Anda adalah orang baik. Anda punya mobil mewah seharga milyaran. Serupa dengan merk dan harga mobil Anda, ternyata banyak juga dimiliki para penjahat, koruptor, penjudi dan orang-orang yang Anda tahu kebiadaban mereka. Lantas, bagaimana Anda bisa membanggakan mobil Anda tadi? Hal yang sama juga bisa dilihat dari sebuah jabatan yang diperebutkan banyak orang. Tentunya Anda sudah faham kalau jabatan elit-terhormat tidak serta merta diduduki mereka yang berhati mulia, kan!
Ada sebuah ungkapan bijak penuh hikmah yang sudah puluhan tahun penulis menghafalnya. Pastinya saat dulu menjadi santri yang dibebani materi pembelajaran mahfudhat. Ungkapan tersebut artinya kira-kira demikian: “Jika banyak orang yang membanggakan harta dan jabatan, maka sesungguhnya saya cukup bangga dengan ilmu pengetahuan dan budi pekerti”.
Sebagai ungkapan penuh hikmah, kalimat tersebut kian nampak bijak seiring dengan pemahaman secara seksama realita hidup yang kita jalani sekarang. Sebagai upaya “pembuktian” kebijakan kalimat itu, kita bisa memulainya dengan sebuah pertanyaan: kenapa?. Maksudnya, kenapa satu sikap kebijaksanaan lebih mengutamakan ilmu pengetahuan dan budi pekerti dibandingkan harta dan jabatan?
Di tengah kebanyakan orang bangga dengan harta dan jabatan, seorang bijak justru sebaliknya: tidak membanggakan harta dan jabatan. Keduanya –bagi orang yang bijak– tidak lebih bagai fatamorgana yang nampak indah dan menjanjikan, jika dilihat dari kejauhan. Iya, keduanya memang menjadi harapan dan cita-cita banyak orang yang hidup di dunia semu ini. Tidak tanggung-tanggung, hampir semua sisi kehidupan selalu diukur dari keduanya. Apalagi di zaman ini dengan kecondongannya pada faham pragmatisme.
Dengan semboyan pragmatis, semua lini kehidupan diukur pada untung-rugi sebuah usaha. Parahnya lagi, dunia pendidikan yang semestinya menfilter faham kelahiran Barat ini juga ikut-ikutan terbuai. Bukan hal aneh kalau sementara ini banyak kita dengar lembaga pendidikan yang nampak elitis. Eksistensi satu lembaga pendidikan dipandang menjanjikan jika lembaga tersebut bisa memberi janji masa depan cerah dengan relasi utamanya pada dunia kerja. Hal itu memang tidak salah. Namun keliru jika dunia usaha menjadi prioritas utama sebuah pendidikan.
Kenapa harta dan jabatan tidak perlu dibanggakan? Kenapa harus membanggakan ilmu pengetahuan dan budi pekerti? Jawabannya sederhana saja. Harta dan jabatan adalah satu hal yang tidak pernah ketahuan ujung pangkalnya. Orang yang bangga pada harta, dia tidak akan pernah sampai pada garis finish kebanggaannya. Harta kita yang bagaimana, dan berapa yang bisa dibanggakan?
Untuk bisa menjawabnya, seseorang akan terpancing pada keserakahan. Satu sikap yang sangat tercela. Serupa juga dengan kecendrungan seseorang pada jabatan. Ambisi dan kegilaan meraih jabatan setinggi-tingginya akan menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Cukuplah ungkapan “hubbu addunya ra’su kulli khatiatin: cinta dunia adalah pangkal segala kekeliruan” sebagai warning kita agar mawas diri.
Analogis sederhana: Anda adalah orang baik. Anda punya mobil mewah seharga milyaran. Serupa dengan merk dan harga mobil Anda, ternyata banyak juga dimiliki para penjahat, koruptor, penjudi dan orang-orang yang Anda tahu kebiadaban mereka. Lantas, bagaimana Anda bisa membanggakan mobil Anda tadi? Hal yang sama juga bisa dilihat dari sebuah jabatan yang diperebutkan banyak orang. Tentunya Anda sudah faham kalau jabatan elit-terhormat tidak serta merta diduduki mereka yang berhati mulia, kan!
Misalkan Anda sekarang duduk pada jabatan legislatif atau eksekutif. Anda yang baik akan banyak bersejawat dengan mereka yang jahat. Maka jabatan yang Anda pangku saat ini sama sekali bukanlah sesuatu yang bisa dan patut Anda banggakan. Sekali lagi, cuma ilmu dan budi pekerti Anda lah yang akan membedakan Anda sebagai orang yang baik dengan mereka para pejabat yang jahat. Tanpa keduanya, Anda tidak ada bedanya dengan mereka. Wallahu a’lam bi alshawab.