Tiga Komponen Pendidikan:
Bersama Mencerdaskan Bangsa
Oleh: Zulfan Syahansyah*
Bersama Mencerdaskan Bangsa
Oleh: Zulfan Syahansyah*
Di sebuah koran Pendidikan, beberapa waktu lalu penulis telah kemukakan mulianya profesi sebagai guru dalam artikel “Sertifikasi: Upaya Timbal Balik Antara Guru dan Pemerintah”. Inti tulisan mengajak jajaran guru untuk terus meningkatkan profesionalisme pribadi dan pengajarannya. Hal ini sebagai upaya meningkatkan citra ’pendidik’ di mata masyarakat yang senpat ternoda akibat ulah sebagian kecil oknum.
Kaitannya dengan pencitraan, hemat penulis: ternyata tidak cukup, karenanya tidak bisa menciptakan opini positif tanpa bantuan semua pihak. Dalam hal ini, kalangan pers turut berperan penting membentuk wacana pendidikan dan pengajaran. Sebagai profesi pencari berita, wartawan secara tak langsung telah membentuk wacana di tengah masyarakat tentang segala hal yang diberitakan. Termasuk masalah kependidikan.
Seperti kita maklumi bersama, di era informasi seperti saat ini, peran pemberitaan media sangat sensitif; antusias masyarakat cukup tinggi menaggapi kabar media seputar masalah kehidupan. Satu kasus yang diberitakan media, tak jarang menjadi standar untuk menilai hal serupa, meski pada hakekatnya berbeda.
Berita penganiayaan murid oleh oknum guru di sebuah sekolah misalnya, dapat membentuk paradigma: semua sekolah berpotensi bisa ”menganiaya” para siswa. Dampak yang kemudian terasa, tak sedikit wali murid antipati dan penuh rasa curiga setiap kali anaknya melapor telah dihukum sang guru di sekolah. Maka tak ayal, jajaran guru dituntut semakin waspada menghindari urusan-urusan non-academic dengan kalangan walisiswa yang kian merapatkan barisan untuk ”mengintai” keteledoran guru.
Demo para orangtua murid menuntut mundur guru, kasus guru yang dilaporkan ke aparat, merupakan contoh perkara non-academic antara pendidik dan orangtua murid. Dus, realita ini menjadi indikator renggangnya komunikasi yang sejatinya terjalin harmonis antara kedua belah pihak. Bagaimanapun, kerjasama pihak pendidik dan orangtua mutlak dibutuhkan untuk perkembangan anak didik.
Jika harmonisasi hubungan antara walisiswa dan guru sudah tak terjalin lagi, yang nampak jelas sebagai ”korban” adalah anak didik. Pihak guru, yang penting sudah mejalankan kewajiban mengajar: memenuhi target materi pengajaran siswa, selesai. Tentang sisi pendidikan lainnya, masabodo. Sementara pihak orangtua murid, yang penting kewajiban bulanan sudah dibayar, tak ubahnya pembeli jasa, guru dituntut untuk memperlakukan anaknya seperti halnya pembantu mereka melayani sang anak majikan.
***
”Guru siksa murid: Kembali Terjadi”, ”Lagi-lagi Siswa Dianiyaya Guru”, ”Karena Mencuri, Siswa dihajar Guru”. Demikian headline pemberitaan seputar kasus kependidikan di banyak koran. Hampir setiap hari publik disuguhi paradigma tak sedap ”racikan” para pewarta yang selalu diburu setoran berita. Dengan kelihaian dan profesionalisme wartawan, perkara ringan bisa disulap menjadi kasus dahsyat. Penyusunan kata menjadi kalimat, serta pemilihan judul tulisan adalah kosmetika pemberitaan agar laku di pasaran.
Dalam banyak akhbar tentang kasus ”penyiksaan” siswa oleh guru, tak jarang pewarta penyimpulkan idealnya pendidikan. Para pencari berita ini lupa, bahwa mengajar dan mendidik adalah tugas sehari-hari guru. Sebagai profesi, tentu saja seorang guru lebih mengenal siswanya: siapa yang perlu dididik lembut, atau sedikit keras. Dalam keseharian, kegiatan guru berkumpul dengan peserta didiknya, maka pasti guru tahu perkembangan siswanya jauh melampaui apa yang diketahui para pencari berita di jalanan.
Mestinya, para pewarta menyadari hal ini. Terlalu naif jika lantas menyimpulkan ’penganiayaan’ saat didengar ada murid yang dipukul gurunya, tanpa tahu dengan seksama duduk permasalahannya. Jangan menciptakan image: seolah-olah murid menjadi pihak yang lemah, rawan tertindas; sementara guru tergambar sebagai kelompok yang semena-mena. Hingga segala aktifitas kepengajaran kudu dipantau dan diawasi.
Sepertinya, menjadi guru adalah sebuah profesi baru seiring dengan adanya sertivikasi. Tidak sedikit kita yang melupakan: pengetahuan serta keterampilan yang saat ini ada dan berkembang, tak lain karena taburan benih-benih pengetahuan yang ditabur oleh para guru kita. Elit pemerintah yang sekarang menjabat, dulu juga menjadi siswa. Bukankah profesi wartawan juga hasil keringat guru? Tanpa jasa guru-guru terdahulu, apa mungkin kita bisa meraih keberhasilan seperti saat ini?
Tanpa mengurangi nilai profesi pewarta, penulis hanya mengingatkan: meningkatkan mutu pendidikan untuk bersama mencerdaskan bangsa adalah tugas semua komponen bangsa. Wartawan tak lain bagian dari masyarakat. Sedangkan masyarakat merupakan satu dari tiga komponen pendidikan: keluarga, sekolah dan masyarakat sendiri.
Tiga komponen inilah yang mestinya perupaya untuk bersama-sama menciptakan suasana pendidikan yang kondusif. Bukan malah sebaliknya: image pendidikan di masyarakat bobrok; kepercayaan walimurid kepada guru kian menipis; dan jajaran guru, sebagai akibat dari kondisi ini, menjadikan sekolah tak lebih sebagai lahan mata pencaharian. Jika ini yang terjadi, bagaimana nasib pendidikan bangsa? Apa reaksi kita saat generasi mendatang menjadikan sekolah di luar negeri sebagai standar kualitas pendidikan dan pengajaran?
* Pengurus sekaligus guru di
Yayasan PP. Al-Munawwariyyah Bululawang Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar