakekat Istita’ah Dalam Haji
Betul, tidak semua JH Indonesia seperti gambaran di atas. Para JH plus Indonesia bisa menjadi jawaban untuk menyanggah anggapan tersebut. Pada tahun 2005, penulis juga berkesempatan melaksanakan haji dengan ONH plus. Berbeda dengan JH biasa, pelaksanaan JH plus serupa dengan gambaran JH Malaysia. Hanya saja, persentase JH plus tak lebih, atau nyaris kurang dari sepersepuluh JH biasa. Yang nampak kemudian, JH Indonesia seperti paparan negatif di atas.
Menyadari kenyataan ini, adalah keniscayaan semua lapisan terutama pemerintah, dalam hal ini, Departemen Agama Urusan Haji untuk mengantisipasinya sedini mungkin. Langkah yang mungkin bisa diupayakan adalah: Mewajibkan kepada semua lembaga penyelenggara haji, baik negeri maupun swasta untuk tidak hanya menekankan pembelajaran dan pelatihan manasik haji bagi para calon JH, tapi perlu kiranya mengagendakan pembelajaran dan pelatihan proses perjalanan, terutama kaitannya denga imigrasi. Karena pada hakekatnya, urusan keimigrasian adalah paket dari perjalanan haji bagi JH yang menggunakan jalur udara seperti Indonesia.
Seperti kita maklumi bersama, dalam kajian fiqih, salah satu syarat wajib haji adalah istita’ah, kemampuan. Baik mampu (memiliki) biaya, mampu (kuat) badan, serta mampu (mengerti) perjalanan. Untuk pengertian ”mampu” ketiga, bagi JH yang menggunakan transportasi udara, penulis cendrung menterjemahkannya pada kecakapan proses perjalanan. Perjalanan melalui udara tak bisa lepas dari keimigrasian. Karenanya, memberikan kecakapan dan pelatihan kepada calon JH masuk dalam tataran sama pentingnya dengan memberikan pelatihan manasik haji lainnya.
Dengan pemahaman ini, bagi penyelenggara ibadah haji atau KBIH yang tidak memberikan pembekalan kecakapan tentang keimigrasian, sama halnya menafikan urgensi kecakapan seputar haji, semisal pemahaman tentang tawaf, sa’i, melempar jamarat, dan sebagainya. Untuk kecakapan seputar keimigrasian, selain sebagai pelatihan salah satu syarat wajib haji, ia juga berfungsi meminimalisir persepsi negatif terhadap para JH Indonesia. Maka anggapan sebagian besar petugas haji di KSA: Indonesi muskilah: Orang Indonesia payah; lambat laun akan berubah menjadi Indonesi kois: Orang Indonesia bagus. Wallahu a’lam bi al-shawab.

* Saudia Ground Handling for Hajj, Th. 2006




8.11.08

BERSAMA MENCERDASKAN BANGSA

Tiga Komponen Pendidikan:
Bersama Mencerdaskan Bangsa
Oleh: Zulfan Syahansyah*


Di sebuah koran Pendidikan, beberapa waktu lalu penulis telah kemukakan mulianya profesi sebagai guru dalam artikel “Sertifikasi: Upaya Timbal Balik Antara Guru dan Pemerintah”. Inti tulisan mengajak jajaran guru untuk terus meningkatkan profesionalisme pribadi dan pengajarannya. Hal ini sebagai upaya meningkatkan citra ’pendidik’ di mata masyarakat yang senpat ternoda akibat ulah sebagian kecil oknum.
Kaitannya dengan pencitraan, hemat penulis: ternyata tidak cukup, karenanya tidak bisa menciptakan opini positif tanpa bantuan semua pihak. Dalam hal ini, kalangan pers turut berperan penting membentuk wacana pendidikan dan pengajaran. Sebagai profesi pencari berita, wartawan secara tak langsung telah membentuk wacana di tengah masyarakat tentang segala hal yang diberitakan. Termasuk masalah kependidikan.
Seperti kita maklumi bersama, di era informasi seperti saat ini, peran pemberitaan media sangat sensitif; antusias masyarakat cukup tinggi menaggapi kabar media seputar masalah kehidupan. Satu kasus yang diberitakan media, tak jarang menjadi standar untuk menilai hal serupa, meski pada hakekatnya berbeda.
Berita penganiayaan murid oleh oknum guru di sebuah sekolah misalnya, dapat membentuk paradigma: semua sekolah berpotensi bisa ”menganiaya” para siswa. Dampak yang kemudian terasa, tak sedikit wali murid antipati dan penuh rasa curiga setiap kali anaknya melapor telah dihukum sang guru di sekolah. Maka tak ayal, jajaran guru dituntut semakin waspada menghindari urusan-urusan non-academic dengan kalangan walisiswa yang kian merapatkan barisan untuk ”mengintai” keteledoran guru.
Demo para orangtua murid menuntut mundur guru, kasus guru yang dilaporkan ke aparat, merupakan contoh perkara non-academic antara pendidik dan orangtua murid. Dus, realita ini menjadi indikator renggangnya komunikasi yang sejatinya terjalin harmonis antara kedua belah pihak. Bagaimanapun, kerjasama pihak pendidik dan orangtua mutlak dibutuhkan untuk perkembangan anak didik.
Jika harmonisasi hubungan antara walisiswa dan guru sudah tak terjalin lagi, yang nampak jelas sebagai ”korban” adalah anak didik. Pihak guru, yang penting sudah mejalankan kewajiban mengajar: memenuhi target materi pengajaran siswa, selesai. Tentang sisi pendidikan lainnya, masabodo. Sementara pihak orangtua murid, yang penting kewajiban bulanan sudah dibayar, tak ubahnya pembeli jasa, guru dituntut untuk memperlakukan anaknya seperti halnya pembantu mereka melayani sang anak majikan.


***

”Guru siksa murid: Kembali Terjadi”, ”Lagi-lagi Siswa Dianiyaya Guru”, ”Karena Mencuri, Siswa dihajar Guru”. Demikian headline pemberitaan seputar kasus kependidikan di banyak koran. Hampir setiap hari publik disuguhi paradigma tak sedap ”racikan” para pewarta yang selalu diburu setoran berita. Dengan kelihaian dan profesionalisme wartawan, perkara ringan bisa disulap menjadi kasus dahsyat. Penyusunan kata menjadi kalimat, serta pemilihan judul tulisan adalah kosmetika pemberitaan agar laku di pasaran.
Dalam banyak akhbar tentang kasus ”penyiksaan” siswa oleh guru, tak jarang pewarta penyimpulkan idealnya pendidikan. Para pencari berita ini lupa, bahwa mengajar dan mendidik adalah tugas sehari-hari guru. Sebagai profesi, tentu saja seorang guru lebih mengenal siswanya: siapa yang perlu dididik lembut, atau sedikit keras. Dalam keseharian, kegiatan guru berkumpul dengan peserta didiknya, maka pasti guru tahu perkembangan siswanya jauh melampaui apa yang diketahui para pencari berita di jalanan.
Mestinya, para pewarta menyadari hal ini. Terlalu naif jika lantas menyimpulkan ’penganiayaan’ saat didengar ada murid yang dipukul gurunya, tanpa tahu dengan seksama duduk permasalahannya. Jangan menciptakan image: seolah-olah murid menjadi pihak yang lemah, rawan tertindas; sementara guru tergambar sebagai kelompok yang semena-mena. Hingga segala aktifitas kepengajaran kudu dipantau dan diawasi.
Sepertinya, menjadi guru adalah sebuah profesi baru seiring dengan adanya sertivikasi. Tidak sedikit kita yang melupakan: pengetahuan serta keterampilan yang saat ini ada dan berkembang, tak lain karena taburan benih-benih pengetahuan yang ditabur oleh para guru kita. Elit pemerintah yang sekarang menjabat, dulu juga menjadi siswa. Bukankah profesi wartawan juga hasil keringat guru? Tanpa jasa guru-guru terdahulu, apa mungkin kita bisa meraih keberhasilan seperti saat ini?
Tanpa mengurangi nilai profesi pewarta, penulis hanya mengingatkan: meningkatkan mutu pendidikan untuk bersama mencerdaskan bangsa adalah tugas semua komponen bangsa. Wartawan tak lain bagian dari masyarakat. Sedangkan masyarakat merupakan satu dari tiga komponen pendidikan: keluarga, sekolah dan masyarakat sendiri.
Tiga komponen inilah yang mestinya perupaya untuk bersama-sama menciptakan suasana pendidikan yang kondusif. Bukan malah sebaliknya: image pendidikan di masyarakat bobrok; kepercayaan walimurid kepada guru kian menipis; dan jajaran guru, sebagai akibat dari kondisi ini, menjadikan sekolah tak lebih sebagai lahan mata pencaharian. Jika ini yang terjadi, bagaimana nasib pendidikan bangsa? Apa reaksi kita saat generasi mendatang menjadikan sekolah di luar negeri sebagai standar kualitas pendidikan dan pengajaran?

* Pengurus sekaligus guru di
Yayasan PP. Al-Munawwariyyah Bululawang Malang



21.10.08

ADA MASALAH? JANGAN TAKUT!

MASALAH DAN KEHIDUPAN
Oleh: Zulfan Syahansyah*

Dari segi penyusunan kata menjadi kalimat, pakar bahasa boleh saja mempermasalahkan judul di atas. Mendahulukan kata ’masalah’ sebelum ’kehidupan’ bisa jadi berbeda arti dengan penyusunan kalimat yang mendahulukan kata ’kehidupan’ sebelum ’masalah’. Yang jelas, penulis hanya ingin ”mentertawakan” realita hidup yang seakan tak pernah sunyi dari masalah. Di tengah derasnya permasalahan yang selalu datang, penulis semakin sadar: memang, masalah merupakan satu cakupan makna dari hakekat hidup dan kehidupan itu sendiri.
Kehidupan: kapan, apa, di mana dan bagaimana pun ia dijalani memang akan selalu timbul masalah. Dalam realita, seorang politikus bergumul akrab dengan permasalahan politik. Kehidupan politik akan memberinya masalah sebagai konsekuensi pilihan hidup. Profesi sebagai guru, juga selalu dilingkari masalah-masalah kepengajaran yang akan terus mengitarinya silih berganti. Begitu juga halnya bagi seorang yang berprofesi sebagai dokter, aparat, artis, buruh, pengamin dan semua jenis profesi pilihan dalam hidup tak akan pernah bebas dari ”bui” masalah. Semua profesi-profesi itu akan hidup seiring dengan denyutan ”nadi” masalah yang ada.
Wal hasil, dengan pengertian kata ’masalah’ seperti dimaksud, kita memang dan harus sadar bahwa masalah adalah sisi lain dari kehidupan yang justru saling memaknai antara satu dan lainnya. Sebagai makhluk yang hidup, sangat naif jika kita takut lalu menghindari masalah. Karena, sehebat apapun kita mencoba lari dari masalah, secepat itu pula masalah baru akan datang. Begitu seterusnya.
Yang tersisa kemudian, bagaimana kita menghadapi masalah? Sebuah pertanyaan yang mengisyaratkan kejantanan dalam melakoni hidup. Orang bijak berkata: ”Al wuqûf ala al masyakil awwalu khutwatin li hillihi”, ”Konsisten (tidak menghindar) dari sebuah masalah, merupakan upaya awal mengatasi masalah tersebut”. Ikhlas dengan sebuah masalah yang dihadapi menjadi indikasi persiapan dan kesiapan untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut. Sebaliknya, sebuah masalah akan menjadi ”hantu” jika ia tak disikapi secara ikhlas, legowo, lapang dada.
Akhirnya, sebagai upaya membesarkan hati penulis, dan semua pembaca yang akan atau sedang menghadapi masalah hidup, mari kita berseru: ”AKU TAK GENTAR MENGHADAPI MASALAH!”. Mari, besarkan hati, tancapkan keyakinan, bahwa semua masalah pasti bisa dihadapi, seberat apapun ia, nikmati saja. Hayati sebuah pepatah: ”Life is not a problem to be solved, but it’s reality to be enjoyed”; ”Hidup tidak menjadi masalah untuk dipecahkan, tetapi kenyataan yang akan dinikmati”

* Pencinta “masalah”

13.10.08


NAFSU PROGRESIF VS KATROK “TERBUI” RUU APP
Oleh: Zulfan Syahansyah



Belakangan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI), memang telah melemparkan wacana pengharaman merokok, tapi contoh tulisan tentang merokok berikut ini, sama-sekali tak terpaut dengan rencana fatwa tersebut.
Dulu, saat penulis masih tinggal di sebuah pesantren yang melarang seluruh santrinya untuk merokok, akan merasakan sebuah kenikmatan saat bisa dengan sembunyi-sembunyi merokok. Jauh lebih nikmat dibanding ketika keluar pondok; sedang liburan atau sekedar jalan-jalan ke luar pesantren. Saat ini, ketika uang sudah bisa cari sendiri, mau apa saja yang penting tidak merugikan orang lain, termasuk merokok, tak ada peraturan pondok yang melarang, dengan santai bisa dilakukan. Pertanyaannya: dapatkah kita nikmati rokok seperti saat ”curi-curi” dari pantauan pengurus pondok dulu?! Seperti saya, Anda pasti akan menjawab: ”Tidak”.
Dari catatan sebuah milis, akan penulis ketengahkan pengalaman seorang teman milis saat tinggal di Malbourne Australia, sebagai contoh nyata. Teman penulis menegaskan, meski busana keseharian di sana relatif ”porno” menurut bahasa MUI, tapi ia tak menemukan kasus seksual seperti yang ”marak” terjadi di Indonesia. Intinya, meskipun aurat wanita dengan mudahnya bisa disaksiakan, namun birahi kaum pria lumayan ”terkontrol”. (Sengaja, saya kutipkan kata ’terkontrol’, sebagaimana teman dimaksud mengutip kata ’porno’. Ya..adalah makna konotasi yang menjadi simbol penulisan kata-kata tersebut. Tentunya bagi si penulis)
Untuk contoh kedua ini, mari kita sederhanakan dengan pengandaian dua lokasi pantai yang sangat bertolak belakang adat-istiadatnya, dan keduanya berada di wilayah Indonesia. Jadi, tak perlulah mengambil lokasi yang jauh; pantai Kuta dan Ompen. Pantai pertama berlokasi di Bali, sedangkan lainnya berada di Madura (Sampang?). Di Kuta, bukanlah hal yang aneh saat kita mengitari tepian pantai dan menyaksikan, maaf, payu dara; ada yang montok, kerok, putih, celleng (maaf, sengaja saya transparan. Bukan berarti saya menafikan etika. Tapi, memang masalah ini sudah bukan hal etika lagi bagi mereka yang berada di Kuta. Lain halnya saat saya sudah berbicara tentang kondisi pantai Ompen) sedang ”berjajal” di sepanjang pantai, sepanjang hari. Anehnya, mereka yang memamerkan badan semlohai tidak merasa risih.
Dalam kasus ini, akan tampak jelas perbedaan antara cowok Bali dan luar Bali. Biasanya, cowok Bali sudah terbiasa ”menghadapi” godaan nafsu tersebut. Mereka sudah ”bernafsu progresif”, menurut bahasa kaum Liberal. Lain halnya dengan cowok pendatang yang baru menyaksikan kebebasan ”surga” dunia. Mata jelalatan, caper, dan biasanya, agar lirikan tak ketahuan, mereka menggunakan kaca mata hitam. Sebenarnya, ada lokasi yang lebih fulgar dibanding lokasi pantai Kuta. Yang penasaran, kontak saya.
Nah, itu suasana di pantai Kuta. Kalau di pantai Ompen, jangan pernah bermimpi akan mendapatkan pemandangan ”surga” bebas sebagaimana di Kuta. Mungkin ada juga yang ketahuan sedang cipoan, tapi itukan cuma oknum, dan akan menjadi kasus jika kepergok pengawas. Di Kuta, hal seperti itu bukan kasus. Sekali lagi, itu hal wajar-wajar saja. KENAPA ITU BISA TERJADI? Ini dia yang saya coba paparkan di sini.
Dari dua contoh di atas: merokok dan kebebasan sex, betapa peranan UU sangat dominan. Artinya, UU lah kemudian yang menjadikan komunitas di dalamnya merasa terbuih, ”tersiksa” dan bahkan seperti orang katrok. Di dalam pondok, dengan adanya aturan pelarangan merokok, para pecandu rokok merasakan pondok tak ubahnya buih yang mengekang ”kebebasan”. Tapi, saat liburan menjelang, bagaikan ”kuda-kuda liar” mereka pada mblesutan.
Tentang ”toleransi” sex di lokasi patai Kuta atau di Malbourn seperti gambaran teman penulis, atau di daerah-daerah yang konon menjunjung tinggi HAM, jarang dijumpai kasus-kasus pelecehan seksual. Tidak seperti di daerah yang telah menerapkan UU yang ketat. Logikanya mudah saja, di Ompen (mudah-mudahan sampai sekarang), adalah hal yang sangat naif jika ada sepasang kekasih bukan muhrim sedang berduaan di tempat sepi. Apalagi sampai ketahuan berbuat mesum. Ini akan menjadi kasus besar. Karena, memang UU (setidaknya UU adat) yang mengecam hal tersebut. Lain halnya di Bali, seperti paparan di atas, kejadian itu bukan kasus. Jadi, ya... jelas saja tidak ada kasus pornografi yang terjadi di daerah liberal-pornografi. Begitu juga kejadiannya di Malbourn. Bebasnya pergaulan antara pria dan wanita merupakan hal wajar. Jadi wajar jugalah kalau cuman hamil sebelum menikah. Bukan kasus yang perlu diributkan.
Menyadari relita di atas, kunci semua itu adalah UNDANG-UNDANG. Selanjutnya, terserah Anda semua, masihkah kita menginginkan sebuah ”kebebasan”, termasuk dalam pornografi? Agar tidak katrok? Atau kita mau menyerahkan diri di”buih” RUU APP untuk menyelamatkan diri kita yang masih labil, juga generasi mendatang. Terserah Anda......

25.9.08

Khutbah 'Idul Fitri 1429 H

Khutbah 'Idul Fitri 1429 H
Oleh: Zulfan Syahansyah
ESENSI KEMENANGAN BERPUASA
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ٣× الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا. لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
الحمد لله الذي جعل الأعياد بالأفراح والسرور، وضاعف للمطيعين جزيل الأجور.
والحمد لله الذي أتم علينا نعمة الصيام والقيام، الحمد لله الذي أتم علينا نعمة الطاعة والإقبال عليه جل وعلا فى شهر رمضان. قال الله تعالى: "اليومَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْناَ"
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له العفو الغفور.وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله الحبيب الشكور، وصلى الله عليه وسلّم وعلى آله وصحبه الذين يرجون تجارة لَنْ تَبُوْرَ.
أما بعد: فيا عباد الله، أوصيكم وإياي نفسي بتقوى الله، واصبروا وصابروا ورابطوا لعلكم تفلحون.

Hadirin wal hadirat, jama’ah solat id yang berbahagia….
Di pagi hari yang mulia, khidmat, dan penuh barakah ini, mari bersam-sama kita perbanyak rasa syukur ke hadirat Allah SWT, seraya terus meningkatkan kualitas ketaqwaan: bermuajahadah untuk selalu melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjahui segala larangan-Nya. Pada momentum ini juga, kita agungkan asma Allah, dengan memperbanyak bertakbir, tahmid, tahlil dan tasbih, sebagi ungkapan rasa syukur dan suka cita; menenggelamkan diri dalam suasana kemenangan, setelah sebulan lamanya kita laksanakan ibadah puasa, sebagai manifestasi ketaqwaan kita. Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba yang dikaruniai kefitrahan baik dahir serta batin. Amin ya rabbal alamin.

Hadirin, hadirat sekalian, rahimakumullah…
Bulan Ramadhan baru saja meninggalkan kita. Ia banyak menyisakan kenangan yang tak mudah untuk dilupakan. Ramadhan telah menjadi salah satu sarana latihan baik jasmaniyah, nafsaniyah, serta ruhaniyah, agar bisa kita menakar kesiapan menjalani kehidupan yang akan datang.
Dan ketahuilah, keniscayaan menjadi orang-orang yang bertaqwa adalah predikat bagi mereka yang lulus seleksi ”ujian” Ramadhan, karena memang tujuan akhirnya adalah ketaqwaan. Sebagaimana Allah tegaskan dalam al-Qur’an:
"يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون"
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia…
Sebelum kita ditinggalkan jauh oleh bulan Ramadhan, dan mumpung suasana kekhidmatan puasa masih bisa kita rasakan, ada baiknya jika pada kesempatan kali ini, kita telaah kembali apa sebenarnya esensi atau hakekat ibadah yang diwajibkan atas seluruh umat Islam di muka bumi ini? Yakni puasa Ramadhan! Puasa, yang di dalam idiom al-Qur’an disebut al-shiyâm, bersinonim arti dengan kata al-imsak: menahan diri. Maka, subsatnsi dari ajaran puasa adalah latihan menahan atau menguasai diri. Untuk memperjelas pembahasan esensi ajaran ”al-shiyâm”, mari kita kaji bersama tiga jenjang pembagian puasa.
Sebagaimana yang kita maklumi bersama, ibadah puasa Ramadhan itu terdiri dari tiga jenjang, yakni rahmah; magfirah; dan itqun minan naar. Serupa meski tak sama dengan pembagian tersebut, kalangan sufi membagi puasa Ramadhan ke dalam tiga jenjang: shiyâm jasmani, nafsani, dan ruhani (fisik, psikologi atau kejiwaan dan ruh).

Ayyuhal mustami’unal kiram....
Pada sepuluh hari pertama puasa, kita dituntut menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru menyangkut makan, minum dan lain-lain yang biasanya dibolehkan pada hari-hari selain Ramadhan. Jika kita mampu menahan segala hal yang bisa membatalkan puasa sejak waktu imsak hingga saat berbuka, berarti kita sudah berpuasa. Di sinilah shiyâm da¬lam arti menahan diri terwujud melalui tindakan-tindakan lahiriah, itu sebabnya, ia dinamai shiyâm jasmani. Puasa model seperti ini menjadi garapan para ulama fiqih: meliputi persoalan batal atau ti¬daknya ibadah puasa tersebut.
Pada jenjang selanjutnya, shiyâm nafsani (puasa Psikologi atau kejiwaan), yakni menahan diri dari segala hawa nafsu. Dalam kajian ilmu fiqih, mengikuti ha¬wa nafsu memang tidak memba¬tal¬¬kan puasa, misalnya marah-ma¬rah, menggunjing saat berbuasa. Tetapi kandungan nilai spiritualitas puasa, tak akan dapat diraih. Maka tak heran, dalam hal ini, Rasulullah mengingatkan kita dengan sabdanya SAW: “Barang siapa yang tidak bisa me¬ninggalkan perkataan kotor dan (tak bisa meninggalkan) perbuatan ko¬tor maka Allah tidak punya ke¬pentingan apa-apa meski orang itu me¬ninggalkan makan dan minum” (HR Bukhari). Senada dengan hadis Rasul, khalifah Umar bin Khattab juga menegaskan: “Betapa banyak orang puasa namun tidak men¬dapatkan dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. Maka, untuk bisa tergolong sebagai pelaksana puasa Ramadhan, dengan jenjang kedua ini; maka, bersikap sabar, tawadu’, menjaga kepercayaan, adalah keniscayaan yang mesti ditonjolkan.

Kaum muslimin wal muslimat rahimakumullah
Selanjutnya, pada sepuluh hari ketiga, kita harus meningkat pada jenjang shiyâm ruhani. Dalam bagian ini, kita memasuki sesuatu yang susah sekali diterangkan, karena memang masalah ruh, dan tidak ada ilmunya. Kita mengetahuinya hanya dari berita atau yang dalam bahasa Arab disebut anba’, dan pembawanya adalah Nabi. Dari Nabilah kita mengeta¬hui apa yang bisa kita peroleh dari puasa jenjang ketiga ini, karena memang tidak bisa diterangkan, sehingga diungkapkan melalui simbol-simbol, kiasan-kiasan, termasuk masalah Lailatul Qadar yang turun di satu dari sepuluh malam babak akhir puasa.

Hadirin wal hadirat sekalian...
Baik, jasmani, nafsani, serta ruhani, di dalam ibadah puasa, kita dilatih untuk bisa menahan dan mengendalikan ketiga-tiganya, hingga menjadi satu kesatuan yang kita kenal dengan istilah ”menahan atau mengendalikan diri”. Pertanyaan selanjtnya adalah, kenapa upaya pengendalian diri menjadi esensi dari ibadah puasa kita?
Benar, bahwa dari segi inti ajarannya—yakni substansinya—ibadah puasa difungsikan sebagai latihan pengendalian diri agar selamat secara moral dan spiri¬tual. Karena, menahan atau mengendalikan diri, ternyata merupakan masalah mendasar, dan kuno dalam problematik kemanusiaan secara umum, bahkan pada zaman modern sekalipun.
Masalah keti¬dak¬mampuan menahan diri, seba¬gaimana diilustrasikan Al-Quran, juga menjadi titik awal terjadinya drama kosmis atau kejatuhan manusia dari surga ke bumi ini. Dalam idiom Al-Quran disebut drama al-hubût atau doctrine of fall. Nabi Adam dan Hawa, sebagai simbol nenek moyang manusia, menjadi contoh ketidakmampuan menahan dan mengendalikan diri dari godaan setan sehingga tergelincir ke dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt, dan akhirnya diturunkan ke bumi.

Hadirin sekalian.....
Realita hidup kemudian, bahwa sumber segala potensi yang mendorong manusia melakukan pelanggaran adalah godaan berupa kesenangan sesaat: makan, minum, dan seks, serta harga diri. Permasalahan tersebut kemudian disim¬bolisasikan dalam ajaran berpuasa sebagai hal-hal yang harus ditahan atau dinyatakan dapat membatal¬kan puasa, sebagaimana sudah menjadi konsensus para ulama fiqih.
Perlu juga untuk diketahui, bahwa pada kenyataannya hampir seluruh masalah kemanusiaan yang ada sekarang pun terjadi akibat ketidak¬mampuan manusia menahan diri dari godaan-godaan tersebut. Julukan ’penjaha’ diberikan kepada manusia yang tak mampu mengekang prilaku dan kecondongan jahat; atau ’koruptor’, disandangkan kepada pejabat yang tak kuasa menahan godaan materi, hingga menyalahgunakan kewenangan. Perampok, maling, pembunuh, pemerkosa adalah julukan-julukan bagi hamba Allah yang pada dasarnya tidak mampu menahan diri dari godaan-godaan yang akan menyesatkannya. Maka, dengan puasa Ramadhan, diharapkan kita mampu melatih diri, menahan dan mengedalikannya.

Saudara-saudara sekalian yang berbahagia....
Untuk mengetahui, apakah kita lulus dalam pendidikan Ramadhan kali ini? Maka, hanya diri kita yang pertama kali mengetahuinya. Bagaimana kemampuan kita menahan dan mengendalikan diri pada hari-hari setelah bulan Ramadhan ini. Sekali lagi, hanya kita yang mengetahuinya...
Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa kembali pada fitrahan manusia, dan terlatih mengendalikan diri setelah kepergian bulan Ramadhan tahun ini; tetap menempati kehormatan sebagai sebaik-baik makhluk dan tidak akan merosot menjadi makhluk yang paling rendah akibat tak kuasa menahan godaan yang selalu mengintai. Akhirnya, minal âidzîn wal fâizîn, selamat Hari Raya Idul Fitri tahun 1429 Hijriyah.


جعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين المقبولين، وبارك لنا فى القرآن العظيم. ونعفنا بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، إنه هو البر الرؤوف الرحيم،
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم: "قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى، وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى"
وقل رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين.


الخطبة الثانية لعيد الفطر
الله أكبر ×٧ الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا لاإله إلا الله والله أكبر ولله الحمد.
اللهم لك الحمد كله ولك الشكر كله وإليك يرجع الأمر كله علا نِيتُهُ وسِرُّهُ، فأهلٌ أنت أن تُحمَد وأهلٌ أنتَ أن تُعبَد وأنت علي كل شيئ قدير اللهم فلك الحمد يا الله حتي ترضي، ولك الحمد إذا رضيت ولك الحمد بعد الرضا
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه. اللهم صل على عبدك ورسولك سيدنا وشفيعنا ومولانا محمد وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما كثيرا.
أما بعد: فيا أيها الناس اتقواالله فيما أمر وانتهوا فيما نهى وزجر، واعلموا أن الله أمركم بأمر بدأ فيه بنفسه وثَنَّى بملائكته بقوله عز من قائل: إن الله وملائكته يصلون على النبي، ياأيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما.
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أنبيائك ورسلك وملائكتك المقربين، وارض اللهم عن الخلفاء الراشدين المُهْدِيِّيْنَ: أبي بكر وعمر وعثمان و علي وعن بقية الصحابة والتابعين وتابعي التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين وارض عنا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين.
اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات إنك سميع قريب مجيب الدعوات يا قاضي الحاجات
اللهم انْصُرْ مَنْ نصر دين محمدٍ واخْذُل من خذل دينه اللهم انصر الإسلام والمسلمين وأَهْلِكِ الكَفَرَةَ والظالمين اللهم اعصمنا واحفظنا من جميع الفتن وعافنا وسلمنا من البلايا والمحن والوباء والفحشاء والمنكر والبغي والسيوف المختلفة والشدائد ما ظهر منها وما بطن من بلدنا هذا إندونيسية خاصة ومن بلدان المسلمين عامة يا ذاالجلال والإكرام بِحُرْمة وَجْهِكَ الكريم أَعْطِنا صِحَّةً في التقوي وَطُولَ عمرٍ في حُسنِ عَمَلٍ وسعةِ رزقٍ ولا تُعَذّبنا عليه إنّك علي كل شيئ قدير
ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم
عباد الله إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذى القربى وينهى عن الفخشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون فاذكروا الله يذكركم واشكروه علي نعمه يزدكم واسألوه من فضله يعطكم ولذكر الله أعز وأكبر والله يعلم وأنتم لا تعلمون.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

21.9.08

SEPUTAR ZAKAT



SEPUTAR ZAKAT

وَ أَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْناَكُمْ مِنْ قَبْلُ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلُ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِي إِلَي أَجَلٍ قَرِيْبٍ فَأَصَدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
(المنافقون:١٠)
Artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang dari kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Tuhanku, mengapa engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkanku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.”
(QS. Al-Munafiqun; 10)

A) Pengertian
Zakat: secara bahasa berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Menurut Lisan Arab, zakat bermakna suci, tumbuh, berkah, terpuji. Sedangkan Al-Wahidi dan beberapa ulama lain menegaskan arti zaka adalah bertambah dan tumbuh. Menurut pengertian dari istilah fiqih, zakat berarti: sejumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan pada waktu tertentu oleh Muzakki kepada kelompok tertentu yang berhak menerimanya (mustahik).

B) Manfaat Zakat:
Ada banyak manfaat yang timbul dari diwajibkannya zakat: 1) Manfaat bagi muzakki: Pembersih sifat-sifat tercela (kikir, tamak, sombong dll) 2) Manfaat bagi mustahik: Pembersih sifat-sifat tercela (Iri hati, dengki kepada muzakki)
Allah berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ. إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ. وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ (التوبة: ١٠٣ )
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’akan untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Suyuti mengatakan:

(تُطَهِّرُهُمْ) تَكُوْنُ سَبَبًا فِى تَطْهِيْرِهِمْ مِنْ دَنَسِ اْلبُخْلِ وَالدُّنُوْبِ
(وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا) تُصْلِحُهُمْ وَتُنَمِّي بِهَا حَسَنَاتِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ.
Artinya: “(mensucikan) berarti menjadi sebab kesucian mereka dari kotoran sifat bakhil dan kotoran dosa-dosa. (membersihkan) berarti menjadikan baik serta menambah kebajikan dan jumlah harta mereka.”
Jika hal di atas sudah terbentuk, maka stabilitas kehidupan bersosial akan semakin terpelihara.
3) Selain manfaat di atas, zakat juga menjadi penyebab bertambah suburnya harta muzakki. Hal ini bisa jadi diakibatkan oleh doa para mustahik, khususnya fakir miskin, sehingga harta mereka mendatangkan barakah. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
حَصِّنُوْا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ (رواه الخطيب عن ابن مسعود)
“bentengilah dan suburkanlah hartamu dengan zakat.”


C) Golongan Mustahiq
Ada delapan kelompok yang secara tegas disampaikan dalam al-Qur’an:
ا                        
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].

[647] yang berhak menerima zakat ialah:
1. orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. orang berhutang: orang yang berhutang Karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

D) Macam-macam zakat:
1. Zakat Fitrah; sedekah wajib yang dibayarkan menjelang idul fitri dengan beberapa ketentuan dan persyaratan.
*) Syarat wajib zakat fitrah:
- Beragama Islam
- Pada waktu terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadan sedah lahir atau masih hidup
- Mempunyai kelebihan harta untuk keperluan makan pada malam hari taya dan siang harinya.

*) Syarat sahnya:
Waktu terakhir pembayaran sebelum pelaksanaan shalat idul fitri.
Jika terlewati, maka seperti shadaqah sunnah. Zakat yang dikeluarkan berupa makanan pokok, minimal seberat 3,1 ltr.

2. Zakat Mal; Harta (mal) yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:
a. Emas perak dan mata uang harta perniagaan
b. Hewan ternak
c. Buah-buahab dan biji-bijian yang dapat dijadikan makanan pokok.
d. Barang tambang dan harta terpendam.

Syarat wajib (a): Muslim, merdeka
Milik pribadi
Sampai nisabnya
Harta tersebut genap setahun dimiliki.

Harta Nisabnya: Jumlah Zakat
Emas (-+) 93,6 g 2,5 %
Perak 672 g 2,5 %
Uang kontan seharga emas 2,5 %
Harta perniagaan seharga emas 2,5 %

Syarat wajib (b) serupa dengan (a), hanya ditambah syarat hewan harus peliharaan; yaitu: sapi, kerbau, unta, kambing, domba dll.
Nisabnya:
*) Sapi/kerbau/onta: 30-39 ekor, zakatnya 1 ekor anak sapi berumur 1 th.
40-59 ekor, zakatnya 1 ekor sapi berumur 2 th.
*) Kambing/domba: 40-120 ekor, zakatnya 1 ekor
121-200 ekor, zakatnya 2 ekor

Syarat wajib (c) sama dengan (a), hanya waktu mengeluarkan bukan setelah genap setahun, tapi setelah selesai panen. Mengenai nisab zakat hasil pertanian dan perkebunan sama -+ 930 ltr. Besar zakat yang dikeluarkan: 5 %, jika tanaman tanpa modal yang banyak, dan 10 % jika banyak menelan biaya.
Hasil tambang seperti emas, perak dan lainnya, syarat-syarat wajib dikeluarkan zakatnya sama dengan zakat uang kontan atau harta perniagaan. Perbedaannya, bahwa hasil tambang ini zakatnya dikeluarkan setelah barang tambang itu dihasilkan.
Tentang harta rikaz, atau harta karun, seperti perhiasan emas atau perak, maka zakat yang wajib dikeluarkan sebesar 20 % tanpa melihat nisab atau menunggu setahun.


Oleh: Zulfan Syahansyah


18.9.08

Rencana Judul Tesisku

ترقية مهارة طلاب المدرسة
الثانوية المنورية مالانج لتكلم اللغة العربية بوسيلة التعلم الحواري

١.خلفية البحث
إن المدرس هو الفرد مثالي فى العالم التربوي والتعليمي فمن واجباته الأساسية تكوين تلاميذه أفرادا متقابلين ومستعدين لإستمرار الحياة المستقبلة نافعين لدنياهم وأخراهم، وإن أئمة اليوم فى كل الناحية الحيوية كانوا أجيالا سابقين ومتعلمين أعدّهم مدرسوهم فى الماضي حتى يصيروا كما هو الآن.
بخلاف المهنة الأخرى، فإن التربية والتعليم مهنة عظيمة لا يعارضها كل الجهة الحيوية سواء أكانت دينية أو حكومية أو عامية المجتمع. كل الأديان الموجودة تجازي وظيفة المدرس إجازة عالية كما أن الحكومة ينبغي لها أن تقرر أن واجبات المدرس عظيمة ثاقلة؛ إعداد أجيال الشعب، لأن حقيقة نجاح الحكومة اليوم لا يفني من نجاح الحكومة قبلها فى إعداد الشبان بمجاهة المدرسين وهكذا عكس ذلك. لأجل ذلك تخطط الحكومة الخطوات التربوية التعليمية من بعضها إصدار الشهادة المهنية للمدرسين المقصودة لإعلاء طبقتهم الحيوية بإتيان المعيشة اللازمة.
***

يجب على المدرسين توحيد النظر والغرض لنجاح أغراض التربوية الدولية المورودة فى مبداء القنون الأساسية: ۱۹٤٥ ؛ رفع مستوى الشعب التعليمى. كالأجيال فإن تلاميذنا اليوم يقع عليهم أمر الأمة غدا ويمكننا حينئذ نحن الشيوخ نستظل تحت ظلهم فقد أفلح المدرس مثلا فى أن يقول: "ها أنا ذا قد علّمتُ سوسيلو بنبانج يودويونو" رئيس الجمهرية الإندونيسية الآن.
وبخلاف غرض الحكومة؛ تعديل معيشة المدرسين بالشهادة المهنية، يجب عليهم أن يروه برنامجا يدافعهم لتطوير مهارتهم النفسية لتتفوّق علومهم التعليمية والتربوية التي هي مهنتهم يوما بعد اليوم. لآسف، وبالخصوص للمدرسين الذين قد نالوا الشهادة المهنية، إذ لم يحسوا أهمية ترقية النفسية فى كل الناحية الحيوية. إذاً يجب على من قد وقّر فى حياته مهنة التدريس خدمة للمجتمع، فعليه أن يستعد حق الإستعداد لأن يتحمل المتضمَّنات المهنية.
أرى فى العالم التربوي و التعليمي شيئين أساسيين يجب على المدرسين إهتمامهما فى تطوير نفس المدرس: ۱) لزوم ترقية النفسية التربوية والتعليمية بالطبع؛ بالتعليم و البحوث عن الطرق التعليمية الجديدة اللائقة للتطبيق لدي الطلاب. ٢) من الأمور الأساسية فى التعليم الحفظ على سلوكية المدرسين أمام التلاميذ خاصة والمجتمع عامة. وهذا الثاني لم يتنبّهه كثير من المدرسين مؤخرا حيث يتأثر إلى انتحطاط نظر المجتمع إلى كون المدرسين.
هذان اثنان؛ ترقية النفسية التربوية والتعليمية و الحفظ على سلوكية المدرسين،لا بد أن يكونا أهم وظيفة اتحاد المدرسين فى المقبل ويحارسوهما تحديدا لسمعة مهنتهم. ويرجى من كل أفراد المدرسين أن يكون كالملك المعصوم بالخطأ أمام تلاميذه ولو مرة وذلك بالتخصيص حين يقوم بتعليم مادته المتخصصة له، ولن يكون ذلك إلا باستعداد التعليم بايجد والإجتهاد قبل دخول الفصل للتعليم.
بناء على ذلك، كمدرس اللغة العربية فى المدرسة الثانوية المنورية ،كان تلاميذي فى هذه المدرسة طلاب المعهد المنورية الإسلامي فى نفس الوقت إذ أنهم قد تعوّدوا فى أيامهم تعلّم العلوم الدينية بكتب التراث المكتوبة طبعا باللغة العربية، فبذلك أشعر بالحزن حين آداء العملية التعليمية بسببين: ۱) نتيجة تعلم اللغة العربية لم تزل بعيدة من قصد منهج التعليم اللغوي، ٢) تقرير المدرسين الآخرين بتساؤلهم عن قلة مكافأة التلاميذ فى اللغة العربية مع أنهم طلاب المعهد الإسلامي.
فى الواقع إن الخوف والحزن لما أشعره شيء معقول كمعلم اللغة الثانية ويشمل ذلك اللغة العربية سواء أكانت فى المرحلة الإبتدائية أم الإعدادية أم العالية يقول لهذا الدكتور محمد عين فى تعبير عن مقالته "تعلم اللغة العربية بأساس البحث العملى: الحل الختياري لتطوير جودة تعليم اللغة العربية"
"إن لتعلم اللغة العربية فى الفصل (مدرسة أو جامعة) لا يفني عن المشاكل التطبيقية سواء ما يتعلق بالأمور اللغوية أو شيء آخر. ولحل هذه المسئلة لا بد من الإجتهاد والوعي لتعريفها الموضوعي والمنتظمي والشمولي وإيجاد الحل الإختياري اللائق. وفي هذه الجهة، كان البحث العمل الفصلي يُعتبر الإنتقاء الإختياري الصالح مادية أم تطبيقية لحل مشاكل تعلم اللغة العربية فى الفصل. وبهذا البحث العملي يمكن تقدُّم تعلم اللغة العربية سواء من ناحية المُدخل أو العملي أو المخرج."
وبالتالي، بدون تصحيح ضعف مهارة الطلاب فى تكلم اللغة العربية، أودّ أن أقوم بالبحث موضوعيا لحل المشاكل التي أجدها حين تعليم اللغة العربية. فلما أدّت مؤسية البحوث وخدمة المجتمع للمدرسة العالية للعلوم التربوية رادين رحمة كافنجين مالانج ومؤسية التنمية التربوية والتعليمية للجامعة الحكومة مالانج تدريب المدرسين للبحث العملي،و أجعله فرصة نافسة لتطبيق ما أريد بحثه. وبجانب توفير الشروط لنيل الشهادة فى مشاركة هذا التدريب بكتابة موجز رسالة البحث، أودّ فى نفس الوقت استفادة التدريب لحل مشاكلى فى التعليم حيث أقوم به بأسرع ما يمكن. فترتب الموضوع لهذا البحث:
" ترقية كفاءة طلاب المدرسة
الثانوية المنورية في المدرسة الثانوية المنورية مالانج
لتكلم اللغة العربية بوسيلة التعلم الحواري"

٢. الدراسات السابقة
تسهيلا و استفاذة لما أقوم ببحثه فأري ضرورية الدراسات أو البحوث التي بحثه الباحثون من قبل المتعلقة ببحثي هذا بكثير . وبعد الخيار والتشكيل مع بذل الجهود لنيل البحوث السابقة المقصودة كفاني خمسة البحوث توازنا لبحثي. وأدون تلك الخمسة مع باحث الكل منها كما يلي:
- شريف الدين، ٢٠٠٧، تدريس مهارة الكلام على أساس المفردات لطلبة المدرسة العالية الإسلامية الحكومية الأولى بمالانج.
- سيف المصطفى، ٢٠٠٦، استراتيجية تعليم مهارة الكلام فى ضوء اتجاه التعليم والتعلم على السياق العام.
- لطيف، ٢٠٠٣، عوامل الضعف لتعليم مهارة الكلام فى اللغة العربية بالمدرسة الثانوية الإسلامية الحكومية ١ بونتياناك.
- صوف رجال، ٢٠٠٧، تنمية مهارة الكلام من خلال التعلم التعاوني في المدرسة العالية دار المخلصين أتشية الوسطى.
- مرضيات رسمة، ٢٠٠٣، دور إمكانية معلم اللغة العربية فى تطوير مهارة الكلام لدى تلميذات المدرسة الثانوية الدينية مالانج.

٣.المراجع
كما أن البحوث العلمية أخري مفتقرة بالمراجع فهكذا بحثي لا يستغني عن المراجع لاستنباط ما كتبه العلماء من العلوم المحتاج عليها. و إلى هذا الحين لم أر فى حاجة إلى المراجع إلا إلى ما دوّنتُه هنا مع إمكان القبول للزيادة فيما بعد. وتلك المراجع، هي:
أ) المراجع العربية:
- أبو بكر عبد اللطيف عبد القادر، ٢٠٠٣، تعليم اللغة العربية الأطراف والإجراءات، ط ١، سلطنة عمان: مكتبة الضامري للنشر والتوزيع.
- الناقة، محمد كامل، ١٩٨٥، تعليم اللغة العربية للنطقين بلغة أخرى ( أسسه- مداخله- طرق تدريسه ) المملكة العربية السعودية: حقوق الطبع وإعادته محفوظة لجامعة أم القرى.
- جابر عبد الحميد جابر أو أحمد خيري كاظم ١٩٧٨.
- أحمد، محمد عبد القادر ١٩٧٩، طرق تعليم اللغة العربية، مصر: دار المعارف.

ب) المراجع الأجنبية:
- Ari Kunto, Suharsini 1998, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, Jakarta: Rineka Cipta.
- Furan, Arif, 1982, Pengantar Penelitian dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.
- Departemen Agama 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kurikulum dan Hasil Belajar Bahasa Arab Madrasah AliyahJakarta: Direktorat Madrasah, hal. 2 dan Departemen Agama 2006, Kurikulm Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Madrasah Aliyah Jakarta, hal. 66-71.

16.9.08

KRISIS TELADAN DISIPLIN WAKTU


KRISIS TELADAN DISIPLIN WAKTU
Oleh: Abu Elmakkey*

Sudah menjadi aturan, meskipun tak tertulis, setiap kali ingin menggelar hajatan dan berniat mengundang kerabat, handaitaulan, tetangga serta rekanan, seyogyanya kita sertakan undangan sebagai makna keseriusan. Tidak banyak hal yang perlu ditulis dalam undangan. Hanya beberapa poin penting prihal acara dimaksud yang mesti diperjelas; tujuan, tempat dan pastinya waktu atau jam pelaksanaannya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, proses undang-mengundang sudah sedemikian akrab dalam intraksi sosial. Hampir setiap hari kita mendapatinya. Kalau tidak mengundang, biasanya kitalah yang diundang. Setidaknya, ini yang dialami penulis sebagai anggota komunitas masyarakat. Kebetulan, saat sedang menggarap tulisan ini, ada sekretaris penulis dalam kepanitiaan pembangunan sebuah masjid, datang dan menyodorkan selembar undangan; meminta paraf penulis selaku ketua umum, sebelum kemudian digandakan dan diedarkan kepada para undangan. Dalam hal ini, penulis termasuk pihak pengundang. Pada banyak kesempatan, tak jarang juga penulis menjadi pihak yang diundang.
Ada tiga hal mendasar yang perlu dipertegas oleh sộhibul hậjah, saat menulis undangannya, seperti telah disinggung di atas, yakni tujuan, tempat serta waktu pelaksanaan acara. Biasanya, jika memang ada kesanggupan dan berniat hadir, para undangan akan sangat antusias memperhatikan dua poin penting pertama, yakni tujuan dan tempat acara. Adalah lucu, jika kita menghadiri acara non-formal dengan penampilan yang sangat formal. Atau sebaliknya. Untuk menghindari kekeliruan ini, kita harus faham jenis dan tujuan acara.
Selanjutnya, sangat naif jika kita memasuki ruang acara –walaupun dalam acara yang serupa– tapi keliru tempat. Ingin menghadiri sebuah undangan pernikahan, misalnya, tapi keliru masuk pada acara serupa yang bahkan kita tidak diundang; saat ada dua tetangga berdekatan menggelar hajatan yang sama, sementara kita mendapat satu undangan dari keduanya. Maka, keyakinan benarnya sebuah tempat acara adalah konsekuensi yang betul-betul harus diperhatikan.
Untuk poin mendasar terakhir, yakni waktu pelaksanaan acara, sangat jarang –agar tidak menafikan– diperhatikan para undangan. “Jangan terburu-buru, acaranya pasti molor” Ungkapan seperti ini, sering kita dengar setiap akan menghadiri sebuah undangan, baik dari kerabat, teman yang sama-sama diundang, atau mungkin diri kita sendiri yang menjadikan pengalaman sebagai kaca perbandingan. Inilah yang penulis maksud: tradisi melalaikan waktu. Wajarkah?
Menanggapi wacana di atas, mungkin kita sepakat untuk meng”iya”kan kewajaran realita ini. Karena, setidaknya ada dua hujjah mendasar yang bisa dijadikan alasan: pertama, molor waktu atau apapun istilahnya –selama masih dalam lingkup wajar– tidak lantas menggagalkan acara; dan kedua, keberadaan masing-masing person undangan di tempat acara, bukan sebagai otoritas mutlak. Adanya undangan hanya bersifat sosial-kultural; baik pengundang ataupun yang diundang, sama-sama hanya menjalankan tradisi yang berlaku.
Masalah yang timbul kemudian, jika keterlambatan dilakoni oleh undangan yang justru memiliki otoritas dalan pelaksanaan acara. Saat penyelenggaraan upacara pelantikan kepala desa baru, umpamanya, jika Camat setempat, sebagai pelantik terlambat datang, maka “resiko” molornya waktu akan dirasa segenap hadirin. Atau dalam acara pengajian akbar, jika seorang Kiai yang dijadwal menjadi muballig terlambat, maka penundaan acara inti tidak dapat dihindari, sampai Kiai yang bersangkutan hadir. Peristiwa-peristiwa inilah yang kerap terjadi. Sudah mentradisi di masyarakat.
Seakan telah menjamur adigium: “Biasa, orang penting pasti ditunggu. Bukan menunggu”. Sangat jarang kita menghadiri sebuah acara yang bisa dimulai tepat seperti jadwal waktu yang tertulis dalam undangan. Itu tadi, karena undangan otoritas tidak bisa menjadi suri tauladan disiplin waktu. Mereka “senang” jika segenap pandangan hadirin tertuju pada kedatangan mereka. Entah, apa yang ada dalam fikiran mereka saat itu. Yang jelas, jika perasaan malu menjadi hiasan pribadi; malu karena keterlambatan menjadi tontonan khalayak, maka upaya untuk mengulangi keterlambatan, sama artinya ingin menodai hiasan diri. Maka tak heran, jika Nabi Muhammad menyatakan: “Kalau sudah tidak malu, maka lakukan apa yang kamu mau”. Tanpa perlu menggubris apa anggapan orang.
***
Adalah benar jika segala sesuatu yang telah dan akan terjadi merupakan taqdir Allah. Termasuk keterlambatan. “Maksud hati ingin tepat waktu, tapi adanya sebab yang tak terduga, menjadi perantara untuk tidak bisa on time.” Demikian lintasan pemikiran kita, untuk membenarkan keterlambatan. Hanya sikap bijaklah yang dapat memilah prioritas di antara tumpukan aktifitas.
Jika alasan keterlambatan kita karena udzur yang membenarkannya, maka beban malu karena keterlambatan hanya kepada khalayak yang hadir saja. Tapi jika masbuk kedatangan kita ke tempat acara karena mencari perhatian, apalagi merasa penting; yakin acara tidak akan dimulai sebelum kedatangan kita, inilah benih kesombongan alias keangkuhan. Jika kebiasaan “senang ditunggu” mentradisi di kalangan elit masyarakat; para pemerintah, tokoh agama, maka siapakah yang akan dijadikan panutan umat? Bagaimana mungkin seorang muballig memberikan ceramah kepada masyarakat, jika pribadinya tak mampu menjalankan apa yang ia sampaikan?
***
Idealnya, baik pengundang ataupun undang otoritas harus sama-sama berkomitmen agar acara dapat dilaksanakan tepat sesuai jadwal. Koordinasi intens antara keduanya harus sudah ada, jauh sebelum penyelenggaraan acara. Sangat tidak relefan alasan yang disampaikan seorang pembicara yang terlambat datang, karenanya menyita waktu hadirin untuk menunggu: “Maaf, karena ada dua acara serupa yang waktunya sama persis, jadi terpaksa saya terlambat. Agar sama-sama kebagian ceramah.”
Bagaimana mungkin seorang muballig menyanggupi dua acara yang diselenggarakan pada saat bersamaan? Mestinya, saat ada undangan yang meminta kesediaannya, ketegasan untuk menolak atau sedikit menggeser waktu pelaksanaan harus disampaikan. Jangan berfikir “mumpung diundang”. Seperti halnya pengundang, selayaknya mendapatkan kepastian bahwa sang muballig bisa menghadiri acara tepat waktu; tanpa ada udzur mengisi di tempat lain.
Jika ketegasan ini bisa diterapkan oleh para muballigin; memberi teladan ketepatan waktu, merasa malu jadi tontonan hadirin karena terlambat, maka insyaallah, tradisi molor waktu acara akan bisa diatasi. Mari bersama-sama kita benahi penyakit masyarakat; krisis tauladan disiplin waktu.
Tentu, contoh molornya waktu dari prosesi “undang-mengundang” hanya menjadi satu sampel dari sekian sampel yang ada dalam realita menyepelekan waktu; disiplin waktu kerja, waktu mengajar, dan masih banyak lagi disiplin-disiplin waktu dalam menjalankan aktifitas, menjadi “bidikan” tulisan ini. Semoga kita bisa selalu bermuhasabah, agar tidak termasuk orang-orang yang merugi dan dirugikan waktu. Amin…

* Pencinta disiplin waktu

5.8.08

Tareqah Tijaniyyah

Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan “Neosufisme”. Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari’at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.

At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di ‘Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun.
Pada tahun 1186 (1772 - 1773), dia menuju Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, dan meneruskan belajar di Makkah dan Madinah. Di dua kota Haramain ini, dia lebih banyak memfokuskan diri untuk berguru kepada banyak tokoh tarekat sufi dan mengamalkan ajarannya. Di antara tarekat yang dipelajarinya, misalnya Tarekat Qadiriyah, Thaibiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Di Madinah dia belajar langsung kepada seorang tokoh sufi, Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman, pendiri tarekat Sammaniyah, yang mengajarinya ilmu-ilmu rahasia batin. Kemudian dari Makkah dan Madinah, dia menuju Kairo dan menetap untuk beberapa lama di sana. Pada tahun 1196 (1781 - 1782), atas saran dari seorang syekh sufi yang baru dikenalinya, dia kembali ke Tilimsan untuk mendirikan tarekat sendiri yang independen. Di sana at-Tijani mengadakan khalwat khusus, yakni memutuskan kontak dengan masyarakat sampai mendapatkan ilham (fath/kasyf).
Dalam fath yang diterimanya, dia mengaku bahwa hal itu terjadi dalam keadaan terjaga. Ketika itu, Nabi SAW mendatanginya dan memberitahukan bahwa dirinya tidaklah berhutang budi pada syekh tarekat mana pun.
Karena menurut dia, Nabi sendiri-lah yang selama ini menjadi pembimbingnya dalam bertarekat. Selanjutnya, Nabi SAW menyuruh dia untuk meninggalkan segala sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya berkenaan dengan tarekat. Bahkan dia juga diberi izin untuk mendirikan tarekat sendiri disertai wirid yang mesti diajarkan kepada masyarakat, yaitu istighfar dan shalawat yang diucapkan masing-masing sebanyak 100 kali.
Setelah kejadian itu, ia kembali ber’uzlah di padang pasir dan berdiam di oase Bu Samghun. At-Tijani tampaknya menghadapi tekanan dari kaum otorita Turki. Di tempat inilah ia menerima ilham yang terakhir (1200/1786).
Dalam fath ini Nabi SAW memberikan tambahan wirid, yaitu tahlil yang harus diucapkan sebanyak 100 kali. Nabi SAW juga mengatakan bahwa at-Tijani adalah penunggu yang akan menyelamatkan hamba Allah yang durhaka. Pada tahun 1213/1798, dia meninggalkan ‘uzlahnya dari padang pasir dan pindah ke Maroko untuk memulai menjalankan misi yang lebih luas lagi, dari kota Fes. Di kota ini dia diterima baik oleh penguasa Maulay Sulaiman dan tetap tinggal di sana sampai wafatnya pada 22 September 1815, dalam usia 80 tahun.
Meskipun dia banyak bertarekat dan menjadi muqaddam khalwatiyah (at-Tijani mempunyai silsilah Khalwatiyah), tetapi pada perkembangan selanjutnya, yakni setelah menjalani hidup sufistik secara ketat dan keras, dia kemudian mendirikan tarekat yang independen, yang diyakini atas izin Nabi SAW.
Tarekat yang didirikan at-Tijani ini agak unik dan sedikit banyak berbeda dengan tarekat-tarekat lain terutama soal silsilahnya. Misalnya dari Syekh Ahmad, sang pendiri, langsung kepada Nabi SAW, melintas jarak waktu 12 abad. Begitu juga anggota tarekat ini bukan hanya tidak dibenarkan untuk memberikan bait ‘ahd kepada syekh mana pun, tetapi juga melakukan dzikir untuk wali lain dan dirinya serta wali-wali dari tarekatnya. Menurut at-Tijani, Tuhan tidak menciptakan dua hati dalam hati manusia, dan oleh karenanya tak seorang pun dapat melayani dua orang mursyid sekaligus.
Lagi pula, bagaimana mungkin seorang salik akan bisa sempurna menempuh suatu jalan, sedangkan pada waktu bersamaan ia juga sedang menampuh (mengambil) jalan lain?
Sejak tinggal di kota Fes ini, at-Tijani lebih berkonsentrasi pada pengembangan tarekatnya sendiri. Sebagai seorang syekh tarekat yang berpengaruh dia berkali-kali diajak oleh penguasa negeri itu untuk bergabung dalam urusan politik. Namun, dia tetap menolak. Sikapnya inilah yang membuat dia semakin disegani, dicintai, dan dihormati, baik oleh penguasa setempat maupun oleh masyarakat sekitarnya. Lebih dari itu, pihak penguasa Maulay Sulaiman, meski permintaannya ditolak, tetap memberikan berbagai hak istimewa kepadanya.
Semula tarekat yang dipimpin at-Tijani ini mendapatkan pengikut di Maghribi karena kecamannya terhadap ziarah ke makam para wali dan mawsin yang populer pada waktu itu. Namun karena perekrutan untuk menjadi muqaddam yang ditetapkan oleh at-Tijani agak longgar, misalnya dengan menunjuk sebagai muqaddam-muqaddam siapa pun yang melakukan bai’at, tanpa mengharuskan latihan selain dalam hukum dan aturan-aturan ritual, dengan tekanan utama pada ditinggalkannya semua ikatan dengan syekh-syekh lama kecuali dirinya. Sehingga setelah at-Tijani wafat, agen-agen tadi telah tersebar luas dan dengan sebuah sistem yang mendukungnya membuat dia mempunyai kekuatan penuh. Tarekat ini dengan segera menyebar luas dari Maghribi hingga Afika Barat, Mesir dan Sudan.
Aktivistas gerakan Tarekat Tijaniyah terbukti sangat positif dan militan. Seperti halnya para pengikut tarekat Qadariyah dan Syadziliyah, para murid tarekat ini berjasa menyebarluaskan Islam ke berbagai kawasan Afrika.
Menurut Coppolani, mereka menyiarkan Islam di kalangan pemeluk animisme dengan persaudaraan-persaudaraan sufi lainnya dan berada di garis terdepan dalam melakukan perlawanan terhadap ekspansi kolonialisme. Dari at-Tijani lalu diwakili oleh tokoh lainnya seperti al-Hajj Umar di Sudan Barat. Di Republik Turki, sebuah kelompok kecil penganut Tarekat Tijaniyah, adalah orang-orang muslim pertama yang secara terbuka menetang rezim sekulerisme sekitar tahun 1950.
Tarekat ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1920-an, setelah disebarkan di Jawa Barat oleh seorang ulama pengembara kelahiran Makkah, Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari, yang telah menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini dari dua orang syekh yang berbeda. Dan, pada tahun-tahun berikutnya, beberapa orang Indonesia yang belajar di Makkah menerima bai’at untuk menjadi pengikut Tarekat Tijaniyah dan mendapat ijazah untuk mengajar dari para guru yang masih aktif di sana.
Ini terjadi setelah serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah pada tahun 1824, dan kebanyakan tarekat lain tidak dapat lagi menyebarkan ajaran pengkultusan terhadap para wali, tampaknya masih dapat ditolelir.
Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh tarekat-tarekat lain. Gugatan keras dari kalangan ulama tarekat itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan memperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Tarekat Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru tarekat lain, yang dalam pandangan syekh pesaingnya dianggap sebagai praktik bisnis yang culas. Meski demikian, tarekat ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura dan ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat peredarannya. Penentangan ini baru mereda ketika Jam’iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan setelah memeriksa wirid dan wadzifah tarekat ini. Dan tanpa memberikan pernyataan-pernyataan ekstremnya tarekat ini bukanlah tarekat sesat, karena amalan-amalannya sesuai ajaran Islam.
Sepanjang tahun 80-an tarekat ini ngalami perkembangan yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur. Respons terhadap perkembangan yang dicapai tarekat ini menyebabkan pecahnya kembali konflik dengan para guru dari tarekat lain. Akar konflik ini lebih tertuju kepada persaingan keras untuk mendapatkan murid dan perasaan sakit hati di kalangan sebagian guru yang kehilangan banyak murid berpindah ke Tarekat Tijaniyah.
Kepindahan murid-murid dari tarekat lain ke Tarekat Tijaniyah ini berarti hilang pula murid-murid dari tarekat lain. Karena Tarekat Tijaniyah sama sekali tidak membolehkan para pengikutinya untuk berafiliasi lagi kepada syekh tarekat yang dianut sebelumnya.*** Salahuddin
Ajaran dan Dzikir Tarekat Tijaniyah
Sejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma’ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.
Meskipun at-Tijani menentang keras pemujaan terhadap wali pada upacara peringatan haii tertentu dan bersimpati kepada gerakan reformis kaum Wahabi, tetapi dia sendiri tidak menafikan perlunya wali (perantara) tersebut. At-Tijani sangat menekankan perlunya perantara (wali) antara Tuhan dan manusia, yang berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu, buku panduan Tijani kalimatnya dimulai dengan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang Syekh perantara sarana untuk manunggal dengan Allah”. Dalam hal ini, perantara itu tak lain adalah dia sendiri dan penerusnya. Dan sebagaimana tarekat-tarekat lain, tarekat ini juga menganjurkan agar anggota-anggotanya mengamalkan ajaran dengan menggambarkan wajah syekh tersebut dalam ingatan mereka, dan mengikuti seluruh nasehat syekh dengan tenang.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istghfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa’ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.
Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari, tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum’at membaca Hayhalah, yang terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal dzikir ini at-Tijani menekankan dzikir cepat secara berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.
Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat Tijaniyah — yang membedakannya dengan tarekat-tarekat lain — adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah, lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW, bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas tarekat ini telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatikdan metafisis sufi.
Berikut petikan dari kitab As-sirr al-Abhar Ahmad at-Tijani yang menyangkut berbagai tata tertib, aturan dan dzikir dalam tarekat ini:
“Anda haruslah seorang muslim dewasa untuk melaksanakan awrad, sebab hal (awrad) itu adalah karya Tuhannya manusia. Anda harus meminta izin kepada orang tua sebelum mengambil thariqah, sebab ini adalah salah satu sarana untuk wushul kepada Allah. Anda harus mencari seseorang yang telah memiliki izin murni untuk mentasbihkan Anda ke dalam awrad, supaya Anda dapat behubungan baik dengan Allah.
Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya dari awrad lain manapun selain awrad dari Syekh Anda, sebab Tuhan tidak menciptakan dua hati di dalam diri Anda. Jangan mengunjungi wali manapun, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sebab tidak seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus. Anda harus disiplin dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin dalam menjalankan ketentuan-ketentuan syari’at, sebab semua itu telah ditetapkan oleh makhluk terbaik (Nabi SAW). Anda harus mencintai Syekh dan khalifahnya selama hidup Anda, sebab bagi makhluk biasa cinta semacam itu adalah sarana untuk kemanunggalan: dan jangan berfikir bahwa Anda mampu menjaga diri Anda sendiri dari Kreativitas Tuhan Semesta, sebab ini adalah salah satu ciri dari kegagalan.
Anda dilarang untuk memfitnah, atau menimbulkan permusuhan terhadap Syekh Anda, sebab hal itu akan membawa kerusakan pada diri Anda. Anda dilarang berhenti untuk melantunkan awrad selama hidup Anda, sebab awrad itu mengandung misteri-misteri Sang Pencipta. Anda harus yakin bahwa Syekh mengatakan kepada Anda tentang kebijakan-kebijakan, sebab itu semua termasuk ucapan-ucapan Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir.
Anda dilarang mengkritik segala sesuatu yang tampak aneh dalam thariqah ini, atau Penguasa Yang Adil akan mencabut Anda dari kebijak-kebijakan.
Jangan melantunkan wirid Syekh kecuali sesudah mendapat izin dan menjalani pentasbihan (talqin) yang selayaknya, sebab itu keluar dalam bentuk ujaran yang lugu. Berkumpullah bersama untuk wadhifah dan dzikir Jum’at dengan persaudaraan, sebab itu adalah penjagaan terhadap muslihat syetan. Anda dilarang membaca Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats, sebab Nabi SAW akan hadir dalam pembacaan ketujuh.
Jangan menginterupsi (pelantunan yang dilakukan oleh) siapa pun, khususnya oleh sesama sufi, sebab interupsi semacam itu adalah cara-cara syetan. Jangan kendur dalam wirid Anda, dan jangan pula menundanya dengan dalih apa pun atau yang lain, sebab hukuman akan jatuh kepada orang yang mengambil wirid lantas meninggalkan sama sekali atau melupakannya, dan dia akan menjadi hancur. Jangan pergi dan mengalihkan awrad tanpa izin yang layak untuk malakukan itu, sebab orang yang melakukan hal itu dan tidak bertaubat niscaya akan sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan akan menimpanya. Anda dilarang memberitahukan wirid kepada orang lain kecuali saudara Anda dalam thariqah, sebab itu adalah salah satu pokok etika sains spiritual”.
Setiap tarekat memiliki satu atau lebih doa kekuatan khusus, misalnya Hizb al-Bahr milik Tarekat Syadziliyah, Subhan ad-Daim Isawiyah, Wirid as-Sattar milik Khalwatiyah, Awrad Fathiyyah milik Hamadaniyyah, dan lain-lain. Ciri khusu dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal. Mengenai Shalawat Fatih, at-Tijani mengatakan bahwa dirinya telah memperintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini oleh Nabi SAW sendiri. Meskipun pendek, doa itu dianggap mengandung kebaikan dalam delapan jenis: orang yang membaca sekali, dijamin akan menerima kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca sekali akan dapat menghapus semua dosa dan setara dengan 6000 kali semua doa untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua dzikir dan doa, yang pendek maupun yang panjang, yang pernah dibaca di alam raya. Orang yang membacanya 10 kali, akan memperoleh pahala yang lebih besar dibanding yang patut diterima oleh sang wali yang hidup selama 10 ribu tahun tetapi tidak pernah mengucapkannya. Mengucapkannya sekali setara dengan doa seluruh malaikat, manusia, jin sejak awal penciptaan mereka sampai masa ketika doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang kedua kali adalah sama dengannya (yaitu setara dengan pahala dari yang pertama) ditambah dengan pahala dari yang pertama dan yang kedua, dan seterusnya.
Tentang Jauharat al-Kamal, yang juga diajarkan oleh Nabi SAW sendiri kepada at-Tijani, para anggota tarekat ini meyakini bahwa selama pembacaan ketujuh Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah dilakukan sebagaimana mestinya, Nabi SAW beserta keempat sahabat atau khalifah Islam hadir memberikan kesaksian pembacaan itu. Wafatnya Nabi SAW tidaklah menjadi tirai yang menghalangi untuk selalu hadir dan dekat kepada mereka. Bagi at-Tijani dan anggota tarekatnya, tidak ada yang aneh dalam hal kedekatan ini. Sebab wafatnya Nabi SAW hanya mengandung arti bahwa dia tidak lagi dapat dilihat oleh semua manusia, meskipun dia tetap mempertahankan penampilannya sebelum dia wafat dan tetap ada di mana-mana: dan dia muncul dalam impian atau di siang hari di hadapan orang yang disukainya.
Akan tetapi kaum muslim ortodoks membantah penyataan Ahmad Tijani dan para pengikutnya yang menyangkut pengajaran Nabi SAW ini kepadanya. Sebab jika Nabi SAW secara pribadi mengajari at-Tijani rumusan-rumusan doa tertentu maka itu berarti bahwa Muhammad telah “wafat” tanpa menyampaikan secara sempurna pesan kenabiannya, dan mempercayai hal ini sama dengan tindak kekafiran, kufr.
Tentu saja, alasan kaum muslim ortodoks ini masih bisa diperdebatkan, misalnya tanpa bermaksud membela tarekat ini dengan mempertanyakan kembali, apakah betul pengajaran Nabi SAW melalui mimpi itu berarti mengurangi kesempurnaan kenabiannya? Bukankah substansi dari pengajaran itu lebih tertuju kepada perintah bershalawat yang masih dalam bingkai pesan kenabian (syari’at), dan bukan merupakan hal yang baru? Bukankah Nabi SAW pernah bersabda bahwa mimpi seorang mukmin seperempat puluh enam dari kenabian? Menyangkut pahala pembacaannya, bukankah rahmat dan anugerah Allah yang tak terhingga akan tercurahkan kepada umat Islam yang senantiasa mewiridkan shalawat kepada sang hamba paripurna, kekasih dan pujaan-Nya, Muhammad Rasulullah SAW?.

30.6.08

Pancasila, ya Islami


PANCASILA DAN PERKEMBANGAN
KEISLAMAN DI INDONESIA
Zulfan Syahansyah

Setiap kali menentukan suatu hal pasti ada dampak sebagai cost yang harus dibayar. Artinya, dalam menentukan sebuah alternatif, seyogyanya kita juga mampu dan siap menanggung konsekuensi yang harus ditanggung. Ia bisa berupa keuntungan, atau sebaliknya, kerugian. Demikian halnya Pancasila sebagai dasar ideologi Negara, pastilah ada dampak positif dan negatifnya juga.
Kerap kali kita rasakan pergolakan pemahaman antara kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-agamis yang tak jarang berujung pada kles-nya kerukunan hidup berbangsa dan bernegara, sebagai dampak negatif ditetapkannya Pancasial menjadi asas Negara. Akhir-akhir ini sering kita dengar suara sebagian komunitas muslim yang menginginkan ‘khilafah Islamiah’ diterapkan sebagai sistem kenegaraan di Indonesia, menjadi contoh ‘pergolakan’ kelompok yang kontra penetapan asas lima sila tersebut sebagai ideologi Negara. Juga, munculnya beragam peraturan daerah (perda) yang bernuansa syariat Islam di beberapa daerah pasca orde baru sedikit banyak kembali menuai perdebatan lama mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila atau wacana “krserasian” antara Negara Indonesia dan.
Saat ini, penulis ingin mengajak Anda untuk merenung sejenak; memikirkan sisi positif ketetapan Pancasila sebagai asas negara yang mungkin masih belum disadari oleh sebagian rakyat Indonesia yang kurang menerima –untuk tidak mengatakan menentang– ideologi ini. Setidaknya, ada tiga keuntungan besar yang dirasa rakyat Indonesia. Pertama, ideologi agama menjadi privat-individu. Penulis melihat, dengan membiarkan urusan agama menjadi urusan pribadi, masyarakat merasa mempunyai kebebasan menjalankan keyakinan agamanya tanpa khawatir di ”dekte” pemerintah, apalagi dirongrong sesama rakyat.
Kedua, ruang lingkup “perang” pemikiran Islam, tidak merembes menjadi wacana kenegaraan. Dan ketiga, urusan politik tidak mengganggu “khidmat” keberagamaan. Sebagai perbandingan, jika sejak awal kemerdekaan RI menetapkan Islam menjadi asas Negara, pergolakan yang akan terjadi kemudian; madzab Islam yang mana akan dipakai pemerintah?
Setelah melalui tahap penentuan madzhab yang dipakai, pertentangan yang selanjutnya bakal terjadi di kalangan muslim adalah penetapan siapa yang menjadi presiden? Jika saat ini penilaian karismatik calon presiden Indonesia menafikan madzab agama. Maka ketika Islam menjadi asas Negara, konfrontasi antar umat Islam yang berselisih madzab akan merambah pada ranah politik. Bagaimana sengitnya perselisihan antara kelompok Si’ah dan Sunni di Republik Negara Islam Iran dan Iraq, yang sudah banyak menelan korban Jiwa. Atau, Indonesia akan menjadi seperti Negara Saudi Arabia yang menetapkan satu faham madzab Negara. Untuk pilihan yang kedua ini, jangan pernah kita mimpi akan bisa menjalankan pemahaman Islam sesuai keyakinan. Ketika pemerintah sudah menetapkan satu hal mengenai ritual keagamaan; maka usaha penolakan, tak ubahnya seperti upaya makar yang menentang keputusan Negara. Dari sini akan timbul pertanyaan besar: apakah yang lebih diutamakan, Negara atau agama?
Menurut penulis, agama Islam adalah agama Allah. Karenanya, se¬tiap upaya untuk memahami Islam, bermakna mencoba untuk memahami dan memetik sebagian dari ilmu Allah. Ini ditegaskan dalam Al-Quran, surat Al-Kahfi yang melukiskan bah¬wa ilmu Allah luas tak terjangkau. Sedemikan luasnya, sehingga jikalau lautan dijadikan tinta untuk menulis ilmu Allah, maka ia akan habis sebelum ilmu Allah habis. Maksudnya, tidak mungkin kita dapat menguasai seluruh pengeta¬huan yang diberikan oleh Allah, sebab hanya Dia Dzat yang pengetahuan- Nya tak terbatas.
Karenanya, kita harus terus be¬lajar. Dan setiap yang kita capai da¬lam belajar (agama) Islam, maka sama sekali tidak boleh kita anggap sebagai sesuatu yang final. Sebab anggapan sema¬cam ini mengisaratkan kesetaraan ilmu kita dengan ilmu Allah. Ini tentu tidak sesuai dengan iman kita sendiri bahwa Allah adalah Yang Maha Tahu, dan di atas setiap orang yang tahu ada Dia Yang Maha Tahu. Bahkan Rasulullah pun diperintahkan untuk berdoa: “Ya Allah, tembahkanlah ilmu dan pemahamnku”.
Beda halnya dengan ketetapan dalam sebuah Negara. Masalah ini sepenuhnya hasil kesepakatan manusia yang kemudian menjadi sebuah undang-undang positif. Maka tidak mungkin kita me-mositifkan (membakukan) ajaran Allah yang sinergik dan terus berkembang.
Jika ada yang menanyakan pergolakan pemahaman antara kelompok-kelompok Islam di Indonesia, maka penulis akan mengatakan hal tersebut sebagai dinamikan perkembangan keislaman juga. Jika ditilik secara umum, maka perselisihan yang dewasa ini terus memanas antara kelompok Islam konservatif- ekstrimis dan progresif-moderat, merupakan hal wajar yang justru semakin mengidentifikasikan perkembangan keislaman di Indonesia. Wallahu a’lam bi as-shawab.

18.6.08

AKKBB, REKREASI KE BALI!


Menyoal Keseriusan AKKBB
Oleh: Zulfan Syahansyah*

Menyaksikan kegigihan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam mewujudkan cita-citanya menciptakan tradisi moderat di Negara Indonesia patut diacungi jempol. Terlebih, pascatragedi Monas yang berhasil mengundang simpati khalayak ramai, terutama kalangan muslim Indonesia. Dalam hal ini dukungan beberapa organisasi Islam; ada Garda Bangsa, Banser, serta kelompok-kelompok berembel 'Islam' yang memang sebelumnya telah tergabung dalam AKKBB. Sebut saja: Jaringan Islam Liberal (JIL), Jaringan Islam Kampus (JIK), Lakpesdam NU, Fatayat NU, Wahid Institut dan tentunya beberapa organisasi, lembaga swadaya masyarakat, termasuk juga Gedong Gandhi Ashram (GGA) Bali. Sengaja yang terakhir ini penulis sebutkan. Tak lain karena saat ini penulis sedikit akan menyinggung pulau Bali sebagai pusat GGA. Klimaks dukungan yang diperoleh AKKBB berupa maraknya tuntutan pembubaran FPI
Tulisan ini tidak bermaksud mendukung salah satu kubu yang sedang bertikai; FPI atau AKKBB sendiri yang saat ini penulis jadikan objek untuk menanyakan satu hal mendasar kaitannya dengan komitmen aliansi ini untuk terciptanya kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Penulis hanya tertarik dan merasa perlu menanyakan konsistensi AKKBB dalam menjalankan perjuangannya.
Adalah kenyataan bahwa umat Islam di Indonesia saat ini menjadi kelompok mayoritas. Mudah-mudahan bisa berlanjut seterusnya. Karenanya, menjadi garapan mulia AKKBB berusaha melindungi kelompok minoritas –dalam hal ini umat nonmuslim, termasuk kaum muslim yang berbeda pemahaman agama dari kalangan umat Islam pada umumnya– dalam menjalankan keyakinan beragama dan kepercayaan mereka tanpa merasa tertindas oleh kelompok mayoritas. Pembelaan terhadap kelompok Ahmadiyah adalah salah satu contoh kegigihan AKKBB dalam aliansi kebangsaan mereka.
Harapan AKKBB
Indonesia harus betul-betul menjadi sebuah Negara hukum-moderat, berdasarkan UUD 45, berasas Pancasila. Indonesia bukan Negara agama; tidak boleh dimonopoli oleh agama Islam sebagai agama mayoritas penduduk; dan tentunya, tidak boleh juga dimonopoli oleh agama-agama lain yang diakui keberadaannya di seantaro tanah Nusantara. Kira-kira demikian harapan dan cita-cita yang diperjuangkan AKKBB. Tidak kurang tokoh nasional yang mendukung upaya tersebut. Salah satunya adalah Gus Dur; sosok ulama yang cukup disegani kalangan umat Islam; pejuang demokrasi yang juga diandalkan oleh kalangan nonmuslim terutama komunitas Konghucu. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh agama serta nasional lainnya yang ikut peduli mengembangkan faham pluralitas, Gender, serta HAM.
Sampai tahapan ini, penulis masih menganggap wajar upaya tersebut. Betul, kelompok mayoritas tidak boleh semena-mena terhadap kalangan minoritas. Penindasan, kesemena-menaan, serta pelecehan harus diberantas. Toleransi, saling menghormati adalah modal utama kemakmuran dan kedamaian sebuah bangsa, termasuk Indonesia.
Satu hal yang penulis perlu ingatkan, bahwa Indonesia terbentang dari Sabang sampai Meraoke. Maka seharusnya, sasaran AKKBB tidak hanya terbatas di pulau Jawa; bertumpu di dataran tempat tinggal masyarakat yang mayoritas beragama Islam saja. Karena jelas, benturan kendala yang dihadapi AKKBB pasti umat Islam. Maka opini tentang ‘Islam’ semakin melebar; ada Islam fundamental, moderat, juga liberal, dengan cakupan identifikasi masing-masing.
Penulis akan semakin respek jika aliansi kebangsaan ini juga menjamah daerah yang kebetulan umat Islam menjadi kelompok minoritas. Tidak usah terlalu jauh, cukup menyeberang ke sebelah timur pulau Jawa; ke pulau Bali. Di sana kelompok mayoritas adalah umat Hindu. Pastikan, sesuaikah cita-cita AKKBB dengan realita di lapangan? Sebagai contoh, saat perayaan hari raya Nyepi yang jatuh setiap tanggal 1 Saka.
Seperti yang kita maklumi bersama, ketika Nyepi, seluruh umat Hindu di Bali menjalankan ritual kepercayaan mereka dengan melakukan tapa geni; menyepi dari keramaian alam, berpuasa sejak pukul 0:0 sampai pukul 0:0 pada hari berikutnya. Tak ada akses kendaraan, listrik padam selama perayaan. Semua penduduk diwajibkan untuk tinggal di dalam rumah. Saat itu, Bali harus benar-benar sepi, hening. Masalahnya kemudian, kenapa umat non-Hindu juga diharuskan untuk “menjalankan” ritual kepercayaan mereka? Bagi mereka, pelaksanaan puasa geni adalah ibadah, tapi tidak bagi umat lain!
Contoh kasus, saat penulis masih duduk di bangku SMP, pernah terjadi peristiwa yang menegangkan antara umat Islam dan Hindu. Perayaan Nyepi dan hari raya Idul Fitri jatuh pada waktu yang bersamaan. Di satu sisi umat Hindu harus menjalankan ritual penuh keheningan, tapi di sisi lain umat Islam seperti biasanya dianjurkan merayakan hari kemenangan mereka dengan penuh suka cita. Terjadi perbedaan cara merayakan hari raya; harus sepi vs disunnahkan bersuka ria. Siapa yang “kalah”? Dalam hal ini jelas umat Islam sebagai kelompok minoritas harus menyambut malam idul fitri di tengah kewajiban bernyepi. Jika perayaan Nyepi dan Idul Fitri kembali jatuh pada waktu yang bersamaan, penulis yakin, kasus menegangkan antara umat Hindu dan muslim di Bali akan terulang kembali. Seperti biasa, pasti kalangan muslim sebagai kelompok minoritas akan kalah.

Tidak Ada Suara
Itukah makna toleransi beragama? Mewajibkan umat beragama lain untuk ikut “bertapa” ketika Nyepi? Tidakkah ini bertentangan dengan keyakinan umat-umat non-Hindu yang berdomisili di Bali? Bukankah Bali termasuk wilayah Negara Indonesia yang berasaskan hukum? Lalu kenapa dibiarkan upaya pemaksaan mengikuti ritual kepercayaan umat Hindu? Di mana suara AKKBB yang memperjuangkan kebebasan menjalankan agama? Di mana juga gaung Hak Asasi Manusia yang sering mengkritik “kesemena-menaan” umat Islam?
Penulis adalah seorang muslim yang dilahirkan dan tumbuh remaja di pulau Bali. Penulis merasakan bagaimana susahnya jika tiba waktu Nyepi. Mungkin sama menderitanya dengan umat nonmuslim yang tinggal di Pulau Jawa atau daerah berpenduduk mayoritas umat Islam, saat tiba waktu Ramadlan. Tapi pastinya, umat Islam tidak pernah melarang umat beragama lain untuk tidak makan di siang hari saat Ramadlan! Kalangan nonmuslim tidak merasakan imbas ibadah puasa. Jika ada sekelompok muslim yang melakukan razia Ramadlan, itu hanya oknum.
Memang sampai saat ini belum pernah terjadi kekerasan fisik mengatasnamakan agama di Bali. Pulau Bali relatif masih aman, damai dibandingkan daerah-daerah lain yang mayoritas berpenduduk muslim. Tak kurang dalam beberapa tahun ini Bali dijadikan lokasi perhelatan acara-acara nasional dan internasional. Hemat penulis, itu tak lain karena dua hal: pertama, umat-umat beragama minoritas di Bali sadar bahwa mereka memang bukan kelompok mayoritas; kedua, tidak pernah ada lembaga-lembaga swadaya masyarakat, semisal AKKBB yang mau mengangkat realita keberagamaan di Bali sebagai opini nasional. Entah kenapa!
Jadi, mengambil pelajaran dari kenyataan di atas, mestinya kita sama-sama melakukan introspeksi; berusaha meredam opini-opini sesaat yang hanya memarginalkan Islam dan kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas bangsa. Jika Perda Bali membenarkan upaya yang mengharuskan umat non-Hindu di Bali mentaati peraturan Nyepi, kenapa AKKBB harus ribut dan menyangsikan kedaulatan Indonesia sebagai Negara hukum pascakeluarnya SKB tiga mentri? Atau, mungkinkah terdapat agenda untuk “mengkebiri” power kelompok mayoritas di Indonesia?


*Muslim yang lahir dan besar di Bali
Alumni PP. Al-Amien Sumenep Madura
Pengurus PP. Al-Munawwariyyah Malang
Hp. 081333244422

11.6.08

SELAMAT ULANG TAHUN PUTRAKU, ABI SA'ID


Saat ini tanggal 11 Juni 2008, itu artinya, esok adalah hari ulang tahun putraku Moh. Abi Sa'id Zulfan yang ke dua. Oh... ternyata tidak terasa kini usianya sudah memasuki hitungan bulan ke 25 sejak kelahirannya 12 Juni 2006 silam.
Selamat untukmu wahai anakku, semoga kebahagian dan kesuksesan mengiringi setiap langkahmu.
Tahukah kamu wahai anakku?! Jika bulan depan adalah ulang tahun PP.Al-Munawwariyyah yang ke 25, maka esok juga adalah hari ulang bulanmu yang juga ke 25. Selamat atas kebersamaan angka 25 antaramu dan Al-Munawwariyyah.

MAAFKAN AYAH IBUMU
Anakku, maafkan ayah jika sampai saat ini masih belum bisa memberikan kebehagiaan untukmu! Sampai saat ini, hanya meratapi kelemahan yang bisa ayah lakukan; kelemahan karena tidak bisa memberikan kasih sayang yang mestinya diterima oleh anak seusiamu; kelemahan untuk betul-betul menjadi sosok ayah yang benar-benar ayah; belum bisa menjadikan ibumu menjadi sosok ibu yang benar-benar menjadi ibu.
Anakku, belum bisa ayah menjadikanmu sebagai anak yang benar-benar memiliki kedamaian hunian. Di sana kamu bukanlah yang utama! Tapi percayalah, sebelum kamu bisa menyadari tingkatanmu di sana, ayah berjanji untuk segera menyiapkan hunian yang akan menempatkanmu dan adikmu Abdurrahman sebagai mahkota keluarga.
Selamat untukmu anakku! Mudah-mudahan, Taufiq, Hidayah, serta mau'nah Allah senantiasa bersamamu. Salam dari Ayah dan Ibumu yang selalu mencintaimu.

Dari Ibumu....
Abi, hari-hari bersamamu adalah saat-saat yang penuh warna. Canda tawa serta air mata, menghiasai kebersamaan kita. Dua tahun sudah engkau bersama kami; riang, sedih, serta lucumu menambah arti sejati sebuah keluarga.

Bahagia hati ini saat melihatmu tertawa, sedih hati ini saat melihatmu berduka, terpukul hati ini saat melihatmu terluka. Ingin rasannya aku terus melindungimu seperti waktu kau ada dalam rahimku yang tak ada satupun bisa menyentuhmu.

Namun, kau harus tumbuh menjadi manusia yang tegar laksana batu karang yang tak pernah gentar diterjang ombak yang garang.

Sejak kecil, kau sudah mengenal kehidupan yang keras dan penuh persaingan. Kau sudah tahu rasanya menjadi manusia yang terpinggirkan. Aku yakin kau akan menjadi manusia yang tak sia-sia.

Ibu, ayah, dan adikmu akan selalu menjadi teman setiamu. Kita akan menjadi empat sekawan yang tak akan terpisahkan.

SELAMAT ULANG TAHUN CINTA

4.6.08

BAHASA AL-QUR’AN:ANTARA LINGUISTIK DAN KULTURAL


BAHASA AL-QUR’AN:
ANTARA LINGUISTIK DAN KULTURAL
Oleh: Zulfan Syahansyah

I. PENDAULUAN
Islam sebagai agama yang terakhir, karena –dalam aqidah Islam– tidak ada lagi agama sesudahnya, telah Allah turunkan pertama kali di Jazirah Arabia, tepatnya di tanah Makkah pada 14 abad yang lalu. Ia diturunkan untuk umat manusia melalui utusan terakhir-Nya, Muhammad bin Abdullah yang juga asli keturunan bangsa Arab. Karenanya, wahyu yang diturankan berupa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Sebab, tidak logis jika Allah SWT. mewahyukan ajaran Islam menggunakan bahasa non-Arab. Ini ditegaskan dalam AlQur’an, “Dan Jikalau kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".(QS:41.44).
Meski demikian, kita wajib mengimani bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat Islam di seantero alam; bukan hanya orang Arab an-sich, “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya , supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”(QS:14.4)
***
Di tengah “perang” wacana Arabisasi Islam antara kelompok muslim liberal dan literal, kita tetap harus objektif dalam menilai Arab. Jika ada yang merelatifkan penggunaan bahasa Arab sebagai media penyampai dalam Al-Qur’an, dikarenakan Nabi Muhammad adalah orang Arab, seyogyanya ia tidak mencukupkan “kekritisan”nya hanya sampai disini. Kenapa Allah lahirkan Muhammad melalui rahim seorang Aminah; wanita berkebangsaan keturunan Arab? Kenapa tidak melalui wanita-wanita lain; wanita Yunani, Romawi, Cina, atau India? Bukankah pada 14 abad yang lalu peradaban bangsa Arab jauh tertinggal dibandingkan empat bangsa di atas?
Jika jawabannya agar Islam menjadi sebuah peradaban yang baru, karenanya harus diturunkan di tengah komunitas berperadaban rendah, maka masih banyak pada waktu itu bangsa yang jauh lebih katrok dari bangsa Arab! Jadi, semestinya kita berfikir lebih arif. Pasti ada hikmah di balik skenario Allah menjadikan Muhammad sebagai sosok berkebangsaan Arab.
Untuk menilai sebuah komunitas, tidak cukup hanya membaca karya-karya tulis, atau menyaksikan film, apalagi hanya mendengar cerita tanpa mengetahui secara pasti karakteristik penduduk setempat. Demikian halnya saat kita ingin menilai Arab sebagai peradaban. Untuk tidak sekedar mencaci-maki atau berapologi. Saat ini yang terjadi, banyak muslim non-Arab yang mengaku sebagai pemikir Islam, dengan jargon ‘Menyegarkan Pemahaman Islam’, kemudian mementahkan makna Arab sebagai tempat transit Islam pertamakali sebelum tersebar kepada umat manusia di penjuru alam. Padahal, mereka yang merelativkan “Arab”, saat di tanah Arab –jika memang pernah– secara eksplisit tidak pernah melakukan penelitian tentang “kenapa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab?” Jika terjawab, tidak akan lebih dari sekedar replay: karena Nabi Muhammad orang Arab. Sekali lagi, tidak lebih.
Dan sampai saat inipun masih belum ada hasil penelitian yang bisa menjawab secara empiris; kenapa Allah memilih Rasul-Nya dari kalangan bangsa Arab? Ada apa dengan peradaban, dalam hal ini bahasa Arab dan kebudayaannya; kemarin, hari ini dan esok? Mestinya, jika mengaku pemikir Islam, apalagi cinta, buktikan dengan mencoba tinggal (untuk sementara) di Makkah, kota kelahiran Muhammad dan Islam. minimal untuk mengetahui bagaimana tanah Arab, khususnya Makkah dan Madinah, serta watak penduduk setempat.
***
II. AL-QUR’AN
“Kitab (Al-Qur’an) ini, tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” Demikian terjemahan Al-Qur’an (QS. 2:2), sebagai penegas bagi orang-orang yang bertaqwa; bahwa tidak akan pernah ada kesalahan dalam al-Qur’an, baik secara harfiah atau kandungan ajarannya untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan di dunia. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad, Al-Qur’an terbukti, dan harus kita yakini akan selalu otentik sepanjang zaman.
Secara bahasa, Al-Qur’an berarti “bacaan sempurna”. Kesempurnaannya dapat kita tinjau dari beberapa aspek, yang sekiranya dibandingkan dengan bacaan-bacaan lainnya, tidak akan ada alasan untuk menafikan kesempurnaanya. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an, menuturkan beberapa aspek yang menjadi sebagian dari mukjizat Al-Qur’an:
Pertama, Al-Quran adalah bacaan ratusan juta orang bahkan milyaran sejak awal pembukuannya; bukan saja bagi yang mengerti, tapi juga “enak” dibaca oleh mereka yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Kedua, Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya. Adakah buku bacaan atau kitab suci yang menyerupai Al-Qur’an dari aspek-aspek tersebut?

III. ARAB DAN KEUTAMAAN
Ust. Ahmad Sarwat, Lc saat menjawab pertanyaan prihal alasan turunnya Islam di Jazirah Arab, di situs ‘era muslim’ mengatakan: sedikitnya ada dua sebab mendasar yang bisa dijadikan alasan untuk hal tersebut: aspek kultur dan budaya Arab, serta faktor intrinsik bahasa Arab itu sendiri yang menurut para pakar bahasa memiliki keutamaan-keutamaan yang tidak dijumpai pada bahasa lainnya.

A. Aspek Kultur dan Kebudayaan
1. Tempat Rumah Ibadah Pertama
Tanah Syam (Palestina) merupakan negeri para nabi dan rasul. Hampir semua nabi yang pernah ada di tanah itu. Sehingga hampir semua agama dilahirkan di tanah ini. Yahudi dan Nasrani adalah dua agama besar dalam sejarah manusia yang dilahirkan di negeri Syam. Namun sesungguhnya rumah ibadah pertama di muka bumi justru tidak di Syam, melainkan di Jazirah Arabia. Yaitu dengan dibangunnya rumah Allah (Baitullah) yang pertama kali di tengah gurun pasir jazirah arabia.
Rumah ibadah pertama itu menurut riwayat dibangun jauh sebelum adanya peradaban manusia. Adalah para malaikat yang turun ke muka bumi atas izin Allah untuk membangunnya. Lalu mereka bertawaf di sekeliling ka'bah itu sebagai upaya pertama menjadikan rumah itu sebagai pusat peribadatan umat manusia hingga hari kiamat menjelang.
Ketika Adam as diturunkan ke muka bumi, beliau diturunkan di negeri yang sekarang dikenal dengan India. Sedangkan isterinya diturunkan di dekat ka'bah. Lalu atas izin Allah keduanya dipertemukan di Jabal Rahmah, beberapa kilometer dari tempat dibangunnya ka'bah.
Maka jadilah wilayah sekitar ka'bah itu sebagai tempat tinggal mereka dan ka'bah sebagai tempat pusat peribadatan umat manusia. Dan di situlah seluruh umat manusia berasal dan di tempat itu pula manusia sejak dini sudah mengenal sebuah rumah ibadah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk manusia beribadah adalah rumah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia.” (QS. Ali Imran: 96)

2. Kawasan strategis
Bila kita cermati peta dunia, kita akan mendapati adanya banyak benua yang menjadi titik pusat peradaban manusia. Dan Jazirah Arabia terletak di antara tiga benua besar yang sepanjang sejarah menjadi pusat peradaban manusia. Sejak masa Rasulullah SAW, posisi jazirah arabia adalh posisi yang strategis dan tepat berada di tengah-tengah dari pusat peradaban dunia. Bahkan di masa itu, bangsa Arab mengenal dua jenis mata uang sekaligus, yaitu dinar dan dirham. Dinar adalah jenis mata uang emas yang berlaku di Barat yaitu Romawi dan Yunani. Dan Dirham adalah mata uang perak yang dikenal di negeri timur seperti Persia. Dalam literatur fiqih Islam, baik dinar maupun dirham sama-sama diakui dan dipakai sebagai mata uang yang berlaku.
Ini menunjukkan bahwa jazirah arab punya akses yang mudah baik ke barat maupun ke timur. Bahkan ke utara maupun ke selatan, yaitu Syam di utara dan Yaman di Selatan. Dengan demikian, ketika Muhammad SAW diangkat menjadi nabi dan diperintahkan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sangat terbantu dengan posisi Jazirah Arabia yang memang sangat strategis dan tepat berada di pertemuan semua peradaban.
Kita tidak bisa membayangkan bila Islam diturunkan di wilayah kutub utara yang dingin dan jauh dari mana-mana. Tentu akan sangat lambat sekali dikenal di berbagai peradaban dunia. Juga tidak bisa kita bayangkan bila Islam diturunkan di kepulauan Irian yang jauh dari peradaban manusia. Tentu Islam hingga hari ini masih mengalami kendala dalam penyebaran.
Sebaliknya, jazirah arabia itu memiliki akses jalan darat dan laut yang sama-sama bermanfaat. Sehingga para dai Islam bisa menelusuri kedua jalur itu dengan mudah. Sehingga di abad pertama hijriyah sekalipun, Islam sudah masuk ke berbegai pusat peradaban dunia. Bahkan munurut HAMKA, di abad itu Islam sudah sampai ke negeri nusantara ini. Dan bahkan salah seorang shahabat yaitu Yazid bin Mu'awiyah ikut dalam rombongan para dai itu ke negeri ini dengan menyamar.

3. Kesucian Bangsa Arab
Stigma yang selama ini terbentuk di benak tiap orang adalah bahwa orang Arab di masa Rasulullah SAW itu jahiliyah. Keterbelakangan teknologi dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai contoh untuk menjelaskan makna jahiliyah. Padahal yang dimaksud dengan jahiliyah sesungguhnya bukan ketertinggalan teknologi, juga bukan kesederhanaan kehidupan suatu bangsa. Jahiliyah dalam pandangan Qur’an adalah lawan dari Islam. Maka hukum jahiliyah adalah lawan dari hukum Islam. Kosmetik jahiliyah adalah lawan dari kosmetik Islam. Semangat jahiliyah adalah lawan dari semangat Islam.
Bangsa Arab memang sedikit terbelakang secara teknologi dibandingkan peradaban lainnya di masa yang sama. Mereka hidup di gurun pasir yang masih murni dengan menghirup udara segar. Maka berbeda dengan moralitas maknawiyah bangsa lain yang sudah semakin terkotori oleh budaya kota, maka bangsa Arab hidup dengan kemurnian nilai kemanusiaan yang masih asli.
Maka sifat jujur, amanah, saling menghormati dan keadilan adalah ciri mendasar dari watak bangsa yang hidup dekat dengan alam. Sesuatu yang telah sulit didapat dari bangsa lain yang hidup di tengah hiruk pikuk kota. Sebagai contoh mudah, bangsa Arab punya akhlaq mulia sebagai penerima tamu. Pelayanan kepada seorang tamu yang meski belum dikenal merupakan bagian dari harga diri seorang Arab sejati. Pantang bagi mereka menyia-nyiakan tamu yang datang. Kalau perlu semua persediaan makan yang mereka miliki pun diberikan kepada tamu. Pantang bagi bangsa Arab menolak permintaan orang yang kesusahan. Mereka amat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar.
Ketika bangsa lain mengalami degradasi moral seperti minum khamar dan menyembah berhala, bangsa Arab hanyalah menjadi korban interaksi dengan mereka. 360 berhala yang ada di sekeliling ka'bah tidak lain karena pengaruh interaksi mereka dengan peradaban Barat yang amat menggemari patung. Bahkan sebuah berhala yang paling besar yaitu Hubal, tidak lain merupakan sebuah patung yang diimpor oleh bangsa Arab dari peradaban luar. Maka budaya paganisme yang ada di Arab tidak lain hanyalah pengaruh buruk yang diterima sebagai imbas dari pergaulan mereka dengan budaya Romawi, Yunani dan Yaman. Termasuk juga minum khamar yang memabukkan, adalah budaya yang mereka import dari luar peradaban mereka. Namun sifat jujur, amanah, terbuka dan menghormati sesama merupakan akhlaq dan watak dasar yang tidak bisa hilang begitu saja. Dan watak dasar seperti ini dibutuhkan untuk seorang dai, apalagi generasi dai pertama.
Mereka tidak pernah merasa perlu untuk memutar balik ayat Allah sebagaimana Yahudi dan Nasrani melakukannya. Sebab mereka punya nurani yang sangat bersih dari noda kotor. Yang mereka lakukan adalah taat, tunduk dan patuh kepada apa yang Allah perintahkan. Begitu cahaya iman masuk ke dalam dada yang masih bersih dan suci, maka sinar itu membentuk proyeksi iman dan amal yang luar biasa. Berbeda dengan bani Israil yang dadanya sesat dengan noda jahiliyah, tak satu pun ayat turun kecuali ditolaknya. Dan tak satu pun nabi yang datang kecuali didustainya.
Bangsa Arab tidak melakukan hal itu saat iman sudah masuk ke dalam dada. Maka ending sirah nabawiyah adalah ending yang paling indah dibandingkan dengan nabi lainnya. Sebab pemandangannya adalah sebuah lembah di tanah Arafah di mana ratusan ribu bangsa Arab berkumpul melakukan ibadah haji dan mendengarkan khutbah seorang nabi terakhir. Sejarah rasulullah berakhir dengan masuk Islamnya sebagian besar bangsa Arab di sekeliling nabi. Bandingkan dengan sejarah Kristen yang berakhir dengan terbunuhnya (diangkat) sang nabi. Atau Yahudi yang berakhir dengan pengingkaran atas ajaran nabinya. Hanya bangsa yang hatinya masih bersih saja yang mampu menjadi tiang pancang peradaban manusia dan titik tolak penyebar agama terakhir ke seluruh penjuru dunia.

B. Aspek Bahasa
Secara historis, bahasa Arab adalah termasuk salah satu dari rumpun bahasa Semit, yang meliputi bahasa-bahasa Babilonia, Asyuria, Aramy, Ibrani, Yaman Lama, Habsyi Semit dan bahasa Arab itu sendiri. Ketiga bahasa yang pertama telah lenyap, demikian pula sebagian dari bahasa-bahasa Yaman Lama. Sedangkan tiga yang terakhir masih ada, tapi bahasa Arab adalah yang paling menonjol dan paling luas tersiar dan tersebar. Realita inilah yang menjadi salah satu penyebab keunggulan bahasa Arab dari bahasa lainnya; sampai saat ini masih “hidup” dan menjadi alat berkomunikasi resmi, setidaknya oleh masyarakat yang tinggal di kawasan Jazirah Arab dan Asia Tengah
Secara temporal, konteks yang penulis maksud dengan keutamaan bahasa Arab sebagai linguistik yang dipakai untuk sebuah kitab (bacaan) suci adalah saat masa penurunan Al-Qur’an. Dalam hal ini, Al-Biruni, salah seorang ilmu¬wan non-Arab berpendapat, seperti yang ditulis oleh Budhy Munawwar Rahcman: bahwa menulis ilmu harus dalam bahasa Arab. Hal ini karena memang wak¬tu itu tidak ada bahasa yang bisa memuat ilmu pengetahuan selain bahasa Arab, sebanding dengan bahasa Inggris dalam perannya di zaman modern.
Banyak dalil dari Al-Qur’an yang mengungkap alasan kenapa ia turun dengan menggunakan bahsa Arab. Diantaranya; QS. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 44: 58, dan 46 : 12. Boleh dikata, hampir semua ayat tersebut menyatakan, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam “bahasa Arab”. Adalah keliru jika karena Allah menurunkan Al-Quran ke dalam bahasa Arab kemudian dikatakan “tidak universal”. Kenapa Allah memilih bahasa Arab? Bukan bahasa lain? Barangkali itu adalah hak “ketuhanan” Allah yang jelas tidak bisa kita kritisi untuk menafikannya. Meski demikian, pilihan Allah mengapa Al-Quran itu dalam bahasa Arab bisa dijelaskan secara ilmiah dengan beberapa point argument berikut:

1. Bahasa Tertua Yang Terbukti Masih Aktif
Rasulullah saw. dengan suatu mukjizat Ilahi, yang merupakan wujud dari rancangan azali (rancangan primordial) tampil dengan menggunakan bahasa Arab yang secara kebetulan merupakan salah satu dari empat bahasa yang sangat kaya dan berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Hingga saat ini bahasa Arab masih tetap ada, sementara tiga bahasa lainnya, yaitu bahasa Sansekerta, Yunani, dan Romawi serta Latin telah mati.
Di samping itu, bahasa Arab lah yang menjadi bahasa kitab suci yang masih aktif dipakai. Ia juga termasuk dari rumpun bahasa Semit yang masih bertahan dan berkembang. Bahkan Bible (Old Testament) yang diklaim bahasa aslinya bahasa Ibrani (Hebrew) telah musnah, sehingga tidak ada naskah asli dari Perjanjian Lama (PL). Meskipun begitu, menurut Isrâ’il Wilfinson, dalam bukunya Târîkh al-Lughât al-Sâmiyyah (History of Semitic Language), seperti yang dikutip Prof. Al-A‘zamî, ternyata bahasa asli PL itu tidak disebut Ibrani. Bahasa pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500 S.M, berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-gambar deskriptif. Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah utang budi pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaan ini. New Testament (Gospel, Injil) yang diklaim bahasa aslinya adalah bahasa Yunani juga sudah hilang, sehingga tidak ada naskah asli dari Injil. Bahkan, ini bertentangan dengan bahasa Yesus, yang sama sekali tidak paham bahasa Yunani. Bukankah ini ‘mencederai’ saktralitas Injil yang diklaim sebagai ‘firman Tuhan’?
Dan itulah rahasia mengapa Islam diturunkan di Arab dengan seorang nabi yang berbicara dalam bahasa Arab. Ternyata bahasa Arab itu adalah bahasa tertua di dunia. Sejak zaman nabi Ibrahim as, bahasa itu sudah digunakan. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa bahasa Arab adalah bahasa umat manusia yang pertama. Logikanya sederhana, karena ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa bahasa ahli surga adalah bahasa Arab.
Seperti keimanan umat Islam dan umat-umat agama samawi lainnya, asal-usul manusia juga dari surga, yaitu nabi Adam dan isterinya Hawwa yang keduanya pernah tinggal di surga. Wajar bila keduanya berbicara dengan bahasa ahli surga. Ketika keduanya turun ke bumi, maka bahasa kedua 'Bapak Ibu' itu adalah bahasa Arab, sebagai bahasa tempat asal mereka. Dan ketika mereka berdua beranak pinak, sangat besar kemungkinannya mereka mengajarkan bahasa surga itu kepada para putra-putri mereka, yaitu bahasa Arab.

2. Bahasa Terkaya
Sebagai bahasa yang tertua di dunia, wajarlah bila bahasa Arab memiliki jumlah kosa kata yang paling besar. Para ahli bahasa pernah mengadakan penelitian yang menyebutkan bahwa bahasa Arab memiliki sinonim yang paling banyak dalam penyebutan nama-nama benda. Misalnya untuk seekor unta, orang Arab punya sekitar 800 kata yang identik dengan unta. Untuk kata yang identik dengan anjing ada sekitar 100 kata. Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa Arab dalam hal kekayaan perbendaharaan kata. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaikan dan Al-Quran diturunkan.
Selain itu, bahasa Arab dikenal memiliki banyak kelebihan, di antaranya:
(1) Sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, (2) Bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan, (3) Bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjungsi), yang amat luas hingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan, yang demikian itu tak terdapat dalam bahasa lain.

3. Bahasa Penunjang Kekekalan Al-Qur’an
Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. dalam bahasa Arab yang nyata (bilisanin ‘Arabiyyin mubinin), agar menjadi: mukjizat yang kekal dan menjadi hidayah (sumber petunjuk) bagi seluruh manusia di setiap waktu (zaman) dan tempat (makan); untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya: dari kegelapan “syirik” kepada cahaya “tauhid”, dari kegelapan “kebodohan” kepada cahaya “pengetahuan”, dan dari kegelapan “kesesatan” kepada cahaya “hidayah”.
Tiga kesatuan poin agama Islam; risalah (Islam), kitab (Al-Qur’an) dan utusan Allah (Muhammad SAW), berjalan terus atas izin Allah sampai dunia ini hancur. Karena Islam adalah risalah (misi) yang universal dan kekal, maka mukjizatnya harus retoris (bayaniyyah), linguistik (lisaniyyah) yang kekal juga.

Dan Allah telah berjanji untuk memelihara Al-Qur’an, seperti firman-Nya: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (Al-Qur’an) dan Kami pula yang memeliharanya.” (Qs. 15: 9).
Untuk itu diperlukan sebuah bahasa khusus yang bisa menampung informasi risalah secara abadi. Sebab para pengamat sejarah bahasa sepakat bahwa tiap bahasa itu punya masa eksis yang terbatas. Lewat dari masanya, maka bahasa itu akan tidak lagi dikenal orang atau bahkan hilang dari sejarah sama sekali.
Maka harus ada sebuah bahasa yang bersifat abadi dan tetap digunakan oleh sejumlah besar umat manusia sepanjang masa. Bahasa itu ternyata oleh pakar bahasa adalah bahasa Arab, sebagai satu-satunya bahasa yang pernah ada dimuka bumi yang sudah berusia ribuan tahun dan hingga hari ini masih digunakan oleh sejumlah besar umat manusia. Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa Arab dalam hal kekayaan perbendaharaan kata. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaikan dan Al-Quran diturunkan.

IV. KESIMPULAN / PENUTUP
Prof. Dr. H. Mujiya Rahardjo, Guru besar UIN Malang, saat memberikan mata kuliah Language Change in Social Perspective, menjelaskan: “…adalah fenomena; pergeseran suatau bahasa (pen: tercampur) bahasa asing.” Dan tidak menutup kemungkinan, lambat laun sebuah bahsa akan punah. Sebagai contoh, Mujia Raharjo memaparkan: tidak kurang dari 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Itu artinya, saat ini tinggal 13 bahasa daerah yang dijadikan sebagai alat tutur oleh jumlah masyarakat di atas satu juta orang. Itupun sebagian besar dilakoni para generasi tua.
Banyak sekali penyebab kepunahan suatu bahasa. Salah satunya, dan penulis setuju menjadikannya sebagai faktor utama adalah kurang atau bahkan tidak adanya nilai guna atau manfaat bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, jika suatu bahasa masih berguna, secara otomatis ia akan tetap eksis. Nilai guna bahasa selalu berbanding lurus dengan sinergitas dan perkembangannya.
Sampai saat ini, nilai guna suatu bahasa terjadi pada dua titik utama; ekonomi dan sains. Merupakan keinginan semua insan berkelayakan hidup dalam bidang ekonomi. Maka wajar, segala upaya akan dilakukan oleh manusia untuk mensejahterakan kehidupannya. Hubungan serta komunikasi adalah satu cara utama mencapai maksud di atas. Bahasa, sebagai alat komunikasi berperan penting meningkatkan komunikasi tersebut. Maka tidak heran; saat ini bahasa Cina, Mandarin dan Jepang, menjadi bahasa faforit masyarakat untuk dipelajari. Tujuannya tidak lain, karena perkembangan ekonomi di negara-negara tersebut berkembang pesat, perhatian masyarakat dunia pun terarah ke sana, termasuk mampu dan aktif berkomunikasi dengan bahasa mereka.
Demikian juga nilai guna sebuah bahasa di bidang sains, tekhnologi dan ilmu pengetahuan (IPTEK). Pada dimensi ini, bahasa sebagai media komunikasi akan terus hidup dan tumbuh seiring pertumbuhan IPTEK. Kaitannya dengan Al-Qur’an sebagai kitab ajaran dan petunjuk bagi umat Islam sepanjang zaman dan tempat, maka otomatis hal tersebut berimplikasi pada eksistensi dan perkembangan bahasa Arab.
Meski bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, namun bukanlah hal susah bagi umat Islam menghapalnya. Ini berbeda dengan kitab suci lain, sebagaimana Bible misalnya. Keuniversalan Al-Quran lainnya, dibuktikan dengan bagaimana Allah menjaganya melalui orang-orang alim dan yang memiliki kelebihan dalam menghapalkannya (tahfiz). Meski terdiri dari ribuan ayat, dalam sejarah, selalu saja banyak orang mampu menghapalnya secara cermat dan tepat, meskipun ia orang buta atau anak usia dini. Al-Quran, mudah dihapal atau dilantunkan dengan gaya apapun. Diakui atau tidak, ini berbeda dengan Bible atau Injil.
Karena itu, setiap usaha apapun untuk menambah atau mengurangi Al-Quran baik yang dilakukan kalangan orientalis atau orang kafir, sepanjang sejarah selalu saja ketahuan. Jangan heran bila banyak umat Islam tiba-tiba ribut gara-gara ada Al-Quran palsu atau sengaja dipalsukan sebagaimana terjadi dalam kasus “The True Furqon.” Barangkali itulah cara Allah menjaganya.
Dan hebatnya, para penghapal Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia. Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah sejak dulu banyak berdiri pesantren-pesantran tahfiidzul al-Qur’an. Sebaliknya, bagi kita, belum pernah mendengar ada orang Kristen atau Yahudi yang hapal keseluruhan kitab suci mereka, termasuk pendeta atau pastur sekalipun. Mengapa bisa demikian? Sekali lagi, inilah rahasia al-Qur’an dengan bahasa Arabnya. Penulis yakin, dengan alasan-alasan rasional di atas, Anda setuju untuk tidak merelatifkan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.